Share

Chapter 9 : Warming Night, Coldest Eyes

Sekarang sudah malam. Tidak terasa Sun menghabiskan satu harinya bersama Noah. Ini benar-benar tidak pernah ia duga sebelumnya.

Saat ini mereka berada di sebuah restoran, tentunya untuk menikmati makan malam setelah seharian hanya berjalan-jalan dan makan pun dari jajanan. Sun harus tetap mengisi tubuhnya dengan nutrisi yang benar, terlalu banyak makan jajanan tidak akan baik untuknya.

Itu yang Noah katakan.

“Pesan sekarang,” ujar Noah ketika buku menu diberikan kepada mereka. Sun tersenyum senang lalu melihat-lihat menu makanan. Astaga ... hatinya bersuara. Makanan di sana terlihat sangat enak, Sun tidak bisa memilih karena dia menginginkan semuanya.

Padahal dia sudah makan banyak jajanan, tapi ketika melihat buku menu di tempat itu, cacing-cacing di perutnya bergejolak hebat seakan dia belum makan dua hari. Sun menggigit bibir bawahnya. Kalau di Melrose, dia pasti tidak diizinkan makan lebih dari tiga menu utama menurut aturan rumah itu.

“Cepat pilih.” Suara Noah mengalihkan perhatiannya. Sun melirik sedikit ke arah Noah dari balik buku menunya. “Pilih apapun yang kau mau.”

“Benarkah?”

“Iya. Atau kau ingin aku membeli tempat ini?” Sun membelalakkan mata, begitu juga pelayan yang sedang menunggu mereka untuk mencatat menu yang akan dipesan. Sun melirik pelayan itu, dia pasti kaget dan cemas sekarang.

Sun tersenyum malu. “Ti-tidak perlu seperti itu, Noah ...,” terangnya dengan nada pelan, “aku hanya bertanya apakah aku boleh makan lebih dari tiga menu utama di sini?”

“Kau bisa makan apa yang kau mau. Persetan dengan peraturan rumah itu, kau tidak di dalamnya saat ini.”

“Kau benar ... tapi ...,” ujar Sun dengan ragu. Hal itu membuat Noah jadi sebal melihatnya.

Lelaki itu merotasi matanya lalu menarik buku menu yang hanya Sun pegang sejak tadi. “Kau suka ipasta?” tanya Noah setelah melihat daftar menu yang ada. Sun mengangguk karena dia memang menyukai makanan italia. “Berikan dia pasta,” titahnya pada pelayan yang langsung mencatat pesanannya itu.

“Gnocchi?” tanya Noah dan Sun kembali menganggukinya, “prosciutto? Panzanella? Panini?” Dari beberapa makanan yang disebutkan Noah, Sun mengangguki semuanya. Dia menyukai semuanya dan pada akhirnya dia berkata, “berikan aku semua itu serta minuman berkualitas tinggi di sini. Jangan lupa dengan makanan penutup yang manis.”

“Baik, Tuan.” Pelayan itu mengundurkan diri, membawa daftar pesanan yang Noah sebutkan.

"Aku ingin anggur terbaik kalian," ujar Noah, menambah pesanannya. Pelayan itu mengangguk patuh dan benar-benar meninggalkan mereka.

“Noah ... apa tidak masalah memesan makanan sebanyak itu?”

“Berhenti bertanya. Aku juga makan.”

“Tapi yang kau pesan itu banyak sekali. Kau bisa menghabiskannya?”

“Kalau tidak mau makan, tidak usah makan.”

Sun menatap Noah dengan sedikit sinis. Lelaki itu tampak mudah sekali membuang uangnya untuk hal yang tidak perlu. Ya ... meski itu juga karena Sun yang terlalu lama memesan. Jika dia tidak ragu dan memesan, Noah mungkin tidak akan membuang uangnya seperti ini.

Selagi menunggu makanan mereka datang, dua orang itu tidak terlibat dalam percakapan. Noah enggan membuka mulut, padahal Sun terlihat jelas tidak nyaman dengan suasana yang mengukung mereka. Akhirnya, tidak ada hal lain yang bisa Sun lakukan selain diam dan mendengarkan musik jazz yang dimainkan sebagai hiburan di tempat itu.

Sun melirik sedikit ke arah Noah. Lelaki itu tampak sangat menikmati ketenangan dirinya yang hanya duduk dengan rapi selagi mata sayunya memperhatikan apa saja yang bisa dia perhatikan di sana. Sun ikut melihat ke arah pandang Noah, dan yang dia dapati bukan hal yang berarti sampai bisa membuat Noah betah berdiam diri memperhatikannya.

Sun bahkan sampai bertanya-tanya, mengapa Noah sangat betah sekali bungkam dan hanya sedikit bicara? Tidakkah dia bosan dengan kesunyian ini? Tidakkah dia ingin menghentikannya dengan mengatakan sesuatu?

Tapi rasanya percuma saja Sun bertanya-tanya begitu, sepertinya Noah memang sangat menyukai kesunyian. “Apa kau memang seperti ini sejak kecil?” tanya Sun. Dia sudah tidak tahan terus-terusan diam.

Noah mengalihkan pandangannya menuju Sun. Dia diam dan menunggu gadis di hadapannya melanjutkan kalimat tanya yang rumpang itu. “Apa kau sejak kecil sudah menyukai kesunyian sampai-sampai tidak mau mengatakan satu patah kata pun?”

“Di sini sudah ramai,” jawab Noah dengan simpel. Sun menatapnya dengan raut tak paham.

“Dan kau pikir hanya dengan bersuara, kau akan membuat suasana menjadi sangat ramai?” Noah tak menjawab, tapi dengan hanya menatap matanya saja Sun sudah tahu apa jawabannya. “Aku belum pernah bertemu dengan orang yang sangat sunyi sepertimu.”

“Karena itulah kita bertemu,” ujar Noah tanpa mengalihkan tatapannya. Sun mengerut bingung.

“Maksudmu?”

“Kau berisik, dan itu akan menjadi suara dalam kesunyianku. Benar, kan?” Sun makin mengerutkan keningnya. Dia sedang berusaha menutupi rasa malunya dengan bersikap bingung.

“Aku berisik?”

“Kau tidak sadar?” Sun terdiam lama, mengingat-ingat bagian mana yang bisa membuat dirinya disebut ‘berisik’. Ketika mengingat segala pertanyaan yang dia berikan pada Noah hari ini, baru dia sadar. Dia jadi berpikir kalau kehadirannya pasti sangat mengganggu Noah yang menyukai kesunyian itu.

Makanan mereka sampai, meja yang lumayan luas itu perlahan diisi oleh piring-piring berisi menu yang cantik dan menggugah selera. Sun tampak bersemangat melihat kedatangan makanan-makanannya, sementara Noah masih menatapnya dalam keheningan.

“Tidak ada anak kecil yang tidak menyukai keramaian,” ucap Noah dengan tiba-tiba, menghentikan Sun dari kegiatannya dan beralih menatap Noah. “Anak kecil itu suka keramaian dan suka membuat keramaian. Karena dengan begitu, orang dewasa akan memperhatikan dia.”

Para pelayan satu per satu berdatangan, mengantarkan makanan pesanan Noah dan Sun yang hampir memenuhi meja. Sementara dua pemilik meja saling berhadapan, atensi mereka diberikan kepada satu sama lain.

Noah melanjutkan kata-katanya, menutup rangkaian kalimatnya dengan, “Tapi seiring ia dewasa, perhatian itu menjadi beban yang dia hindari. Tinggal dalam kesunyian akan lebih membuatnya nyaman, dengan begitu dia tidak akan dibebani oleh perhatian sampah yang diberikan orang dewasa.”

“Perhatian sampah?” tanya Sun dengan nada protes, “dari mana asalnya sebuah perhatian bisa kau sandingkan dengan sampah? Itu hal yang sangat disukai semua orang. Aku suka keramaian, aku suka diperhatikan terlebih oleh ibuku.”

Noah tidak merespons dengan rautnya yang masih sangat tenang. Dia menuang sendiri anggur yang dia pesan ke gelasnya, dengan porsi yang tak seberapa banyak. Dia membalas ucapan Sun dengan, “Kau sangat beruntung.”

Noah menghabiskan minuman itu dengan sekali tenggak. Mata sayunya terlihat sendu, seakan menyembunyikan sebuah kesedihan di suatu tempat di sana. Sun jadi merasa tidak enak hati karena ucapannya, padahal dia yakin jika tidak ada yang salah di sana.

Karena perbincangan yang berakhir tidak baik itu, Sun jadi menghabiskan makanannya tanpa sedikitpun berbicara dengan lawan mainnya. Noah makan, sedikit sekali, itu pun tanpa membuat banyak suara bahkan dengan dentingan sendok yang menyentuh piringnya.

Sun tahu Noah tidak banyak bicara, seharusnya dia memakluminya jika beberapa menit berlalu dan mereka tidak saling berkata. Tapi entah mengapa, dia merasakan atmosfer yang lebih suram setelah perbincangan terakhir tadi. Sun jadi merasa jika Noah tidak mau berkata sedikitpun karena ucapannya menyinggung perasaan lelaki itu.

Ah ... inilah mengapa Sun harus mencari tahu tentang Noah Bellion agar tidak berada dalam situasi seperti ini kedepannya nanti.

Sun selesai dengan makanannya, empat piring menu utama serta dua penutup lenyap dalam perutnya. Dia merasa kenyang dan puas sekali setelah bisa menghabiskan makanan yang ia sukai. Ya ... meski dia tetap merasa tidak enak hati karena masih ada beberapa piring yang utuh tanpa tersentuh.

“Terima kasih untuk makanannya,” ucap Sun dan Noah tidak merespons. Noah sudah selesai makan sejak tadi, dan setelah itu yang dia lakukan hanya memperhatikan Sun saat sedang makan. Lelaki itu beranjak dari sana untuk membayar makanan mereka, lalu kembali untuk membawa Sun pergi dari sana.

Mereka kembali ke mobil, dan Sun tanpa sengaja menatap ke kursi tengah yang diisi lukisan berukuran besar miliknya. Noah sudah bilang jika itu miliknya hanya karena dia memuji lukisan itu. Sun tetap diam sampai Noah melajukan mobilnya untuk keluar dari area restoran itu, kendati dirinya ingin sekali berkata.

Setelah menahan diri lumayan lama, akhirnya Sun beranikan diri untuk berkata. “Noah ... soal lukisan tadi ...,” Sun sengaja menjedanya, menunggu respons apa yang akan diberikan Noah. Tapi lelaki itu masih betah bungkam, jadi Sun melanjutkan kata-katanya dengan agak kecewa. “Sebenarnya aku tidak menginginkannya.”

Tanpa diduga, Noah menjawab dengan, “Kau mau aku membuangnya?” membuat Sun sekonyong-konyong melotot karena terkejut. Bisa-bisanya Noah bertanya begitu dengan sangat mudah? Dia bersikap seakan sedang bertanya untuk membuang sampah saja.

“Tidak! Tentu saja tidak!” sanggah Sun dengan cepat sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Aku hanya ... masih belum mengerti mengapa kau mudah sekali menawarnya dengan harga setinggi itu, dan juga tanpa bertanya lagi apakah aku benar-benar menginginkannya atau hanya sebatas memujinya saja.”

Noah tidak membalas ucapan Sun, membiarkan gadis itu tenggelam dalam kesunyian untuk waktu yang lumayan lama sebelum pada akhirnya dia balas. “Aku tahu,” katanya dengan singkat.

“Lalu kenapa kau tetap membelinya?”

“Karena aku menyukainya. Aku suka lukisan yang indah.”

“Tapi kau belum tentu menyukainya, kan?”

“Memang aku bilang kalau aku tidak menyukainya? Bukankah dengan tindakan saja kau sudah bisa tahu kalau aku menyukai lukisan itu?” Sun terdiam, dalam heningnya membenarkan perkataan Noah. Tapi itu bukan berarti dia menerimanya.

“Lalu kenapa kau langsung membelinya ketika aku bilang aku menyukainya? Kau bahkan tidak mengatakan kalau kau membeli itu untuk dirimu.”

“Aku menyukai lukisan itu, tapi aku tidak berniat menambah koleksi. Tapi kau bilang kau menyukainya. Aku hanya ingin membuatmu mengerti suatu hal tanpa perlu ku katakan berulang kali.” Ucapan Noah selanjutnya membuat Sun makin tak mengerti.

Mengerti? Apa lagi yang perlu Sun mengerti dari Noah yang bagaikan potongan puzzle itu? Noah benar-benar membuatnya semakin bingung. Namun, Sun yang sudah lelah mencoba memahami Noah akhirnya memutuskan untuk menyudahi topik ini.

Gadis itu mengalihkan perhatiannya menuju jalanan yang ia lewati. Ya ... tidak ada hal menarik lain yang bisa ia lakukan di dalam mobil itu. Berbincang dengan Noah seperti mempersulit dirinya, terlebih Noah bisa saja membiarkannya seakan dia ini patung.

Tapi ketika mengingat kembali wajah Noah di restoran tadi, Sun jadi kepikiran. Tidakkah tadi itu adalah ekspresi teraneh yang pernah Sun lihat dari Noah? Ekspresi seperti anak anjing yang baru saja kehilangan majikannya di sebuah tempat asing yang luas. Pikirannya membuat dirinya tak tenang, Sun akhirnya memberanikan diri untuk berkata.

“Noah ...,” panggil Sun dengan pelan. Noah hanya fokus menyetir tanpa mau mengalihkan pandangannya, tapi lelaki itu pasti sedang mendengarkannya. Jadi, Sun memilih melanjutkannya. “Apa kau merasa tersinggung dengan ucapanku tadi?”

Seperti biasa, Sun butuh waktu lama menunggu jawaban dari Noah. Lelaki itu pasti sedang mempertimbangkan apakah dia harus menjawab atau tidak. Sedang Sun bertaruh seratus persen kalau pertanyaannya tidak akan dijawab.

“Tidak.” Tapi tanpa diduga, Noah menjawabnya, pun tanpa perlu bertanya ucapan mana yang Sun maksud. Itu berarti Noah mengerti apa yang sedang Sun tanyakan.

“Kau tahu ucapan mana yang aku maksud?”

“Aku ingat kisah sedih seorang anak ketika mendengar ucapanmu, karena itu aku terlihat tersinggung. Tapi aku benar-benar tidak peduli.”

Sun merapatkan kembali mulutnya, enggan menanggapi. Entah kenapa dirinya tidak mau mempercayai apa yang Noah katakan. Haruskah ia mencari jawabannya sendiri? Ya ... memang seharusnya begitu.

Karena kecemasan tak berdasar itu sudah tandas hari ini, maka esok akan menjadi langkah pertama Sun untuk menyelidiki seorang Noah Bellion. Dia sudah memastikannya, dia akan melakukannya besok!

Sekarang Noah sudah tiba di mansion, dia segera memerintahkan Sun untuk masuk. “Istirahatlah,” ucapnya dengan nada lembut yang dingin. Tapi Sun tetap berdiri sembari memandangi wajah lelaki berusia 27 tahun itu lama. Noah jadi tidak melangkah pergi dari sana dan membalas tatapan Sun dengan hal serupa. Apa mereka sedang adu tatapan?

“Ada apa?” tanya Noah yang mulai tidak nyaman dengan tatapan itu.

“Terima kasih.”

Noah mengerutkan keningnya, tak percaya kalau Sun sejak tadi menatapnya seperti seorang anak yang sedang berusaha merayu orang tuanya untuk membelikannya mainan baru hanya untuk menucapkan kalimat ‘terima kasih’ saja.

Noah berdecak. “Lain kali pikirkan ucapan yang lebih berguna dari itu,” ucapnya dengan nada ketus. Sun mengerutkan bibirnya.

“Itu ucapan yang baik! Kau tidak pernah diucapkan ‘terima kasih’ seumur hidupmu, ya?”

Noah yang semula akan membuka pintu mobilnya, berhenti sejenak untuk menjawab pertanyaan Sun. “Tidak pernah,” tatapannya menunduk, sama seperti tatapan di restoran tadi, “aku seringnya mendengar permintaan maaf kalau tidak kutukan.”

Setelah mengatakan itu dengan dinginnya, Noah meninggalkan Sun yang masih berdiri di depan pintu utama mansion itu. Gadis itu membatu karena lagi-lagi dia merasa kalau dia sudah dalah berkata pada Noah.

Itu wajar jika Noah tidak pernah mendengar kalimat semacam ‘terima kasih’, kan? Siapa yang akan berterima kasih kalau pekerjaannya hanya bermain kotor dan membunuh? Dan Sun mengatakannya dengan nada mengejek, untuk hal yang cukup sensitif bagi orang-orang seperti Noah.

Tapi ketimbang merasa terbebani semalaman, Sun memilih bersikap tidak peduli. Gadis itu memutar tubuhnya, berjalan masuk ke dalam mansion karena malam semakin dingin. Anginnya menerbangkan gaun musim panas milik Sun dan membuatnya merinding.

Noah sudah pergi menjauhi mansion. Laju mobilnya kencang menembus ramainya jalanan New Orleans. Hari ini berlalu dengan cepat, dia bahkan tidak sadar dia baru saja menemani gadis itu mengenal New Orleans dan tempat wisatanya, dan ternyata malam sudah menjemput keduanya.

Tak ada yang paling mengesankan dalam benaknya kecuali pemandangan seorang Sun Fleurry McRay yang tampak bersinar di bawah sinar mentari. Dia benar-benar mengintrepretasikan nama yang orang tuanya berikan padanya. Gadis itu indah seperti bunga matahari.

Rambut pirang emasnya yang menari kala angin membelainya lembut, iris biru yang berkilau layaknya batu mulia, juga senyum manis dan suara lembutnya yang terus memanggil nama Noah berulang kali. Semua itu tidak bisa Noah lupakan.

Dia mungkin saja sedang tersihir, dan Noah akan mengakuinya tanpa ragu. Benar-benar keindahan paripurna yang belum pernah Noah temui di tempat mana pun. Kebetulan yang sangat Noah syukuri, dia beruntung karena menemukan Sun lebih dulu dan mengikatnya dengan omong kosong itu.

“Harga tebusan yang ayahnya bayar?” Noah tergelitik meski wajahnya tak menunjukkannya. Mengingat ucapan Sun tadi membuatnya ingin tertawa. Tentu saja Noah tidak menganggap Sun sebagai barang tebusan, Sun jauh berada di atas kata itu. Sun adalah harta karunnya, Sun adalah permata paling indah yang dia miliki.

Memang benar jika bayaran itu selalu menjadi hal yang Noah ingin dari Anthony setelah apa yang lelaki itu lakukan pada keluarganya dulu. Tapi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Sun. Noah bahkan berniat untuk meminta bayaran dengan nyawa Anthony langsung, tapi itu sebelum dia melihat Sun dengan matanya sendiri, sebelum dia mengetahui kalau gadis ayu yang menari di ladang bunga kuning waktu itu adalah anak dari orang yang sangat dirinya benci.

Noah kehilangan ketertarikannya untuk membalas dendam.

Mobil hitam milik Noah berhenti di parkiran sebuah gedung, tempat yang dijadikan markas kebesaran Little Boy. Noah segera menuju ke ruangan di mana Adam dan Tobias sudah menunggunya. Tanpa diduga, di sana juga ada Eve yang langsung menatap tajam ke arah Noah.

“Selamat datang, Noah,” ucap Eve, menyapa lelaki bermata dingin itu dengan nada menyindir. “Bagaimana kencanmu?”

“Berhenti menyuruh adikmu untuk membuntutiku, paparazi.” Noah mengambil bangku untuknya duduk. Dia tidak mau meladeni Eve dengan sifat senang menyindirnya itu, dan memilih untuk kembali tenang untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Tobias.

“Kami sudah menyelesaikan pertemuan sejak tadi, Noah. Aku pikir kau tidak akan datang,” ucap Tobias dengan nada yang tenang. Tidak seperti Eve, si wanita sarkas.

Noah hanya mengalihkan matanya ke arah lain, tidak mau melakukan kontak mata dengan satu pun yang ada di sana. Dia masih sama seperti Noah yang biasanya. Tobias tidak bisa melakukan apa-apa untuk itu.

“Kau tidak bisa dihubungi sejak terakhir kali kami menghubungimu, karena itu aku meminta Adam untuk mencarimu. Tapi sepertinya kau menikmati harimu dengan gadismu, ya ....”

“Draven si penggila wanita saja bisa meninggalkan sejenak wanita-wanitanya, tapi kau sepertinya sangat menyukai gadis Vermont itu, ya?” Lagi-lagi Eve menyindir Noah. Lelaki itu sudah muak tapi lebih tidak mau membuang tenaga untuk meladeninya, jadi dia diam saja. “Tapi, Noah ... kau tentunya tahu lebih dari siapapun kalau apa yang kita bahas ini adalah hal yang gadis itu sebabkan, kan ...?”

“Berhenti membahas gadis itu dan katakan apa urusan kalian.” Ucapan tegas Noah membuat Eve membuang muka sekaligus menyembunyikan decihannya. Dia benar-benar tidak menyukai sifat Noah yang seperti raja itu.

Tobias mengangkat tangannya, membuat isyarat agar Eve berhenti bicara dan mengundang keributan. Dia datang ke tempat itu bukan untuk melihat dua unsur yang berbeda, saling beradu dengan sengitnya. “Noah, hari ini aku mendapat laporan kalau tiga anggota kita dibunuh oleh kelompok lain.”

“Benarkah ...?” tanya Noah tapi tidak terdengar seperti sedang bertanya. Dia santai sekali sampai seakan menganggap masalah yang sedang dibahas itu adalah hal yang sepele. Noah menarik satu lintingan tembakau kualitas tinggi dari sakunya, menyulutnya dengan sedikit api hingga ujungnya terbakar dan berasap.

“Berhenti menganggapnya sepele, dasar tukang pembuat masalah!” ketus Eve dengan alis bertaut. Dia tidak bisa lagi menyindir dengan halus, sehingga kata-kata tajamnya keluar begitu saja. “Kau tahu betul kalau semua ini adalah ulahmu, tapi kau yang terlihat paling santai di sini!”

“Itu karena aku tahu kalau semua ini adalah ulahku,” sela Noah. Lelaki itu menghisap cerutunya dengan santai. “Aku akan bertanggung jawab, jadi berhentilah berteriak di samping telingaku.”

Noah sudah cukup meladeni orang-orang cerewet yang entah sejak kapan mulai mengelilinginya. Dia meninggalkan tempat itu dengan langkah ringan, lagi pula dia sudah mengantongi informasi yang seharusnya dia dapatkan tadi pagi. Tapi ternyata, rencananya berubah setelah melihat presensi seorang Sun Fleurry.

Noah hampir mencapai pintu itu, tapi Tobias menggagalkannya dengan sebuah ucapan. “Eliot Redwood ...,” dia sengaja memberi jeda panjang, sekaligus memastikan Noah tertarik dengan ucapannya atau tidak. “Kau mengenalnya, kan?”

Noah terpaku, diam tanpa berniat untuk merespons atau berbalik badan. Rautnya tak berbeda, garis wajah yang seakan kaku itu tak memperlihatkan ekspresi lain sebagai wujud dari perasaannya. Tapi itu bukan berarti dia tidak mengerti dengan apa yang Tobias tanyakan.

Dia tentu sangat mengenal Eliot ... orang yang tidak akan pernah bisa menerimanya.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status