Home / Rumah Tangga / SURGA YANG TAK DIINGINKAN / Bab 4. POV Rani (Luka)

Share

Bab 4. POV Rani (Luka)

Author: Aryan Lee
last update Last Updated: 2025-02-11 07:43:41

Namaku Khairani, seorang yatim piatu yang besarkan di salah satu panti asuhan di kota Bogor. Aku sudah terdidik mandiri bahkan setelah lulus SLTA langsung kerja di perusahaan retail di Jakarta. Di tempat itulah aku bertemu dengan Mas Zian. Seorang customer yang sedang membeli keperluan pribadinya.

Sejak saat itu kami jadi sering bertemu. Tenyata Mas Zian melakukan pendekatan kepadaku. Tidak butuh waktu lama ia menyatakan cintanya. Sikap Mas Zian yang ramah dan sopan santun membuatku juga menyukainya. Singkat cerita kami segera menghalalkan hubungan itu.

Setelah menikah aku memutuskan berhenti bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Namun, ketika kami mengalami masa-masa sulit di awal pernikahan dan atas izin Mas Zian. Aku kembali terjun di dunia retail dengan pengalaman yang kumiliki.

Namun, setelah menikah beberapa tahun aku tidak juga kunjung hamil. Sehingga aku memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah dan ketika lulus diangkat menjadi salah satu staf. Usaha Mas Zian juga berkembang cukup pesat. Hingga ekonomi kami menjadi lebih dari cukup.

Selama menikah kehidupan rumah tanggaku sangat sempurna. Kami saling memahami dan menerima kekurangan masing-masing. Tidak pernah bertengkar, debat atau menjelekan satu sama lain. Mempunyai suami yang sangat pengertian dan mencintaiku apa adanya, tetapi aku keliru.

Mas Zian yang sangat aku cintai telah mendua. Diam-diam ia telah menikah lagi dengan sekretarisnya yang bernama Dahlia. Membuat kepercayaanku kepadnya seketika runtuh dan hancur berkeping-keping.

Setelah secara tidak sengaja mengetahui pengkhianatan Mas Zian aku merasa takdir ini tidak adil. Apakah salahku kalau sampai saat ini belum juga hamil. Aku pun ingin sekali punya anak dan sudah banyak ikhtiar yang kulakukan. Tapi kenapa aku mendapat cobaan seperti ini.

Menyesal aku telah mengorbankan karir demi seorang pengkhianat. Tapi, kalau aku tidak akan mengajukan pensiun dini. Mungkin sandiwara Mas Zian, akan tetap aman entah sampai kapan. Ingin memberikan kejutan justru aku yang terkejut.

Jangan tanya bagaimana perasaanku, sakit sekali. Ingin rasanya kusudahi pernikahan ini, tetapi rasa cinta ini membuatku gamang. Aku terpuruk, bunga cinta di hatiku pun layu, mood dan semangatku juga hancur berantakan. Rasanya tidak punya semangat hidup lagi.

"Belum tidur Ran?" tanya Teh Ratih yang sudah kuanggap seperti Kakak kandungku sendiri karena sudah mengasuhku dari kecil selain ibu panti.

"Aku belum ngantuk Teh," jawabku tanpa berani menatap matanya.

Aku memang bilang mau menginap di rumahnya malam ini. Dengan alasan jenuh di rumah karena Mas Zian sedang ke luar kota.

Kak Ratih mengalihkan wajahku dan menatap seraya berkata, "Apa gerangan yang membuat mata indah itu tampak mendung Ran?"

Aku tidak bisa menahan lagi hujan di mataku dan langsung memeluk Teh Ratih dengan erat. Kucurahkan semua tangis ini untuk kesekian kalinya.

Kak Ratih terus mengelus punggungku dan membiarkan hijab syar'i nya basah oleh air mataku. Setelah beberapa saat kemudian, tangisku pun mulai mereda.

Awalnya aku tidak mau cerita, tetapi diri ini tidak sanggup menanggung rasa sakit yang teramat. Dengan terbata aku menceritakan pengkhianatan yang Mas Zian lakukan.

"Mungkin saya banyak dosa ya Teh. Jadi Allah memberikan cobaan seperti ini?" tanyaku sambil terisak.

Kak Ratih tersenyum dan berkata, "Ujian dan cobaan hidup itu bukan hukuman, tetapi bentuk kasih sayang Allah. Terkadang Allah juga mengabulkan doa hamba-Nya dengan balutan masalah. Agar kita semakin dekat dan bisa merasakan betapa besar cinta-Nya."

Kata-kata Teh Ratih membuat tangisku perlahan mereda. Dia kemudian menghapus sisa air mata di pipiku dan kembali memberikan nasihat.

"Teteh mengerti perasaanmu dan ujian ini memang berat. Dipoligami itu memang tidak mudah, tetapi lebih baik daripada suamimu berzina. Kamu harus pulang dan bicaralah baik-baik dengan suamimu untuk mendengarkan penjelasannya. Jika kamu sudah tahu pokok masalahnya apa, barulah ambil keputusan bersama. Bertahan atau berpisah!" ujar Teh Ratih menyarankan.

Nasihat dari Teh Ratih seolah menyadarkan aku untuk tidak lari dari masalah. Mungkin bisa dijadikan pertimbangan untuk menentukan sikap ku kelak. Memang poligami itu diperbolehkan dalam agama, tetapi apa pun alasannya cara yang digunakan Mas Zian menurutku salah.

Aku pikir sepertinya perlu juga mengetahui alasan Mas Zian melakukan poligami tanpa izin dariku. Setelah mendengar nasihat dari Teh Ratih dan sebelum Mas Zian melapor ke polisi karena menganggap ku hilang, akhirnya aku mau pulang, tetapi tidak dalam waktu dekat ini.

"Terima kasih atas masukan dan nasihat Teteh, kalau boleh aku mau menginap beberapa hari lagi!" pintaku yang dijawab anggukan oleh Teh Rani.

***

Pagi pun menjelang, aku membuka jendela. Sontak angin pegunungan membelai wajahku yang sendu. Aku tidak melihat mentari di ufuk timur. Mungkin masih bersembunyi di balik mega kelabu, mungkin hujan akan turun lagi seperti air mataku. Aroma bubur kacang hijau dan teh melati menyeruak indra penciumanku. Sayang mood ku enggan untuk menyentuhnya.

Setelah cukup lama termangu, aku kemudian ke luar dari kamar dan mencari Teh Ratih. Namun, langkahku terhenti ketika sampai di ruang tamu. Di mana tiga orang sedang bercakap-cakap. Teh Ratih dan suaminya Kang Yahya melihatku sambil tersenyum. Satunya lagi adalah Mas Zian yang menatapku dengan penuh kecemasan. Entah siapa yang memberitahunya aku ada di sini.

"Umi mau buat sarapan dulu," ujar Teh Ratih sambil beranjak ke dapur, tetapi ketika melewatiku sempat berbisik, "Bicaralah, ingat jangan pakai emosi!"

"Abi juga mau ambil buah jambu Cincalo," timpal Kang Yahya sambil berlalu ke luar rumah.

Aku mengerti tujuan mereka meninggalkan kami. Ketika aku bertatapan dengan Mas Zian, tiba-tiba emosiku bergejolak hebat. Sepertinya aku belum siap bicara secara baik-baik. Namun, ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mas Zian bersimpuh di kakiku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Maafkan Mas Sayang, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Zian sambil menggenggam tanganku dengan erat.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 43. Bara Masa Lalu

    Carina duduk di sofa kamar rawat rumah sakit dengan senyum tipis yang sulit ditebak. Di tangannya, ponsel menyala terang, menampilkan foto-foto yang baru saja dikirim seseorang. Di mana Azka dan Rani tampak begitu mesra dan bahagia. Seharusnya Carina tidak berhak marah, cemburu atau pun iri. Ia dulu pernah mendapat kesempatan itu, tapi dilepaskan karena tidak merasa bahagia sedikitpun. Baginya Azka begitu dingin, meskipun sering memberinya puisi dan kata-kata indah. Carina butuh bukti, tetapi Azka tidak bisa bersikap seperti keinginannya. "Aku ingin dicintai seperti istri yang lain," ujar Carina pada suatu hari. "Memangnya aku harus bagaimana?" tanya Azka yang tidak tahu salahnya apa. "Pernah nggak kamu tanya aku sudah makan apa belum, mau dibelikan apa, sedang sibuk nggak?" Carina mengungkapkan perasaannya. Setelah Carina protes sehari dua hari Azka melakukan apa yang istrinya pinta. Akan tetapi, selanjutnya ia kembali sibuk dengan pekerjaan. Lama-lama Carina muak dengan sikap A

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 42. Pilihan di Antara Luka

    Setelah kembali ke Batam, Rani kerap termangu memikirkan permintaan Katy. Bahkan ketika bekerja pun ia suka memandang ke luar jendela. Seakan terus mencari jawaban dari keinginan anak sambungnya itu. Di satu sisi Rani merasa permintaan Katy untuk menyatukan kembali orang tuanya adalah hal wajar. Akan tetapi, terlalu dalam menyentuh, dan berat untuk dituruti. Rani tahu gadis itu belum mengerti masalah orang tuanya dan hanya ingin merasakan keluarga yang utuh sebelum ajal menjemput. Namun, masalah ini bukanlah hal yang mudah untuk ia putuskan. Rani pernah mencoba untuk berbagi dan ikhlas dimadu demi seorang anak. Ternyata tidak mudah, membuatnya terjebak oleh keadaan dan perasaan. Meskipun Katy bukanlah anak kandung, Rani menyayanginya sejak pertama kali mereka bertemu. Apalagi Katy memanggilnya Bunda tanpa ragu, bahkan sampai saat ini Rani masih canggung mendapat panggilan itu. Jadi bagaimana mungkin ia tega menolak keinginan terakhir seorang anak yang sedang berjuang melawan leukem

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 41. Permintaan Terakhir

    Dada Aska serasa dihantam secara tiba-tiba. Ia terpaku, tak bisa berkata apa-apa dan wajahnya berubah jadi tegang. Pria itu menghela napas panjang, mencoba merangkai jawaban paling lembut tanpa menyakiti hati putrinya. "Katy, maaf Papi nggak bisa. Kan kamu tahu Papi sekarang sudah menikah dengan Bunda Rani," ucap Azka mencoba memberikan pengertian. Mendengar itu Katy terdiam, senyum kecil yang menghiasi wajahnya perlahan lenyap. Ia menunduk dan matanya berkaca-kaca."Tapi .., aku ingin Papi dan Mami bersama lagi. Kayak dulu waktu aku masih kecil. Aku pengen mati dengan bahagia, Papi," sahut Katy dengan sedih. Kalimat itu menghantam Azka lebih keras dari apa pun. Kata “mati” keluar begitu saja dari mulut anaknya yang masih begitu muda. Napasnya tercekat, matanya panas. Ia segera memeluk erat dan menciumi kepala Katy, seolah bisa melindunginya dari takdir itu.“Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak akan ke mana-mana. Kamu akan baik-baik saja, Nak. Papi janji akan melakukan apa pun ag

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 40. Bayang-bayang Masa Lalu

    Leukemia, kata itu masih terus bergaung di telinganya. Mengguncang seluruh jiwa Azka ketika mantan istrinya memberitahu di loby hotel. Selama ini Azka bukan tidak perduli sama putri kandungnya sendiri. Akan tetapi, Carina telah memutus komunikasi denganya secara sepihak. "Kalau tidak percaya kamu bisa datang ke rumah sakit central. Katy dirawat di ruang rose kamar 20!" ujar Carina sambil berlalu, setelah sekilas menatap Rani. Setelah mendengar kabar itu, tanpa berpikir panjang lagi Azka segera mengajak Rani ke rumah sakit yang dimaksud. Ia langsung menuju ke kamar di mana anaknya dirawat, tapi Rani memilih menunggu di luar. "Sebaiknya kamu menemuinya sendiri. Biarkan dia senang dulu, baru cari waktu untuk memberitahunya!" saran Rani yang tidak ingin mengganggu moment penting Azka bertemu dengan buah hatinya. "Maafkan aku, rencana kita harus terganggu," ucap Azka yang jadi tidak enak hati. Rani mengangguk kecil seraya berkata, "Aku tidak apa-apa."Azka kemudian masuk ke kamar inap

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 39. Ketika Cinta Membalut Luka

    Langit Batam malam ini seolah ikut menggambarkan kegundahan hati Azka yang berdiri di depan pintu keberangkatan. Tiket di tangan sudah dipesan sejak semalam, tetapi langkahnya seakan tertahan oleh rasa yang tak bisa ia abaikan. Pria itu memejamkan mata sejenak, dan terbayang semua kenangan mereka, suka duka dan tawa berputar seperti film yang enggan berhenti. "Iya tidak apa-apa. Pergilah hati-hati!" potong Rani sambil berbalik dan hendak pergi dari tempat itu. Azka harus mengambil keputusan secepatnya pergi atau tidak. Pilihan itu bukan karena ragu, tapi karena cinta dan kesempatan yang tak ingin ia sia-siakan lagi. "Aku tidak bisa menolak Rani. Aku akan menemanimu melihat senja dan mengukir namamu di sana!" ujar Azka yang membuat Rani menghentikan langkahnya. Ia segera menyusul dan jalan beriringan meninggalkan bandara. "Terima kasih ya Ka," ujar Rani sambil tersenyum senang karena berhasil menyakinkan Azka untuk tidak pergi. Rani perlahan-lahan mulai berdamai dengan luka

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 38. Antara Cinta dan Luka

    Langit kota Batam sore ini tampak mendung. Awan kelabu menggantung, seolah menggambarkan isi hati Rani yang kalut. Di ruang kerja yang senyap, terdengar suara detak jam dinding menemani pikirannya yang berperang hebat. Beberapa berkas laporan marketing tergeletak di mejanya. Akan tetapi, tak buat pikirannya teralihkan dari percakapan terakhir dengan Azka di malam itu. "Maaf Azka, aku nggak bisa dan masih butuh waktu untuk membuka hati ini," ujar Rani memberikan keputusan. Azka tampak mengangguk kecil dan sangat mengerti akan perasaan Rani. Cinta itu memang tidak bisa dipaksakan. Andai dulu dirinya tidak telat mengungkapkan perasaan. Pasti Rani sudah menjadi miliknya. Yah seperti itulah manusia hanya bisa berencana, tetapi Allah yang menentukan takdir. "Tidak apa-apa, aku paham. Jadi aku tidak punya alasan untuk tetap tinggal lebih lama lagi," ujar Azka mengakhiri pembicaraan mereka. Ia kemudian pamit pulang untuk menentukan sikapnya di kemudian hari. Keesokan harinya Azka masuk ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status