Share

Chapter 6 : What Is Love?

“Apa kau sadar dengan apa yang kau tanyakan barusan, Sun?”

Sun menatap resah, khawatir ucapannya akan membuat Emma marah dan merasa tersinggung. “Maaf, Nona. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu,” ujarnya dengan panik dan berharap Emma tidak terlanjur salah paham akan ucapannya. Tapi kecemasan Sun tak berarti saat tiba-tiba saja Emma tertawa.

“Hahaha ...!”

Suara tawa itu membuat Sun memasang wajah bingung. Bukan hanya ekspresi belaka, dia benar-benar bingung saat ini.

Emma, selaku dalang dari suara tawa yang lepas itu pun berkata, “Tentu saja aku sangat senang, Sun!” Butuh waktu beberapa detik sampai Emma benar-benar berhenti tertawa. Sun tidak tahu di mana letak lucunya sampai gadis yang berusia tak jauh darinya itu tertawa terpingkal seperti ini.

Setelah Emma selesai tertawa, dia diam sejenak. Emma mengambil napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Bukankah menyenangkan rasanya kalau punya banyak uang?” tanya gadis itu pada Sun yang terdiam tak mengerti maksud dari pertanyaan barusan.

“Apa tidak masalah berjalan-jalan sambil mendengarkan ceritaku?” Emma kembali bertanya, menanyakan apa Sun keberatan jika nantinya Emma akan sedikit bercerita tentang hidupnya atau tidak. Karena bagi Emma, kedatangan Sun sama dengan kabar baik karena usia mereka yang tak jauh berbeda itu. Emma seperti mendapat teman baru yang bisa mengisi kekosongan hatinya selama lima tahun tinggal di Kediaman Melrose.

Sun mengangguk dan berkata, “Tidak masalah, Nona Emma.” Ucapannya membuat Emma merasa lega dan tentu saja bahagia.

Dia segera mengajak Sun untuk turun dari mobil, mereka sudah sampai ke tempat tujuan mereka. Emma layaknya seperti teman sebaya, ia memperlakukan Sun dengan baik dan ramah. Dia menggandeng tangan Sun, mengajaknya berjalan-jalan sembari melihat-lihat apa yang harus mereka kunjungi pertama kali.

“Apa kau mau makan?” tanya Emma pada Sun. Sebenarnya sudah jelas Sun akan menjawab ‘tidak’, sebab dia sudah sarapan di mansion dan Sun bukan tipikal orang yang akan makan berat dua kali dalam satu waktu.

Tapi Sun seakan tak berdaya kala ia dihadapkan senyum menawan milik Emma. Senyum yang penuh energi positif yang seakan mengajaknya untuk turut tersenyum. Jadi, Sun mengangguk, mengiyakan ajakan Emma dan merelakan dirinya untuk ikut ke mana langkah Emma akan membawanya.

Kedua gadis itu tiba di sebuah restoran bernuansa klasik dan menenangkan dengan pemandangan asri di sekitar tempat itu. Mereka segera memesan makanan, dua porsi panekuk dan memesan teh sebagai pendampingnya. “Aku tidak akan membuatmu gemuk, jadi kita makan ini saja,” tutur Emma sebelum memasukkan potongan panekuk itu ke dalam mulutnya.

Sun hanya memperhatikan Emma. Karena meski makanan di depannya terlihat menggugah selera, senyuman Emma nyatanya bisa membuat perhatian Sun terpaku hanya padanya. Gadis itu terlihat sangat bahagia hanya dengan melahap panekuk biasa yang dihiasi taburan gula halus dan lelehan madu di atasnya.

“Ini adalah tempat kesukaanku dan Draven saat kami berkencan.” Ah ... akhirnya Sun mengetahui alasan mengapa Emma terlihat sangat senang mendatangi tempat ini. Rupanya tempat ini adalah tempat yang menyimpan kenangan indah bagi Emma sendiri. “Tapi akhir-akhir ini Draven sepertinya punya banyak sekali misi, jadi dia jarang menemuiku.”

“Ah ... aku mengerti.” Itu adalah satu-satunya kalimat yang melintasi kepala Sun, sebab dia tidak mengerti harus merespons seperti apa.

“Aku berharap dia segera menemuiku. Aku merasa kesal hanya karena Alexa adalah wanitanya yang tua di antara wanita lainnya, dia jadi lebih sering menemui Alexa ketimbang diriku,” tutur Emma lagi. Gadis dengan surai cokelat itu bertopang dagu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya digunakan untuk memotong panekuk dengan asal dan tak bersemangat.

Dari situ, Sun mengerti satu hal kalau gadis di hadapannya ini sedang menyuarakan kerinduannya akan sosok lelaki yang ia cintai. Sun tidak ingin mengungkit soal pertanyaannya di mobil tadi, sebab melihatnya saja dia sudah tahu alasan mengapa Emma senang sekali berada di tempatnya saat ini kendati dia hidup bersama seorang mafia yang terkenal jahat.

“Kau sangat bahagia, Nona Emma ...,” ucap Sun begitu saja, mengalihkan atensi Emma yang sejak tadi hanya memotong-motong panekuk menjadi beberapa bagian.

Emma teringat perbincangan mereka yang sempat tertunda tadi. Dia mengangguk, mengalihkan matanya menuju luar restoran yang berbatasan dengan jalanan kecil dan ramai. Tempat itu adalah pasar jalan yang cukup terkenal di French Quarter. “Aku bahagia sekali, Sun. Tanpa melihat dengan siapa aku bersama, dengan siapa aku bekerja.”

“Bekerja? Kau bekerja untuk siapa?”

“Tentu saja Draven Missegrand, lelakiku.” Tentu saja itu bukanlah hal yang mudah untuk Sun mengerti. Keningnya samar mengerut, tak memahami ucapan Emma yang menyebut dirinya bekerja pada Draven.

“Bukankah kalian dua orang yang saling menyukai?” Sun bertanya, membuat Emma terdiam namun menahan perkataan menggelitik itu agar tak membuatnya tertawa lebih cepat sampai Sun menyelesaikan kata-katanya. “Draven menyukaimu, karena itu kau menjadi salah satu dari wanitanya. Dan kau menyukai Draven dan karena itulah kau tetap berada di sisinya meski kau tahu siapa Draven sebenarnya.”

“Hihihi ....” Emma tak tahan lagi. Dia biarkan tawa kecilnya keluar begitu saja, membuat Sun memasang wajah bingung dan tak bisa memahami respons yang Emma berikan. Sun tidak tahu apakah segala ucapannya itu memang terdengar seperti lelucon atau Emma memang senang menertawainya.

“Jangan salah paham, Sun. Di dunia yang aku tinggali, menggunakan perasaan sedikit saja sama dengan membuat jebakan waktu untuk diri sendiri. Sulit mempercayai satu sama lain.”

“Apa maksudmu, Nona Emma?”

“Aku dan Draven tidak saling mencintai, tapi lucunya, kami bersikap seolah-olah perasaan itu memang ada,” pungkas Emma tanpa memandang lawan bicara. Nada, raut dan bahasa tubuhnya saat mengatakan kalimat barusan memperlihatkan sekali jika ini bukanlah hal yang Emma sukai.

Sun masih membisu, mencerna tiap kata yang Emma katakan padanya meski itu masih belum bisa ia terima. Rupanya dia sudah salah mengartikan senyum dan ucapan Emma, nyatanya bukan itu hal yang membuat Emma bertahan dan merasa ‘bahagia’ berada di tempat ini.

Emma mendekatkan wajahnya, lalu mengatakan sesuatu dengan suara yang dipelankan. “Aku hanya gadis yang bekerja untuk memuaskan hasratnya terhadap wanita.” Setelah itu, dia kembali ke posisi duduknya yang semula sementara Sun terdiam membisu. “Itu bukan hal baru ataupun sesuatu yang aneh di dunia ini, Sun. Draven menyukai wanita, dan aku yang kebetulan bisa menarik perhatiannya ini, menggunakan kesempatan itu dengan baik.”

“Lalu, apa tujuanmu yang sebenarnya, Nona Emma?”

Emma terkekeh pelan. “Tentu saja uang,” jawabnya, masih sambil tersenyum lebar penuh keyakinan atas jawabannya. “Aku sudah mengatakannya, rasanya sangat menyenangkan jika memiliki banyak uang. Aku bisa membeli apa yang aku mau, dan aku bisa membuat orang-orang yang aku sayangi, bahagia.”

“Kau ada di sini untuk itu?”

“Iya. Aku tahu betul apa yang aku tuju, dan aku tahu bagaimana aku harus bertindak meskipun aku hidup bersama kawanan hewan buas.” Emma meminum sedikit dari isi cangkir miliknya, lalu kembali melanjutkan perbincangan. “Akan aku beri tahu satu hal: meski kau berada di hutan yang berbahaya sekali pun, kau akan tetap baik-baik saja asalkan kau tahu apa yang akan kau lakukan di sana. Itu adalah prinsipku untuk bertahan di sini selama lima tahun lamanya, Sun.”

Sun mendengarkan dengan saksama, lalu memperhatikan Emma dengan baik. Gadis ceria yang tampak kekanakan itu nyatanya punya sisi dewasa yang membuat Sun kagum. Kendati sebenarnya ada sesuatu di sorot mata Emma yang membuat Sun entah mengapa merasa iba.

“Aku lahir di kota ini, 22 tahun yang lalu. Hidup di keluarga yang memiliki kedudukan rendah dalam masyarakat, aku berusaha sekuat tenaga hanya untuk memastikan semua anggota keluargaku makan malam ini. Kau tahu, Sun? Aku baru berusia 8 tahun saat aku mulai bekerja dari hulu ke hilir untuk mendapatkan uang. Aku tidak tahu mengapa zaman sekarang susah sekali mendapat uang.”

Emma melanjutkan cerita yang tadi ia singgung. Itulah alasan mengapa ia menanyai Sun, apakah mau mendengar atau tidak. Sebab bagi Emma, dia tidak memiliki cerita yang bagus untuk didengar mengenai masa lalu dan latar belakangnya.

“Tapi, saat aku berusia 18 tahun, saat aku baru saja menyelesaikan pendidikanku, aku bertemu dengan Draven. Kami bertemu di sebuah malam, di bar tempatku bekerja. Seperti lelaki mata keranjang yang merawat tubuhnya dengan baik untuk menarik wanita, dia terlihat menarik malam itu. Dan di matanya, aku pun terlihat demikian ...,” Emma menjeda ceritanya hanya untuk melihat ke dalam cangkir, pantulan dirinya yang berwajah murung dan mencoba menceritakan awal mula kedatangannya ke dunia gelap sebagai wanita dari mafia.

“Dan kami melakukannya.”

Sun terkejut dalam diam. Dia tidak tahu mengapa. Padahal hal seperti itu bukan sesuatu yang aneh.

“Dia memberiku uang, sangat banyak. Kendati aku tahu siapa Draven Missegrand yang baru saja menghabiskan malam denganku, aku mengharap kedatangannya esok malam, dan esok malamnya lagi. Setiap kami bertemu, itu selalu diakhiri dengan malam yang panas. Entah mengapa, membayangkan aku mendapat lembaran dolar setelah bertemu dengannya, membuatku sangat bahagia. Karena itulah, aku harap dia selalu menemuiku.”

Emma menatap Sun, mendapati ekspresi yang dipasang lawan bicaranya membuat Emma jadi tertawa canggung. “Kau menganggapku menjijikan, ya?” tanya Emma dan sekonyong-konyong membuat Sun terkejut. Dia tidak tahu jika dirinya memasang raut wajah yang membuat Emma tak nyaman dan salah paham.

Tapi, dirinya belum memberi sanggahan dan Emma sudah lebih dulu berbicara. “Aku tidak berpikir dua kali dan memberikan hidupku pada Draven, padahal aku tahu seperti apa dia. Dia sangat cepat bosan, karena itulah aku berusaha agar tidak membuatnya bosan. Terlihat seperti karyawan yang berusaha keras agar tidak dipecat oleh atasannya, kan?”

Semakin lama mendengarkan cerita Emma, Sun merasa dirinya semakin tersentuh akan kisah hidup gadis itu. Emma bahagia berada di sini karena keluarganya bahagia, dia ada di sini semata-mata hanya untuk membahagiakan keluarganya. Sun tidak tahu seperti apa keluarga Emma, tapi sepertinya Emma sudah berusaha sangat keras untuk membuat kebahagiaan bagi keluarganya menjadi nyata.

Meski itu termasuk menjual masa depannya untuk mengabdi menjadi wanita seorang mafia.

Kini Sun mengerti maksud dari kalimat ‘Aku harap dia menemuiku’ yang sering Emma katakan. Bukan berarti ungkapan rindu pada sosok yang ia cinta, melainkan harapan agar Draven tidak membuangnya.

Tapi, sejak tadi ada satu hal yang ingin Sun tanyakan pada Emma. Itu terus mengganjal di benaknya dan sepertinya tidak akan reda sebelum dikeluarkan. Maka bertanyalah Sun pada Emma, “Apa kau tidak mencintai Draven?” seketika membuat Emma membeku dengan pandangan yang tertuju pada Sun.

Sun berharap ucapannya barusan tidak membuat Emma merasa risih atau terganggu. Sun benar-benar hanya ingin tahu apa Emma memiliki perasaan terhadap lelaki yang telah menjadi jembatannya menuju kebahagiaan yang ia maksud itu, ataukah tidak?

Emma lagi-lagi merespons dengan baik. Tidak berbuah decakan tak suka atau tatapan yang menandakan dirinya tengah tersinggung atas pertanyaan yang Sun lontarkan padanya. Emma menopang dagunya lagi, lalu tertawa kecil dan berkata, “Cinta ... aku tidak tahu.”

Sun hanya bergeming sembari menunggu kelanjutan dari ucapan Emma.

“Aku tidak tahu apakah aku mencintainya ... atau tidak? Aku hanya senang saat melihatnya mungkin karena dialah sumber uangku saat ini. Haha ... kau benar-benar berpikir kami saling mencintai, ya?” Sun tak menjawab pertanyaan Emma. Dia hanya terus terdiam sembari memperhatikan wajah gadis itu yang sedang tertawa kala membahas hal yang cukup serius seperti cinta.

Sun tidak pernah tahu jika sebuah ikatan layaknya cinta, bisa diikat hanya dengan lembaran uang saja. Sun kira, perasaan penuh kasih nan suci itu terlalu mahal untuk bisa dipadankan harganya dengan nominal dolar. Tapi hari ini, Sun pertama kali mendengar seorang wanita membicarakan hubungan asmaranya yang terjalin layaknya hubungan dua kolega. Mereka melewati malam penuh cinta, namun itu hanya hubungan timbal balik tanpa adanya perasaan.

Sun hanya terus berpikir: bagaimana bisa Emma dan Draven melakukannya? Bukan hanya berlaku untuk dua orang itu, tapi untuk orang-orang yang sama seperti mereka. Sun bahkan bertanya mengapa hal seperti cinta bisa dianggap sepele dan bisa dibeli dengan uang?

“Tidak perlu bertanya bagaimana perasaanku terhadapnya, cukup lihat bagaimana dia memperlakukanku. Jika Draven mencintaiku, dia akan berhenti menyukai wanita lain, Sun.” Emma dan Sun tampak sudah selesai dengan sarapan mereka. Ya, meski sebenarnya Sun tidak sarapan dan malah mendengarkan kisah Emma sampai makanan Emma habis tak tersisa.

Emma memanggil pelayan dan meminta tagihan, setelah berkata akan membayar untuk makanan pagi ini, mereka pun menyudahi untuk meninggalkan restoran itu.

Tapi sebelum hendak meninggalkan kursi, Emma sempatkan diri untuk mengatakan sesuatu kepada Sun. “Maka dari itu, Sun. Melihat Noah yang kami tahu tak memiliki hasrat dalam hal bercinta dengan wanita, membawa seorang wanita ke mansion tentu saja membuat kami terkejut. Tapi di samping itu, kami senang karena untuk pertama kali, Noah mengakui seorang gadis sebagai wanitanya.”

Emma menggandeng Sun sampai ke luar restoran. Namun karena ucapan Emma tadi, Sun jadi merasa penasaran akan alasan mengapa mereka merasa senang saat mengetahui Noah membawanya ke mansion.

Sun menahan tangan Emma, membuat langkah ceria gadis dengan rambut coklat itu segera mereda. “Ada apa, Sun?” tanya Emma.

“Aku hanya penasaran tentang alasan mengapa kau dan yang lainnya merasa senang saat mengetahui Noah mengakuiku sebagai wanitanya.”

Mendengar pertanyaan Sun, Emma tak kunjung menjawab. Dia melepaskan genggamannya dan malah tertawa sembari meninggalkan Sun. Sun yang sudah terlanjur penasaran, jadi semakin penasaran dengan maksud dari tawa Emma. Apa Emma sedang mengerjainya?

“Nona Emma ... aku serius bertanya. Aku harap kau tidak membuatku penasaran.”

“Hah ... bagaimana ini, Sun? Soalnya, aku ini suka membuat orang lain penasaran ...,” ujar Emma dengan nada bicara yang mengerjai Sun. Gadis dengan rambut pirang itu mengerutkan bibirnya samar, lalu menyusul Emma yang sudah lebih dahulu meninggalkannya.

Sun menahan Emma dengan memegang lengannya, berusaha mengetahui alasan dari ucapan Emma karena dirinya ini sudah sangat penasaran.

“Nona Emma ... ayolah~”

“Sun, kau pernah tanyakan pada Noah apa dia akan menikahimu atau tidak? Jika kalian menikah, aku akan sangat senang!”

“Ah ... jangan bertanya hal seperti itu, Nona. Kau membuatku malu ....”

Percakapan keduanya terdengar seperti dua kakak-beradik yang sangat akrab. Sang kakak yang suka menggoda adiknya, dan sang adik yang tak akan melepaskan kakaknya sebelum urusan mereka berakhir. Interaksi yang terjalin dari hubungan yang belum lama itu terasa sangat alami dan menyenangkan. Emma bahagia.

Karena itu, dia akan sudahi membuat Sun penasaran dengan mengatakan, “Noah mungkin saja telah jatuh cinta padamu, Sun ... itu alasan dari ucapanku tadi.”

Sun membatu, tak melakukan apapun sebagai respons selain berdiri dengan wajah terkejut. Emma memahami maksud dari respons itu, juga dengan wajah Sun yang pelan-pelan menunjukkan rona merahnya. Itu terlihat jelas pada kulit putih yang bersih itu.

Emma tergelitik, dia tertawa lumayan keras sembari mengalihkan tubuhnya dan pergi. Sementara Sun masih terdiam seperti baru saja disihir.

Bukan sihir yang membuatnya terdiam, melainkan degupan kencang di suatu tempat dalam tubuhnya yang memaksanya untuk berhenti semata-mata untuk menetralkan kembali detaknya yang semakin menggila. Telinganya memanas dan dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Dia bahkan diam saja kendati dirinya tahu, Emma mulai berjalan menjauh sembari menertawakan dirinya.

Tentu saja Emma yang sudah berpengalaman, bisa dengan mudahnya mengidentifikasi apa yang Sun rasakan hanya dengan melihat gejalanya saja.

Apa Sun merasa tersipu karena Emma mengatakan jika Noah mungkin saja menyukainya? Itu hanya kemungkinan, Sun terlebih Emma dan yang lainnya tentu tak tahu apa yang sebenarnya Noah rasakan. 

Tapi kenapa ...? Semakin Sun memikirkannya, maka suhu tubuhnya akan semakin meningkat dan segala yang akan tergambar di dalam kepalanya hanyalah gambaran wajah tanpa raut kehidupan milik Noah. Tatapan dingin seperti tokoh utama dalam kisah cinta yang keren, wajah tampan yang sangat mendukungnya untuk menjadi sang tokoh utama. Tanpa Sun sadari, Noah menjadi tokoh utama dalam kisah yang akan lelaki itu rajut—bersamanya.

“A-ah ... Nona Emma, tunggu aku!”

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status