Home / Fantasi / SURA, PANGERAN TERBUANG / 4. KILATAN DI LANGIT DAN SANG PEMUDA YANG BANGKIT

Share

4. KILATAN DI LANGIT DAN SANG PEMUDA YANG BANGKIT

Author: Lampard46
last update Last Updated: 2025-10-21 19:10:35

Wanita iblis itu mengelus lembut wajah mangsanya, jari-jarinya bergerak pelan seperti ular licin yang membelai daging segar. Ia mendekat, menghirup dalam-dalam aroma tubuh mangsanya—wangi darah, ketakutan, dan kehidupan yang siap dilahap. Bibirnya menegang, terbuka lebar dengan senyum haus, dan dalam sekejap—

“Haap.”

Ia melahap mangsanya.

Dan seketika—

DUARRRRR!!!

Sebuah pukulan ringan dari Sura menghantam tubuh wanita siluman itu, menghancurkannya menjadi debu tanpa sisa. Cahaya ledakan pukulannya menembus langit, menciptakan lubang besar di antara awan. Cahaya itu menjulang tinggi, dapat terlihat dari seluruh penjuru dunia—seolah surga sendiri terbelah oleh tangan seorang manusia.

Sura memandangi telapak tangannya dengan mata melebar, masih belum percaya bahwa kekuatan sebesar itu berasal dari dirinya.

“Hahahahahaha! Ayah! Aku berhasil! Aku berhasil, Ayah!” teriaknya dengan tawa yang pecah dan penuh kebahagiaan. Ia menengadah, seolah suara itu bisa menembus langit untuk mencapai sosok ayahnya, He Lagus.

Sementara itu, di berbagai penjuru dunia—

“Apa yang sedang terjadi?!”

“Kekuatan siapa yang mampu merusak langit seperti itu?!”

“Ini kekuatan para dewa… jangan-jangan… dewa turun ke bumi?”

“Atau mungkin… artefak langit jatuh ke dunia bawah?”

Suara-suara bingung dan panik terdengar dari para monster, manusia, dan siluman yang menyaksikan lubang besar menganga di langit. Tiba-tiba, petir menyambar dari celah itu dan menghantam sebuah pegunungan, menghancurkannya hingga rata dengan tanah. Batu-batu berterbangan, udara bergetar, dan tanah bergetar hebat.

“Penyerangan dari dunia atas! Semua bersiap!” teriak seseorang.

“Aku yakin! Artefak dewa jatuh ke dunia bawah!” sahut yang lain dengan mata berbinar tamak.

“Kalau begitu, dunia akan kacau lagi… malapetaka akan datang,” gumam seorang kultivator tua sambil melompat pergi, “aku harus memperingatkan kepala suku agar semua bersembunyi.”

Di dunia atas—disebut oleh manusia sebagai Alam Para Dewa—suara dentuman besar bergema. Qi berbentuk kepalan tangan menghantam ujung menara langit, menghancurkan kediaman para penghuni surgawi. Artefak Pedang Kaisar, simbol kekuasaan dunia atas yang disegel di puncak menara selama ribuan tahun, terlepas dan melesat jatuh menembus lapisan dunia.

Jubb…

Sebuah lempengan besi panas tertancap di tanah, tepat di pekarangan rumah Sura. Asap mengepul dari benda itu, menghanguskan rerumputan di sekitarnya.

Sura mendekat, menatapnya dengan penasaran.

“Apa ini?” ucapnya pelan.

“Seperti… rongsokan tak berguna,” gumamnya lalu melempar benda itu ke belakang dengan cuek.

Ia meregangkan tubuhnya, melangkah ke luar rumah. Dua tahun duduk bersila untuk menyerap ilmu He Lagus membuat tubuhnya kaku.
Kruuukkk.

Perutnya berbunyi keras.

“Wah, aku lapar sekali… sudah berapa lama aku tidak makan, ya?” katanya sambil menyalurkan Qi ke cincin penyimpanannya. Namun isi cincin itu kosong. Tidak ada makanan sama sekali.

“Ah… bahkan sepotong roti pun tidak ada. Aku lapar sekali…” keluhnya, lalu rebah di lantai pekarangan, lemah dan kehabisan tenaga.

Di dunia atas, suara keras menggema.

“Seluruh Jenderal Langit, berkumpul!” perintah Raja Langit.

“Salam Yang Mulia Raja!”

“Salam Tuan Abadi!” jawab para jenderal langit yang berdatangan dari segala arah.

“Artefak Pedang Kaisar Langit—simbol kekuatan dunia atas—telah menghilang! Dihancurkan oleh kepalan Qi yang muncul dari dunia bawah,” ujar sang raja dengan nada murka.

“Sang Kaisar Agung memerintahkanku untuk menemukannya, apa pun biayanya! Siapa pun yang menghalangi, atau menemukannya lebih dulu dan menolak menyerahkan… penggal saja kepalanya!

“Baik, Tuan Agung!” seru para jenderal bersamaan.

Mereka pun bergegas, pasukan langit menyebar ke segala penjuru dunia bawah untuk mencari pedang artefak itu.

“Huah…” Sura menguap panjang. Ia baru saja bangun dari tidurnya yang lemas karena kelaparan.

“Sungguh memalukan, aku sampai tertidur karena lapar…” keluhnya.

“Dari ajaran Ayah, seharusnya aku tak perlu makan. Tapi kenapa… aku tetap lapar?” gumamnya sambil memegang perut.

Ia mencoba mengolah Qi di dantian, namun rasanya lemah. “Apa ini yang dimaksud Ayah… bahwa aku berbeda dari kultivator lain?” katanya pelan.

“Ayah, di mana kau? Kenapa belum kembali?” lirihnya menatap langit. “Ah… ya sudahlah. Aku akan menunggu di sini.”

Ia berusaha berdiri, meski tubuhnya gemetar karena lapar. “Aku harus berburu. Tapi… tak ada tenaga. Bahkan seekor burung pun tak lewat…”

Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari langit dengan kecepatan tinggi—
BAMMMM!

Seorang wanita terhempas tepat di hadapannya, jatuh keras di pekarangan rumah.

“Auuh… sakitnya…” keluh wanita itu.

Sura menatap heran. “Seorang wanita?”

Beberapa detik kemudian, suara ledakan lain terdengar. Seorang pria berkulit hitam, berotot, bermata merah, dan berambut jingkrak turun dengan aura iblis pekat.

“Nona Lin Boa!” teriaknya. “Jangan pikir kau bisa lari dariku! Aku Iblis Naga Il-Ao, bukan orang yang bisa kau permainkan!”

“Silakan saja kalau berani! Ayahku akan membunuhmu!” balas Lin Boa dengan tajam.

Sura memandangi mereka dari kejauhan. “Mereka bertarung? Apa urusan mereka…?” gumamnya. Namun pikirannya segera terarah pada sesuatu yang lebih penting. “Tunggu… mereka pasti punya makanan di cincin penyimpanan mereka!”

Ia tersenyum lebar. “Hahahaha… akhirnya aku bisa makan!” katanya dalam hati, lalu menyapa sopan, “Salam, Tuan dan Nona yang terhormat.”

Lin Boa menatapnya heran. “Seorang manusia? Di tempat terpencil begini?”

“Hey, anak muda,” katanya, “apa kau tak takut mati tinggal di tempat berbahaya ini?”

Sura mengangkat alis. “Aku penghuni rumah ini. Memangnya aku harus ke mana lagi? Lagipula, tak ada hewan buas di sini.”

Il-Ao tertawa kasar. “Kediaman? Hahahaha. Ini rumah tua yang hampir roboh!”

“Terserah apa katamu. Tapi kalian sudah masuk ke wilayahku tanpa izin. Jadi… berikan kompensasi. Aku lapar. Kalian punya makanan, kan?” kata Sura santai.

Lin Boa terkejut. “Apa dia… gila?” pikirnya.

Il-Ao malah tertawa makin keras. “Kompensasi? Baiklah, akan kuberi!” teriaknya sambil melepaskan Qi Iblis Beracun ke arah Sura, lalu menarik rambut Lin Boa.

BAMMM!

Serangan itu menghantam Sura tepat di dada—namun ia tak bergeming sedikit pun.

“Apa hanya segitu kemampuanmu, muka jelek?” ucap Sura datar.

Il-Ao terdiam. Lin Boa ternganga tak percaya. “Serangan sekuat itu… tak berefek sama sekali?” gumamnya.

“Monster jelek,” kata Sura santai. “Kau cuma rumput liar yang disediakan untuk dimakan babi.”

Il-Ao marah besar. “Kau akan menyesal, bocah!” Ia mencabut golok merah darah miliknya—Golok Lethal, artefak iblis kelas tinggi—dan menebaskannya ke arah Sura dengan kekuatan penuh.

“Ting!”

Bunyi logam beradu. Golok itu tertahan di antara dua jari Sura.

Lin Boa membeku. “Dua jari… menghentikan artefak iblis?” gumamnya.

Sura tersenyum tipis. “Segini saja kekuatan penuhnya? Mengecewakan.”

Dalam sekejap, ia mematahkan golok itu dan melemparkan pecahannya. Clep! Leher Il-Ao terputus. Tubuhnya jatuh bersimbah darah.

Dantian Sura bergetar, aliran energi baru mengalir deras ke tubuhnya. Ia tersenyum puas.

“Jadi begini rasanya peningkatan Qi. Hahaha! Akhirnya aku bisa melindungi yang lemah seperti Ayahanda He Lagus.”

Ia melompat kecil dengan riang, lalu memeriksa tubuh Il-Ao.

“Wah, cincin penyimpanan!” serunya. “Tapi aku sudah punya satu… apa yang harus kulakukan?” Ia menoleh ke arah Lin Boa.

“Hei, Nona!” panggilnya.

Lin Boa, masih terpesona oleh kekuatannya, langsung menjawab cepat. “Salam Yang Mulia Agung! Perbatasan dunia atas dan bawah telah hancur di jajaran pegunungan! Semua sekte yakin ada artefak langit yang jatuh. Aku datang bersama pasukanku untuk memastikannya, tapi kami diserang Iblis Il-Ao. Hanya aku yang selamat…”

Sura mengerjap. “Aku bahkan belum bertanya…” gumamnya bingung.

Lin Boa berlutut. “Terima kasih, Tuan, telah menyelamatkanku! Jika bukan karena Tuan, aku sudah jadi sandera istana iblis.” Air matanya menetes.

Sura hanya mengusap dagunya. “Hmmm…”

Lin Boa menatapnya lekat-lekat. Iblis Il-Ao berada di ranah emas inti, tapi mati semudah itu… apa mungkin dia di ranah kelahiran kembali? pikirnya heran.

Sura akhirnya berkata, “Ya sudah, aku bersyukur kau bukan bagian dari kelompoknya.” Ia melempar cincin penyimpanan itu. “Coba buka. Ada makanan di dalamnya?”

Lin Boa mengangguk, lalu menelusuri isinya. “Ada, Tuan. Daging sapi matang.”

“Mantap!” seru Sura. “Cepat kasih ke aku!”

Begitu piring daging itu keluar dari cincin, Sura langsung melahapnya.

“Hahahaha! Makan daging! Makan daging! Makan daging!” serunya girang seperti anak kecil.

Lin Boa menatapnya penuh rasa hormat. “Tuan Muda yang dermawan!” katanya lalu berlutut.

“Nyam-nyam—affa?” sahut Sura sambil mulutnya penuh.

“Tuan Muda telah menyelamatkanku. Izinkan aku membalas budi. Biarkan aku menjadi pelayan yang melayani segala keperluanmu,” ucap Lin Boa dengan wajah memohon, matanya lembut dan menggoda.

Sura terdiam, menatapnya dari kepala hingga kaki—kulit putih bersih, mata merah muda, tubuh ramping dan jenjang, dada besar, dan wajah mungil.

“Boleh juga…” gumamnya dalam hati. “Aku juga butuh seseorang yang bisa memasak.”

Lin Boa tersenyum kecil. “Tuan, aku bisa melakukan apa pun yang kau perintahkan… termasuk—”

Ucapannya menggantung di udara, seiring cahaya senja jatuh di wajah mereka berdua—dan di antara mereka, dunia mulai berubah pelan-pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   217. KEMAMPUAN BAWAAN

    Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   216. Kedatangan Sang Dewa Pemberontak

    --- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   215. Segel Langit & Kebangkitan Iblis

    Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   214. ORB PENGHANCUR DUNIA

    Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   213. PUSARAN PEMUSNAH

    Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.

  • SURA, PANGERAN TERBUANG   212. PUSARAN KEMURKAAN HE SURA

    Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status