Share

Chapter 10 : Heavenly Paint

Eliot Redwood. Nama itu amatlah membekas dalam kurun waktu lima tahun terakhir dalam benak Noah. Jika bertanya apakah Noah mengenalnya, tentu saja jawabannya adalah: sangat.

Jauh sebelum hari ini, Noah dan Eliot terikat oleh hubungan yang baik dan manis. Kakak dan adik laki-laki? Begitu orang-orang menyebutnya. Kendati tak ada yang menghubungkan keduanya secara sah, dan hubungan itu hanya sebatas sebutan. Tidak disangka, itu menjadi hal yang bisa Noah anggap nyata setelah sekian lama menutup diri dari dunia.

Noah menyukai Eliot, dia adik kecil yang manis dan terkadang manja. Eliot pun menyukai Noah, kakak yang dingin namun selalu terlihat keren di matanya. Semua itu indah ketika mereka masih anak-anak, ya ... dunia yang hanya diisi kesenangan itu bukanlah dunia yang akan selamanya mereka tinggali.

Ketika beranjak dewasa, pikiran mulai bergerak dan logika mulai melakukan fungsinya. Bagaimana ...? Bagaimana bisa itu terjadi?

Bagaimana bisa orang lain itu menjadi kakaknya? Bagaimana bisa dia sang tuan muda menjadi tunduk seperti anak buahnya?

Eliot tumbuh dengan pertanyaan semacam itu, yang terus dia pendam kendati matanya semakin sakit tiap hari.

Ah ... lihatlah ayah dan anak yang harmonis itu. Betapa indahnya hubungan mereka. Dan lihatlah ayah siapa yang ada di sana ....

Eliot memjiat dahinya yang tiba-tiba terasa nyeri. Dia yakin itu bukan karena pengaruh alkohol berkadar rendah yang ia minum tadi. Ya ... itu benar sekali, sakit kepala itu ada karena dia tidak sengaja mengingat kembali hal menyakitkan yang setengah mati ingin dia lupakan.

“Masa lalu sialan ...,” umpatnya secara halus. Jalanan yang ramai tak terlihat jelas di matanya, sepasang netra yang kuat memancarkan kebencian. “Tapi jika aku melupakannya, siapa yang akan tertawa nanti?”

Eliot merasa itu bukanlah masalah besar. Sebab karena ingatan pahitnya itu, dia jadi bisa memberikan sebuah pembalasan yang seru seperti yang baru akan ia mulai ini. “Membayangkannya saja membuatku sangat senang,” ujarnya ketika kembali membayangkan kalau saja rencananya akan berjalan mulus. “Orang tua itu pasti akan terus membela anaknya, dan anaknya yang tak tahu diri akan terus menolak untuk dielus kepalanya. Memuakkan!”

Lelaki dengan netra hazel itu keluar dari mobilnya, ia memutuskan untuk menemui seseorang guna membuang rasa jenuhnya. Sesekali berkunjung setelah sekian lama tidak bertatap muka. Ya ... dugaanmu mungkin benar.

Sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri saat ini, seorang lelaki dengan manik abu-abu tengah berdiri dengan tangan yang bersandar pada langkan besi. Jika tidak diperhatikan, orang berpikir dirinya sedang menikmati pesta, memandangi gadis-gadis yang menari di lantai dansa sembari mencari satu yang mau diajaknya menghabiskan malam bersama. Tapi sebenarnya, tidak demikian.

Eliot bisa melihat dengan jelas, kehampaan yang tak pernah berubah itu. Netranya memandang semu, apa saja yang di hadapannya hanya tertangkap lensa tanpa tersimpan dalam memorinya. Dengan kata lain, dia melamun.

Tapi tanpa terduga, lelaki itu menyadari kehadiran Eliot di antara banyaknya manusia. Hal itu yang membuatnya kembali berdiri tegap, menatap Eliot yang juga memberikan pandangan benci padanya. Eliot mendekati lelaki yang tak lain adalah Noah Bellion itu, lalu ketika mereka hanya berjarak satu langkah, dia tersenyum miring.

“Apa kabar, Noah?” sapanya sok akrab, padahal Noah tahu betul jika Eliot tidak datang untuk ini. Eliot tidak akan lagi datang padanya untuk memulai percakapan yang manis seperti dulu.

Noah tak memiliki sepatah kata untuk diucapkan, dia hanya hening menunggu Eliot melanjutkan kata-katanya. “Aku datang ke sini untuk bertemu denganmu, lho ....”

“Apa aku harus senang?” Noah merespons dengan sebuah tanya bernada dingin. Ya ... Eliot juga tahu kalau Noah memang seperti itu sifatnya, dia juga sudah andal menahan emosi kala menghadapi sifat yang menyebalkan itu selama bertahun-tahun.

“Tidakkah kau merindukanku?” tanya Eliot, merentangkan kedua tangannya seakan sangat berharap Noah akan berhambur memeluknya. Tentu dia sadar jika itu adalah hal yang mustahil. Dia melakukannya hanya untuk menggoda Noah, si es bernyawa.

Noah masih mengarahkan kedua mata sayunya pada Eliot, tampak tak gentar kendati tahu benar siapa yang sedang berdiri satu langkah di depannya. Iya, musuhnya, dan tentu banyak kemungkinan bagi seorang musuh untuk menyerang.

“Aku tidak pernah merindukan musuhku,” jawab Noah atas segala bualan yang dia dengar dari Eliot sejak tadi.

Eliot menarik kembali senyum manis penuh tipu muslihatnya, lalu tangan yang dia rentangkan lebar-lebar, perlahan kembali ke posisi semula. Rautnya kini tak berbeda dengan Noah, kesan dua musuh yang saling berhadapan akhirnya muncul tanpa perlu lebih lama disembunyikan di balik kata ‘persaudaraan’.

“Aku tahu itu ...,” ujar Eliot, menjeda, “aku tahu kalau kau tidak pernah merindukanku, bahkan ketika aku selalu berharap kau berbalik untuk melihatku.”

Noah mengalihkan tatapan matanya. Tampak sekali dirinya hampir muak oleh semua kalimat Eliot. Mendramatisir, memanipulasi dan menipu adalah keahliannya sejak dulu. Benar-benar bakat yang tidak Noah duga akan hadir bersama kelahirannya.

“Katakan apa yang kau inginkan.”

“Kematianmu,” jawab Eliot dengan raut tanpa perasaan. Tapi ketika Noah kembali menatapnya, lelaki itu tersenyum kikuk. “Aku bercanda,” ujarnya dengan kekehan kecil.

Noah sempat berpikir untuk pergi saja dari sana. Sebab tidak akan ada hal indah yang bisa ia bicarakan dengan Eliot yang sudah jelas-jelas berdiri di kubu yang berlawanan dengannya. Pertemuan mereka seharusnya diperuntukkan untuk sebuah perang. Sejak dulu juga seperti itu. Noah melangkah tanpa berkata, berniat meninggalkan Eliot yang langsung menahannya dengan ucapan.

“Kau tentunya tahu kalau apa yang terjadi hari ini adalah sebuah peringatan untukmu, kan ...?” Noah mengerti apa yang Eliot maksud. Dia menyinggung soal pembunuhan anggota Little Boy yang sebenarnya sudah Noah ketahui kalau itu adalah ulahnya. Noah bergeming, mendengarkan. “Itu hanya balasan untuk dua anggota kelompok lain yang kau bunuh. Tapi aku belum bergerak untuk membalas pelaku yang congkak ini ....” Eliot berkata sembari mendekatkan wajahnya ke telinga Noah, memastikan lelaki itu mendengar dengan baik ucapannya.

“Tapi, aku dengar banyak orang membicarakan gadismu, Noah. Kau sudah bisa melupakan gadis terakhir yang kau tiduri?” Mata Noah bergerak, merespons ucapan Eliot. “Tentu kau sudah lupa, tiga tahun sudah berlalu sejak kau membuang gadis malang itu. Atau sejak awal, alasanmu membuangnya karena kau menemukan gadis baru? Kau jalang juga rupanya, Noah.” Eliot tertawa mengejek.

Ruangan yang penuh akan manusia, suara musik yang memekakkan telinga, semua itu tak lebih dari angin lalu. Noah yang berniat mencari ketenangan ditemani beberapa gelas alkohol, malah dibuat memupuk kembali harapan itu setelah bertemu dengan Eliot. Sepertinya dia sedang tidak beruntung hari ini.

“Aku tidak peduli dengannya.” Noah berkata dengan suara yang sangat tenang, namun itu sebuah penekanan untuk Eliot agar berhenti membahas soal gadis yang sudah tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Itu hanya membuatnya semakin kehilangan mood.

“Noah, kau tentunya tahu kalau gadis itu sangat menyukaimu, kan? Kau jahat sekali karena membuangnya begitu saja. Padahal dia teman lamamu.”

“Diam.”

“Aku tidak bisa diam, tapi kau bisa pergi. Kau yang tetap di sini dan mendengarkanku bukannya cukup untuk menjelaskan kalau kau sebenarnya masih memikirkan gadis itu?” Eliot mendekati Noah, lalu berbisik di dekat telinganya. “Lukisan indah yang kau rusak dengan tangan kotormu.”

Noah membulatkan mata. Kalimat singkat itu terasa seperti api kecil yang dilemparkan ke tumpukan jerami kering. Itu membakar, cepat dan akan segera melenyapkannya menjadi abu.

“Aku bilang diam!” ancam Noah dengan wajah penuh amarah. Dia lepas kendali dan berakhir mencengkeram kerah Eliot kuat-kuat.

Iya ... itu yang Eliot cari. Ekspresi langka yang butuh waktu lama agar bisa dia lihat di wajah kaku itu. Rupanya Noah bisa memasang raut kesal seperti itu, membuat Eliot sangat terhibur hingga dirinya tertawa.

“Gadis Vermont itu bisa sedih kalau tahu kau ternyata masih memikirkan gadismu yang lama, Noah. Apa ini? Aku kira kau tipe yang setia hanya pada satu wanita. Tapi rupanya, kau menggenggam gadis lain sementara hatimu masih milik gadis yang lama.”

“Berhenti bicara, Eliot.”

Eliot menghentikan tawanya. Wajah sumringah itu berganti raut murung dengan tatapan tajam ia berikan pada Noah. Ini adalah kali pertama Noah memanggil namanya, nama yang diberikan oleh yang asing setelah Eliot terlahir kembali dari luka dan kemarahannya.

Noah benar-benar menanggapnya sebagai Eliot. Eliot sudah menjadi orang asing sepenuhnya untuk Noah.

Tangan Eliot terangkat, melepaskan cengkeraman itu dengan pelan sementara matanya masih tidak menggambarkan keramahan.

“Kau sejak dulu tidak pernah berubah, Noah. Seseorang yang sangat menyukai keindahan, orang yang tergila-gila dengan lukisan dalam diam.” Eliot melepaskan tangan Noah dari dirinya, kemudian berdiri tegap sejajar dengan lelaki berambut coklat itu. “Apa kau benar-benar menyukai anak Anthony itu? Atau hanya menjadikannya salah satu koleksi dari lukisan indahmu?”

Eliot menyeringai, seperti para tokoh antagonis dalam sebuah film. Dilihatnya wajah geram Noah yang tampak amat menghibur, matanya seakan tertawa karena wajah itu benar-benar terlihat lucu baginya. “Kalau ada pelelangan, ajukan dia. Aku akan menawarnya dengan harga yang sangat tinggi.”

“Diam!” Noah membentak, membuat beberapa orang mengalihkan perhatian mereka. Suara Noah sangat keras, hingga mampu menyaingi musik yang mengalun dengan irama yang berisik di tempat itu. Bahkan Eliot pun terkejut kala Noah membentaknya, tampak seakan itu baru pertama kali baginya mendengar Noah bersuara sangat lantang.

Eliot melihat sekeliling. Dia dan Noah yang mulai menjadi pusat perhatian, dirinya tertawa sumbang. “Kami hanya bermain. Nikmati waktu kalian.”

Mau dilihat dari sudut manapun, jelas yang terpampang di wajah itu bukanlah raut senang, kan? Noah bahkan enggan mengalihkan tatapan nyalangnya dari sosok Eliot. Lagi-lagi itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Eliot tertawa puas, dia membalik keadaan.

Bukannya dulu wajah seperti inilah yang sering Noah berikan kala Eliot berteriak karena kesal? Noah tetap tenang, tidak berkata sedikitpun meski dia tahu di depannya, Eliot sedang menahan tangisnya dan terus berteriak.

Eliot kembali menatap Noah. Lelaki itu lebih tenang setelah atensi yang diberikan orang-orang membuatnya tersadar tentang apa yang sedang dia lakukan. “Jika kau memang menganggap ini sebagai permainan, maka aku akan keluar,” ujarnya lalu bergegas meninggalkan Eliot.

Dia berjalan menuju pintu keluar, tapi masih sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu pada Eliot. “Aku harap kau berhenti main-main untuk segala hal, Tuan Muda Odolff.” Lalu setelahnya, dia benar-benar meninggalkan Eliot tanpa peduli bagaimana respons lelaki itu. Tanpa peduli jika Eliot tetap tertawa dan membalas ucapannya.

“Aku tidak bilang akan bermain-main denganmu kali ini, Noah.”

Tidak ada yang tahu apa yang Eliot katakan tadi, ruangan terlalu berisik dan Noah juga tak mau lebih lama meladeni lelaki kekanakan itu. Noah bergegas menuju mobilnya dan langsung memacunya dengan kecepatan tinggi. Tempat yang biasa dia andalkan untuk mencari ketenangan, malah dimasuki sumber dari sakit kepalanya. Noah tidak tahu akan ke mana sekarang, yang penting dia sudah menjauhi Eliot.

Noah menjalankan mobilnya tanpa tujuan yang pasti. Kepalanya masih belum mendingin setelah ucapan Eliot berhasil memancing emosinya untuk keluar. Di dalam sana kalut sekali, pikirannya bertumpuk dan semakin membuatnya sakit. Untunglah dari banyaknya hal yang kusut di dalam sana, masih ada sedikit kesadaran untuk Noah bisa tetap fokus mengendarai mobilnya.

Dalam pikirannya yang amat kusut, terbesit siluet adegan yang mampu membuat fokusnya berpusat pada satu titik. Itu adalah ingatan tentang Sun yang tanpa izin memasuki ruang memorinya, terputar begitu saja. Noah teringat lagi akan suara gadis itu saat memanggil namanya, Noah kembali teringat akan senyumnya, dan mata yang penuh akan perasaan bahagia itu.

Noah berpikir jika akan sulit untuk membuat Sun bertahan di sampingnya, terlebih dia berada di jalan yang sangat tidak disukai gadis itu. Tapi sepertinya, Sun merasa cukup bahagia berada di sini. Noah tidak tahu apa yang terjadi dengannya, tapi dia merasa tenang saat mengingat Sun.

Dan tanpa dia sadari, dia sudah berada di area parkir Melrose Mansion. Meski awalnya Noah tidak bermaksud untuk pergi ke sana, tapi karena sudah sampai, turun dan mengunjungi bukanlah hal yang buruk.

Noah berjalan memasuki gedung bangunan itu, dan mendapati kesunyian yang ada di sana. Sangat sepi, sampai sebuah suara yang memanggilnya hampir membuatnya tersentak. “Noah?” itu adalah Jessie yang keluar kamar untuk mengambil air minum. Dia sudah berada dalam pakaian tidurnya dan bersiap untuk menyambut mimpi jika saja tidak tiba-tiba merasa haus.

Tapi ketika dirinya selesai dengan urusannya dan hendak kembali, lihat siapa yang datang dan membuatnya terkejut itu .... Jessie tertawa, padahal tidak ada hal yang lucu. “Kau datang ke Melrose?” tanya Jessie dengan nada bergurau. Dia tentunya tahu betul kalau Noah itu jarang sekali datang ke Melrose.

Bahkan meski dirinya memiliki seorang wanita yang tinggal di tempat itu.

“A-aku hanya berkunjung,” jawab Noah, sedikit terbata. Entah karena gugup atau karena efek alkohol yang dia minum sebelum pergi ke tempat ini. Yang jelas, Jessie merasa beruntung karena bisa melihat pemandangan yang sangat langka.

“Mau mengunjungi Sun?” Tak mengulur waktu, Jessie langsung menyerang tepat sasaran. Dia membuat Noah langsung mengarahkan matanya ke sana kemari seperti sedang bimbang akan suatu hal. Dia gugup ....

Jessie tidak mau memancing emosi Noah, terlebih dia tidak terlalu mengenal lelaki itu. Jessie akan lewatkan waktu paling tepat untuk menggoda seorang Noah Bellion ini, dan langsung menambahkan, “Aku rasa dia sudah tidur sejak tadi.”

“Hm ...,” gumam Noah. Jessie tersenyum sekali lagi tanpa sepengetahuannya. Rupanya benar Noah datang untuk mengunjungi Sun.

Noah melirik arlojinya, menyadari pukul berapa sebenarnya saat ini. Ketika tahu, dia menghela napas. Wajar saja jika Sun sudah terlelap sejak tadi, ini hampir tengah malam. Dia berkunjung di waktu yang salah, padahal rasanya hanya beberapa menit saja dia meninggalkan Sun sejak terakhir kali mereka bertatap muka.

Noah memutar tubuhnya, bermaksud pergi. Tapi Jessie menahan tangannya. “Kau mau kembali? Tidak jadi mengunjunginya?”

“Ini sudah larut malam. Dia mungkin sudah tidur sejak tadi seperti yang kau bilang.”

Jessie tertawa kecil, lalu mendekat ke arah Noah. “Aku bilang itu hanya kemungkinan. Dia bisa saja masih terjaga karena menunggu seseorang untuk mengucapkan ‘selamat malam’ untuknya ....” Menyunggingkan senyum yang tak mampu diterka artinya, Jessie berlalu setelah berhasil mengubah pikiran Noah untuk pergi.

Dirinya yang semula ragu, kini tak lagi terlihat niat yang semu. Noah benar-benar berjalan menuju ruangan di mana di baliknya, mungkin gadis itu sudah terlelap nyenyak. Tapi meski demikian, dia masih bergerak membuka pintu gandanya perlahan.

Sun benar-benar sudah tertidur.

Dan Noah tetap berjalan mendekatinya, mendudukkan bokongnya perlahan ke pinggiran ranjang dan berusaha agar Sun tetap dalam lelapnya.

Noah tidak ingin melakukan apa-apa, dia juga tidak datang untuk tidur di samping gadis itu. Tapi ketika memandang wajah terlelap Sun yang damai dan tak terusik, dirinya enggan beranjak. Noah malah lebih lekat memandang raut tenang Sun dalam kebisuan.

Seperti sebuah maha karya pada umumnya, keindahan itu tetap bertahan dalam kondisi apapun. Bagaimana bisa si mentari tetap terlihat cantik tak tertandingi bahkan setelah bulan menggantikan cahayanya? Sun tetap tiada duanya, dia adalah satu-satunya cantiknya Noah, itu tidak bisa digeser oleh hal lain.

Noah mengangkat tangannya, berlabuh pada kulit halus Sun yang dia sentuh untuk pertama kali. Lukisan yang indah, ditorehkan di atas kanvas terbaik. Noah tidak bisa memungkiri hasrat ini, itu bergejolak dan tak bisa dia hentikan.

“Aku ingin kau mencintaiku seperti yang aku lakukan ....” ujarnya lirih, pada sosok yang tak akan bangun hanya untuk menjawabnya. Tangan lebarnya turun perlahan, berhenti saat menyentuh benda kenyal dengan rona merah persik itu. Noah tidak bermaksud kurang ajar, tapi bibir Sun yang cantik itu terlihat ratusan kali lebih cantik malam ini.

“Kau sangat indah ...,” dia berujar lagi, tak bergerak sesenti pun dari tempatnya saat ini, “seperti sebuah lukisan.”

Dia benar-benar berhenti.

Noah sekonyong-konyong menarik kembali tangannya, menjauh dari sana. Ketika mulutnya mengatakan kalimat itu, kembali muncul dalam kepalanya ucapan yang berbunyi sama.

Sun memanglah seindah sebuah lukisan, tapi apa memang seperti itulah Noah memandangnya? Noah hanya menganggapnya sebagai lukisan, sebagai benda ... yang mungkin bisa saja ia tinggalkan ketika ada lukisan lain yang lebih indah.

Apa ... Noah memang sejalang ini?

Pertanyaan itu membuat tangannya menjauh sejauh mungkin dari gadis yang terlelap di hadapannya. Noah mengalihkan tatapannya, pikirannya kembali kusut setelah mengingat ucapan Eliot.

Semakin kusut dan membuatnya berdenyut nyeri. Noah memegangi kepalanya. Dia terlihat menyedihkan saat ini. Tapi ia lihat kembali gadisnya yang tak bergerak barang sesenti.

Ah ... mau dilihat berapa kali pun, Sun tetaplah indah.

Karena itu, Noah tidak mungkin akan meninggalkannya, kan? Noah akan menjaganya sebagai harta paling berharga, kan?

Dan juga ... Noah tentu tidak mungkin merusak keindahan itu dengan tangan kotornya, kan?

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status