Share

Chapter 7 : Accidentally Dating


Sun dan Emma melanjutkan kegiatan jalan-jalan mereka di hari yang cerah.

Hari yang cerah membawa kebahagiaan bagi semua orang. Jalanan French Quarter sangat ramai pagi ini. Banyak orang melewati jalanan yang juga dilewati Sun dan Emma. Entah mengapa melihat kesibukan lautan manusia itu menjadi hiburan tersendiri bagi Sun dan Emma.

“Sun, kau harus melihat ini!” Sun belum selesai menikmati satu hal, dan Emma dengan sangat bersemangatnya mengajak Sun untuk melihat hal lain. Ketimbang Sun yang seorang pendatang baru di New Orlean, Emma yang menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tempat kelahirannya malah terlihat lebih bersemangat menelusuri pusat hiburan di kota itu.

Emma mengajak Sun untuk mengunjungi jalanan yang terkenal dengan deretan toko-toko yang menjual banyak hal. Tentu saja, karena French Quarter adalah jantung hiburannya New Orleans dan tentu saja tempat itu adalah tempat yang banyak didatangi wisatawan asing luar ataupun dalam domestik.

Bisa dibilang itu adalah pasar jalanan. Sepanjang jalan, Sun melihat banyak orang-orang menjual barang yang berbagai macam jenis juga namanya. Tidak seperti kampung halaman Sun yang harus pergi ke pusat kota untuk melihat hal-hal semacam ini, tempat ramai ini bahkan tidak seberapa jauh jaraknya dari mansion.

Sudah lebih dari setengah jam yang lalu, kedua gadis itu menjelajahi kesenangan yang tiada habisnya. Kaki mereka pun tidak mungkin merasa lelah, mata mereka sudah mengirim sinyal pada otak untuk menahan segala pegal yang ada jika itu memang ada. Karenanya, mereka sejak tadi berjalan tanpa lelah, melihat ini dan itu kendati belum ada satu barang pun yang dibeli. Mungkin alasan Emma yang keluar untuk membeli sesuatu itu adalah sebuah dusta, karena dia tampaknya seperti tidak ingat jika dia memiliki sesuatu untuk dibeli.

Sun tidak masalah dengan Emma yang terlalu bersemangat sampai melupakan tujuannya. Toh Sun pun sangat menikmati apa yang ia lihat di tempat itu.

“Kau suka tempat ini, Sun?” tanya Emma sembari sibuk melangkah ke sana dan kemari. Sun hampir tak sadar saat Emma menanyainya. Dia larut dalam kesenangan.

“Ah, iya. Aku sangat menyukainya, Nona Emma.” Mungkin juga Emma tidak menyadari jika Sun menjawabnya, sebab dirinya juga sama larutnya dengan Sun terhadap situasi menyenangkan ini.

Emma melanjutkan kegiatan cuci matanya, sementara Sun mendadak berhenti sebab netranya menangkap sesuatu yang menarik. Itu adalah hal yang sering ia lihat di tanah kelahirannya, membuatnya merasa bernostalgia dan merindukan sentuhan ibunya. Sun mendekati toko bunga itu, beberapa bunga yang ada di bagian depan menarik perhatiannya dan membuatnya memutuskan untuk melihat dari dekat.

“Selamat pagi, Nona. Kau ingin melihat sesuatu yang indah?” sapa penjaga toko yang keluar karena eksistensi Sun di sekitar barang dagangannya. Sun menegakkan tubuhnya yang semula merunduk untuk melihat-lihat bunga, dia lantas membalas senyum ramah wanita dewasa itu.

“Aku suka bunga,” tutur Sun tanpa bisa mengalihkan wajahnya dari warna-warni bunga berbagai jenis yang memenuhi toko itu. Semerbak harum dari bunga yang berbeda-beda jenisnya membuat aura di tempat itu seakan dipenuhi aroma menenangkan dari alam. Sun semakin betah berada di sana.

“Apa aku boleh melihat-lihat yang ada di dalam?” tanya Sun, dengan sopan meminta izin. Penjaga toko tentu saja membolehkannya, dan dengan ramah mengizinkan Sun untuk masuk. Sun melanjutkan kegiatannya dan melihat lebih banyak bunga di dalam. Dia merasa semakin kagum melihat bunga-bunga berjejer dengan rapi dan indah. Warnanya beragam, seperti pelangi.

Sun bahkan tak sadar jika dirinya sudah berpisah dari Emma sejak tadi, tapi dia tidak menyadarinya sebab terlalu asyik melihat-lihat bunga. Dia menghabiskan waktu untuk menikmati keindahan bunga dari yang sudah akrab dengannya, sampai bunga yang baru pertama kali Sun lihat. Dia kembali ke bagian depan toko dan masih tertarik untuk melihat bunga yang ada di sana.

“Apa Nona ingin saya buatkan karangan bunga?” tanya wanita penjaga toko pada Sun yang tatapan matanya seperti ingin memeluk seluruh bunga yang ada di sana dengan kedua tangannya. Sun terhenti sejenak dan berdiri dengan wajah bimbang.

“Bunga ...?” gumamnya sembari mengerutkan bibir, “aku tidak memiliki seseorang yang harus aku berikan karangan bunga hari ini,” lanjut Sun dengan polos. Penjaga toko itu merasakan kaku pada otot senyumnya.

“Haha ... kalau begitu, untuk Nona saja bagaimana? Memberikan hadiah ke diri sendiri itu salah satu cara untuk mencintai diri sendiri, lho ....” Sun mengerti jika itu adalah strategi penjual untuk membuat dagangannya dibeli, tapi Sun sungguh tidak ingin memiliki karangan bunga apapun untuk hari ini. Lagi pula, Sun bisa membuatnya sendiri. Jangan lupa jika Sun tumbuh besar dengan bunga-bunga di sekitarnya, merangkai bunga menjadi sesuatu yang lebih rapi dan menarik adalah makanannya sejak kecil.

“Mungkin jika kau bisa menunjukkan bunga bagus yang sekiranya tidak aku ketahui, aku akan membelinya untuk aku rawat sendiri di rumah, Nona Penjaga Toko.” Ucapan Sun sebenarnya hanyalah pengalihan saja, karena dia tahu jika dirinya pasti sudah mengenal segala jenis bunga di tempat ini kendati tidak semuanya sudah pernah ia temui. Sun hanya ingin menikmatinya saja, dan dia harap penjual itu mengerti apa keinginannya.

Tapi penjaga toko tidak menyerah begitu saja. Mendengar ucapan Sun membuatnya terasa seperti tertantang. Wanita yang berusia sekitar 25 tahun ke atas itu langsung menuju ke belakang Sun, tepatnya untuk mengambil sebuah tanaman yang tumbuh dalam pot gantung tepat di atas Sun membungkuk saat ini.

Saat hendak mengeluarkan pot tanah liat itu dari tali yang menggantungnya, tangan wanita penjaga toko tak bisa memegang pot itu dengan benar kendati ukurannya tak seberapa besar dari telapak tangannya. Sayang sekali, dia tak berhasil menangkapnya dan pot itu melayang jatuh menuju Sun yang ada di bawahnya.

Prang!

Suara keras yang mengejutkan sekitarnya, termasuk Sun yang sangat dekat dengan sumber suara. Dia tidak tahu apa yang terjadi, sebab sedari tadi netranya hanya tertuju pada kumpulan bunga yang cantik di sana. Dia tidak tahu jika pot keramik yang sudah pecah menjadi bagian-bagian kecil itu hampir membahayakan nyawanya. Belum sembuh rasa kejut akibat apa yang baru saja terjadi, Sun kembali dikejutkan kala ia mendapati Noah yang berdiri tepat di belakangnya, entah sejak kapan dia berdiri di sana dengan tangan yang terangkat sedikit ke atas kepala.

Sun berdiri perlahan dan berusaha mencerna situasi, sementara wanita penjaga toko yang tak kalah terkejut itu langsung mendekati Sun seraya mengulang kalimat maaf beberapa kali. “Nona, tolong maafkan saya. Saya benar-benar tidak bermaksud melukai Nona.”

Sun masih tampak bingung, dia melihat sekitar dan seharusnya percaya jika dirinya hampir dalam bahaya jika saja pot itu jatuh dan mengenai kepalanya. Tapi yang terjadi, dia baik-baik saja. Tanpa lecet sedikit pun meski dibuat terkejut dan bingung.

Sun melihat ke arah Noah yang juga menatapnya tanpa sepatah kata atau raut muka yang bisa menjawab kebingungannya. Sampai dia menyadari sendiri alasan mengapa pot itu tidak sampai mengenai dirinya, Noah menjawabnya tanpa perlu berbicara atau menunjukkannya. Sun melihat noda debu dan tanah di kemeja putih milik lelaki itu, tapi saat ia hendak menanyakan bagaimana keadaannya, dia dengan cepat ditarik mendekat dalam jangkauan si lelaki.

“Kau ingin membunuhnya?” tanya Noah dengan nada bicara yang dingin. Dia bahkan tidak terdengar seperti sedang bertanya. Dia seakan sedang mengancam hanya dengan sebuah tanya dan raut muka tak suka miliknya.

Wanita penjaga toko itu merasa takut dan merinding. Aura membunuh Noah sudah terlihat jelas bahkan tanpa perlu dirinya berkata banyak. Noah sudah jelas-jelas menunjukkan jika dirinya bisa menelan siapa saja yang mencoba mengusik miliknya, dan itu ia perlihatkan saat ini, tepat di hadapan seorang wanita yang sedang tak beruntung.

“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak sengaja ...,” ujar wanita itu dengan raut sesal yang dicampur ketakutan.

“Jika aku tidak datang tepat waktu, dia pasti sudah dalam keadaan yang bahaya saat ini!” Nada bicara Noah tak menunjukkan perubahan, dingin seperti biasa. Tapi Sun bahkan tahu siapa itu Noah Bellion yang sedang berdiri di depannya saat ini. Dia yang tak tahu apa yang bisa Noah lakukan di saat seperti ini, akhirnya tak memiliki pilihan lain selain membuat Noah tetap tenang.

Sun menarik kemeja Noah, berkata dengan lembut, “Sudahlah, dia sudah meminta maaf. Aku tahu dia tidak sengaja melakukannya.” Noah yang sebelumnya hendak melangkah, entah untuk apa, saat ini hanya bisa berdiri setelah Sun berkata demikian. Namun sorot mata yang mengerikan itu tak bergulir sedikit pun dari subyek tatapannya sejak beberapa menit lalu.

Sun tak ingin membuat kegaduhan, ataupun mengundang lebih banyak orang untuk melihat dirinya saat ini. Dia mendekati si wanita penjaga toko, lalu berkata, “Aku baik-baik saja, Nona. Tidak apa-apa ....” Dia mengatakannya sambil tersenyum, membuat Noah tak betah melihatnya dan segera menariknya untuk pergi dari sana.

Sun tidak mengatakan apa-apa sejauh Noah membawanya berjalan memecah kerumunan, dia juga tak memiliki alasan untuk memberontak. Sekitar dua meter mereka menjauh, Sun menahan Noah dan keduanya berhenti di pinggir jalan yang tak banyak dilalui orang-orang. Sun tidak ingin mengatakan apapun selain menanyakan tangan Noah. Meski dia tidak tahu persis seperti apa Noah memecahkan benda itu, atau yang Sun takutkan, pot itu jatuh mengenai tangan Noah dan itu pasti sakit.

Tapi saat hendak menanyakannya, lagi-lagi Noah menyela dengan cepat. “Kenapa kau ada di sini?” dia bertanya dengan raut tak berwarnanya, pasif dan kaku sekali.

Sun menghela napas singkat, lalu menjawabnya, “Aku berjalan-jalan sambil beradaptasi dengan kota ini.”

“Sendirian?”

“Aku bersama Nona Emma. Dia mengajakku pergi keluar sekalian jal—”

“Dan di mana dia sekarang?” Sun terdiam, baru sadar jika sejak tadi dia tidak bersama Emma.

“Aku tidak tahu jika aku sudah berpisah dengannya. Sejak kapan, ya?” ujar Sun dengan harapan Noah tidak akan memarahinya. Seharusnya Sun tahu jika Noah bukan tipikal orang yang marah dengan kata-kata, dia hanya akan diam sembari memandangi pusat kekesalannya dengan tatapan dingin dan angkuh. Dan hanya seperti itu saja, Sun bisa merasa merinding meski Noah tidak melakukan apa-apa dan hanya diam memandanginya sejak tadi.

Tak lama berselang, suara yang Sun kenali memanggilnya dari kejauhan. “Sun ...!” setengah berteriak, Emma mempercepat langkah dan menghampiri Sun. “Kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi ...,” tuturnya dengan raut cemas.

“Aku pergi untuk melihat-lihat bunga, Nona Emma. Maafkan aku.”

“Untuk apa kau meminta maaf?” Itu adalah Noah, menyela percakapan Sun dan Emma dengan kalimat sindiran yang tak berbelit-belit. “Dia yang mengajakmu, kan? Seharusnya dia menjagamu, dengan begitu kau tidak akan terpisah darinya. Dengan begitu kau tidak akan hampir celaka karena pot bunga yang hampir saja memecahkan kepalamu tadi!”

“Astaga ...!” Emma terkaget-kaget, tak menyangka jika Sun akan mengalami kejadian seperti itu ketika dia lalai dan terpisah darinya. “Sun, aku benar-benar minta maaf. Aku berjanji aku tidak akan mengulanginya, aku akan menjagamu di jalan-jalan berikutnya! Maafkan aku ....”

Raut Emma tampak jelas menggambarkan rasa penyesalan, pun dengan nada bicaranya. Sayangnya, kesalahan seperti itu terhitung amat besar di mata Noah, hingga lelaki itu tak kunjung menatap Emma dengan biasa dan terus memasang tatapan tajam yang mengancam itu pada Emma.

“Pastikan kau menjaganya dengan baik!” Noah bahkan menambahkan kalimat yang terdengar seperti kecaman itu tanpa belas kasihan, kendati Emma sudah meminta maaf dengan baik.

“Hentikan, Noah! Kau bisa menakutinya,” tutur Sun yang baru menyadari jika Emma terus meminta maaf sejak tadi.

Sun bukannya mengabaikan Emma. Dia hanya dibuat terpaku pada kalimat panjang yang baru saja Noah katakan. Sun pikir Noah tidak suka berbicara, jadi mendengarnya mengoceh sepanjang tadi membuat perut Sun jadi sedikit tergelitik. Itu lucu.

“Hei ... hei~ Apakah itu sopan, memarahi kekasih dari seniormu?” Suara lain menyentil rungu ketiga insan itu. Mereka serempak menoleh ke sumber suara, tiga respons berbeda diberikan atas presensi lain yang hendak memasuki interaksi mereka: Noah yang menyembunyikan rasa tak suka dengan mengalihkan tatapannya, Sun yang terus menatap dengan pandangan bingung sebab tak mengenal siapa sosok lelaki di depan sana, dan juga Emma yang tentunya akan langsung berseru riang dan berlari memeluknya.

“Draven!”

Sun baru mengetahui siapa sosok itu. Dialah Draven Missegrand, lelaki berusia 33 tahun yang terkenal sebagai pemilik wanita paling banyak di Kediaman Melrose. Alexa, Lucy dan Emma adalah contoh dari wanita-wanita kepunyaannya yang sebenarnya berjumlah tujuh.

Mengingat percakapan panjangnya dengan Emma pagi tadi, Sun memantaskan jika gadis dengan rambut bergelombang yang diikat satu itu langsung sumringah melihat Draven. Mereka sudah lama tak bertemu dan melepas rindu dengan pelukan adalah hal yang paling ingin dilakukan, kendati itu hanya normalitas saja sebagai dua partner bercinta.

“Apa kabarmu, Emma?” tanya Draven yang masih tak dilepaskan dari pelukan Emma. Gadis itu bermanja mesra selagi memeluk pinggang lelakinya, menatap wajah yang dipuja dengan segenap cinta.

“Aku baik dan sangat baik setelah melihatmu,” jawab Emma, membuat Noah yang mendengar makin betah memandangi hal lain selain apa yang ada di depannya.

Draven yang menyadarinya, lantas melonggarkan sedikit pelukan Emma agar dirinya bisa mendekati Noah. “Kau terlihat tidak suka sekali setelah aku tegur, Tuan Muda Bellion? Padahal kau yang salah,” ujar Draven sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Noah. Mau tak mau, lelaki dengan tubuh kurus itu harus membalas tatapannya, meski tatapan itu seperti tak bisa dirubah.

“Siapapun dia, aku tidak bisa melihatnya memperlakukan sesuatu yang aku punya dengan seenaknya.” Jawaban berani Noah melayang seperti biasa, menantang hasrat bersaing yang alamiah dirasakan oleh Draven.

Lelaki dengan berewok tipis itu mendekatan wajahnya pada Sun, membuat Sun seketika mundur. Tak sampai di sana, Draven lantas menyentuh pipi gadis itu sampai membuat yang punya mendelik tak suka. Noah tetap diam, jadi Draven semakin gencar mengerjainya.

“Jadi, kau gadis itu, ya ...? Alasan mengapa para petinggi Little Boy harus terlibat dalam masalah merepotkan ....” Draven kini menyentuh kepala Sun, membuat Noah semakin kesal melihatnya. Cukup sampai lelaki itu seenaknya menyentuh kepunyaannya, Noah tidak ingin dia bicara lebih banyak tentang hal yang tak perlu didengar Sun.

Maka dari itu, sebelum Sun bertanya, Noah melepaskan tangan Draven dari gadisnya dengan kasar. “Pergilah berkencan dan tinggalkan kami.” Melihat wajah kesal Noah, meski tak berbeda dari ekspresi yang biasa dia tunjukkan, tetap saja itu membuat Draven merasa senang.

“Haha, lucu juga melihatmu bertingkah seperti manusia, Noah Bellion!” ujar Draven selagi bergegas mengajak Emma untuk pergi.

“Sun, sepertinya aku harus berkencan dulu dengan Draven. Karena Noah sudah ada di sini, kalian juga bisa sekalian berkencan. Aku pergi dulu!” Sesaat setelah Emma melambai, maka berpisahlah mereka berdua untuk melakukan kencan masing-masing.

Tapi sepertinya, tidak ada kencan lagi setelah ini. Sun dan Noah hanya berdiri, diam dalam kecanggungan. Noah sepertinya tidak merasa canggung, maka masalahnya memang ada di Sun yang kelewat bingung harus mengatakan apa untuk menghentikan keheningan mereka.

Sun tak perlu berkicau apa-apa. Sesingkat dengan ucapan, “Ayo,” dari Noah dan membuatnya kembali bisa bergerak normal setelah dibuat membatu canggung beberapa saat.

Ketika langkahnya berusaha menyejajarkan, barulah suara itu keluar dengan sendirinya. “Noah, apa maksud dari ucapan Tuan Draven tadi?”

“Panggil dia Draven saja.”

“Ah, baiklah. Tapi aku tidak tahu maksud ucapannya yang mengatakan kalian terlibat dalam masalah merepotkan karena diriku. Apa itu benar?”

Noah membalasnya dengan keheningan, kendati berulang kali Sun mencoba untuk menanyakannya. Sun yang dihantui rasa kesal setelah diabaikan, memberanikan diri berlari dan menggenggam tangan Noah untuk yang pertama kali.

“Noah, berhenti!”

Noah benar-benar berhenti. Tak peduli akan nyeri yang menjalar akibat rangsangan dari sentuhan, dia berhenti karena suara yang memanggilnya adalah milik Sun.

Melalui genggaman itu juga, Sun meminta Noah untuk menghadap dirinya. “Kau terus memotong ucapanku setiap kali aku akan menanyakannya. Aku hanya ingin tahu, apakah tanganmu baik-baik saja atau tidak ....” Sun menarik tangan yang digenggamnya untuk dia lihat lebih dekat, ada memar kemerahan di punggung tangannya dan beberapa luka goresan kecil yang membuat Sun menatap dengan khawatir. Tangan Noah jadi terluka pasti karena melindungi Sun agar tidak terkena pot yang jatuh tadi.

Sun mengedarkan pandangannya, lalu menemukan sebuah toko di dekat mereka berdiri. “Kau di sini saja, aku akan segera kembali,” ungkapnya pada Noah tanpa mengizinkan lelaki itu untuk membalas. Dia segera berlari ke seberang jalan, tempat toko kecil berdiri yang dia kunjungi hanya untuk sebuah salep dan plester.

Setelah mendapatkan apa yang ia mau, dirinya segera kembali ke hadapan Noah yang masih berdiri di tempat semula, menunggu kedatangannya. “Apa ada luka lain di tanganmu?” tanya Sun dengan niat langsung mengobati jika ada luka lain di tangan Noah.

Tapi saat dirinya hendak menyingsingkan lengan kemeja Noah, lelaki itu dengan cepat menarik tangannya tanpa sepatah kata atau aba-aba. Dia membuat Sun terkejut namun tak segera mengatakan alasan.

“Baiklah, aku tidak akan menyentuhmu lebih banyak dari ini,” ucap Sun lalu menarik kembali lengan kanan Noah hanya untuk memberikan salep dan plester yang dibelinya tadi. “Aku tahu kau mungkin akan dengan kerennya berkata jika lukamu itu bukan apa-apa, tapi karena kau terluka untuk melindungiku, aku tetap harus bertanggung jawab! Setidaknya sekali saja, pakai ini.”

Noah tak menanggapinya dengan aktif. Dia hanya diam sembari memandangi Sun, dan apa yang akan dilakukan gadis itu selanjutnya. Hal itu membuat Sun jadi merasa risi, sebab dirinya tahu jika tidak ada lagi hal yang ingin dan perlu dia bicarakan dengan Noah. Keadaan kembali hening, dan menjadi canggung bagi Sun.

Semilir angin yang berembus di hari cerah itu, terdengar jelas tanpa diganggu eksistensi kendaraan yang kebetulan sepi. Sun dapat mendengar, keberadaan makhluk hidup lain seperti serangga, hadir untuk menertawakan kecanggungannya. Rasanya tidak nyaman sekali, mengapa harus Sun yang merasakan rasa canggung ini sendiri sementara Noah malah dengan santainya menyulut rokok di samping sang gadis.

Entah karena bosan dengan sepinya suasana atau apa, Sun tiba-tiba saja memiliki sesuatu untuk dikatakan. Tak ragu lagi ia bersuara, menyita atensi Noah yang kini beralih menujunya. “Nona Emma tampak senang sekali saat bertemu Draven ....”

Noah hanya meliriknya, namun telinga lelaki itu siap mendengar apa saja yang akan Sun katakan.

“Dia mungkin tidak merindukannya, tapi rasa bahagia itu terlihat jelas saat dia melihat Draven.”

“Dia senang karena tahu dirinya masih dibutuhkan dan tidak akan dibuang.” Bahkan ketika Sun memulai perbincangan dengan baik, Noah masih menemukan celah untuk mencibir Emma.

Sun mengabaikannya dan lanjut berbicara. “Entahlah ... mungkin kau benar. Tapi aku bisa memahaminya, perasaan senang karena masih dibutuhkan.”

Berbeda dengan kalimat sebelumnya yang masih bisa ia dengar sembari menikmati putungan rokok itu, kali ini ucapan Sun membuat Noah terdiam dan hanya menatapnya. “Apa maksudmu?”

“Karena semua terjadi begitu cepat dan membingungkan, aku baru sadar jika ini adalah pertama kali kau bertemu dan berbicara padaku setelah satu minggu menghilang tanpa kabar. Aku mulai merasa resah untuk hal yang tidak ingin aku pikirkan, dan kau datang hari ini. Meski tanpa terduga dan direncanakan sama sekali, tapi aku senang kau menemuiku.”

Itu mengalir begitu saja. Kata-kata yang mungkin akan membuat Sun mual jika dipikirkan dua kali. Tapi untuk saat ini, hanya itu saja hal yang berputar dalam kepalanya. Kalimat yang disusun dengan baik, sesuai apa yang hatinya katakan.

Sun merasa lega, karena Noah kembali menemuinya.



-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status