Aku senang Eric melaksanakan kata-katanya untuk tidak mencampuri hidupku, sehingga pagi ini rasanya aku seperti mendapatkan pagi yang normal tanpa suara Eric Northman di kepalaku.
Baru kali ini sepertinya aku juga mulai memperhatikan detail kamarku yang ternyata sudah banyak berubah. Eric hampir membuang semua pernak-pernik di meja riasku. Sempat terpikirkan seperti apa penampilanku beberapa tahun ini. Bahkan setelah kubongkar-bongkar isi laci ternyata sama sekali tidak ada jenis skin care apapun seperti yang biasanya aku pakai. Hanya ada makeup standar seperti bedak lipstik pensil alis dan ikat rambut. Segera kuperiksa wajahku di cermin sekedar memastikan Eric juga tidak merusaknya. Kutepuk-tepuk pipiku beberapa kali sekedar untuk memastikan lagi. Beberapa hari ini aku memang kurang memperhatikannya karena terlalu sibuk dengan urusan Eric Northman yang tiba-tiba ada di kepalaku dan menghancurkan hidupku.
Aku kembali berdiri dan berputar untuk coba memeriksa punggungku, aku juga sempat khawatir bagaimana jika tiba-tiba aku memiliki tato. Akhirnya aku lega, karena bisa dipastikan ibu akan mengulitiku jika sampai Eric iseng dan membuat tato di tubuhku. Aku kembali duduk di depan cermin sembari berpikir, karena kali ini aku mau mulai memeriksa apa saja yang sudah Erick lakukan selama hampir dua tahun ini. Aku perlu merincinya lebih detail karena aku merasa sudah kehilangan terlalu banyak hal dalam hidupku sendiri.
Pertama aku sudah cukup lega jika memang dia tidak berbuat macam-macam pada tubuhku, bagaimanapun aku wanita baik-baik dan masih perawan.
'Oh, Tuhan!' Kenapa tiba-tiba aku juga jadi cemas.Aku memang masih perawan, tapi itu hanya sebatas terakhir yang kuingat!Memangnya siapa yang tahu apa yang sudah dilakukan Eric?Seperti masalah yang bertubi-tubu tiada henti, sepertinya masalah memang akan terus berdatanga lagi.
Memikirkan diriku sudah tidak perawan lagi sepertinya lebih mengerikan dari ditinggal nikah oleh Nolan. Tapi apa aku harus bertanya pada Eric tentang hal sesensitiv ini, namun dua tahun bukan waktu yang sebentar dan aku tidak tahu Eric pernah membawaku ke pergaulan macam apa. Aku coba memejamkan mataku karena ingin membuang pikiran itu jauh-jauh, sungguh aku tidak ingin membahas hal memalukan seperti itu dengan Eric, tak perduli apapun alasannya!
"Maaf, Susan, sebenarnya berapa lama kau memerlukan waktu untuk duduk di depan cermin?" tiba-tiba terdengar suara Eric di kepalaku.
"Kau sudah janji untuk tidak ikut campur!"
"Tapi kau sangat lambat," keluh Eric mungkin memang tidak sabar dengan keleletanku.
Aku kembali melihat ke sekeliling dan baru ingat untuk bertanya ketika melihat tanamanku di balkon.
"Apa kau menyiramnya?" karena sepertinya ibuku sudah tidak pernah kemari.
"Kau tidak akan menduga apa saja yang sudah kulakukan untukmu dan seharusnyan kau berterima kasih untuk itu."
"Terimakasih kau sudah menyiram tanaman ibuku," kataku kemudian biar dia puas.
"Tutup matamu dan jangan melihatku!" kataku setelah berada di kamar mandi.
Bagaimanapun sepertinya aku harus mulai membiasakan diri takperduli seaneh apa ini, toh hanya aku dan Eric yang tahu. Sekalipun aku bercerita ke semua orang, aku yakin tidak akan ada satupun yang akan mempercayaiku, sedangkan aku sendiri juga sedang meragukan kewarasanku.
Setelah mandi dan berpakaian aku segera membuat sarapan, meski hanya omelet yang aku bisa. Selesai sarapan aku berniat untuk mengecek semua email masukku yang mungkin sudah bertumpuk-tumpuk tidak pernah kuperiksa.
Kunyalakan laptop Eric yang ada di meja dan segera mengetik alamat email-ku. Ada terlalu banyak pesan yang masuk, rasanya tidak mungkin juga kubaca semuanya. Akhirnya kututup halaman email-ku dan membuka tab baru untuk mengetik beberapa pencarian dengan jari-jariku yang masih lesu.
"Apa yang kau lakukan Susan?"
"Aku sedang mencari pekerjaan, jangan ribut!"
"Sebenarnya kau sudah punya pekerjaan dan sudah hampir satu minggu tidak masuk."
"Kenapa kau baru bilang!" aku memang terkejut dan segera menghentikan jari-jariku untuk mengetik.
"Tapi tunggu, apa pekerjaanku?" wajar rasanya kalau aku perlu curiga.
"Percayalah itu juga bukan pekerjaan yang buruk, Susan."
"Lantas kenapa kau mengundurkan diri dari perusahaan? " aku masih bicara sinis. "Apa kau tidak tahu aku sudah berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan itu?"
Aku masih luarbiasa kesal karena Eric sepertinya sama sekali tidak menghargai jerih payahku, tidak menghargai hidupku."Bayangkan aku bangun sendiri seperti dirimu beberapa hari lalu dan harus menghadapi pertanyaan semua orang di sekitarku yang menyebutku Susan. Bahkan handponemu tidak pernah berhenti berdering seharian. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu, bagaimana aku harus menjawab mereka. Bayangkan jika semua jawabanku tidak masuk akal, pasti sekarang kau sudah menemukan dirimu di rumah sakit jiwa, bukannya di apartemen ini lagi."
Aku diam bukan untuk bersimpati, tapi aku hanya ingin mendengar dari versinya.
"Aku perlu lingkungan baru untuk tidak semakin merusak hidupmu, meski nyatanya aku tetap saja mengacaukannya karena ada beberapa hal yang ternyata tidak bisa kuhindari. Seperti keluargamu dan pria yang terus mencarimu itu. Dia sangat mengganggu karena tiap kali ingin memeluk dan menciumku, itu menjijikkan."
Aku coba mengerti sedikit dengan kondisi Eric walaupun aku tetap tidak berharap dia melakukan itu semua. Sampai di sini juga bukan berati aku sudah bisa mempercayainya, 'tidak samasekali!' karena bagaimanapun aku tetap harus waspada jika aku benar-benar ingin mendapatkan tubuhku kembali.
Sebaiknya aku juga harus mulai memikirkan rencana, karena tetap tidak mungkin aku akan membiarkan Eric Northman terus berada di kepalaku, atau lama-lama aku benar-benar akan masuk rumah sakit jiwa seperti yang dia katakan tadi.
Aku tidak peduli jika Eric akan menganggapku pengkhianat setelah kesepakatan kami kemarin. Bagaimanapun ini adalah tubuhku dan aku berhak menyelamatkannya dengan cara apapun.
Mungkin aku bisa meminta pertolongan para normal untuk mengusir roh jahat, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya agar tidak ketahuan Eric, karena pasti akan sulit. Bagaimana aku bisa menyembunyikan sesuatu dari orang yang juga berada di kepalaku, sepertinya cara itu memang mustahil di coba. Sementara semakin hari rasanya aku juga semakin meragukan kewarasanku. Jika kemarin mungkin aku masih histeris dan syok dengan keberadaan orang lain di kepalaku. Tapi sekaran setelah aku dapat berpikir lebih jernih, jujur saja aku juga mulai meragukan keberadaannya, mungkin saja dia hanya sebatas imajinasiku saja. Lagi pula siapa yang percaya jika bisa ada dua orang dalam satu tubuh yang sama, kecuali dia memang mengalami gangguan jiwa.
Bahkan selama ini aku tidak pernah percaya tentang orang yang bisa kerasukan roh atau semacamnya. Aku hanya percaya dengan sesuatu yang masuk akal dan nyata bisa dipelajari. Dan sekarang ketika aku sendiri mendapati diriku seperti ini, mungkin wajar jika aku mulai mencemaskan kesehatan mentalku.
Sementara ini aku hanya bisa coba berdamai dengan kewarasanku, tak peduli seaneh apapun itu, kenyataannya aku merasakan bahwa ada orang lain di kepalaku. Siapapun itu, dia bicara padaku, bahkan juga bisa mengendalikan tubuhku. Jika memang dia tidak nyata seharusnya aku bisa mengabaikannya, karena aku yakin masih memiliki kendali atas pikiranku sendiri, bahkan hatiku.
Pikiran dan hatiku adalah dua hal yang tidak akan bisa disentuh oleh Eric Northman!
Akhirnya Sidney mengalah dan setuju untuk menjemput putra Paris. Selama ini anak itu tinggal bersama pengasuh di bawah perlindungan hukum. Biasanya Paris hanya diijinkan untuk berkunjung tanpa boleh mengajak anak itu keluar bersamanya."Aku tidak mau menangani bocah yang masih mengompol." Sidney tetap bersikeras tidak mau ikut campur jika nanti Susan mendapat masalah."Anak laki-laki tujuh tahun sudah tidak kencing di celana lagi, Sidney!"Kadang Susan juga masih kesal dengan sifat egois suaminya yang bisa sangat tidak masuk akal, Dia mau memiliki banyak anak tapi tidak mau repot mengurusi anak-anak."Kita harus melihatnya dulu siapa tahu nanti kau juga akan menyukaianya!"Susan memencet bel pintu sementara Sidney masih berdiri di undakan tangga paling bawah nampak tak berminat untuk ikut masuk. Sidney benar-benar lebih suka disuruh menunggu di dalam mobil dari pada ikut berbasa-basi seperti yang diajarkan Susan."Ingat kau cukup tersenyum j
Sidney sudah tidur ketika Susan pelan-pelan mengambil buku harian Jessy dari dalam laci. Sidney tidak suka jika Susan membaca buku itu karena biasanya Susan malah jadi menangis setelah membacanya dan Sidney tidak suka melihat Susan bersedih untuk sesuatu yang menurutnya percuma. Tapi tetap saja Susan sering diam-diam membacanya, Jessy memiliki tulisa yang sangat rapi sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Membaca buku harian Jessy membuat Susan serasa ikut mengenal saudarinya meskipun mereka tidak pernah bertemu.***Jessy 12 Maret 2016***Bukannya aku tidak mau tinggal di kampung halama Paris, tapi aku sudah pernah mencobanya dan tidak bisa. Paris adalah orang yang sering bepergian dengan segala kesibukan pekerjaannya yang luar biasa. Paris juga melarangku bekerja lagi sejak kami menikah, sering kali aku merasa bosan ketika harus tinggal sendiri di rumah besarnya. Aku juga tidak punya teman atau keluarga di sana, semua yang kukenal adalah teman-teman Paris dan ling
Susan memperhatikan Sidney yang masih tertidur dan menyentuh bibir penuhnya yang sedikit terbuka. Ternyata pria seperti Sidney juga bisa nampak lucu ketika sedang tertidur dan Susan menyukainya karena jarang-jarang Sidney mau diganggu."Apa yang kau lakukan!" tegur Sidney yang ternyata sudah terbangun."Tidak ada," acuh Susan segera pura-pura mengabaikannya."Kemari kau!""Ao..!" Susan memekik kaget karena Sidney balas memukul bokongnya.Mereka masih sama-sama belum berpakaian sejak selesai bercinta tadi malam dan Tiba-tiba saja Sidney sudah kembali menerjang masuk dan menderanya."Sidney, ingat kau punya janji dengan Notarais pagi ini!"Susan coba mengingatkan tapi Sidney tetap mengabaikanya karena Susan memang bisa sangat cerewet meskipun sedang ia setubuhi. Gilanya Lagi Susan masih sempat meraih ponsel dan membalas pesan."Buang benda itu, Susan!" Sidney langsung membalik tubuh Susan dan merampas ponsel terkutuk itu dari tan
JESSY... Saat pertama kami bertemu dia adalah pemuda yang rupawan, berulang kali dia bertanya bagaimana untuk mendapatkan wanita sepertiku dengan sangat terus terang dan sedikit tidak tahu malu."Masukilah hatinya, maka kau akan mendapatkan segalanya," kataku saat menatap Netra biru gelapnya yang dalam ketika kami duduk di meja bar dan yakin pria tampan itu belum mabuk untuk merayuku. Aku tahu jika Paris Parker adalah pria yang cukup percaya diri untuk mendapatkan apapun keinginannya."Sebutkan apa saja yang bisa kudapatkan, setelah itu? " bisiknya saat mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Love, loyalty, dan keberanian !" Walapun setiap hari aku bekerja di antara para wisatawan asing tapi memang tidak akan pernah kubiarkan diriku terlibat dengan mereka dalam urusan asmara. Namun sepertinya pengecualian utuk seorang Paris Parker, pria yang telah dengan begitu berani berlutut di depanku dan memohon untuk menjadikanku miliknya.
Seorang pengurus rumah menemukan Paris Parker sudah terduduk kaku takbernyawa dengan bekas lobang peluru si pelipis kanannya. Tangan kanana masih memegang pitol dan sebuah ponsel terjatuh di lantai tak jauh dari tempat dududknya. Sebuah buku harian milik Jessy yang juga baru Paris temukan dari dalam laci masih terbuka di atas meja karena sepertinya pria itu juga belum selesai membacanya dan sudah tidak tahan.Pihak kepolisian menghubungi Sidney parker sebagai satu-satunya keluarga Paris. Sidney dan Susan juga langsung terbang ke Bali hari itu juga. Pihak kepolisian meminta Sidney untuk memutuskan bakal di makamkan di mana jenazah saudaranya. Sebenarnya Sidney sendiri juga tidak tahu karena hubungan mereka selama ini memang tidak seperti layaknya keluarga, tapi Susan yang langsung menyela dan minta agar Paris dimakamkan di samping saudarinya. Pihak kepolisian juga memberikan buku harian Jessy kepada Susan dan memberi tahu Sidney jika akan ada notarais dari Paris Parker yang ak
"Oh, Sayang apa yang kau pikirkan?" tanya Sidney pada wanita yang sedang berbaring di bawah naungan tubuhnya tapi entah pikiranya sedang melayang berada di mana."Tidak ada," bohong Susan sambil menggeleng saat Sidney menyentuh bibirnya dengan ibu jari."Aku bisa sangat cemburu jika kau memikirkan pria lain," sarkas Sidney yang sebenarnya juga tahu jika Susan sedang memikirkan Parish yang baru saja menelponya.Sidney merunduk untuk mencium Susan dan tetap bersikeras menahan wanita itu dalam ciumanya meskipun Susan agak enggan untuk menaggapinya."Sungguh aku mencemaskan Parish." Akhirnya Susan terus terang ketika tiba-tiba mendorong Sidney untuk berhenti sejenak."Sudah kubilang jangan memikirkan pria lain, apa lagi brengsek itu!" Sidney terdengar marah."Aku serius, sungguh perasaanku sedang tidak enak." Susan beringsut dari naungan tubuh Sidney dan kembali merapikan gaun tidurnya."Kau mau ke mana?"Sidney melihat Susan berja