Share

Chapter 8 : Heart Attack

Noah terdiam lama, bibirnya rapat mengatup seakan ada yang merekatkannya. Memang ada, dan itu adalah ucapan Sun yang barusan dilontarkan kepadanya.

Gadis dengan surai pirang emasnya itu masih lekat menatap Noah, pun dengan Noah yang melakukan hal serupa. Keduanya bahkan mungkin tak menyadari jika banyak detik berlalu hanya untuk melakukan kontak mata yang tidak tahu apa maksudnya.

Sun menjadi yang paling pertama menyadarinya. Dia tidak tahu mengapa ia dan Noah saling beradu pandang untuk waktu yang lama. Setelah ucapannya, Noah tak lagi mau berkata.

Dia tahu jika Noah sangat irit bicara, tapi tidak bisakah dia membuka sedikit saja mulutnya untuk merespons ucapan Sun? Atau hanya berikan Sun gumaman saja agar apa yang baru saja dikatakan gadis itu tak terdengar seperti sesuatu yang aneh sampai tidak perlu diberikan respons. Sun jadi merasa sangat malu dan canggung.

Tapi itu tak berlangsung lama kala ia mulai berpikir, Noah mungkin saja terdiam karena sedang memikirkan hal lain yang sebenarnya tidak menjadi tujuan Sun berkata demikian. “No-Noah, kau tidak berpikir yang aneh, kan?” tanya Sun pada akhirnya.

Noah menjawab dengan raut sedatar benang yang tertarik lurus. “Memang apa yang seharusnya aku pikirkan?”

Ditambah dengan pertanyaan berbalik yang seperti itu, Sun jadi makin malu untuk menatap Noah. Jelas saja lelaki itu tidak akan memikirkan apa yang Sun pikirkan. Memangnya siapa itu Noah Bellion? Dia hanya lelaki berwajah dingin yang mungkin tidak memiliki setitik pun emosi dalam hatinya.

“Aku hanya tidak mau saja kau berpikir kalau aku menyukaimu karena ucapanku tadi.” Sun membalasnya dengan tegas, menahan malu dan menutupinya dengan berpura-pura tidak masalah dengan ucapan Noah. Ya ... dia benar-benar tidak mau membuat Noah berpikir kalau dia menyukai lelaki itu.

Noah melirik ke arah lain, Sun langsung memandangnya dan berusaha menebak apa yang akan lelaki itu katakan selanjutnya dengan membaca ekspresi wajahnya. Tapi sayang sekali, ekspresi Noah selalu tidak terbaca karena hampir tidak ada emosi di dalamnya. Dia benar-benar lelaki yang misterius!

Benar saja, Sun tidak bisa menebak isi pikiran Noah maupun dengan apa yang akan dilakukan lelaki itu. Noah memutar balik dan mulai berjalan meninggalkan Sun, bahkan tanpa sepatah kata sekadar ‘ayo’ untuk mengajak Sun berjalan bersamanya.

Sun melangkah, menyusul Noah. “Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu,” ujar Sun disela langkahnya.

Noah tampak tak acuh dengan menjawab, “Aku tidak punya banyak waktu.” Dia melanjutkan langkah jenjangnya dengan dingin, Sun mengerutkan bibirnya tapi tak berhenti menyejajarkan langkah miliknya dan Noah.

“Sebenarnya, apa kegunaanku di sini?” Pertanyaan Sun mungkin saja tak bisa membuat Noah berhenti melangkah, tapi itu sanggup membuat lelaki berambut coklat itu kehilangan fokusnya.

Dia bertanya, “Kenapa bertanya seperti itu?” pada Sun.

“Kau tidak terihat menyukaiku, juga ... bukannya aku ini adalah harga tebusan yang ayahku bayarkan padamu? Kata mereka, seharusnya gadis sepertiku berakhir dijual ke dunia malam atau diperbudak. Tapi kau tidak melakukannya padaku.”

“Kau sangat ingin mendengarnya?” Noah memberi Sun pertanyaan, yang tak mampu gadis itu cerna dengan baik. Dia terlihat bingung, itu membuatnya menyendat langkah dan berhenti.

“Maksudmu?” tanya Sun, tak mengerti.

Noah berhenti melangkah. Dia berbalik arah dan menatap Sun dari jarak tujuh langkah. “Kau sangat ingin mendengarku mengatakan kalau aku menyukaimu?”

Sun membisu, netra birunya membulat lebar kala ia mendengar ucapan Noah. Tidak ... itu tidak berbahaya, seharusnya. Tapi Sun sama seperti gadis lainnya, yang bisa merasa sangat gugup hanya dengan pertanyaan yang mungkin saja tidak diniati oleh pelontarnya.

Oke ... tidak masalah. Sun hanya perlu bersikap tenang dan semua akan baik-baik saja.

“Ha? Aku tidak mengatakan itu!”

“Kau memang tidak mengatakannya, tapi terus menyinggungnya dengan halus.”

“Jangan salah paham, Noah. Aku—”

“Kau milikku, Sun.” Sun hendak meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Tapi saat kakinya akan melangkah, itu dihentikan lagi dengan ucapan singkat dari Noah. “Aku ingin kau ada di sampingku dan patuhi itu, karena kau milikku.”

“A-apa itu sebuah perintah.”

“Iya.”

Noah melanjutkan langkahnya, disusul Sun yang kini sejajar dengannya. Gadis itu berkata, “Kalau begitu, aku akan membayar utang yang ayahku miliki padamu.” Noah mengalihkan matanya, menatap Sun yang tampak amat yakin dengan apa yang dia katakan.

“Kenapa?” tanya Noah.

Sun membalas tatapan lelaki itu, kemudian dia tersenyum lebar. “Karena aku tidak suka diperintah oleh orang jahat sepertimu,” selorohnya, tapi mampu hentikan waktu yang Noah punya.

Sejak awal Noah Bellion mengerti dengan sangat, bahwa sosok Sun Fleurry McRay memanglah indah dan sulit untuk ditampik. Itu mengingatkannya pada tiga tahun lalu, saat dia pertama kali melihat Sun di sebuah ladang bunga berwarna kuning.

Sama seperti waktu itu, Sun juga tersenyum lebar seperti saat ini. Iris birunya yang diterpa sinar sang surya, tampak seperti batu mulia yang berkilau. Senyumnya manis sekali, dan tulus tanpa paksaan. Rambut pirang keemasannya menari saat angin menerpa, menambah kesan dramatis seperti yang ada di film-film romansa.

Sosok Sun sangatlah indah, Tuhan memahatnya dengan sempurna. Terpaan sinar surya seperti lampu gantung yang melatari hadirnya dia dalam panggung yang megah, sebuah opera dengan Noah sebagai penonton setianya.

Kecantikan yang menyihir itu tanpa sadar menggerakkan tangannya, menyentuh wajah sang hawa yang dijawab oleh perasaan terkejut. Sun terdiam, membiarkan Noah menyentuh wajahnya dengan elusan geli.

“No-Noah ...?” Lagi, Sun merasakannya. Sensasi asing yang membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya sedikit tak beraturan. Entah mengapa meski itu menyakitkan, dia membiarkannya begitu saja. Merelakan degupan gila itu menyakiti dadanya, membiarkan Noah menyentuh pelipis sampai leher telanjangnya.

Butuh waktu cukup lama bagi Noah untuk menikmati indahnya sosok Sun. Jika memang saat ini dia dikendalikan oleh sihir, maka rasanya ia bersedia dengan senang hati digerakkan ke sana kemari. Tapi itu tak berlangsung lama, karena setelah ia tersadar, dia segera menjauhkan tangannya dari Sun.

Sun pikir sebentar lagi akan ada adegan yang biasa dilakukan para pemeran utama dalam film romansa. Tapi nyatanya, sekarang ini Noah sudah berjalan menjauhinya.

Oh tidak ... apa ini? Apa Sun baru saja tersihir hingga dia membiarkan dirinya disentuh oleh Noah begitu saja? Jika memang sihir, apa degupan bak pacuan kuda ini adalah efek sampingnya?

Tidak bisa ... Sun tidak bisa menyebut situasi ini baik-baik saja. Dia hampir dibuar goyah hanya dengan sentuhan lembut yang entah tulus atau tidaknya itu. Sun seharusnya bisa menahan diri dan menjauh, tapi dia malah diam saja seakan dia juga menikmati sentuhan Noah terhadap dirinya.

“Jika aku jatuh cinta, maka aku tidak akan bisa meninggalkannya,” tutur Sun dengan ekspresi serius.

Menyadari Sun yang sejak tadi belum menyusulnya, Noah berhenti dan memanggil gadis itu. “Jangan diam saja di sana atau pulang sendirian,” ujarnya setengah mengancam. Sun mengembalikan fokusnya, lalu menyusul Noah dan mereka berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir agak jauh dari tempat mereka berbincang terakhir kali.

Noah menyalakan mesin, bergegas pergi dari area French Quarter. Di awal perjalanan, Sun bertanya, “Kau ada urusan apa ke sini?” pada Noah yang sedang fokus mengendarai mobil mewah berwarna hitam miliknya.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat.”

“Apa itu termasuk pekerjaanmu?”

“Tidak. Aku senggang hari ini, karena itu aku pergi untuk urusan pribadi. Tapi aku melihatmu di pasar jalanan, terlihat senang sekali bahkan tidak akan sadar jika seseorang datang untuk menculik.”

Sun mengerutkan bibirnya lagi. Ucapan Noah itu irit, tapi terkadang terdengar pedas dan menguras emosi. Untunglah Sun bukan tipe orang yang mudah terpancing emosi, sehingga tak masalah baginya untuk membalas ucapan ketus dengan hal yang serupa.

Kali ini dia kembali mengabaikannya, tidak mengambil hati. “Aku hanya sangat senang bisa melihat-lihat kota ini. Kota yang sangat indah dan banyak hal menarik di dalamnya.” Noah tidak menanggapi, dia hanya melirik Sun dengan ekor matanya, lalu kembali fokus menyetir.

Tidak banyak hal yang ingin Noah katakan pada gadis di sampingnya, bahkan setelah seminggu berlalu dan tidak ada lagi percakapan antara keduanya. Jika ada, itu mungkin hanya sebuah tanya yang terdengar basi seperti ‘bagaimana keadaanmu?’.

Namun, Noah bahkan tak perlu membuka mulutnya. Dia bisa pergi dan memastikan Sun baik-baik saja dengan mata kepalanya sendiri, ya ... meski itu sama sekali tidak ada dalam daftar rencananya untuk hari ini.

Lumayan lama keheningan mengukung mereka, perjalanan pun sudah berjalan beberapa menit. Tapi Sun terlihat menikmatinya, senyum yang secara diam-diam Noah perhatikan dengan lirikan dinginnya. “Kau tidak akan bertanya ke mana aku akan membawamu?” Sampai akhirnya Noah sendiri yang bertanya. Dia mengalihkan atensi Sun yang semula fokus pada pemandangan di luar kaca.

“Tidak.”

“Memang kau tahu ke mana aku akan membawamu?”

“Ke tempatmu pergi, kan?” Noah mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan jalan pikiran Sun.

Alih-alih berpikir dirinya akan diantarkan menuju mansion, Sun justru yakin dirinya akan dibawa Noah menuju tempat yang lelaki itu tuju. Noah jadi sedikit cemas. Sun pasti bisa ditipu dengan mudah jika ada seseorang yang datang untuk menculiknya.

“Kenapa kau sangat yakin aku akan membawamu pergi ke tempat tujuanku? Kau bahkan tidak tahu apakah aku akan pergi untuk makan atau membunuh orang.”

Sun merinding mendengar ucapan Noah barusan. “Ah ... hari ini cerah sekali, kau seharusnya tidak merusaknya dengan kalimat sesuram itu,” ucap Sun, menasihati. Noah tak acuh dengan tidak mengalihkan tatapannya.

Sun menghela napas, entah kenapa dia merasa sedikit senang karena bisa menasihati Noah. Dia tersenyum simpul sembari kembali memandang jalanan. “Satu minggu berlalu tanpa saling bertemu, mungkin saja selama itu kau sangat sibuk. Tapi setelah kau memiliki hari senggang, kau bahkan tidak berniat untuk menemuiku.”

Lirihan itu terdengar jelas di telinga Noah, yang akhirnya membuat lelaki itu memandang Sun di sela fokusnya menyetir. Gadis itu tidak mau memperlihatkan wajahnya, dia hanya memandangi jalanan tanpa sedikit pun bergeser—setidaknya agar suaranya bisa jelas didengar kalau saja dia memang berniat mengungkapkan itu pada Noah.

Tapi tampaknya, dia tidak berniat untuk membuat Noah mendengarkan keluhannya. Dia sengaja tidak duduk dengan benar, agar suara gumamannya terdengar samar dan tidak seberapa jelas. Noah akan menganggap hal yang agak serius itu sebagai angin lalu.

“Kau ... setidaknya harus menemuiku, kan? Kau membuatku merasa seperti anak yang ditelantarkan di kota sebesar ini, bahkan orang tuaku tidak pernah melepaskan tanganku di sebuah lubang sekalipun.”

Noah memusatkan fokusnya pada jalanan. Setengah jam baru saja berlalu tapi keduanya tak lagi terlibat percakapan. Sun terdengar menggumamkan hal lain seperti memuji kebersihan kota, atau mengagumi keindahan jalanan. Sementara Noah memilih untuk berpura-pura tidak mendengar ocehan panjang Sun tadi.

Dalam diamnya, ia memikirkan itu. Sun membutuhkan kehadiran Noah, bukan untuk maksud lain, tapi karena Noah yang membawa gadis itu ke kota besar ini—seharusnya Noah tidak mengabaikannya seperti yang dilakukan Noah seminggu ini.

Noah tahu kalau Sun pasti berpikir jika Noah tidak mungkin melakukan misi sampai membutuhkan waktu seminggu. Noah tahu jika dalam tujuh hari yang sudah berlalu itu, selalu ada saat di mana Sun meragukan Noah dan akhirnya, gadis itu berpikir dirinya telah dicampakkan.

Iya ... itu memang terjadi, Sun sudah mengatakannya tadi. Dia mulai mencemaskan hal-hal yang tidak perlu, maksudnya adalah: dia mulai berpikir kalau Noah akan membuangnya.

Noah tidak merasa bersalah, dia yakin akan perasaannya. Tapi entah mengapa itu terasa berjalan di arah yang bertolak belakang. Dia merasa berat, tidak nyaman dan terus menyayangkan keraguan Sun akibat tindakannya.

Tentunya Noah memang tidak butuh waktu selama itu dalam menjalankan misinya. Dia berbohong jika hari ini adalah hari pertamanya senggang setelah seminggu lalu disibukkan oleh pekerjaan. Tapi mengapa Noah memilih untuk tidak mengunjungi Sun?

Bukan maksudnya untuk membuat Sun merasa dicampakkan. Noah hanya berpikir kalau Sun tidak menyukainya. Ya ... itu memang benar. Maksud tidak suka di sini karena Noah bukanlah orang baik yang akan memberikan kesan yang baik di pertemuan pertama mereka. Kita semua tahu, Noah bahkan membunuh dua orang di hari pertamanya bertemu Sun.

Dia tidak pernah berpikir kalau Sun sebenarnya menunggu kedatangan Noah, meski itu sekadar untuk memastikan kalau dirinya tidak dicampakkan si lelaki.

“Jika kau mau ... kau boleh menghubungiku lewat ponsel.” Tiba-tiba Noah berkata demikian, membuat Sun sedikit terkejut dan bingung.

“Tiba-tiba?”

“Hanya agar kau tidak merasa kalau aku sengaja membuangmu ke tempat itu,” jawab Noah, dia memasuki area parkir sebuah gedung yang tampak tua namun masih terawat dengan baik. “Jika itu dirimu, sesibuk apapun akan aku angkat.”

Noah sama sekali tidak mau menatap Sun ketika dirinya berkata demikian. Sun tidak mengerti maksudnya, tapi dia memahami ucapan Noah dengan baik. Itu lebih baik ketimbang merasa cemas setiap hari.

Sebenarnya, Sun memang ingin menghubungi Noah lewat ponsel yang lelaki itu berikan, tapi keraguan terus datang hingga akhirnya dia berakhir menyimpan kembali ponselnya seharian. Mungkin benar jika kecemasan Sun karena dia terus memikirkan hal yang tidak penting.

Setelah mobil benar-benar berhenti, Noah bergegas keluar dan membukakan pintu untuk Sun. Gadis itu keluar dan melihat gedung apa yang Noah datangi, apa Noah benar-benar membawanya untuk membunuh orang?

“Museum?” tanya Sun ketika membaca nama gedung yang terpampang besar dan jelas di depannya. “Kau ke sini untuk membunuh orang?”

“Apa kau benar-benar berpikir aku membawamu untuk melihatku membunuh?”

“Iya ...,” jawab Sun dengan nada ragu yang panjang.

Noah menghela napas, membenahi mantel panjang berwarna hitam miliknya. “Aku tidak akan membunuh orang di depanmu,” tuturnya lalu melangkah keluar dari parkiran itu melewati banyaknya mobil yang ada di sana.

Ucapan Noah barusan membuat Sun ingin tertawa keras. Noah bilang tidak akan membunuh orang di depan Sun, tapi tidakkah dia ingat apa yang dilakukannya di hari pertama mereka bertemu? Sun tidak mengerti sama sekali.

Ya ... tidak penting memikirkan itu sekarang. Dia menyusul Noah dan berjalan bersamanya memasuki gedung museum itu. Ada banyak mobil terparkir dan keadaan sekitar juga ramai, apakah ada sesuatu yang spesial hari ini?

“Ada acara apa di sini?” tanya Sun, Noah tak menjawabnya dan hanya berjalan saja sampai memasuki sebuah ruangan di mana pameran lukisan sedang dilakukan.

Ah ... Sun baru ingat, sepertinya Noah menyukai seni lukis jika mengingat percakapan mereka di mobil di hari pertama Sun datang ke New Orleans. “Kau sangat menyukai lukisan, ya ...?” tanya Sun, dan Noah lagi-lagi tidak menjawabnya.

Dia ingat, Sun pernah bertanya seperti itu sebelumnya. Dia seharusnya sudah tahu kalau Noah menyukai lukisan tanpa perlu bertanya seperti orang bodoh. Itulah mengapa Noah mengabaikannya dan lanjut melihat-lihat lukisan.

“Aliran lukisan seperti apa yang kau sukai?” tanya Sun, kembali menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang dia lontarkan di hari itu. Noah bahkan masih mengingatnya dan sudah menjawabnya hari itu juga. Kali ini, Noah juga akan mengabaikan saja pertanyaan Sun.

Tentu saja itu membuat Sun jadi sedikit kecewa. Apa salahnya menanyakan pertanyaan yang sama? Kendati Sun tahu dia sudah pernah menanyakan itu, setidaknya Sun hanya ingin mencairkan keheningan antara dirinya dan Noah.

Ketika Noah akan beralih melihat lukisan lain, Sun menarik ujung lengan mantelnya. Lelaki itu berhenti dan melihat wajah suram Sun di belakangnya. “Tolong respons aku,” ucap Sun, lebih terdengar seperti perintah ketimbang permintaan.

“Apa itu perintah?” Noah membalikan pertanyaan yang sama dengan yang Sun ucap tadi. Gadis dengan iris berwarna biru itu mengerutkan keningnya.

“Aku tahu kau irit bicara, tapi setidaknya berilah respons untuk orang yang sedang mengajakmu bicara. Jangan perlakukan mereka seperti patung! Kau bisa membuat mereka kesal, tahu!?”

“Aku tahu,” jawab Noah singkat, tanpa memandang lawan bicaranya. Hal itu membuat Sun kembali menarik napas dengan berat lalu mengembuskannya dengan singkat.

“Kalau begitu, aku akan melihat-lihat yang lain sa—” Sun baru akan melangkah meninggalkan Noah, tapi itu tidak terjadi sebab tangannya lebih dulu digenggam. Dia tertahan di tempatnya semula.

“Jangan menjauh dariku,” titah Noah, tampak tak ingin merenggangkan genggamannya barang sedikit, “itu jelas-jelas sebuah perintah, jadi jangan menanyakannya!” timpalnya kemudian dan langsung membuat Sun yang semula akan bertanya demikian, jadi mengatupkan mulutnya kembali. Seperti Noah bisa membaca isi pikirannya.

Selama kegiatannya melihat-lihat lukisan yang ada di pameran itu, Noah sama sekali tidak melepaskan Sun. Padahal jika dilepaskan pun, Sun tetap akan berjalan di dekatnya. Sun tidak bisa melakukan hal lebih selain mengikuti ke mana Noah akan membawanya.

Noah fokus memperhatikan lukisan-lukisan, sementar Sun dalam diam memperhatikannya.

Noah Bellion benar-benar sangat tenang, saking tenangnya sampai masuk kategori dingin. Dia tidak berkomentar sama sekali pada lukisan yang dia lihat sejak tadi. Rautnya juga bersih dari emosi, Sun jadi tidak bisa menebak apa tujuan Noah datang ke tempat ini sebenarnya. Apakah hanya untuk melihat-lihat sebagai pelayanan untuk matanya? Atau untuk mencari satu yang menarik yang bisa dibeli ....

Oh! Atau jangan-jangan, Noah tidak datang untuk melihat-lihat atau membeli? Melainkan langsung membawanya pergi dengan kata lain ... mencuri?

“Noah, apa kau kemari untuk mencu—” Belum selesai pertanyaan itu diucapkan, Sun dibuat tersentak kala Noah mengajaknya untuk mendekati sebuah kerumunan. Sun melihat kerumunan apa itu dengan seorang lelaki di atas sebuah mimbar sebagai pusatnya. “Apa ini? Pelelangan?”

“Iya,” jawab Noah dengan singkat. Sun pikir dia akan berakhir dijawab oleh keheningan lagi, tapi ternyata Noah menjawabnya. Atau Noah sedang tidak sadar saja?

Mereka memutuskan untuk menonton, Noah juga berpikir jika menonton—mungkin ada lukisan yang bisa menarik perhatiannya. Tapi beberapa lukisan telah selesai dilelang, dan Noah masih belum bisa tergugah oleh satu pun yang ada. Sementara Sun, dia tampak sangat menikmati pelelangan dan keseruan kala orang-orang berebut untuk menawar lukisan itu dengan harga yang paling tinggi dari para saingan.

Sampai ketika Sun melihat lukisan baru yang akan dilelang, mulutnya tanpa sengaja berbunyi, “Ah ... itu indah sekali!” Dia membuat Noah langsung memfokuskan matanya pada lukisan itu.

“Kau menyukainya?” tanya Noah, dan Sun menganggukinya. Sun tidak berbohong. Dari semua lukisan yang sudah dipajang, lukisan dengan aliran romantisme itu terlihat paling berkesan di matanya.

Tapi Sun benar-benar tidak menyangka jika ucapan yang dikeluarkannya tanpa pertimbangan lebih itu akan membuat Noah memasuki arena pelelangan sebagai peserta. “Noah!” panggil Sun. Sungguh, dia hanya asal bicara karena memang itulah yang dia pikirkan. Dia sama sekali tidak berpikir untuk meminta Noah memenangkan lelangan itu untuknya.

Tapi Noah .... “Aku ingin lukisan itu,” ujarnya dengan mantap, tak mau digugat. Pemimpin pelelangan terlihat bingung akan ucapan dan tindakan Noah yang tiba-tiba, apalagi Noah sama sekali tidak terdaftar sebagai peserta.

“Ta-tapi, Tuan ... anda bukan peserta pelelangan ini.”

“Berikan aku harga tertinggi yang mampu ditawar orang-orang ini, aku menunggu.” Ucapan Noah yang seakan menyombongkan kemampuannya itu membuat banyak orang mulai mencibir, mereka juga menghadiahi Noah dengan tatapan sinis. Noah mungkin tidak memikirkannya, tapi lihatlah orang yang menjadi alasan mengapa Noah melakukan ini semua.

Sun sangat malu.

“Baiklah ...,” ujar lelaki yang memimpin pelelangan itu. Lukisan itu mulai mendapat penawar pertama, lalu penawar lainnya mulai mengangkat tangan dengan tawaran yang lebih tinggi. Rupanya banyak juga yang menginginkan lukisan itu. Wajar saja, Sun juga mengakui kalau lukisan itu memang pantas diperebutkan banyak orang karena keindahannya.

Tawaran paling tinggi berhenti pada harga 129 ribu dolar. Saat ini tatapan mereka tertuju pada Noah, seakan menunggu lelaki sombong itu memberikan tawarannya.

“Aku menawarnya dengan harga 500 ribu dolar.” Seluruh orang di sana terkejut, tak terkecuali Sun yang langsung menarik lengan mantel Noah.

“Apa yang kau lakukan, Noah?” Sun tentunya tahu jika 500 ribu dolar bukanlah uang yang sedikit, hingga Noah bisa dengan mudahnya mengeluarkan nominal itu hanya untuk Sun yang sebenarnya hanya asal bicara. Dia mulai merasa tidak enak dan berusaha menghentikan Noah, tapi lelaki itu menolak mendengarkannya.

Sampai pada akhirnya, penawaran disepakati. Lukisan itu menjadi milik Noah, bukan, milik Sun.

“Noah ....”

“Ayo pergi dari sini.”

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status