Home / Rumah Tangga / SURGA YANG TAK DIINGINKAN / Bab 6. POV ZIAN( Istriku Berubah)

Share

Bab 6. POV ZIAN( Istriku Berubah)

Author: Aryan Lee
last update Last Updated: 2025-02-24 09:34:24

Sejak memaafkan kesalahan dan menerima alasanku menikah lagi, Rani mulai menjaga jarak denganku. Apalagi sejak aku mulai membagi waktu untuk kedua istriku. Memang dia tetap melayaniku seperti biasanya. Akan tetapi, perasaanku mengatakan Rani sangat terluka dan belum bisa menerima telah dimadu secara diam-diam.

Aku juga melihat ketakutan di mata Rani yang biasanya selalu menatapku dengan penuh cinta. Padahal sudah berulang kali aku katakan, kalau cinta ini hanya untuknya seorang. Aku memang sangat mencintai Rani yang tidak akan tergantikan oleh siapa pun.

Jujur sebenarnya akulah yang sangat takut kehilangan Rani. Dia wanita mandiri dan bisa saja mengajukan gugatan atas pengkhianatan yang telah kulakukan. Namun, aku merasa bersyukur, Allah masih mempersatukan kami dalam ikatan cinta ini.

Sungguh aku tidak pernah punya niat menyakiti Rani sedikitpun dengan menikah lagi ini. Namun, aku juga tidak mengerti kenapa bisa melakukan aib itu. Sehingga dengan mudahnya menyusun rencana kebohongan yang nyaris menghancurkan rumah tanggaku.

Andai waktu bisa diputar, aku tidak akan menemui relasi bisnis waktu itu. Namun, semua sudah terjadi dan sesal pun tiada berguna. Kini aku harus mempertanggungjawabkan kesalahan itu dengan menjadi suami yang adil.

Hari demi hari, perubahan sikap Rani kian kurasakan. Rani yang tadinya selalu mesra dan perhatian bila ada aku di rumah, kini jadi pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Terkadang acuh tak acuh yang membuatku tersiksa, seolah dia sedang menghukum atas kekhilafanku.

"Kamu berubah," ujarku ketika mengurai keheningan di antara kami.

"Apanya yang berubah Mas?" tanya Rani setelah kami makan malam.

"Sikapmu, semakin membuat jarak di antara kita," jawabku kemudian.

"Itu hanya perasaan Mas saja, bukannya kita sedang belajar agar terbiasa dengan pernikahan ini. Anggap saja aku masih bekerja, jadi jangan terlalu dipikirkan!" sahut Rani dengan tetap tenang.

Aku segera memberikan sanggahan, "Tapi aku merasa kamu semakin menjauh. Buktinya sekarang, kalau bicara kamu tidak mau melihat mata Mas lagi."

Rani langsung menatapku dan kembali berujar, "Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri, Mas. Tidak mudah menjalani sesuatu yang telah terbagi. Mas ingin aku menerima keadaan bukan, begitupun sebaliknya. Jadi tidak usah dipertanyakan lagi kenapa sikapku jadi seperti ini, kalau Mas sudah tahu alasannya. Tolong mengertilah!"

Pernyataan Rani seperti menamparku dengan telak. Mata yang dulu selalu berbinar-binar penuh cinta kala menatapku kini berubah jadi dingin. Aku melihat ada kemarahan dan luka yang masih basah.

"Mas boleh nggak aku kerja lagi? Lama-lama bosen di rumah terus. Apalagi kalau Mas sedang tidak ada," ujar Rani mengalihkan pembicaraan.

Aku terdiam mendengar keinginan istriku. Sebenarnya aku ingin Rani ikut program kehamilan. Namun, aku tidak berani membahas soal anak dengannya lagi. Aku tidak mau membuat Rani jadi sedih dan kehilangan semangat hidupnya. Buktinya dia tidak pernah menanyakan Dahlia sudah hamil berapa bulan. Mungkin ada baiknya Rani memiliki kesibukan agar tidak terlalu memikirkan pernikahan poligami ini.

"Bukan kerja terikat waktu Mas, tapi aku mau coba buka cafe," jelas Rani kemudian.

"Memangnya kamu mau buka cafe di mana?" tanyaku menanggapi keinginan Rani dengan serius.

"Di dekat-dekat sini saja, biar nggak cape untuk mengawasinya. Rencananya aku mau memperkerjakan temanku Laras yang pinter bikin kue dan Tina untuk membantuku untuk mengelola usaha itu," jawab Rani dengan antusias sekali.

Melihat semangat Rani, aku pun langsung menyetujuinya, "Ya sudah, atur saja bagaimana baiknya. Mas setuju!"

Rani tampak tersenyum mendapat dukungan dariku dan berucap, "Terima kasih Mas."

Tiba-tiba ponselku berdering, ternyata Dahlia menghubungiku.

"Halo Mas, bisa ke rumah sebentar saja!" Pinta Dahlia dari seberang sana dengan suara yang lemah.

Aku menoleh ke arah Rani yang tampak bergeming dan menjawab dengan tegas. "Tidak bisa, hari ini jadwalku bersama Rani. Bersabarlah besok aku akan ke sana!" Aku langsung mematikan panggilan itu agar Dahlia tidak mengganggu lagi.

Dengan perlahan Rani menoleh ke arahku seraya berkata, "Mas aku tidak apa-apa, pergilah dan temui Dahlia. Dia pasti sedang membutuhkan kehadiranmu!"

Aku tidak suka Rani berkata seperti itu, tetapi mengingat Dahlia sedang hamil membuatku jadi dilema.

"Aku akan secepatnya pulang!" pamitku yang dijawab anggukan oleh Rani.

Semoga saja Rani bisa sabar sampai anak itu hadir untuk melengkapi kebahagiaan kami. Aku juga berjanji tidak akan pernah membuatnya menangis lagi.

***

Dahlia terlihat lemas karena sedang ngidam. Dia tidak mau makan dan minum susu karena muntah-muntah terus. Parahnya lagi istri keduaku itu ingin selalu bersama denganku. Tentu saja aku tidak bisa karena ada Rani yang berhak atas diriku juga.

"Jangan manja Dahlia, sikapmu ini tidak adil buat Rani!" ujarku dengan kesal. Niatnya hari ini menghabiskan waktu berdua Rani berubah jadi bersama Dahlia.

"Aku juga tidak mau seperti ini Mas. Dari awal kan aku sudah bilang kita gugurkan saja anak ini. Tapi Mas tidak mau!" sahut Dahlia sambil menangis.

"Aku hanya minta kamu belajar kuat dan mandiri!" seruku karena tidak suka mendengar kalimat yang terakhir Dahlia katakan.

"Ya sudah, kalau begitu Mas pulang saja sana, biar aku sendiri!" sahut Dahlia semakin tersedu.

Aku terdiam menghadapi sikap Dahlia yang berubah jadi posesif dan sensitif belakangan ini. Kata dokter itu wajar karena bawaan kandungan.

"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu," ucapku menenangkannya.

Dahlia memang pernah memberikan usul untuk menggugurkan kandungannya ketika tahu hamil. Tentu saja aku tidak setuju karena selama ini sangat mengharapkan kehadiran seorang anak. Apalagi dia hamil karena kesalahanku dan aku tidak mau menambah dosa lagi.

Kami menikah secara sirih dengan perjanjian sampai anak itu lahir saja. Lalu anak itu nanti akan aku rawat bersama Rani dan Dahlia pun setuju dengan syaratku. Setelah itu aku akan memberikannya uang yang cukup untuk memulai hidup baru sebagai seorang janda.

Namun, rencanaku tidak berjalan sesuai harapan. Ternyata Rani telah mengetahui kebohonganku tanpa disangka. Aku mengaku salah karena seperti pepatah serapi apa pun menutupi bangkai pasti tercium juga. Sebenarnya tujuanku tidak mau menyakiti Rani, tetapi justru membuatnya terluka sangat dalam.

Apalagi nasihat Kang Yahya membuatku sadar akan kesalahan fatal yang telah kulakukan yaitu berdusta.

'Menikah lagi bukan dosa, tetapi caramu salah. Jika melakukan poligami secara diam-diam. Sama saja seperti menikam istrimu dari belakang. Pasti sakit sekali karena tidak siap dan mengobati lukanya pun akan sulit. Tapi kalau kamu meminta izin dahulu, itu sama saja menikam dari depan. Istrimu lebih siap menerima segala konsekuensinya, mudah diobati dan cepat sembuh. Bahkan ada yang tidak terluka sama sekali.'

Ternyata mempunyai dua istri itu tidak semudah bayanganku. sifat Dahlia sering membuatku mengelus dada dan menguji kesabaranku, kalau tidak sedang mengandung anakku ingin kulepas saja. Menurutku Lia sangat manja dan egois, tidak seperti Rani yang sabar dan dewasa. Mungkin karena umur kami yang terpaut lima belas tahun. Sehingga membuatku harus sering mengalah dan selalu memberinya pengertian.

Senja tampak merona di ufuk barat, sebelum magrib aku harus pulang. Aku tidak mau melewatkan makan malam bersama Rani. Pasti dia sudah masak lauk pauk kesukaanku.

"Mas kenapa tidak menginap saja. Besok kan waktunya bersamaku?" tanya Dahlia ketika aku bilang mau pulang.

"Jangan egois, Mas sudah menemani kamu. Ingat hari ini seharusnya aku bersama Rani!" jawabku dengan tegas, meskipun apa yang dikatakan Dahlia ada benarnya juga karena rumahnya lebih dekat ke kantorku.

Mendengar alasanku Dahlia terdiam dan terlihat sedih, tetapi aku tidak perduli.

Rasanya aku ingin memutar waktu biar anak itu cepat lahir. Agar aku bisa segera menyudahi pernikahan bersama Dahlia yang membuatku lelah. Semoga Rencanaku sesuai dengan harapan kali ini.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 34. Surat Terakhir

    "Kalau Mas Zian sudah membaca surat ini, berarti aku sudah pergi jauh. Jangan merasa bersalah karena keputusan ini murni pilihanku sendiri. Setelah tahu Mas Zian menikah lagi aku selalu berusaha menerima takdir ini dengan ikhlas. Tapi aku gagal, tidak bisa fokus beribadah terutama salat karena setiap saat bayangan kebersamaan kalian yang terus menggerogoti pikiranku."Tiba-tiba air mata Zian berjatuhan membayangkan betapa sakit dan hancurnya perasaan Rani. Dibalik kata tidak apa-apa dan sikapnya yang selalu pengertian ternyata Rani sangat menderita. Terpuruk, kesepian dan selalu merasa sendirian. Setelah menyeka air matanya, ia kembali melanjutkan membaca surat itu lagi. "Aku doakan Mas Zian bisa hidup bahagia bersama Dahlia dan Rizqi selamanya. Maafkan kalau selama ini sebagai istri aku banyak membangkang dan tidak menurut. Sungguh aku sudah belajar menerima, tetapi tetap tidak bisa. Apa pun yang Mas ketahui nanti pesanku jangan pernah lakukan kesalahan yang sama lagi. Selamat tingg

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 33. Penyesalan Zian

    Sebenarnya berat bagi Zian untuk menceraikan Rani. Akan tetapi, pengkhianatan wanita itu baginya sudah fatal. Seandainya saja mereka baru melakukannya, mungkin Zian masih bisa memaafkan. Sayang ternyata sudah cukup lama dan tidak bisa ditolelir lagi. Terlebih Rani membandingkannya dengan Azka. Zian tidak menyangka Rani tega melakukan itu. Padahal selama ini selalu pengertian dan mengalah. Ternyata semua itu hanya kamuflase untuk menutupi perselingkuhan mereka. Zian memang masih mencintai Rani, tetapi perpisahan mungkin yang terbaik bagi keduanya. Zian dan Rani memilih untuk tidak hadir dalam panggilan sidang. Mereka hanya diwakili pengacara dari kedua belah pihak. Selama masa persidangan Rani tetap menempati rumahnya. Hingga tepat sebulan kemudian hakim mengetuk palu. Mengakhiri hubungan cinta dari yang pernah menyatukan mereka. Sebagai mantan istri, tentu saja Zian telah memberikan harta gono-gini yang sesuai untuk Rani. Ia berencana akan menemui wanita itu pada siang ini. Anggap

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 32b. Keputusan Zian

    Seiring berjalannya waktu, Zian lebih memperhatikan Rani. Ia bahkan berusaha membagi waktu dengan seadil mungkin. Zian juga melarang Dahlia dan keluarganya memposting apa pun soal Rizqi. Namun, apa pun yang Zian lakukan belum bisa mengembalikan cinta Rani seperti dulu lagi."Sebaiknya aku anterin makan siang buat Mas Zian," ujar Rani yang ingin memperbaiki hubungannya dengan Zian agar bisa seperti dulu lagi. Selesai masak Rani langsung bersiap-siap. Setelah rapih, ia segera pergi ke kantor Zian. Dengan mengunakan taksi online. Ketika sampai di tempat tujuan, waktu menunjukan pukul setengah dua belas siang. Seorang security langsung menghampiri Rani yang memakai kaca mata dan masker. "Selamat siang Bu, ada yang bisa kami bantu?" tanya security itu dengan ramah. "Saya membawakan pesanan makan siang buat Pak Zian. Beliau minta saya untuk mengantarkan langsung ke ruangannya," jawab Rani yang berpura-pura sebagai pegawai catering. Dengan bingung security itu berkata, "Pak Zian baru s

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 32. Emosi

    Alunan musik pop mengalun merdu di cafe Rain. Dua insan sedang duduk bercakap-cakap sambil menikmati coffee latte dan cappucino. Rani semakin dekat dengan Azka. Bahkan hampir setiap hari mereka bertemu di cafe untuk ngobrol sambil minum kopi. Tina dan Laras sudah biasa melihat keakraban mereka. Bahkan terkadang ikut nimbrung, kalau cafe sedang sepi."Kamu tidak bilang sama Zian, kalau madumu dan ibunya matre?" tanya Azka setelah mendengar cerita Rani. "Percuma, pasti Mas Zian menganggap aku cemburu. Lagipula mereka akan menggunakan anak itu sebagai ahli waris. Biarkan saja waktu yang memberitahunya kelak!" sahut Rani yang tidak mau menjelek-jelekan Dahlia dan ibunya. "Aku yakin sekali Zian pasti akan menyesal suatu hari nanti," timpal Azka kembali. Sambil mengangkat kedua bahunya Rani menimpali, "Entahlah, kalau aku lihat Mas Zian sekarang sedang bahagia menjadi seorang ayah. Menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia, semoga selamanya seperti itu.""Tapi tidak adil untukmu," c

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 31. Hambar

    Hari demi hari berlalu Rani mulai merasakan ketidak adilan. Zian lebih sering berada di rumah Dahlia dengan berbagai macam alasan. Mulai dari anaknya sakit, rewel sampai hal-hal sepele yang sebenarnya bisa diatasi sendiri oleh Dahlia. Dari tiga hari jatahnya, paling hanya sehari Zian bersamanya itu pun hanya malam saja. Entah mengapa Rani merasa seperti wanita simpanan yang hanya dijenguk kalau diperlukan saja. Apakah seperti ini nasib istri yang tidak bisa punya anak. Harus sering mengalah demi kebahagian orang lain. Di perusahaan juga sudah banyak karywanan yang tahu perihal Zian menikah lagi dan mempunyai anak. Bahkan di media sosial Dahlia dan keluarga suaminya sudah terang-terangan memposting kebersamaan Zian dan Rizqi. Mereka sudah tidak lagi menjaga perasaan Rani. Apa yang Rani takutkan dulu kini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan. Dipaksa menerima keadaan dan kenyataan, sungguh sakit tak berdarah. "Sayang maaf ya, hari ini Mas tidak pulang, Rizqi sakit," ujar Zian member

  • SURGA YANG TAK DIINGINKAN   Bab 30. Cinta yang Berlebihan

    Mentari baru saja meninggi ketika Zian kedatangan tamu. Ia yang mau berangkat kerja menyempatkan diri untuk menemui orang itu. "Permisi Pak, apa benar di sini rumah Ibu Khairani?" tanya seorang pria yang berpakaian cukup rapi. "Iya benar, ada apa Mas?" jawab Zian sambil balik bertanya. Pria itu kembali menjawab, "Kami dari tim marketing Abadi Jaya mau mengantarkan pesanan motor Ibu Rani!" Zian tampak terkejut mengetahui istrinya membeli motor. Setelah marketing itu menyerahkan motor dan kuncinya, ia segera menemui Rani di kamar. "Buat apa kamu beli motor, Mas bisa belikan mobil yang sama kayak punya kamu dulu?" tanya Zian dengan heran. "Naik mobil macet," jawab Rani secara logis. Zian tampak menghela nafas panjang mendengar jawaban Rani yang hanya seperlunya saja. "Mas nggak bolehin kamu bawa mobil apalagi motor. Resikonya lebih besar, Sayang!" tegas Zian yang tidak mau terjadi sesuatu sama Rani. "Hidup mati kita sudah ditakdirkan Allah, jadi jangan terlalu mencemaskan aku!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status