LOGINWanita iblis itu mengelus lembut wajah mangsanya, jari-jarinya bergerak pelan seperti ular licin yang membelai daging segar. Ia mendekat, menghirup dalam-dalam aroma tubuh mangsanya—wangi darah, ketakutan, dan kehidupan yang siap dilahap. Bibirnya menegang, terbuka lebar dengan senyum haus, dan dalam sekejap—
Dan seketika—
DUARRRRR!!!
Sebuah pukulan ringan dari Sura menghantam tubuh wanita siluman itu, menghancurkannya menjadi debu tanpa sisa. Cahaya ledakan pukulannya menembus langit, menciptakan lubang besar di antara awan. Cahaya itu menjulang tinggi, dapat terlihat dari seluruh penjuru dunia—seolah surga sendiri terbelah oleh tangan seorang manusia.
Sura memandangi telapak tangannya dengan mata melebar, masih belum percaya bahwa kekuatan sebesar itu berasal dari dirinya.
Sementara itu, di berbagai penjuru dunia—
Suara-suara bingung dan panik terdengar dari para monster, manusia, dan siluman yang menyaksikan lubang besar menganga di langit. Tiba-tiba, petir menyambar dari celah itu dan menghantam sebuah pegunungan, menghancurkannya hingga rata dengan tanah. Batu-batu berterbangan, udara bergetar, dan tanah bergetar hebat.
“Penyerangan dari dunia atas! Semua bersiap!” teriak seseorang.
Di dunia atas—disebut oleh manusia sebagai Alam Para Dewa—suara dentuman besar bergema. Qi berbentuk kepalan tangan menghantam ujung menara langit, menghancurkan kediaman para penghuni surgawi. Artefak Pedang Kaisar, simbol kekuasaan dunia atas yang disegel di puncak menara selama ribuan tahun, terlepas dan melesat jatuh menembus lapisan dunia.
Jubb…
Sebuah lempengan besi panas tertancap di tanah, tepat di pekarangan rumah Sura. Asap mengepul dari benda itu, menghanguskan rerumputan di sekitarnya.
Ia meregangkan tubuhnya, melangkah ke luar rumah. Dua tahun duduk bersila untuk menyerap ilmu He Lagus membuat tubuhnya kaku.
Kruuukkk.
Di dunia atas, suara keras menggema.
Mereka pun bergegas, pasukan langit menyebar ke segala penjuru dunia bawah untuk mencari pedang artefak itu.
“Huah…” Sura menguap panjang. Ia baru saja bangun dari tidurnya yang lemas karena kelaparan.
“Ayah, di mana kau? Kenapa belum kembali?” lirihnya menatap langit. “Ah… ya sudahlah. Aku akan menunggu di sini.”
Ia berusaha berdiri, meski tubuhnya gemetar karena lapar. “Aku harus berburu. Tapi… tak ada tenaga. Bahkan seekor burung pun tak lewat…”
Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari langit dengan kecepatan tinggi—
BAMMMM!
Seorang wanita terhempas tepat di hadapannya, jatuh keras di pekarangan rumah.
Beberapa detik kemudian, suara ledakan lain terdengar. Seorang pria berkulit hitam, berotot, bermata merah, dan berambut jingkrak turun dengan aura iblis pekat.
Sura memandangi mereka dari kejauhan. “Mereka bertarung? Apa urusan mereka…?” gumamnya. Namun pikirannya segera terarah pada sesuatu yang lebih penting. “Tunggu… mereka pasti punya makanan di cincin penyimpanan mereka!”
Ia tersenyum lebar. “Hahahaha… akhirnya aku bisa makan!” katanya dalam hati, lalu menyapa sopan, “Salam, Tuan dan Nona yang terhormat.”
Lin Boa menatapnya heran. “Seorang manusia? Di tempat terpencil begini?”
Il-Ao tertawa kasar. “Kediaman? Hahahaha. Ini rumah tua yang hampir roboh!”
Lin Boa terkejut. “Apa dia… gila?” pikirnya.
BAMMM!
“Monster jelek,” kata Sura santai. “Kau cuma rumput liar yang disediakan untuk dimakan babi.”
“Ting!”
Dalam sekejap, ia mematahkan golok itu dan melemparkan pecahannya. Clep! Leher Il-Ao terputus. Tubuhnya jatuh bersimbah darah.
Ia melompat kecil dengan riang, lalu memeriksa tubuh Il-Ao.
Lin Boa, masih terpesona oleh kekuatannya, langsung menjawab cepat. “Salam Yang Mulia Agung! Perbatasan dunia atas dan bawah telah hancur di jajaran pegunungan! Semua sekte yakin ada artefak langit yang jatuh. Aku datang bersama pasukanku untuk memastikannya, tapi kami diserang Iblis Il-Ao. Hanya aku yang selamat…”
Sura mengerjap. “Aku bahkan belum bertanya…” gumamnya bingung.
Lin Boa menatapnya lekat-lekat. Iblis Il-Ao berada di ranah emas inti, tapi mati semudah itu… apa mungkin dia di ranah kelahiran kembali? pikirnya heran.
Lin Boa mengangguk, lalu menelusuri isinya. “Ada, Tuan. Daging sapi matang.”
Begitu piring daging itu keluar dari cincin, Sura langsung melahapnya.
“Nyam-nyam—affa?” sahut Sura sambil mulutnya penuh.
Sura terdiam, menatapnya dari kepala hingga kaki—kulit putih bersih, mata merah muda, tubuh ramping dan jenjang, dada besar, dan wajah mungil.
Lin Boa tersenyum kecil. “Tuan, aku bisa melakukan apa pun yang kau perintahkan… termasuk—”
Cahaya keemasan terpancar dari tanah beberapa saat setelah Sura menanam biji buah persik dewa. Dalam hitungan detik, muncul sebatang pohon besar dengan batang kokoh, daun hijau keemasan yang lebat, dan buah-buah bercahaya lembut menggantung di antara dahan-dahannya. Pemandangan itu begitu indah dan tak masuk akal.Sen Butao yang sempat pingsan langsung tersadar, sementara Brender dan Si Yelong menatap tanpa berkedip, wajah mereka tercampur antara kagum dan takut.“Jadi ini… batang pohon buah persik dewa?” gumam Sura perlahan, menatap pohon yang kini menjulang di depannya. “Berbeda dengan persik spiritual biasa, pohon ini memiliki batang, daun, dan buah berwarna emas murni.”“Tidak mungkin…” Brender menggeleng tak percaya. “Seharusnya, batang pohon persik dewa baru
“Hahaha! Dasar manusia sombong tak tahu diri! Aku akan mengubahmu jadi abu dengan satu pukulan! Berdoalah agar nanti kau terlahir kembali dengan tubuh yang lebih kuat!” teriak Sen Butao penuh amarah. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, mengayunkan tinju raksasanya yang dikelilingi Qi merah menyala dan percikan petir yang berputar ganas di sekitarnya.Namun Sura hanya tersenyum tenang. Ia mengangkat satu jari telunjuk, dan dalam sekejap jari itu bersinar dengan cahaya emas yang pekat.Bam!!Suara ledakan menggema, dan tubuh besar Sen Butao terlempar jauh ke belakang. Lubang sebesar kepalan tangan muncul di dada iblis itu, tembus dari depan ke belakang. Tanah di bawahnya bergetar keras, meninggalkan bekas benturan besar.Sen But
“Tidak. Aku tidak suka makan kotoran hijau seperti itu! Ambillah, kau lebih membutuhkannya.” Sura mengangkat bahu santai, lalu meninggalkan Lin Boa dan kembali ke ruangannya untuk beristirahat.Sambil melangkah, Sura bergumam dalam hati, mengingat ucapan ayahnya dulu. “Ayah bilang aku tidak perlu berkultivasi. Jadi sebenarnya aku tak butuh apa pun untuk kuserap sebagai energi sekarang. Yang perlu kulakukan adalah mengaktifkan seluruh dantian suprameku.” Ia menghentikan langkah sejenak, mata menatap jauh ke arah langit. “Harus bisa mengaktifkan setidaknya setengah dari jumlah dantian suprame itu. Setelah itu aku bisa bebas terbang meninggalkan tempat ini, lalu menyusul ayah.”Belum selesai Sura bicara dalam pikiran, wajah Lin Boa mendadak berubah tegang saat suara dari kejauhan memanggil. “Hei, gadis muda!! Apa kau mendeng
“Petirnya sudah hilang. Ayo kita ke sana dan lihat siapa gadis yang berani menantang langit!” seru Si Yelong, terbang lebih dulu, diikuti oleh Sen Butao dan Brender.Setelah menyerap seluruh sisa energi petir yang telah diubah menjadi kekuatan murni, Lin Boa perlahan turun dari udara. Tubuhnya bersinar lembut, diselimuti esensi energi yang terus berputar sebelum akhirnya terserap sempurna ke dalam dirinya. Ia berhasil menaikkan ranahnya ke tingkat yang lebih tinggi.Ketiga iblis yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan kini tampak semakin tertarik. Sorot mata mereka penuh rasa kagum — dan keinginan untuk memiliki gadis itu sebagai murid.
“Aaaahkkk!!!” teriak Lin Boa, tubuhnya gemetar hebat.“Tuanku! Ini… ini sungguh sangat menyakitkan!” ia menjerit, tak mampu lagi menahan aliran energi yang mengamuk di dalam tubuhnya.“Tuanku! Aku… aku tidak sanggup lagi!” suaranya serak, matanya berair, wajahnya pucat menahan rasa sakit yang luar biasa.“Sial! Apa aku gagal? Jika dipaksakan, tubuh Lin Boa bisa meledak!” gumam Sura, menghentikan sejenak aliran energi yang sedang ia salurkan.“Lin Boa!” panggil Sura keras.“Ya… Tuanku?” sahut Lin Boa dengan suara lemah, masih meringis menahan sakit.“Kau ingin menjadi muridku, bukan?”
“Tapi, Tuan… aku yakin dia akan datang lagi ke sini dengan membawa kekuatan yang lebih besar untuk membalas kekalahannya hari ini,” ucap Lin Boa dengan nada khawatir.“Aku malah takut kalau dia tidak datang ke sini untuk membalas dendam,” jawab Sura santai sambil menyilangkan tangan di dada.“Heh? Kenapa begitu?” Lin Boa mengerutkan kening, bingung mendengar jawaban tuannya.“Sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya ingin meminta kompensasi karena dia sudah merusak kediamanku. Tapi, ya sudahlah… aku akan membuat perhitungan padanya saat dia datang lagi nanti,” ujar Sura tenang, lalu mengkretekkan jari tangan dan kakinya untuk meregangkan tubuh.“Lin Boa! Kumpul







