Share

3. DUNIA BUMI

Author: Lampard46
last update Last Updated: 2025-10-21 19:06:13

Sang Pohon Dunia menundukkan ranting sucinya, menyentuh lembut kening bayi kecil itu — He kecil. Dalam sekejap, tubuh mungil itu diselimuti cahaya putih keperakan, lalu menghilang dari Istana Surya, melesat menembus lapisan dimensi menuju dunia bawah yang jauh dan terpencil. Di sana, di sebuah planet kecil di galaksi Bima Sakti, di negeri antah berantah di atas bukit berlumut hijau, udara spiritual begitu tipis hingga hampir tak terasa.

Sementara itu, cahaya yang sama turun perlahan. Seorang pria berotot dengan jubah perang compang-camping muncul bersamaan dengan bayi itu. Dialah He Lagus, Menteri Perang Kekaisaran Alam Matahari. Napasnya berat, matanya menatap ke sekeliling — dunia asing, sunyi, dan liar.

Ia menggendong bayi kecil itu dengan hati-hati, tersenyum getir. “Aku, He Lagus, Menteri Perang Kekaisaran Alam Matahari, bersumpah akan membesarkanmu, Pangeran kecilku. Ayahmu, Sang Kaisar, telah memberimu nama... Sura. Maka mulai hari ini, aku akan memanggilmu: He Sura.”

Tawanya menggema keras di antara pegunungan yang tak bernama. “Hahahahahaha!” Suara itu memantul di bebatuan, seperti sorakan kesetiaan yang takkan pudar.

Hari-hari awal di dunia itu tidak mudah. Lagus menyusuri lembah dan hutan, berharap menemukan perkampungan manusia, tapi sepanjang jalan hanya binatang buas, siluman lapar, dan monster liar yang ia temui. Namun akhirnya, di balik lembah berkabut, ia menemukan sebuah bangunan besar — tampak kokoh dari jauh, tapi begitu ia dekati, jelas bahwa rumah itu sudah lama ditinggalkan.

“Tuk... tuk... tuk...” Ia mengetuk pintu berkali-kali. Tidak ada jawaban. Dengan dorongan kecil, pintu itu roboh dan rusak sebelah.

Di dalamnya, suasana lembap dan sunyi. Jaring laba-laba menggantung di langit-langit, debu menutupi lantai, dan angin berdesir lewat celah dinding yang retak. Meski begitu, halaman rumah itu masih ditumbuhi pohon buah liar. Lagus menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Yah... sepertinya tempat ini cukup baik untuk memulai hidup baru.”

Ia meletakkan Sura kecil di atas meja kayu lapuk di teras rumah. “Mulai sekarang, inilah rumah kita.”

Hari-hari berikutnya, Lagus bekerja keras memperbaiki rumah itu. Dengan sisa-sisa alat perang yang dulu ia gunakan untuk membangun barak, ia menebang pohon, menambal dinding, mengganti tiang yang lapuk, dan membuat saluran air sederhana. Dalam waktu singkat, reruntuhan itu berubah menjadi rumah sederhana namun hangat.

Rutinitas pun dimulai: berburu di hutan, mengumpulkan buah, menyiapkan makanan, dan tentu saja, menjaga si pangeran kecil. Setiap tawa, tangisan, dan senyum Sura membuat Lagus lupa akan segala luka dan kerinduan masa lalunya. Ia, yang dulu hanya hidup untuk berperang, kini hidup untuk tertawa bersama anak itu.

Bagi Sura kecil, dunia hanyalah rumah kecil mereka, dan Lagus — ayah satu-satunya yang ia kenal. Ia tak pernah bertanya siapa ibunya, di mana keluarganya, atau mengapa hanya mereka berdua. Baginya, Lagus dan rumah sederhana itu adalah segalanya.


Lima belas tahun kemudian.

Ayah Lagus! Hari ini usiaku sudah lima belas tahun!” seru Sura sambil membawa ikan hasil tangkapannya.

Lagus menoleh sambil tertawa. “Hahaha! Ya, aku tahu. Lalu kenapa, pangeran kecilku?”

Sura menegakkan dada. “Ayah sudah berjanji, kan? Katanya kalau aku sudah berumur lima belas tahun, ayah akan mengajarkanku semua teknik yang ayah miliki!”

“Heh...” Lagus menyeringai kecil. “Jadi kau masih ingat janji itu?”

“Tentu saja!” jawab Sura mantap. “Aku ingin jadi kuat seperti ayah. Aku ingin melindungi orang lain... seperti yang selalu ayah lakukan dulu!”

Lagus menatap anak itu dengan bangga. “Kau benar-benar anakku, hahaha! Tapi sebelum itu, ayah ingin bertanya sesuatu.”

“Apa itu?” tanya Sura.

“Nak, apa kau sudah bisa merasakan kekuatan dantian-mu?”

“Dantian?” Sura mengerutkan dahi. “Itu apa, Ayah?”

“Dantian adalah pusat energi dalam tubuh manusia, tempat mengolah Qi. Biasanya, kultivator harus membuka meridian untuk menyalurkannya... tapi kau berbeda, Sura.”

Sura menatap kosong. “Tapi aku tidak merasakan apa pun...”

“Tidak apa,” Lagus menepuk bahunya. “Kau akan tahu nanti. Tapi sebelum ayah mengajarkanmu segalanya, ada sesuatu yang harus ayah ceritakan.”

Sura memiringkan kepala. “Tentang apa?”

“...Tentang asal-usulmu.”

Sura menatap serius. “Asal-usulku?”

Lagus menghela napas panjang. “Kau... bukan anak kandungku, Sura.”

Keheningan turun di antara mereka.

“Apa maksud Ayah?” suara Sura bergetar.

“Kau adalah putra kedua Kaisar Alam Matahari. Di dunia asal kita, anak kembar dianggap tabu. Maka, satu dari kalian harus disingkirkan...” suara Lagus semakin pelan.

Sura terdiam, lalu menatap ke tanah. “Jadi... aku yang dibuang?”

Lagus menunduk. “Ayahmu tidak punya pilihan. Ibumu pun tidak bisa melawan keputusan itu.”

Air mata menetes di pipi Sura. “Kenapa... hanya aku? Kenapa bukan dia? Apa aku tak pantas hidup di sisi mereka?”

Lagus mendekat, memeluknya erat. “Kau bukan anak buruk, Sura. Mereka mencintaimu... hanya saja dunia kita tidak memberi mereka pilihan.”

Sura menutup matanya, bahunya bergetar. “Aku percaya padamu, Ayah... tapi rasanya sakit sekali.”

Lagus tersenyum lembut, mengusap air matanya. “Kalau begitu, jadilah kuat. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk membuktikan bahwa kau bukan beban surga. Kau adalah berkah.”

Sura mengangguk pelan. “Baik, Ayah. Tapi aku tidak akan hidup untuk membuktikan apa pun. Aku hanya ingin membuat orang lain bahagia. Itu sudah cukup bagiku.”

“Bagus,” kata Lagus bangga. “Itu baru anakku!”


Hari itu, Lagus mempersiapkan ritual terakhir pengajaran.

“Nak, ayah akan mentransfer semua ingatan dan kemampuan ayah ke dalam dirimu. Kau harus rileks. Jangan lawan energi ayah sedikit pun. Kalau tidak, bisa fatal.”

“Ha? Aku bisa melukai ayah?” Sura bingung.

“Heh, dulu waktu kau tiga tahun, ayah pernah coba memeriksa tubuhmu, dan kultivasi ayah langsung turun satu tingkat!” Lagus tertawa pahit.

Sura menunduk. “Maaf, Ayah...”

“Tidak apa! Kau anak yang lembut.” Lagus tersenyum, lalu menempelkan dua jarinya ke kening Sura.

Aliran energi hangat mengalir ke tubuh sang anak. Sura merasa dunianya bergetar — dan seketika ia melihat lautan spiritual di dalam dirinya: luas tanpa batas, seperti alam semesta tanpa ujung.

“Laut spiritual ini... luar biasa,” gumam Lagus di dalam pikiran. “Ini bukan lautan... ini benua... bahkan lebih besar!”

“Ah... Ayah?” panggil Sura gugup.

“Ayah tak bisa menemukan pusat energimu... terlalu luas!”

Sura memejamkan mata. “Kalau begitu, biar aku bantu. Aku akan memikirkan Ayah.”

Dalam sekejap, muncul sosok raksasa menyerupai Lagus di dalam lautan spiritual itu, dikelilingi sepuluh bola matahari bersinar.

Lagus tertegun. “Sepuluh Dongtian Matahari?! Aku hanya punya tiga dunia biasa! Nak... kau benar-benar monster.”

Ia tertawa getir. “Kaisar bodoh... kalau tahu betapa hebatnya anak yang ia buang, mungkin ia akan menyesal seumur hidup.”

Lagus lalu mulai mentransfer seluruh ingatan dan kemampuan miliknya. Namun tiba-tiba, energi Sura berbalik, menyedot jiwa Lagus dengan kekuatan mengerikan. Ia berteriak menahan sakit dan memutus sambungan spiritual secara paksa.

“Uhuk... uhuk...” Ia tersungkur, tubuhnya gemetar.

“Ayah! Kau kenapa?!” Sura panik.

“Tenang, nak. Serap dan pahami semua pengetahuan itu. Jangan pikirkan ayah. Aku akan pulih... cepat atau lambat.”

Sura menggigit bibirnya, lalu menutup mata. “Baik, Ayah.”

Beberapa saat kemudian, Lagus berdiri lemah, menatap putra asuhnya yang tenggelam dalam meditasi.

“Nak, ingatlah... kau tidak perlu berkultivasi seperti yang lain. Dunia akan tunduk padamu jika kau tahu cara mendengarnya. Ayah harus pergi sementara... tapi ayah percaya padamu.”

Ia menaruh cincin penyimpanan di dekat meja. “Jika kau sudah bangun, tuangkan Qi-mu ke sini. Tapi jangan pernah memasukkan makhluk hidup ke dalamnya.”

Sebelum pergi, ia menatap anak itu untuk terakhir kali. Air mata menetes pelan. “Maafkan ayahmu, Sura. Aku tak bisa selalu di sisimu. Kau harus menemukan jati dirimu sendiri.”

Lagus terbang ke langit, menghilang dari dunia kecil itu, kembali ke Alam Matahari — tempat takdir menunggunya.


Dua tahun kemudian.

Sura duduk bersila di ruang meditasi. Aura tubuhnya tenang dan harum. Wangi itu begitu kuat hingga tercium sejauh sepuluh meter.

“Hmm... aroma yang lezat,” bisik sebuah suara lembut dari kegelapan. “Sudah lama aku tak makan manusia seharum ini.”

Bayangan meluncur cepat menembus pintu — BRAKK! — seorang wanita siluman berambut perak muncul, matanya merah menyala.

“Hahaha... akhirnya, makanan yang sempurna!” Ia melangkah mendekat, jemarinya menyentuh lembut wajah Sura. “Begitu halus... aku tak sabar mencicipimu.”

Ia membuka mulutnya lebar-lebar.

“Haap—”

DUARRRRRRR!!!

Ledakan energi spiritual meledak dari tubuh Sura, menerangi seluruh gunung. Kilatan cahaya emas membelah langit malam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   217. KEMAMPUAN BAWAAN

    Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   216. Kedatangan Sang Dewa Pemberontak

    --- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   215. Segel Langit & Kebangkitan Iblis

    Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   214. ORB PENGHANCUR DUNIA

    Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   213. PUSARAN PEMUSNAH

    Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   212. PUSARAN KEMURKAAN HE SURA

    Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status