"Bangun Susan .... Bangun! kau harus bekerja hari ini!"
Aku jengkel tiap kali suara itu kembali mengusik hidupku bahkan sejak pagi buta."Kenapa kau berisik sekali, Eric!"
"Ingat kau harus bekerja hari ini, kecuali kau mau kehilangan pekerjaanmu lagi! Aku sudah susah payah mendapatkan pekerjaan ini untukmu!"
Dia coba mengingatkan lagi meski aku masih malas, bukan malas bangun, tapi malas mengikuti kata-katanya, malas mengikuti perintahnya seolah dia 'Tuan' dan aku budaknya saja.Ini adalah hidupku tapi rasanya seperti aku yang tetap harus mengikuti rutinitas hidupnya. Meski dia sudah berjanji untuk memberiku privasi, tapi tetap saja dia orang yang tidak sabaran. Dia pikir wanita juga harus bergerak seperti dirinya yang mungkin semasa hidupnya pernah tinggal di barak militer, sehingga harus selalu sigap begitu bangun di pagi hari.
Aku segera berjalan ke kamar mandi dan kembali menyuruh Eric ikut menutup mata ketika aku mulai berdiri di bawah shower untuk melepas pakaianku, karena aku tidak punya cukup waktu untuk berganti baju di dalam handuk yang merepotkan. Aku baru kembali berani membuka mata ketika sudah menyambar Handuk untuk memakainya keluar kamar mandi. Aku tahu lama-lama aku bisa gila jika terus-terusan hidup seperti ini.
Setelah berpakaian aku segera mengambil susu dan sereal untuk sarapan karena sudah tidak punya cukup waktu lagi.
"Tolong jangan makan itu lagi, Susan."
Aku tak menghiraukannya, dan tetap menyendok serealku.
"Ingat makanan adalah privasiku!" tegasku agar dia ingat kalau kami sudah punya perjanjian.
"Kau makan sereal seperti kucing!" teriaknya di kepalaku.
"Apa!" aku hampir tidak percaya dia berani meneriakiku seperti itu.
"Sungguh itu makanan yang menjijikkan!"
Aku acuh dan malah menyuapkan sereal tersebut banyak-banyak ke dalam mulutku, masa bodoh, ini mulut-mulutku sendiri dan lagi pula rasanya ada kepuasan tersendiri jika bisa membuat Eric kesal.
"Hentikan, Susan, tolong ...."
Aku sama sekali tak peduli dan terus mengunyah.
"Baiklah anggap ini sebagai permintaan pertamaku!" tegas Eric dengan sedikit frustasi.
Segera kuletakkan sendok serealku.
"Ingat kau masih harus melaksanakan empat keinginanku!" Artinya sama dengan aku mengingatkan jika dia tinggal punya tiga.
Lagi pula tidak memakan sereal juga bukan hal terlalu berat untuk dilakukan, mungkin sebaiknya aku harus lebih sering membuatnya jengkel. Dan tambah satu lagi kelemahan Eric yang harus kucatat.
"Sebaiknya kita cepat berangkat!"
Kubiarkan Eric sendiri yang menyetir karena aku masih tidak tahu kemana aku harus bekerja. Yang jelas aku sudah berpakaian rapi, walau dengan make up seadanya yang tersisa, aku tetap tidak pernah terlihat buruk. Mungkin aku memang harus berbelanja setelah ini.
Semoga Eric benar tentang pekerjaan baruku. Karena aku tidak mau sudah bersusah payah seperti ini ternyata pekerjaanku cuma sebagai pelayan restoran atau kasir minimarket. Aku mulai sedikit lega ketika Eric membawaku ke sebuah wilayah pusat perkantoran yang terkenal cukup elite, karena memang hanya perusahaan-perusahaan besar bertaraf internasional saja yang biasanya berkantor di sana.
"Apa pekerjaanku?" tanyaku saat kami baru memasuki Lift dan Eric memencet lantai teratas.
"Kau pikir dengan penampilanmu seperti itu kau pantas menjadi apa?"
Bahkan aku malah justru kembali memeriksa blazer dan span pencil selututku melalui kaca di dinding lift, momen itu menjadikanku seolah sedang berhadapan dengan lawan bicaraku si Eric Northman.
"Masih sama dengan pekerjaanmu sebelumnya," katanya kemudian.
"Tapi ingat bosmu kali ini bukan si gendut botak mata keranjang itu lagi!"
"Dia orang yang baik," aku coba membela mantan bosku.
"Kau sebut orang yang berulang kali ingin menidurimu di sofa dengan sebutan baik!" ejek Eric dari dalam kepalaku.
"Kau sama sekali tidak mengenalnya!"
"Kau saja yang terlalu naif, Susan. Jangan pikir aku tidak tahu apa yang ada di kepala pria macam itu dengan wanita sepertimu yang berkeliaran di sekitarnya."
"Hentikan, Eric!"
"Karena itu juga, aku mengundurkan diri."
Aku hanya tersenyum sinis di depan cermin untuk mengejek perkataan Eric.
Eric membawaku ke sebuah ruangan yang sangat luas dengan interior yang sangat mewah dan elegan untuk dimiliki seorang pria berselera tinggi.
"Kupikir dia bukan orang sembarangan."
"Dia pemilik perusahaan ini," terang Eric.
"Terimakasih kau sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus untukku."
"Sepertinya ini memang jauh lebih baik dari tempat kerjaku sebelumnya."
"Kau cantik, Susan. Sebenarnya tidak sulit untukmu mendapatkan pekerjaan apapaun."
"Kau baru saja memujiku atau sekedar meremehkan intelektualitasku hanya karena aku cantik?" Aku tidak suka diremehkan seperti itu.
"Poin yang pertama tetap selalu akan mendapat kesempatan lebih dulu dibanding kecerdasan."
"Kalian sama saja," tiba-tiba aku teringat kembali dengan pandangan negatif orang-orang tentang wanita sepertiku.
Tak lama seorang pria muda dengan setelan rapi masuk ke dalam ruangan dan Eric mengajakku tersenyum untuk menyambutnya.
"Hati-hati jangan sampai kau jatuh cinta padanya!" Eric coba mengingatkan.
"Dia tampan," kataku kemudian.
Jangan berpikir macam-macam dan membuatku jijik, Susan! Berterimakasihlah saja karena aku sudah mencari pekerjaan yang cukup baik untukmu."
"Bagaimana jika aku memikirkan resepsionis yang cantik tadi, apa kau suka?" godaku iseng tapi sepertinya Eric sedang tidak ingin bercanda dan membawaku berjalan mendekati pria muda yang aku belum tahu namanya itu.
"Siapa namanya? " tanyaku pada Eric.
"Sidney Parker."
Jelas dari nama dan tampilannya dia bukan orang pribumi. Sidney memiliki rambut gelap dan mata biru pekat yang dalam ketika menatap seseorang. Dari tampilan sekilasnya saja aku tahu dia pasti pria yang sangat percaya diri dan cekatan, tipe pria disiplin yang pantas untuk sukses di usia yang masih muda.
"Apa kau sudah cukup sehat, Susan? " Sidney bertanya lebih dulu dan aku tidak tahu jika pernah sakit karena setelah itu Eric yang lebih banyak bicara padanya untuk mengarang kebohongan.
Sepertinya dia pria yang baik dan perhatian pada pekerjanya. Bahkan ia berulang kali menanyakan kesehatanku meski aku sudah mengatakan baik-baik saja dan cukup sehat untuk bekerja untuknya.
Aku kembali ke mejaku untuk mengambil map yang Eric letakkan di tumpukan paling atas kemudian menyerahkan berkas-berkas itu pada Sidney. Mungkin karena dia masih cukup muda, jadi sepertinya aku agak sulit memanggilnya pak atau Mr di dalam kepalaku. Lagi pula Eric sepertinya juga biasa menyebutnya Sidney, tanpa embel-embel apapun ketika berulang kali menjelaskan tugas-tugasku padanya.
Sepanjang hari itu aku lebih banyak mendengarkan Eric untuk mempelajari pekerjaan dan tugasku.
"Sebentar lagi dia akan memanggilmu dan biasanya kau akan duduk di sofa sebelah kanan untuk melaporkan jadwal kegiatannya minggu ini. Buka emailku karena semua jadwalnya ada di sana. Jika dia bertanya dan kau tidak bisa menjawab diamlah, biar aku yang jawab karena aku tidak mau kau terlihat cantik tapi gagap."
Meski sesekali dia agak tengil dalam membimbingku tapi aku tetap harus mendengarkannya.
"Susan, kemarilah," Sidney memanggilku.
Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sofa sebelah kanan seperti saran Eric. Sidney masih menatapku, seolah masih ingin memastikan jika ada yang salah. Dia tampan dan memiliki senyum yang menawan, benar-benar kombinasi yang berlebihan untuk dikumpulkan dalam satu porsi.
"Apa saja jadwalku hari ini?" katanya kemudian dan aku sedikit lega karena tidak harus terus fokus pada penampilan fisiknya.
Buru-buru kugeser layar persegi di tanganku dan kubacakan beberapa janji temu serta jadwal rapatnya untuk hari ini.
Aku masih duduk sedikit miring untuk merapatkan lututku, karena jujur saja aku agak terganggu dengan cara Sidney menatapku walaupun sebenarnya aku sudah duduk di ujung sofa paling jauh darinya. Saat itu aku mulai berpikir bagaimana nanti aku harus berada dalam satu ruangan setiap hari bersama mahluk seperti itu. Lagi pula kenapa dia masih belum berhenti melihatku, apa memang seperti itu yang biasa dia lakukan tehadap Eric selama ini. Matilah aku jika harus menghadapi tatapan pria yang sepertinya hanya ingin merentangkan lututku dan kenapa tiba-tiba aku berpikir sepertinya dia memang sudah pernah melihat semua yang ada di balik pakaianku.
Oh... Hentikan pikiran liarmu, Susan!
Mustahil aku mau melakukan hal kotor seperti itu dengan atasanku, tak peduli meskipun dia muda dan tampan. Lagi pula Eric pasti akan mencekikku jika sampai aku menanggapi godaannya.Bagaimanapun aku tidak bodoh untuk mengetahui keinginan pria saat menatapku dengan cara seperti itu dan ini masih terlalu pagi untuk apapun imajinasi dikepalanya. Meski rasanya agak mustahil pria seperti Sidney tidak mendapatkan cukup wanita di malam hari hingga pagi-pagi seperti ini kelihatannya sudah ingin menelan tubuhku hidup-hidup.
Aku sampai sulit konsentrasi untuk menjelaskan rincian jadwalnya karena Sidney sama sekali tidak mau bergeming dari tubuhku.
"Eric, sungguh aku bisa gila jika dia terus melihatku seperti itu."
"Sudah kuperingatkan, jangan tergoda, karena aku yakin dia bisa melakukan berbagai cara untuk merebahkanmu di atas sofa."
"Sial, kenapa kau memberikanku pekerjaan seperti ini!" protesku pada Eric yang masih bersembunyi di kepalaku.
"Dia tidak akan berani berbuat seperti itu jika kau tak mengijinkannya, jadi jaga otakmu tetap bersih, Susan!"
Aku adalah wanita yang berpendidikan dan patut untuk dihargai! tegasku untuk meyakinkan diriku sendiri, walau kenyataannya Sidney Parker tetaplah mahluk yang sangat menggoda untuk dituruti keinginannya.
Selain Sidney Parker yang tidak mau berhenti memandangi tubuhku, sepertinya aku tidak terlalu menemui kendala berarti dalam pekerjaan baruku. Jadi aku berusaha percaya diri seperti apa yang dikatakan Eric, karena aku yakin orang seperti Sidney pasti juga tidak akan menjatuhkan harga dirinya dengan memaksakan kehendaknya terhadap wanita. Jadi anggap saja aku aman meskipun rasanya tetap seperti diletakkan di dalam kandang singa yang sewaktu-waktu bisa menerkamku. Dan, berulang kali kukatakan Sidney Parker sama sekali bukan pria buruk rupa, bahkan untuk sekedar diliriknya saja seharusnya aku merasa sangat beruntung. Sebelumnya kau juga tidak pernah tahu jika dipandangi pria dengan cara seperti itu juga bisa berpotensi membuat tubuhku ikut demam. Percaya atau tidak karena dari tadi Sidney memang hanya duduk di mejanya tapi aku yakin otaknya sedang menelanjangi tubuhku. Sidney benar-benar terlihat tega meniduriku di sofa atau di
Aku meminta semua data transaksi rekeningku selama dua tahun terakhir ini kepada pihak bank, karena aku lelah dan tidak ingin mendengar omong kosong Eric lagi. Alangkah terkejutnya diriku saat mengetahui hasil print data transaksiku. Aku baru tau jika Eric orang yang sangat boros untuk barang yang tidak masuk akal seperti mobil noraknya itu. Buru-buru aku kembali fokus pada tujuan utamaku dan setelah kucek berdasarkan data pihak bank tersebut ternyata semua uang yang masuk ke dalam rekeningku dikirim atas nama Sidney Parker, atas nama pribadi bukan dari perusahaan tempatku bekerja sekarang.'Sidney Parker, bos mudaku yang tampan itu, bagaimana dia bisa memberiku uang sebanyak ini?' Berbagai pertanyaan langsung terlintas di kepalaku, mulai dari yang tidak masuk akal sampai yang mengerikan.
"Kuingatkan sekali lagi, Eric Northman! "___"Kau tidak boleh ikut campur dalam hidupku! ""Hanya dalam kondisi darurat! " tambahnya coba balik mengingatkan dengan acuh menanggapi keseriusanku.Ingat, kami masih bertengkar sejak kemarin dan sepertinya memang tidak akan ada yang mau mengalah.Sementara aku sudah bertekad, jika Eric tidak memberi jawaban apa-apa maka aku sendiri yang akan mencari jawabannya, karena itu sangat penting memastikan Eric tidak ikut campur.Sengaja kuhabiskan waktu lebih lama untuk urusan make-up dan tatanan rambutku, aku juga tidak peduli jika Eric akan semakin kesal karenanya. Dia benci make up dan segala pernak-pernik wanita, tapi apa peduliku, karena semakin dia kesal rasanya justru semakin baik untu
"Selama aku tidak makan sereal, sepertinya aku tidak melanggar aturan apapun,"____"terserah aku mau makan dengan siapa saja itu buka urusanmu!" tegasku ketika Eric coba melarangku untuk makan siang bersama Sidney. Aku masih membereskan isi tasku, mengecek dompet dan memasukkan ponsel kedalamnya saat Sidney sudah menunggu di depan mejaku. Dia mengulurkan tangannya untuk menyambutku.Oh, Tuhan... bahkan Nolan pun tidak pernah melakukan hal sepele seperti itu padaku.Sidney menggenggam tanganku sampai kami keluar dari pintu, mungkin dia masih ingin menjaga sikap profesionalnya di depan para karyawan. Bagaimanapun kedekatan dengan sekertaris seringkali di anggap sensitif, dia coba menghargaiku. Tentu aku juga tidak ingin dipandang remeh di lingkungan kerjaku. Bagaimanapun aku wanita yang
Setelah makan siang aku ikut menemani Sidney untuk bertemu dangan beberapa pimpinan perusahaan yang akan bekerja sama dengannya. Sebenarnya ini hanya semacam pertemuan non formal yang mereka lakukan di luar kantor untuk sekedar membahas tahap awal rencana kerja sama mereka sebelum pengajuan proposal yang nantinya akan dibahas bersama dewan direksi.Sidney sudah menjelaskan sedikit rincian kerjasama kami saat dalam perjalanan tadi, dan aku lega karena ternyata dia masih sangat profesional untuk tidak mengikut sertakan pembicaraan kami di restoran."Kuharap kau bisa mencatat poin pentingnya, Susan. ""Ya," kataku kemudian, "akan segera kusiapkan untukmu sebelum rapat direksi. "Sidney hanya melirikku sebentar, masih sambil konsentrasi m
"Eric apa kau sudah bangun? " tanyaku ketika baru membuka mata."Jika aku jadi kau, aku sudah mandi dari tadi, " jawabnya dari dalam kepalaku.Biasanya Eric memang selalu bangun lebih dulu untuk membangunkanku, jadi saat belum mendengar keributannya kupikir dia juga belum bangun. Aku baru ingat jika ternyata ini hari sabtu, mungkin dia sengaja membiarkanku sedikit bermalas-malasan. Aku hanya tidak menyangka ternyata dia peduli dengan jam istirahatku."Aku akan mengunjungi orang tuaku," kataku kemudian, dan sudah cukup waspada jika Eric tidak akan setuju, tapi ternyata dia hanya diam tidak berpendapat apa-apa."Eric, apa kau sakit? ""Apa maksudmu, Susan?" dia terdengar heran.
Sudah lama sekali aku tidak pulang ke kampung halamanku. Dulu aku memang paling malas jika harus ikut ayah dan ibuku pulang kampung, karena perjalanan daratnya yang hampir delapan jam dari bandara terdekat. Tapi sekarang kota kelahiranku ini sudah punya bandara sendiri, walau baru melayani penerbangan lokal dan belum tentu ada pernerbangan langsung setiap hari, yang jelas sudah tidak semenyiksa dulu lagi ketika kami harus pulang kampung sewaktu-waktu.Kami masih di bandara, Eric terus mengeluh tentang cuaca panasnya karena kami tidak juga segera mendapatkan taksi, padahal memang belum ada layanan taksi bandara yang memadai kecuali taksi-taksi gelap dari beberapa pemilik kendaraan pribadi yang digunakan layaknya taksi online. Kami baru mendapatkan taksi setelah menunggu hampir satu jam dan Eric masih ingin mengajakku ribut karena melarangku sembarangan masuk kedalam mobil orang asing. Int
Hari masih pagi dan aku sedang melihat Ibu yang sedang membagikan beberapa oleh-oleh untuk keponakanku, aku sengaja tidak melibatkan diri karena Eric tidak menyukai anak-anak. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku peduli dengan apa yang dia sukai atau tidak dia sukai."Apa yang kau lihat Susan?" tanya Eric.Mungkin karena dari tadi aku diam saja makanya dia heran waktu tiba-tiba aku berjengit kaget begitu melihat pria yang baru saja keluar dari dalam mobil yang berhenti di halaman.Reyhan adalah teman lamaku dulu kami pernah dekat, tapi hubungan kami sempat renggang dan sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi karena itu menurutku aneh jika tiba-tiba dia mau menemuiku lagi."Susan, " katanya untuk menyapaku lebih dulu di saat aku send