Share

Chapter 11 : Under The Tree [Flashback]

Malam itu, ada yang tak bisa jatuh dalam lelapnya. Berusaha berulang kali menutup mata, tetapi berakhir dengan dirinya yang kembali melihat langit-langit ruangan yang dia tempati. Kedua netra dinginnya sekali lagi melirik ke arah presensi seorang gadis yang nyenyak tak terusik di depan sana, wajah tenang itu yang mampu membuatnya kembali tenggelam dalam ingatan hanya tentangnya.

Noah tidak berniat bernostalgia. Tapi ketika dia melihat wajah Sun sekali lagi, kepalanya memutar kembali adegan yang terjadi tiga tahun lalu. Itu bagian saat dia pertama kali melihat Sun di tengah ladang bunga kuning di dataran Vermont yang sejuk.

Tiga tahun lalu, Noah Bellion melakukan perjalanan menuju salah satu kota kecil di daerah Vermont, negara bagian Amerika Serikat. Tempat itu bernama Woodstock, kota kecil yang terkenal akan keindahan alamnya yang masih terjaga.

Jika bertanya mengapa salah satu eksekutif dari kelompok mafia paling terkenal di New Orleans datang ke tempat terpencil nan asri itu, jawabannya bukanlah untuk merencanakan pensiun dini atau rencana hidup setelah ia pensiun dari dunia gelap yang membesarkannya. Perjalanan Noah bahkan tak ada hubungannya dengan pekerjaannya.

“Tuan Noah, apa Anda tidak ingin mencari penginapan di sekitar sini?” Sopir Noah bertanya, tak sedikit pun mengalihkan atensinya yang sedang sibuk melihat-lihat lukisan indah yang dicarinya lewat ponsel pintarnya.

Noah menjawab, “Aku tidak berniat menginap. Tidak usah.”

“Perjalanan dari New Orleans ke Vermont cukup memakan waktu, Tuan. Anda yakin tidak ingin istirahat dulu?”

“Aku tidak suka mengulangi perkataanku, Jov.” Ucapan Noah terdengar tak dapat dibantah, lelaki bernama Jov itu pun berhenti memberi saran.

“Baik, Tuan.” Dia mengangguk dan tak lagi mengulangi tindakannya yang bisa saja memicu amarah sang tuan. Jov berkata lagi, “Tapi, apa yang membuatmu sangat ingin mengunjungi desa terpencil ini, Tuan Noah?”

Noah melirik ke luar jendela. Pemandangan sepanjang jalan yang dipenuhi tanaman dan rerumputan, serta hewan-hewan ternak yang sengaja dibiarkan mencari makan di ladang hijau. Semua itu terlihat menenangkan dan indah. Noah meletakkan ponselnya, dia menemukan pemandangan yang lebih indah daripada lukisan-lukisan di ponselnya.

“Ingin bertemu teman lama,” jawab Noah atas pertanyaan Jov.

Lalu, tak berselang lama, akhirnya Noah tiba di tempat tujuannya. Sebuah area peternakan dan perkebunan bunga yang diberi nama McRay's House.

Melihat papan nama yang lumayan besar terpajang di depan area tempat itu, Noah jadi merasa terusik. Rupanya lelaki yang melarikan diri delapan tahun lalu darinya, sudah bisa membangun kehidupan selayak ini untuk keluarganya.

Noah mengambil karangan bunga yang dibelinya sebelum menuju kemari, lalu melangkah masuk menuju pekarangan tempat itu tanpa merasa sungkan.

Langkahnya tegap, tak melukiskan keraguan. Dia pergi menuju sebuah rumah yang lumayan besar, yang berada cukup jauh dari peternakan. Rumah itu dikelilingi perkebunan bunga, beragam jenisnya. Ada mawar, lavender, iris dan juga bunga matahari.

Noah menghentikan langkah, menatap lurus ke ladang bunga matahari yang membentang luas di hadapannya. Di otaknya hanya ada rasa kagum akan pencapaian teman lamanya, dia bisa membangun peternakan dan perkebunan seluas ini hanya menggunakan uang yang dibawanya lari, itu pun dengan jumlah yang tak seberapa banyak.

“Wah, sepertinya masa tua yang kau inginkan akan terwujud, Anthony McRay ...,” ujar Noah, tersenyum sinis tanpa sedikit bahagia.

Hendak melanjutkan langkahnya, namun Noah kembali tertahan di tempat kala rungunya mendengar gemerusuk daun kering yang terinjak sesuatu. Noah memusatkan fokus ke sumber suara, menunggu apa yang akan mengejutkannya di balik bunga-bunga matahari yang menjulang tinggi menghadap surya.

Tertegunlah raga dan sukmanya, kala yang ia tunggu akhirnya menunjukkan rupa. Seorang gadis yang tertawa lebar dengan tumpukkan bunga matahari yang dipetiknya dari ladang itu.

Gadis dengan rambut pirang keemasan itu tampak sangat gembira, bahagia matanya saat melihat bunga-bunga di kebun sang bunda mulai bersemi dan menunjukkan keindahannya.

Saat itu, di otak Noah hanya ada satu kata, “Indah ...,” yang kemudian tersalur keluar melewati dua bilah bibirnya.

Noah hanya berdiri, memandangi gadis itu dari kejauhan. Meski sedari tadi, ada suara lain yang melintasi gendang telinganya, dia memilih tak acuh.

“Sun, keluar dari sana! Kau bisa merusak tanaman bunga milik ibumu!” Teriakan lelaki itu tetap bisa Noah kenali meski terdengar agak serak dan tua kini, dan dia pun masih memilih berdiri sambil menikmati pemandangan indah yang memanjakan matanya.

Peduli setan bagaimana terkejutnya reaksi yang lelaki tua itu keluarkan saat melihat presensinya, Noah bahkan tak bisa mengalihkan matanya barang satu senti saja.

Gadis yang berlari tanpa rasa takut di atas ladang bunga ibunya itu, tampak seperti mahakarya yang sangat indah, lukisan yang seperti diberi nyawa. Dan Noah ingin memilikinya.

Hari itu, salah satu hari di musim semi, merupakan kali pertama Noah bertemu dengan gadis bunga yang bersinar kala surya menerpa wajahnya, Sun Fleurry McRay.

***

Noah dibawa ke kediaman keluarga McRay, di dalam hunian yang asri dan tenang itu dia disuguhi secangkir teh dan satu piring roti gandum buatan sendiri.

Lelaki dengan paras dingin itu mengambil cangkirnya, memperhatikan isi wadah yang dibentuk dari keramik yang dihiasi motif hasil gambar tangan yang indah.

Anthony McRay berucap, “T-teh itu aman untuk kau minum, Noah.” Dia mengatakannya dengan raut cemas, takut jika Noah menaruh curiga besar terhadapnya karena masih dibumbui amarah.

Noah agaknya tersentil dengan ucapan Anthony. “Kau sepertinya takut sekali untuk membuat perasaanku tidak nyaman, Anthony,” sindir lelaki bersurai cokelat gelap itu dengan nada yang sangat tenang.

Anthony tersenyum kikuk. “Ah ... aku hanya ingin membuatmu merasa aman, selama aku tahu apa tujuanmu datang kemari.”

“Wow, kau tahu,” Noah meletakkan kembali cangkirnya, “itu berarti, kau tidak sedikit pun melupakan urusanmu denganku, ya?”

“Aku tidak akan melupakannya. Kalaupun memang ingin aku lupakan, sayangnya aku tidak bisa.”

“Baiklah ....” Noah menyandarkan kedua tangannya pada tangan kursi kayu yang ia duduki. Netra abu-abu miliknya memandang sekeliling, mengamati betapa rumah sederhana itu sudah dibangun dengan sangat baik dengan keringat dan air matanya. Sejurus tak lama, ia keluarkan kata-kata, “Rumahmu sangat indah.” Dia membuat Anthony menatapnya bingung.

“Rumahku?”

“Iya ...,” jeda Noah seraya masih memandangi seisi ruangan, “ditata dengan rapi, bersih dan banyak hiasan sederhana yang membuatnya makin kelihatan sedap dipandang. Kalau aku mau, mungkin aku bisa meminta rumah ini untuk kujadikan hunian setelah pensiun nanti.”

Anthony masih terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Noah.

“Pasti tidak mudah membangun rumah dan peternakan sebesar ini, kan? Biayanya pasti banyak sekali.” Noah memajukan wajahnya, berkata dengan nada dan kata-kata yang menyudutkan lawan bicara.

Benar saja, Anthony tersudut. Lelaki tua berusia 60-an itu membisu, tak tahu akan menjawab apa meski mulutnya sudah komat-kamit hendak mengeluarkan kata yang berakhir ditahan lagi.

Melihat wajah bersalah, malu dan tersudut milik Anthony membuat Noah jadi tertawa lagi. Lelaki itu menyunggingkan sudut bibir tipisnya, membentuk senyuman yang biasa dimiliki para antagonis di layar kaca.

“Ya ... ya ...,” dia mengakhiri topik menegangkannya, “aku membuat keadaan jadi tegang, padahal kau juga sudah berusaha keras untuk menghidupi keluarga kecilmu.”

Netra Noah menuju ke luar jendela, ruangan yang berhadapan langsung dengan ladang bunga membuatnya bisa melihat sosok indah yang sempat mencuri atensi saat berjalan ke tempat ini tadi.

“Aku dengar, dulu kau memiliki seorang anak laki-laki,” tutur Noah, memulai percakapan dengan topik lain.

Anthony turut mengikuti arah pandang Noah yang menjurus ke ladang bunga matahari miliknya. Lelaki tua itu menghela napas berat. “Iya ... dulu aku punya, tapi dia sudah meninggal saat baru berusia lima tahun. Sekarang anakku satu-satunya hanya seorang gadis belia yang sebentar lagi akan lulus dari sekolah menengah pertamanya.”

“Aku mengerti ....” Noah terus memandangi gadis yang masih bermain di ladang bunga itu selagi telinganya mendengarkan Anthony.

“Hidupku sebelum bertemu dengan Karina penuh sekali dengan noda, sepertinya itu yang akan membuatku tidak bisa mati dengan tenang.” Noah melirik Anthony, raut lelaki tua itu berangsur sendu.

Anthony melanjutkan, “Aku didiagnosis terkena radang paru-paru. Di usia setua ini, sekuat apa pun aku berusaha, tetap saja kematian adalah hasil akhirnya.” Anthony berkata dengan tersenyum, namun matanya berkata sebaliknya.

Noah ingin tertawa. Geli rasanya melihat wajah itu setelah mengingat apa yang sudah Anthony lakukan padanya dulu.

“Aku mungkin tidak akan bisa menyaksikan Sun tumbuh dewasa, lalu menikah dengan lelaki pilihannya.”

Noah mengalihkan kembali pandangannya, tak mau peduli dengan cerita Anthony. “Ya ... itu setimpal dengan perbuatanmu dulu,” ia merespons dengan dingin tanpa perasaan.

Anthony membenarkan ucapan Noah dengan senyumnya. “Kalau kau datang untuk mengambil seluruh tanah yang aku miliki, ambillah,” pungkas Anthony. Noah sama sekali tak merespons sampai ia melanjutkan, “Tapi setidaknya, tolong ampuni aku dan biarkan istri serta anakku hidup dengan tenang.”

Noah Bellion masih tak acuh. Ia menyandarkan dagunya pada bahu seraya lebih intens memandangi gadis yang baru diketahui bernama Sun itu.

“Cukup hidup kita saja yang dipenuhi kegelapan. Aku tidak mau Karina ataupun Sun terjerumus juga.”

Noah menjentikkan jari, tiba-tiba saja terpikir ide cemerlang menjurus licik setelah mendengarkan ocehan lelaki tua di hadapannya. “Kau harusnya jangan membawa-bawa namaku dalam sejarah hidup kelammu, Anthony. Jika kau bisa sedikit saja menahan hasrat rakusmu, aku mungkin tidak akan ada di dunia yang sama denganmu.”

Entah mengapa Noah jadi sedikit bersemangat, dia kembali mengatakan kalimat-kalimat yang menyudutkan Anthony tanpa ampun.

“Aku mungkin sudah menjadi pelukis, atau novelis. Tapi karenamu, aku jadi lelaki yang hidup dalam dunia gelap para gangster dan mafia. Bagaimana? Kau merasa bersalah?”

Anthony tak sanggup membalas. Tatapannya merunduk penuh rasa sesal dan bersalah. Hal itu membuat Noah semakin merasa senang.

“Tapi karena aku sudah terlanjur ada di sini, aku ingin menikmati apa yang kau nikmati dulu,” kata Noah, kembali duduk anteng di kursinya. Bersilang kaki dan menunggu jawaban Anthony.

“Ambil apa pun dariku, aku akan memberikan segalanya.” Tepat sekali, itu adalah jawaban yang sangat Noah inginkan.

Noah tersenyum dalam diam, rasa puasnya seakan tak bisa disembunyikan. “Tapi Anthony, yang aku inginkan adalah merasakan rasanya bahagia setelah merampas apa yang orang lain punya.” Noah berkata sembari matanya perlahan mengarah ke tempat anak Anthony berada.

Sekonyong-konyong Anthony membulatkan mata, dia menangkap maksud dari apa yang Noah katakan.

Lelaki tua itu menyanggah, “Tidak boleh dia, Noah!” Tapi Noah pun sudah peduli setan sejak dia berniat datang. Apa pun yang Anthony katakan, keinginannya adalah hal mutlak.

“Kau bilang akan memberiku segalanya. Bukankah gadis itu segalanya bagimu?” Noah makin menunjukkan sisi licik dan tak kenal ampunnya, membuat Anthony seketika menyesal, sangat menyesal karena telah memulai hubungan yang buruk dengan Noah Bellion bertahun-tahun lalu.

“Ta-tapi tidak dengan putriku, Noah! Dia masih memiliki masa depan yang panjang!”

“Aku tahu ...,” ucap Noah lalu menyesap teh miliknya, “karena itu aku menginginkannya.” Lelaki dengan tubuh kurus dan tinggi itu meletakkan kembali cangkirnya.

“Jika aku mengambil seluruh hartamu, apa untungnya bagiku? Kehidupanku yang sekarang ini sudah lebih dari cukup, bahkan bergelimang. Lalu jika aku mengambil istrimu, Anthony, apa yang akan aku dapat? Paling tidak dia akan bekerja sebagai budak di Little Boy. Kau pastinya tidak mau, kan ...?”

Anthony menggeleng cepat, menjawab perkataan Noah dengan yakin.

“Jadi ... aku ingin putrimu yang masih bermasa depan panjang itu. Tenang saja ... dia tidak akan menjadi budak ataupun aku jual sebagai wanita malam.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan pada putriku?”

“Menjadikannya salah satu koleksi dari lukisan indahku,” jawab Noah, masih tak mengganti raut dinginnya.

“Noah ....” Anthony tak habis pikir, ia terkejut melihat anak laki-laki yang ia temui 15 tahun lalu itu sekarang bisa mengancamnya dengan hal mengerikan bahkan dengan wajah yang sangat tenang.

Mungkin seluruh penyesalan harus ia tanggung seorang badan. Dia melempar bumerang dan kini benda itu kembali untuk menghantamnya. Dia yang membuat Noah menjadi seperti saat ini, dia yang membuat Noah merebut apa yang berharga bagi dirinya sendiri.

“Aku akan kembali untuk menjemputnya setelah pendidikan atasnya selesai. Tolong jaga dia, dan jangan berusaha untuk menjodohkan dia dengan siapa pun.” Noah berdiri, lalu melenggang pergi tanpa minta Anthony antar.

Sebelum itu, dia berdiri di depan pintu, lalu memutar tubuh dan memasang senyum tipis. “Tehnya enak sekali. Tolong sampaikan itu pada Nyonya Kar ... tidak. Maksudku, calon ibu mertuaku.”

Rampung dengan kalimatnya, Noah bergegas meninggalkan rumah itu. Dia melewati jalan yang sama dengan jalan yang ia lalui dari bagian depan peternakan menuju rumah Anthony, dan juga melewati ladang bunga yang beragam jenis dan warnanya.

Noah berhenti sejenak, kembali matanya terpaku pada sosok yang sedang bermain-main jauh di depannya. Gadis dengan surai pirang emas itu tampak sangat bahagia, meski hanya bermain dengan sesuatu yang tidak akan membalas tindakannya.

Noah sampai merasa penasaran, apa yang membuat gadis bernama Sun itu merasa sangat bahagia hanya dengan menggenggam beberapa tangkai bunga yang dipetiknya? Jika Sun adalah gadis kota biasa, dia mungkin akan merasa bosan karena banyak lelaki yang mengiriminya bunga-bunga sejenis ini.

“Tidak! Jangan, Tuan!” Noah tersentak kala suara itu menggema dari kejauhan. Dia melihat ke sumber suara, dan benar, Sun memang sedang meneriakinya. Noah hanya terdiam, setelah diteriaki seperti maling dia jadi membatu dan hanya memandang Sun yang berlari mengangkat gaunnya.

Gadis itu berlari ke arahnya.

“Apa anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Sun, membuat Noah sedikit terkejut dan bingung. Noah rasa seluruh semesta pun tahu kalau dia baik-baik saja, dia hanya menyentuh beberapa daun mawar dan diteriaki seperti akan mencurinya.

Sun menarik tangan Noah, membolak-balikkan telapak lebarnya. “Ah, kau seharusnya berhati-hati. Ini ladang mawar, kau tidak tahu?” tanya Sun lagi.

Noah hanya diam dengan raut datarnya, tapi dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Sun.

Mawar adalah jenis bunga paling terkenal di dunia, bentuknya yang relatif sama meski dibedakan jenisnya hanya dengan warna, juga tangkai berdurinya yang menjadi ciri khas tentu saja membuat orang-orang mudah mengidentifikasinya. Meski itu orang awam yang tidak mengerti bunga.

Itu pun berlaku pada Noah. Dia tentunya tahu bunga apa yang dia sentuh. Tapi Sun bersikap seakan-akan Noah baru saja menyentuh bunga berduri yang hanya tumbuh di tanah depan rumahnya, yang Noah mungkin tidak ketahui itu mengandung racun atau tidak.

“Aku tahu,” Noah menjawab setelah lama terdiam. Sun menatap matanya, memastikan tidak ada kebohongan dalam perkataan itu. Sun yang baru berusia 16 tahun terlihat sangat mungil dengan tinggi yang bahkan tak bisa mencapai dada Noah. Rambutnya masih sepanjang punggung, dia juga terlihat masih sangat ‘polos’ tanpa polesan bedak dan perona bibir.

Apa Noah bisa disebut pedofil karena dia sangat tertarik oleh seorang anak belia di hadapannya? Karena sebenarnya, Noah yang berdiri di hadapan anak kecil itu sudah masuk ke usia dewasa. Dia 23 tahun sekarang.

Ah, mungkin saja dia memang memiliki sedikit kelainan pedofilia. Tapi untuk sekarang, Noah bisa menahan diri dan menarik tangannya kembali. “Apa aku mengganggumu?” tanya Noah dengan lembut.

Itu tidak bisa sepenuhnya dikatakan lembut. Noah memang bukan tipe orang yang senang berteriak. Dia benci teriak.

“Tidak. Aku hanya cemas karena ada orang asing yang bermain di ladang mawar yang berduri ini. Aku cemas kalau saja tamu ayah saya terluka karena belum akrab dengan tempat ini.”

Noah tersenyum tipis, tipis sekali sampai Sun tidak bisa menangkap wujudnya. “Ini bukan tempat berbahaya sampai kau perlu terlalu cemas seperti itu,” ujarnya, tanpa sadar menyentuh puncak kepala Sun, “aku hanya melihat-lihat ladang bunga ini.”

Sun memberikan tatapan bingungnya akan apa yang baru saja Noah lakukan. Begitu sadar di mana tangannya saat ini berada, Noah langsung secepat kilat menariknya.

Sun terlihat tidak canggung setelahnya, tidak seperti Noah yang berniat untuk langsung pergi. Tapi tidak jadi, sebab Sun berkata, “Kalau anda ingin menikmati pemandangan di sini, aku tahu tempat yang tepat.” Gadis itu kembali membuat kontak mata dengan Noah, terlihat dia sama sekali tidak was-was kendati Noah adalah orang asing baginya.

Apa dia benar-benar menganggap Noah sebagai ‘tamu’ ayahnya?

“Anda mau melihatnya?” tanya Sun. Tapi Noah bahkan belum menjawabnya, dan dia sudah berjalan lebih dulu seolah Noah mengiyakan tawarannya. Kalau begini, mau tak mau Noah akan pergi mengikutinya di belakang.

Tidak jauh, tapi tidak terlalu dekat juga. Saat ini Sun dan Noah berada di sebuah bukit kecil, di bawah pohon besar yang rindang dengan rumput halus sebagai lantainya. “Apa ini tanah milik ayahmu?” Noah tiba-tiba menanyakan itu sesaat setelah dirinya berhenti.

Sun mengangguk, lalu mengambil posisi untuk duduk. Dia duduk dengan mudahnya, tanpa peduli rumput yang dia duduki kotor atau tidak, basah atau tidak. Meski begitu, Noah mengikuti jejaknya. Dia duduk di samping gadis berusia 16 tahun itu.

“Kalau hanya ingin menikmati pemandangan, tempat ini adalah yang terbaik,” terang Sun, menjelaskan keunggulan tempat favoritnya, “anda bisa melihat lebih luas ladang bunga milik ayahku, juga sapi-sapi ternak yang menikmati makan siangnya jauh di sana.”

Noah tak berkata, hanya mengikuti arah pandang Sun yang menerawang jauh ke depan sana. Dia terlihat amat menikmati apa yang dia lihat saat ini, seakan menggambarkan ujung dari ladang bunga itu adalah batas dari kegembiraannya. Noah kembali memandang Sun, memperhatikan wajah manisnya yang tersenyum tipis dengan binar mata bahagia.

Ketimbang disebut hasrat seksual, keinginan Noah untuk terus melihat wajah Sun karena itu sangat indah. Sosok yang sedang duduk di sampingnya saat ini ... tampak seakan bukan manusia.

Bagaimana bisa Tuhan memahatnya dengan begitu celah? Dia bahkan terlihat amat cantik dengan rambut emas yang berantakan karena tiupan angin. Ah ... mungkin saja Tuhan sedang tersenyum saat menciptakannya.

Noah seakan tak mampu mengalihkan matanya, karena itu dia terkejut kala Sun tiba-tiba saja membalas tatapannya. Lelaki itu langsung mengalihkan wajahnya, sementara Sun terheran melihat tingkah anehnya.

“Tuan ... apa anda berasal dari kota?” tanya Sun sembari berusaha mengikuti arah wajah Noah menghadap. Dia jadi bertanya-tanya kenapa Noah menghindarinya. Apalagi kala Noah hanya mengangguk, tanpa menatap Sun.

Sun bertanya lagi, “Kota apa? Burlington?”

“Aku tidak berasal dari Vermont.”

“Kalau begitu, dari mana? Apa aku boleh tahu alasan apa yang membawa anda ke rumahku? Juga ... apa aku boleh tahu kenapa anda terus mengalihkan wajah anda?”

Noah terdiam, ternyata dia sudah ketahuan. Dengan perlahan, ia meluruskan kembali pandangannya, tapi masih tidak mau menatap Sun. “Aku berasal dari Louisiana, dan datang kemari untuk menyelesaikan urusan lama dengan ayahmu.”

Sun mengangguk-angguk paham, terlihat tak lagi mau membahasnya dengan kembali tenang menikmati pemandangan. Noah juga lagi-lagi meliriknya diam-diam. Tiba-tiba saja terbesit sebuah tanya yang begitu saja ia tanyakan pada Sun tanpa berpikir panjang.

“Apa kau sangat menyukai tempat ini?”

Sun terdiam, menatap mata Noah dengan bingung. Bukannya itu sudah jelas? Noah tidak perlu bertanya apakah Sun suka atau tidak karena jawabannya sudah jelas-jelas suka.

“I-iya ... aku menyukai tempat ini. Aku lahir dan besar di sini, di sekitar bunga-bunga yang sangat cantik.”

“Apa kau tidak memiliki rencana untuk pergi ke kota besar seperti New York?” Sun menghela napas. Sepertinya topik yang Noah bahas ini sedikit memberatkan perasaannya.

“Aku punya ....”

Tentu saja Sun ingin. Dia ingin berjalan-jalan di tempat yang sangat ramai, melihat banyak macam teknologi yang hidup berdampingan dengan manusia, juga menemukan lebih banyak bunga yang belum pernah dia lihat. Tapi Sun memiliki alasan yang lebih besar yang membuat keputusannya tidak pernah berubah.

“Tapi aku lebih suka di sini.”

“Kau tidak berencana melanjutkan pendidikan ke universitas ternama?” tanya Noah, Sun menggeleng dengan bibir bawah yang sedikt dimajukan.

“Kata Papa hidup sebagai orang baik lebih tepat ketimbang hidup sebagai orang pintar.”

“Kenapa?”

“Karena tidak semua orang pintar menggunakan kepintarannya untuk hal yang baik.” Sun tiba-tiba saja bangkit, membersihkan gaunnya dan berjalan maju tiga langkah. “Orang pintar itu, saking pintarnya bisa jadi licik. Saking banyaknya ilmu, bisa sampai gila.”

“Benarkah?” tanya Noah. Dia masih berada dalam posisinya, memandang punggung kecil Sun yang berdiri tiga langkah di depannya. Dalam hati ia berkata, rupanya Anthony menggunakan pengalaman untuk mendidik anaknya.

Sun tertawa kecil, tiba-tiba. “Aku tahu menuntut ilmu itu tidak ada batasnya. Tapi aku hanya takut, kalau aku tidak bisa menggunakan kepintaranku untuk hal yang baik. Lagi pula, aku sudah puas dengan apa yang aku punya sekarang.”

“Kau tidak ingin hal lain? Atau semacam pemuda kota yang akan mengencanimu?”

Sun berbalik, memandang Noah dengan senyum teduhnya. Di bawah pohon rindang, dimana angin bertiup lembut tanpa sedikit keganasan. Sinar mentari yang menyorot gadis itu dan kilauan senyumnya selalu menjadi hal yang berkesan dalam benak Noah Bellion.

“Aku akan menunggunya, Tuan. Kalau aku terus menjadi gadis yang baik, pasti akan ada pemuda baik yang menjemputku, kan?”

Ucapannya kala itu, menjadi hal yang selalu Noah ingat bahkan setelah tiga tahun berlalu. Entah Sun sendiri masih mengingatnya atau tidak.

Tiga tahun yang sudah berlalu, sejak terakhir kali Noah bertemu dengan Sun bahkan sampai detik ini, dia tidak bisa melupakan ucapan Sun tentang seorang lelaki yang akan mencintainya.

Ya ... sudah seharusnya gadis baik diperuntukkan untuk pemuda yang baik.

Dan Noah yang sudah terlanjur menjadi lelaki jahat ini, pasti akan terlihat amat kotor untuk bisa menyentuh mahakarya apik seperti Sun.

Tapi untuk saat ini, dia tidak berniat untuk mengembalikan Sun dan kehidupannya seperti semula. Karena Noah memang tidak pernah menyukainya sebagai seorang lelaki yang menginginkan wanita, melainkan sebagai pecinta seni yang jatuh cinta dengan sebuah mahakarya bernama Sun Fleurry McRay.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status