Share

[5] Him

'Maverick?' 

"Ya?" 

Laki-laki itu melirik jam dinding, pukul tiga pagi. 

"Kenapa?" 

'Ah, aku hanya ingin bertanya. Apa Al ada di rumahmu?' 

Jeda hening sepersekian detik, Regina melanjutkan penjelasan atas pertanyaannya barusan. 

'Semalam kami baru saja sampai dan aku langsung tidur, terlalu lelah. Sekarang aku hanya sendirian. Selama perjalanan ia terus memikirkan ulang tahun Cassie yang terlewat. Jadi–' 

"Ada kok, Cassie tak mau lepas dari Alex. Makannya ia menginap." 

Maverick memutar bola mata seraya menggerutu dalam hati saat lidahnya kembali mengucap dusta. 

'Mhm. Begitu? Boleh bangunkan Al sebentar? Aku ingin berbicara.' 

"Tidak bisa, Regina. Maaf ya, ia tampak sangat lelah karena semalaman menemani Cassie bermain." 

'Oh, baiklah. Terima kasih, Mave. Sampaikan salamku pada Cassie.' 

Panggilan diputus sepihak. 

Maverick mengerutkan dahi, berusaha mengumpulkan nyawa setelah sebelumnya diganggu dalam tidur lelap oleh sebuah panggilan tak penting. 

Things will get harder. Ia sadar, hubungan Alex dan Lorna sungguhan akan membawa rumit pada relasi pertemanan mereka. Padahal belum sampai satu bulan perempuan itu masuk di dunia mereka, namun rasanya banyak petaka sudah siap menyapa.

Pertama, Alex membohongi Regina tentang panggilan yang terjadi di kamar mandi. Nama James disebut, Maverick yang harus memberikan penjelasan pada pengacara itu. Kedua, Lorna tampak gelisah saat bercerita tentang dirinya dan Alex pada acara ulang tahun Cassie kemarin, ditambah James yang tak henti-hentinya mengganggu gadis itu. 

Lalu sekarang, Maverick lagi yang harus melindungi pemuda tengil itu dari kekasihnya sendiri. Semalam Alex sempat mengirim pesan di grup mengatakan bahwa Lorna demam tinggi, ia bahkan bertanya apa saja yang gadis itu konsumsi selama berkumpul bersama. Alex memutuskan menginap. 

Rumitnya, Alex mengabari sahabat-sahabatnya atas segala kemungkinan yang akan terjadi, tapi tidak dengan sang kekasih sendiri. Alex malah menghindar, padahal sebentar lagi Regina akan mengumumkan pertunangan mereka. 

Seakan pemuda itu tengah berusaha menghalangi Lorna dari segala berita buruk yang akan menimpa. Lorna dijauhkan sejauh-jauhnya dari jangkauan Regina, sementara sang kekasih masih mendekatkan diri pada Maverick, Nicholas, dan James. Terlalu banyak kontradiksi.

"Ah sial." 

Maverick mengetik pesan di grup band mereka. 

BOYS [4] 

Fr: Maverick O'Connor 

Regina memanggil 

Aku bilang Al menginap di sini

Tak ada jawaban, mungkin yang lain telah tertidur pulas. Atau terlalu malas menanggapi pesan singkat tanpa penjelasan lebih lanjut.

Fr: William Nicholas 

Do we really need to take care of every mess he made?

Maverick mendengus geli. 

Fr: Maverick O'Connor 

That's funny 

We do  

For past couple decades, apparently

Maverick melempar pelan ponsel yang baru saja ia matikan ke atas ranjang, netra hijaunya menatap kosong bagian kasur yang tak terisi. Laki-laki itu bahkan tak ingat kapan terakhir kali merasakan rengkuh hangat seorang perempuan. Maverick terlalu fokus memberikan seluruh kasih sayangnya pada sang putri, sampai-sampai dirinya sendiri kekurangan afeksi.

****

Di tempat lain, Alex terperanjat dalam tidurnya, nafas terembus berat serta irisnya menatap pekat. Ingatan bahwa Lorna sedang sakit menempel di kepala, juga kebiasan gadis itu yang selalu bangun jauh sebelum matahari terbit. 

Jam digital menunjukan pukul lima, Alex membalikan badan menatap seisi ruangan dengan sapuan. Kemudian lenguhan singkat tertangkap telinga, ternyata Lorna masih tertidur di sampingnya. 

Pemuda itu mendesah lega. 

Setelahnya Alex terdiam, kembali membaringkan badan seraya menatap kegelapan. Cahaya remang yang menyusup dari luar kamar sedikit banyak jadi pusat atensinya. Penyanyi itu berbalik menyamping, mengeraskan rahang saat mengingat kejadian semalam. 

Lorna bahkan tak perlu sampai memohon-mohon hingga jatuh harga dirinya di depan Alexander, seperti yang pernah dilakukan wanita lain, karena dari awal laki-laki itu sendiri yang memutuskan berdiam di sini. 

Aneh. Harusnya Alex semakin sesumbar saat Lorna menunjukan sifat lunaknya semalam, rekata perempuan itu mulai luluh  dengan segala pesona yang ia miliki. Bukankah hal itu semakin membuktikan betapa kuat serta tingginya posisi Alex diantara kaum laki-laki? Dengan segala kesuksesan yang ia capai, banyaknya pujian yang tak henti menyapa telinga, serta jejeran perempuan senantiasa tunduk pada kehendaknya.  

“Hey ....” Lirihan itu tak akan terdengar kalau saja jarak si pemuda lebih dari 30 senti jauhnya. 

Lamuman itu terpecah, Alex mendekati telinga Lorna. “Kenapa? Butuh sesuatu? Mau minum?” 

Entah kerasukan setan apa, laki-laki yang biasanya hanya peduli pada bagian tertentu dari para wanita ini tetiba tampak khawatir. Ini yang mengganjal bahkan pada pikirannya sendiri. Alex malah merasa khawatir. Saat ia tahu Lorna berkumpul–lebih dari sekadar bertegur sapa sampai berbagi pikiran dengan para sahabatnya. Mengetahui perempuan yang awalnya ia pikir hanya akan dimanfaatkan sesuai hasrat seksualnya saja kini malah masuk ke kehidupan Alex sendiri, secara perlahan-lahan. 

Alex sendiri sampai rela meninggalkan apartemennya dengan tubuh lelah, setelah terbang belasan jam dengan sang kekasih, hanya ingin menemui manusia ini. 

Lorna kedapatan tersenyum tipis, sepasang kelopak membuka dengan sorot layu menyapa dunia. “Ponsel.” 

“Mhm, mau apa?” Alex menegakan punggung, tangan kekarnya bergerak meraba nakas di samping ranjang. Meraih benda pipih yang masih tersambung dengan kabel pengisi daya. 

“Mengabari sekretarisku, aku ... cuti hari ini.” 

Netra gelap memicing sendiri tanpa ia sadari, "Asataga, kalau mau menghabiskan waktu denganku kenapa tak bilang dari kemarin?" 

Lorna mendecak keras, namun ia tak membalas perkataan tengil laki-laki yang semalaman menjaganya dari mimpi buruk ini. Badan gadis itu terlalu lemas, sampai-sampai bertutur kata saja membutuhkan banyak tenaga. Kebiasaan bekerja serta menyibukan diri sebagai distraksi sudah dimiliki gadis itu sedari usia dini. Kalau badannya diam, pikiran Lorna seringkali 

Alex mendengus geli sebelum mencabut kabel pengisi daya dari ponsel perempuan simpanannya, “Nanti saja agak pagi." 

“Nanti lupa." Kata Lorna seraya berusaha bangun, usahanya gagal karena badan kurus itu langsung ambruk kembali. Pusing serta dengungan di telinga kian menyerang tubuh si pengacara. Lorna sedikit merintih, mendapat ringisan kecil dari laki-laki di sampingnya. 

“Oke, oke. Biar kupanggilkan.” Alex menekan tombol daya, langsung disambut tampilan layar yang menunjukan poster film kedua Star Wars. Cowok itu menautkan kedua alis saat menyadari ponsel Lorna tak dikunci, dengan sekali usapan, tampilan beranda langsung terbuka. 

“Neil.” 

Sebelum sempat protes, Lorna menyebutkan nama yang harus Alex panggil. 

“Nama kontaknya Neil?” 

“Iya.” 

Alex terdiam, kedua telapaknya menggenggam ponsel Lorna dengan jempol yang masih tak bergerak. Sontak pemuda itu melirik Lorna, mengeluarkan isi pikiran yang baru saja terlintas di kepalanya. 

“... sekretarismu laki-laki?” 

“Al.” 

“Iya, oke. Maaf. Refleks.” 

Alex salah tingkah. 

Seorang Leon Alexander yang selalu punya karisma di depan wanita kini pipinya memerah karena ketahuan mempertanyakan hal setidakpenting itu pada sang pengacara. Kalau saja Lorna sedang dalam keadaan sehat, pasti ia balik menjahili si pemuda. 

“Ah, iya. Ini Leon Alexander, aku teman Lor—“ 

Perkataan Alex terhenti di tengah kalimat, Lorna menebak, Neil langsung mencecar banyak pertanyaan dengan tidak sabaran. 

Salah satu alasan Lorna mempekerjakan Neil Thompson, adalah personalitinya yang jauh berbeda dengan gadis itu sendiri. Supaya seimbang, agar tak sama-sama banyak diam. 

“Ada kok, sedang sakit.” Dua pasang netra bertabrakan, Lorna balik menatap Alex di tengah kegelapan. 

"Iya, Nona Lehnserr tak enak badan, lebih dari itu, ia demam tinggi. Makanya hari ini cuti.” Permpuan itu mendengus geli saat Alex mengucap embel-embel Nona sebelum memanggil namanya. 

“Bukan urusanmu, untuk apa bertanya seperti itu?” 

Dengusan geli tadi berbuah tawa kecil, Neil pasti bertanya siapa dan apa korelasi Alex dengan Lorna sampai-sampai bisa memegang ponsel si pengacara di jam sepagi ini. Mana pemuda itu juga menyebut mereka tengah bersama, Neil sangat strict pada orang-orang di sekitar Lorna. 

Berbeda dengan Andrew dan Marija yang cenderung membebaskan, si sekretaris lebih kurang berperan sebagai Kakak yang tak pernah Lorna miliki. 

“Nak, dengar. Aku boleh congkak, kau tidak.” 

“Al.” 

“Motherfucker.” 

Alex menjauhkan ponsel gadis itu dari telinganya yang sedikit pengang. Bagaimana tidak, laki-laki yang baru saja ia panggil tiada henti melempar praduga jelek pada dirinya. Alex kaget Lorna bisa bekerja dengan manusia seperti itu, berpikir bahwa dirinya sendiri lebih baik padahal sama-sama kasar dalam berbicara. 

Kemudan keduanya disapa hening. Alex terang-terangan menatap gadis yang masih berbaring dengan tatapan menelisik. Lorna mengenakan piyama pendek yang semalam Alex pakaikan, tak didahului pakaian dalam karena perempuan itu menolak– katanya gerah dan tak nyaman saja apalagi sedang demam. 

Waktu berjalan cepat, Lorna tak bisa berpikir apa-apa sekarang. Kesadarannya berada di perbatasan realita dan dunia mimpi. Sehingga tatapan Alex tak terlalu mengganggu diri. 

Saat cahaya matahari menyusup masuk, menyirami kedua manusia itu dengan hangat yang perlahan membangunkan kesadaran, Alex tak kembali tidur. Lorna senrdiri sedikit mengerjap saat nyawanya terkumpul, mendapati sorot kantuk yang terpancar dari netra gelap. 

“Kau tak mau pergi?” Tanya perempuan itu dengan suara yang semakin serak. 

Senyuman tipis tersamar sempurna akibat laki-laki itu berbaring memunggungi cahaya. Helaian-helaian rambut yang menutup sebagian wajah disingkap pelan, ibu jari mengusap pipi. Mengagumi ciptaan Tuhan yang sudah sepatutnya dicintai sepenuh hati. 

Dalam kepala, Alex memuji setengah mati. Saat wajah Lorna terlihat sepenuhnya sesuatu tentang sang pengacara membuat Leon Alexander terpesona. Tak mampu mengalihkan pandang, terjebak pada sepasang netra coklat yang terbiaskan cahaya. 

Ini bahaya. Laki-laki itu malah terkelu selama beberapa saat, masih mengagumi pemandangan yang ada di depan mata. 

Alex menautkan alis, "Kau mengusirku?" 

Beruntungnya, si penyanyi punya cetakan sifat serta tabiat khusus yang bisa ia keluarkan di saat keadaan membutuhkan. 

“Bukan, ih!” Lorna melempar bantal kecil yang biasa ia jadikan mengganjal punggung. Tertangkap sempurna oleh telapak si pemuda, bantal itu malah ia rangkul erat-erat. 

“Cassie kemarin menanyakanmu. Jahat sekali kau tidak hadir di hari ulang tahunnya.” 

Alex bergumam, “Harusnya aku pulang lebih awal, tahu. Hanya saja ada beberapa hal.” 

“Hal apa.” Lorna bertanya dengan nada lurus. 

Pura-pura tidak tahu, padahal gadis itu yakin pasti ada hubungannya dengan Regina. 

“Bukan urusanmu.” 

“Cih.” 

Kedua manusia itu kembali pada sifat alaminya masing-masing. Sekejap Alex berhasil mengusir pikiran kecil yang sedari tadi mengganggu kesadarannya, perihal untuk apa cowok itu sampai menginap di rumah Lorna. 

Maksudnya, secara harfiah, ngapain sih Alex sampai harus menginap segala? 

Lorna sendiri punya jawaban meskipun hanya sebatas prasangka, laki-laki itu merasa bersalah. Ia sadar seluruh aktivitas serta percakapan yang terjadi antara dirinya dan Regina tempo hari dalam pengetahuan Lorna hingga hari ini. 

Tapi 'kan Alex tak punya tanggung jawab apa-apa kepada si pengacara, kenapa tak mengabaikannya saja? 

“Nona Lehnserr?” Seorang pembantu mengetuk pintu kamar si gadis seraya memanggil nama majikannya. 

Alex mengerang, buru-buru berdiri meskipun beberapa kali Lorna berusaha menahannya. Gadis itu akhirnya menyerah. 

“Kenapa?” Tanya Alex singkat, dengan wajah bangun tidur serta rambut berantakan, memasang senyum seramah mungkin. 

Figur asisten rumah tangga itu kelihatannya masih gadis, lebih muda beberapa tahun dari Lorna sendiri. Terperangkap pada pesona Alex, ia tersipu malu. "Dokter Mathius telah datang.” 

“Mhm,” Alex membukakan pintu kamar lebih lebar. 

Ia berkata dengan suara agak keras. "Hey, Dokter pribadimu datang." 

Lorna mengacungkang jempol tanpa menjawab lebih. 

“Tuan ....” 

“Alexander.” Pemuda itu bersender pada sisi pintu, senyum lebar serta tatapan sayu masih menempel pada figur tampannya itu. 

“Tuan Alexander, apa Tuan membutuhkan sesuatu?” 

“Kau hari minggu sibuk tidak?” 

“Leon, Demi Tuhan.” Lorna berteriak dari atas kasur– dengan suara yang hampir habis. 

Alex tertawa kencang. Asisten rumah tangga barusan membungkukan badan sekejap, berbalik dengan langkah cepat. Buru-buru keluar dari pandangan Alex, pipinya memerah padam. 

Setelahnya, dua orang laki-laki tampak memasuki ruang tamu. Alex sempat beradu tatap dengan seorang laki-laki paruh baya yang berjalan duluan, sementara seorang pemuda berbadan besar mengekorinya dari belakang. 

“Hei, kau memanggil dua orang Dokter sekaligus? Seperti mau melahirkan saja.” 

Alex berjalan mendekat seraya meraih jaket denimnya yang tergeletak di bawah ranjang, telapak kasar meraba alat komunikasi yang sejak semalam belum disentuh sama sekali. 

“Hah? Kau bicara apa?” Gadis itu makin jengkel dengan racauan Alex yang menurutnya sangat ngawur. 

Pikiran Lorna sedang tak bisa diajak menyelami hal-hal tak penting, apalagi berpikir berat. 

“Lorna?” Suara bariton itu menggema setelah sebelumnya didahului ketukan pelan, Lorna berdeham. 

“Dokter Mathius.” 

Seorang pemuda di belakang sang Dokter tampak memiringkan kepala, tersenyum tipis seraya bergumam menyapa. 

“Oooh, Robert.” Sapa Lorna, dengan nada yang sedikit dibuat-buat. 

Kedua laki-laki itu masuk, sementara Alex masih memindai pesan yang memenuhi notifikasinya. Beberapa panggilan tak terjawab datang dari Regina George, sementara grup percakapan bersama teman-temannya diisi sindiran keras pada si pemuda.  

Lorna kembali melempar bantal kecil saat diliriknya Alex sibuk dengan ponsel yang ia genggam, cowok itu buyar dan malah mengendikan bahu. “Aku mandi dulu.” 

“Mau ke rumah Cassie?” 

“Iya.” 

“Ikut.” 

“Tak boleh.” 

“Aku memaksa.” 

“Masa bodoh.” 

“Alexander!” 

Alex berjalan mundur menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar, memasang wajah tengil seraya mengacungkan jari tengah. 

“Kau Overworked.” Celetuk Dokter Mathius, beberapa saat setelah Lorna berhenti memandangi pintu di seberang ruangan.  

“... kau bahkan belum memeriksa suhu tubuhku.”

Saku jas putih itu dirogoh, tampak senter kecil yang segera diarahkan ke mata si perempuan, beberapa saat kemudian berpindah ke depan mulut. 

“Bukan sehari dua hari aku mengabdi pada keluargamu, Lehnserr." Sang Dokter kemudian melingkarkan alat tensi darah pada lengan atas si pasien.

“That workaholic ass is running through the family gene, huh?” Canda Dokter Mathius seraya menatap lurus.

Senyum ironis dilempar Lorna, “Yah ... kau tahu.”

“Sedang menangani kasus apa?” 

Robert Douglass, bertanya basa-basi agar terlibat dalam konversasi. Selanjutnya Lorna malah terdiam. 

Saat Alex memanggilnya tempo hari, gadis itu tengah mencermati berkas klien barunya. Allison Rhode, seorang korban pelecehan seksual yang baru berani menuntut balik setelah beberapa tahun dari kejadian. 

Really put things into perspective, perempuan itu seumuran dan bertempat tinggal tak jauh dengan Lorna. Kadang Putri keluarga Lehnserr ini suka bergidik ngeri saat kejahatan-kejahatan besar melibatkan manusia seusia dirinya sebagai tersangka.

Pembunuhan, perampokan, narkoba serta minuman keras yang belum waktunya dikonsumsi pada umur belia. Hal yang seharusnya menjadi biasa untuk mereka yang berprofesi sebagai pengacara, apalagi keluarga Lorna terlibat langsung pada birokrasi politik di negara ini. Andrew cukup pintar mendidik sang putri, pelan-pelan agar tak menjadi trauma atas kebobrokan politikus yang diperlihatkan olehnya.

“You know you can tell us everything.” Seru Dokter Mathius saat diliriknya Lorna melamun terlalu lama.

Robert mendudukkan diri di ujung ranjang, “Yeah. We haven’t spoke since my birthday party last year. Padahal kau biasanya banyak berbicara.”  

Lorna memutar bola mata, enggan membahas masa lalu yang tak lolos seleksi masuk ingatan jangka panjang. 

“Right,” Dokter Mathius tiba-tiba tertawa mengejek. “Aku baru ingat kalian pernah berpacaran.”

“Oh really? You just remember that?" Nada kesal terdengar jelas keluar dari bibir pucat, Lorna tak henti memasang ekspresi jijik.

Mathius Douglass dan Robert Douglass adalah teman dekat keluarga Lehnserr, sejak Nyonya Douglass meninggalkan dunia fana, si putra tunggal selalu memperlakukan semua perempuan dengan hormat. Ia selalu bilang, netra hijaunya seringkali melihat sosok sang Ibu di figur perempuan-perempuan yang ia temui.

Tak terkecuali dengan Lorna.

“Well, obatnya hanya pereda demam serta vitamin untuk menambah tenaga.” Kata Sang Dokter seraya meletakan stetoskop yang baru saja digunakan. 

“Jangan memikirkan hal terlalu berat. Nak, kau masih muda. Karirmu bagus, keluarga kaya raya. Punya wajah rupawan. Hal apa yang membebanimu sampai jatuh sakit seperti ini?”

“You know, boys.”

“What?”

“Nah.”

Lorna keceplosan, sungguhan tak sengaja menjawab pertanyaan retoris dengan jawaban yang terlintas di kepala. 

Dokter Mathius menggeleng, “Baik. Aku ada jadwal di Rumah Sakit hari ini. Robbie? Mau langsung ke kantor?”

“I’ll stay here for a while.”

“Okay.”

Dokter Mathius pamit, ia disambut seorang asisten rumah tangga saat menapakan diri di luar kamar Lorna. Perempuan yang tadi diganggu Alex, ia bertugas mengantarkan sang Dokter ke pintu depan.

“What in the actual fuck are you doing here.”

Robert tertawa kecil, “Kau masih tak bisa basa-basi ya.” 

Pemuda itu menjatuhkan diri di atas ranjang, namun kakinya masih menapak pada lantai kamar. Setengah berbaring, Robert memejamkan mata, menghirup aroma familiar yang belakangan hilang dari jangkauan penciuman.

“Ya.”

Senyum tipis dipatri manis, “Yang menerima pesanmu pagi tadi itu aku, cara mengeja kalimatnya bukan seperti milikmu atah Ayah Andrew. Aku penasaran saja, sekalian mampir kesini.”

“Penasaran ya.” Celetuk Lorna dengan nada datar.

“Stop it.”

“No. You stop.”

Robert mengerang, tahu bahwa dirinya tak bisa berdebat lama-lama dengan si perempuan. "Yah, maaf."

“Jadi?” Lorna menaikkan kedua alis. 

Selain karena tidak nyaman akan presensi sang mantan, gadis itu risi karena konversasi mereka hanya dijalani berdua. Sementara, di ruangan itu, ada tiga pasang telinga. 

“Aku kenal Allison Rhode.” 

Robert menegakan punggung, ia terbangun dengan surai blonde yang berantakan akibat bertabrakan dengan kasur Lorna.

“You do?”

“We were friends in highschool.”

“Oooh.” Lorna mulai mengerti arah pembicaraan ini akan kemana perginya.

“Yeah, mantan kekasihnya adalah teman dekatku.” 

Robert menghela nafas, diliriknya si netra coklat yang masih terlihat sayu. Tak luput dari pandangan si pemuda juga ada kantung mata serta garis-garis hitam yang menghiasi muka.

"Adalah? Berarti sekarang masih?" 

Selanjutnya laki-laki itu hanya berdeham, berjalan mendekat agar bisa menatap lebih lekat si pengacara. 

Kali ini Lorna tak akan runtuh.

“Lora,” Laki-laki itu menyebut nama kecil yang selama ini melekat hanya diantara mereka berdua. 

Selanjutnya Robert mengusap pelan bahu si perempuan, “Janji ya jangan terlalu keras pada dirimu sendiri?”

“Aku tak tahu kau berbicara apa.” Lorna menepis tangan mantan kekasihnya itu. Tak pernah terbiasa dengan kontak fisik memang jadi personalitinya sedari kecil.

“Keluarga mantan kekasih Allison bukan orang-orang baik. Kalau kau menemui buntu di tengah persidangan, aku mohon, mundur saja.”

“Really?”

Suara yang keluar terdengar seperti berasal dari dasar tenggorokan, parau ditambah tatapan nanar. Lorna tak percaya dengan apa yang baru saja Robert katakan. Dari semua orang, Robert adalah salah satu manusia yang mengenal gadis itu luar dalam.

Segala luka serta derita, semua mimpi dan bahagia, Robert tahu. Robert pernah ada di situ saat si gadis mengalami hal-hal besar dalam hidupnya.

“Aku tahu seberapa tingginya harga dirimu– sekeras apa kau belajar sampai bisa berada di titik sekarang. Sekuat apa idealisme yang kau miliki." Robert melembutkan suara saat menyebut hal yang baru saja terpintas di pikiran Lorna.

"That we might see." Lorna menyerah. Ia tak mau mendebat Robert lebih jauh, pusing kembali menerpa kepala. Si laki-laki terbawa suasana sampai lupa bahwa mantannya tengah sakit.

"Dia bilang," Gadis itu kembali bersuara seraya memijat pelipis.

"I'm all ears."

"Alasannya sulit memutus hubungan dengan laki-laki itu karena manipulasi. Lalu setiap kali berusaha move on, Allison selalu terperangkap pada kenangan serta hal-hal baik yang terjadi selama hubungannya dengan Julius berlangsung." 

"Mhm." Robert mengangguk paham.

Lorna mendesah kesal, berusaha mencari informasi kecil dari teman dekat si tersangka kasus yang tengah ditangani. "Salahnya di situ, ia hanya mengingat hal-hal baik. Padahal yang membuatnya menderita adalah bukan hal baik, dan jumlahnya lebih banyak." 

"Like a supercut?" 

"Hm?" 

Dari balik pintu kamar mandi, Alex menyenderkan punggung telanjang pada tembok dingin. Rambut basahnya dibiarkan begitu saja sementara anduk kecil hanya menutup bawah pusar sampai atas lutut. Masih terdiam, ia menunggu Robert keluar dari kamar si perempuan. Canggung bercampur malu, pemuda itu merasa dilabrak karma atas kejadian telepon yang lupa dimatikan tempo hari.

"Potongan-potongan momen indah yang dijadikan dalam satu video penuh. Tapi hanya potongan yang bagus saja, kau tahu." 

Robert menatap lurus, "I read it somewhere." 

“Yeah, a supercut.” Jawab Lorna singkat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status