Abah telah pulang dari mencari kayu bakar, abah membawa ubi dan singkong pasti karena habis panen dari kebun. Aku pun segera menghampirinya. Aku ambil ubi dan singkong yang abah bawa di dalam bakul. Alhamdulillah masih ada makanan yang dapat kami olah siang hari ini. Aku pun merebus ubi untuk adik-adikku, sebentar lagi mereka pulang dari sekolah. Ubi rebus dan teh hangat bisa menghangatkan dan mengganjal perut kami siang ini. Keadaan yang selalu sama yang sering kami alami dari hari ke hari.
Aku pun mempersiapkan peralatanku untuk menari, satu setel kebaya berwarna merah yang sama dengan Cahyati, kain, korset, konde, dan peralatan make-up pemberian mak Lastri. Tak lupa aku cek sepeda, ternyata bannya sedikit kempes. Dan aku bergegas memperbaikinya di halaman rumah bersama abah. Agar tetap dapat aku pergunakan.
"Lestari....., ayo kita siap-siap."
"Iya, saya tinggal mandi dulu, kita kan harus berkumpul di rumah Teh Arum.""Iya biar kita di bantu untuk dandan.""Sebentar ya Cahyati, ini tolong bawakan tasnya, sudah di siapkan segala keperluan kita, saya pisahkan tempat makan dan minum dan saya telah bungkuskan ubi rebus.""Ya sudah sini di bawakan, Emak Cahyati juga sudah buat lemet untuk kita, lumayanlah untuk kita bekal nanti."Ku kayuh sepeda lebih cepat dari hari biasanya, Cahyati tidak bisa membawa sepeda. Saat kecil dia pernah ke jebur ke sawah saat belajar sepeda bersama, jadi dia trauma dan tidak ingin belajar kembali. Mau tak mau aku yang selalu membawa sepeda ke mana pun kami pergi. Tapi aku sangat bersyukur sekali Allah memberiku sahabat yang baik dan selalu kompak dalam segala hal seperti Cahyati.
Aku kayuh sepeda dengan semangat. Rumah teh Arum tidak terlalu jauh, jaraknya hanya 30 menit saja dari rumah kami. Di rumah Teh Arum lah kami akan berkumpul dan menyiapkan diri untuk tampil bersama nanti.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam, aduh Cahyati dan Lestari sangat rajin sudah datang?""Iya teh, kami sengaja datang lebih awal agar bisa bersiap dan dandan dengan Teh Arum dan kawan-kawan lainnya di sini.""Iya betul boleh Neng, dan ini kemarin Teh Arum ke pasar sama pacar Teteh, Teteh belanja make-up Teteh belikan kalian deodoran dan hand body, lumayan ya bisa untuk di pakai harian.""Alhamdulillah Teh, terima kasih.""Iya Teh terima kasih telah membelikan Cahyati dan Lestari ya.""Iya sama-sama.""Yuk pada bantu Teteh masak ya, kemarin kami pada iuran ingin masak goreng lele sama sayur asam, nanti kita makan bersama dulu ya sebelum berangkat.""Iya Teh""Mak Lastri tidak sempat mengurus keperluan kita, Mak Lastri sudah pergi ke yang hajatannya sejak siang ini karna harus menyiapkan panggung dan persiapan lainnya dahulu."Kami sangat senang sekali, bersyukur kami datang lebih awal ke rumah Teh Arum, setidaknya kami dapat membantu teh Arum mempersiapkan makanan. Kami pun membuka makanan kami dari rumah ada ubi rebus, dan lemet alhamdulillah bisa kami nikmati bersama dengan teman-teman. Suasana kesederhanaan dan kekompakan sangat terasa hari ini.
Satu-persatu teman diantarkan oleh motor, ada yang di antarkan oleh suaminya dan ada yang di antarkan oleh pacar masing-masing. Kalau di kampung kami sudah menjadi hal biasa dan umum, rata-rata kami menikah di bawah usia 20 tahun, bahkan banyak yang melakukan pernikahan dini seperti baru tamat Sekolah dasar sudah menikah. Kami pun mengawali acara dengan makan bersama, seru sekali, kami makan liwetan di atas lembaran-lembaran daun pisang, setelah itu kami pun merias diri kami masing-masing. Kami berganti pakaian dan kami pun mulai berdandan. Mereka menggunakan alat make-up masing-masing, sangat cepat sekali teh Arum berhias. Mereka tampak berdoa dan menyanyi saat bermake-up, teh Arum sadar kalau aku perhatikan gelagat dan gerak-geriknya saat berdandan, aku jadi malu sendiri di buatnya.
"Kamu heran ya Lestari dengan cara kami berdandan, bedak kami mah bukan bedak biasa Neng."
"Bedaknya mahal ya Teh?""Ha....ha....ha....aduh Kalian mah masih polos-polos ya?""Bener Teh Cahyati belum paham.""Ini namanya bedak doa Neng Lestari dan Cahyati, bedak ini bukan sembarangan, bedak ini sudah di doakan dan di mantrakan, para biduan, artis, penari mah tidak ada yang kosongan, jarang.""Oh begitu ya Teh.""Iya nanti Kalian juga pahamlah lama-kelamaan.""Ayo-ayo Mang Dadang sudah datang itu menjemput."Kami pun pergi diantarkan menggunakan mobil Suzuki Carry omprengan milik mang Dadang. Perjalanannya cukup jauh sekitar 1 jam ada. Aku dengar teh Yayah dan teh Nur mulai nembang, mereka bilang pemanasan, dari pada sepi saat kami di perjalanan. Kami dalam 1 kelompok ada 7 penari dan 2 biduan. Mobil mang Dadang terasa sesak sekali. Alhamdulillah kami pun sampai ke tempat acara. Selama di perjalanan tadi aku terus memikirkan tentang ucapan teh Arum tadi, apa maksudnya bedak berbeda dan telah di doakan?
Sudah tampak mak Lastri menyambut kedatangan kami, acara dan panggungnya terlihattampak luas sekali. Malam ini ada acara ruwatan kampung, pak Kades mengadakan acara jaipongan dan wayang golek.
Tampak ada bakaran kemenyan dan bunga sajen di pinggir panggung. Kami pun naik ke atas panggung dan kami berduduk rapi. Setengah jam lagi acara akan di mulai. Aku dan Cahyati akan menari jaipong di acara pembukaan. Mak Lastri pun sibuk mempersiapkan kami untuk tampil di panggung. Aku tampak gugup, begitu pun aku lihat wajah Cahyati. Dia sangat tampak gugup dan gemetar tak jauh berbeda dengan aku.
"Lestari dan Cahyati kemari, Mak mau kasih kalian nama panggung."
"Iya Mak.""Kamu Cahyati namamu Sekar Tanjung.""Iya Mak Lastri.""Dan Kamu Lestari namamu Sekar Wangi, dengarkan itu dan jangan sembarangan memberi kan nama asli kalian kepada orang yang tidak kalian kenal.""Iya Mak."Sekarang aku paham kenapa mak Lastri memberi nama kami dengan awalan nama Sekar. Aku pun melangkahkan kaki untuk memulai tarian pertamaku. Bau dari kemenyan dan bunga rampai tujuh warna terasa makin tercium di hidungku. Para tukang kendang dan alat musik sudah mulai memainkan tetabuhannya. Terdengar rampak kendang yang lebih indah dari hari biasanya, aku lebih bersemangat, seakan ada kekuatan lain yang memasuki tubuhku saat menari. Aku dan Cahyati menari sekitar setengah jam lumayan lelah dan gugup tapi irama musik dan kendang menambah kepercayaan diriku. Malam ini setelah tampil aku merasa sangat percaya diri, dan bersemangat sekali untuk menari.
Setelah selesai menari kami pun beristirahat di pinggir panggung, tepatnya di belakang panggung, mak Lastri memanggil kami agar mendekat. Beliau memercikkan air kembang setaman yang berada di dalam baskom, dan memberikan kami air minum, lagi-lagi airnya pun sedikit berasa bau kembang. Tapi aku harus mulai terbiasa dengan semua ini.
"Sudah minum saja oleh Kalian."
"Biar apa Mak.""Agar selamat saja dan tidak ada yang mengganggu Kalian tampil."Sungguh sangat mistis rasanya. Aku dan Cahyati pun mengangguk dan meminum air yang diberikan oleh mak Lastri. Sekarang acara tari bebas, teteh-teteh yang lain mulai menari. Ada beberapa pemuda yang mulai naik ke panggung, mereka banyak memberikan saweran, ada yang memberi 100.000, 50.000 dan paling kecil 10.000an. Sebagian dari mereka memberikan saweran ke tangan penari masing-masing tapi ada saja yang iseng menyelipkan uangnya ke tengah-tengah BH dan ke selipan kuping teh Arum dan Teh Cahyaning.
Sungguh mereka jadi idola di panggung ini. Sekitar tiga jam mereka menari, tampak hasil saweran yang mereka dapatkan sangat banyak. Rata-rata perorangan bisa dapat Rp 200.000.
***
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 23.00 kami pun pulang ke rumah di antarkan ke rumah masing-masing oleh Mang Dadang. Terpaksa kami titipkan sepeda kami di rumah teh Arum malam ini. Mak Lastri tak lupa memberikan kami sebuah amplop, ya amplop upah kami menari. Teh Arum pun sama memberikan kami upah 25.000 hasil dari sumbangan saweran dari ke lima teteh penari. Alhamdulillah kami syukuri semua hasil jerih payah kami menari hari ini.
***
sesampainya di rumah, Aku memberikan hasil menariku semalam kepada emak, uang Rp 100.000, emak awalnya tidak mau menerima uang dariku itu. Tapi aku bilang itu untuk membeli sembako dan uang jajan dan sekolah adikku. Cukuplah aku sisihkan uang Rp 25.000 di dompetku. Aku ingin adik-adikku dapat makan yang enak hari ini. Seperti halnya aku yang ingin makan dengan nasi dan lauk yang layak.
"Neng duitna ku Emak di peserkeun beas dua liter, hayam satengah kilo sareng minyak goreng saliter, aya sesa Rp 30.000 ku Emak di pisahkeun di simpen Neng."
(Neng uangnya sama Emak di belikan beras dua liter, ayam setengah kilo dan minyak goreng satu liter, ada sisa Rp 30.000 sama Emak di pisahkan dan di simpan ya Neng)"Muhun Mak."
(Iya Mak)Alhamdulillah bahagianya hatiku hari ini, akhirnya hari ini adik-adik dan keluargaku bisa makan dengan ayam goreng dan nasi, mini yang layak.
Aku lihat wajah adik-adikku satu-persatu, mereka sangat senang sekali siang ini. Aku lihat abah dan emak mata mereka berkaca-kaca, pasti mereka sedih dan terharu. Tapi mereka tidak dapat berbuat banyak untuk melarangku menjadi seorang penari jaipongan.
Apa pun ini, jaipong adalah jalan yang Allah berikan untukku dalam mencari rezeki. Aku tak akan menangis, aku tak akan bersedih atau menyesali takdirku sebagai seorang penari jaipong. Ini semua sangat aku syukuri.
Jaipongan masih menjadi primadona di kampung kami, minimal seminggu ada dua acara tanggapan terkadang di acara hajatan atau panggung-panggung hiburan malam. Penghasilan tetap aku dan Cahyati per bulan minimal delapan ratus ribu sampai dengan satu juta sebagai seorang penari pemula. Sedikit demi sedikit aku dan Cahyati bisa membantu keluarga kami. Seperti hari ini, aku dapat membawa uang 150.000 karena Pak Agus juragan kambing memberikan kami saweran 50.000 seorang. Apa lagi Teh Arum ya, pasti banyak penghasilan dari hasil sawerannya. Pantas saja pakaian, sandal, make-up dan rumahnya semakin hari semakin bagus dan selalu ada perubahan, dia juga menjadi primadona di kampung, laki-laki banyak yang mengejarnya karena cantik, tapi para perempuan-perempuan di kampungnya sebaliknya mereka iri dan selalu menghina Teh Arum dan kawan-kawannya, kemungkinan esok-esok bisa aku dan Cahyati. Dan aku rasa teh Arum ada yang berbeda deh. Aku pun teringat ucapannya saat
Malam ini kami pun pentas kembali, ada acara pernikahan anaknya pak Camat di desa Suka Warna, seperti apa yang menjadi tantangan teh Arum, selain menjadi penari pembukaan acara resepsi kami pun ikut melengser. Melengser istilah tarian malam hari, yang identik dengan duit saweran dan tarian selendang yang sedikit menggoda kaum laki-laki. Kami turut duduk di antrean penari senior. Kami pun siap berlempar selendang dan menari bersama lawan jenis. Tampak beberapa pemuda dan bapak-bapak yang mulai naik ke panggung dan memberi saweran kepada kami, benar saja Teh Sekar Arum orang pertama dan turun dari bangku penari. Dan di susul oleh penari-penari senior lainnya, aku pun terus berdecap kagum, pasti penghasilan mereka yang di dapatkan akan lebih banyak dari kami. Kami yang sering di bilang teh Arum sebagai penari pemula dan polosan. Sungguh apa yang mereka pakai ternyata ada pengaruhnya, teh Sekar Arum dan ke empat penari senior lainnya telah menari terlebih dahulu, sedang
Sudah satu bulan aku menggunakan bedak pengasih dari Ki Slamet sama dengan temanku yang lainnya. Kini penghasilan aku dan Cahyati semakin membaik, terkadang kami membawa pulang uang sampai Rp 300.000 sekali tampil. Lumayan bukan, sedikit demi sedikit aku dapat membelikan furnitur untuk Emak di rumah. Kemarin sudah terkumpul dua juta rupiah, aku membeli kasur dua set untuk kamar emak dan kamarku. Melihat adik-adik tidur dengan layak di atas kasur membuatku sangat senang. Setidaknya tentu saja mereka tidak akan merasakan sakit dan dingin seperti dulu lagi. Bedakku pun sudah hampir habis, aku harus segera pergi ke rumah Ki Slamat lagi. Kalau bisa, kali ini aku pergi kesana sendiri dan diam-diam saja, dalam hatiku terbesit pikiran andai aku bisa mendapat Mustika atau sejenisnya sebagai pemikat yang berbeda dari teman-teman biasanya. Mungkin aku bisa mendapat duit saweran lebih banyak lagi. "Cahyati, Aku mau ke rumah Ki Slamet Kamu mau ikut bareng tidak?"
Dan akhirnya aku pun pergi ke rumah ki Anom, dengan sengaja menyewa sebuah mobil beserta sopirnya. Aku bilang kepada abah dan emak ingin main ke kota mengunjungi teman lama dan mungkin menginap di sana jika tidak pulang atau terlambat pulang. Aku sengaja pergi dari rumah menjelang subuh, dan aku yakin Cahyati tak akan memergokiku, perjalanannya lumayan lama, ke Ciamis lebih dari 5 jam aku baru sampai ke dusun abah Anom. Dusun yang aku cari sudah benar, hanya saja aku harus bertanya kepada warga di mana rumah abah Anom tepatnya. “Permisi Bu.” “Iya Neng ada yang bisa ibu bantu?” “Saya mau bertanya alamat rumah Abah Anom Bu apa ibu kenal?” “Oh abah Anom? Dia rumahnya ada di atas bukit sana neng, neng lurus saja dari sini naik ke bukit, tapi tidak bisa bawa mobil neng.” “Ya, baik Bu.” Aku akan meminta pak sopir menunggu di sini, lagi pula biar saja pak sopir beristirahat dulu saja sejenak, karena aku tahu pasti beliau lelah saat dalam perj
"Neng bangun." "Iya Mak, Neng masih mengantuk ini." "Bagaimana tidak mengantuk, Kamu pulang itu hampir subuh Neng." "Masa Mak? Lestari kenapa tidak ingat ya?" "Ya Kamu sangat lusuh dan sangat terlihat lelah semalam, Mak tidak mau mengganggumu, ya sudah lekas mandi dan berganti pakaian." "Iya Mak." Ya aku pasti lupa, tapi kenapa ya sampai larut malam begini, bahkan menjelang pagi. Apakah memang kami mendapatkan banyak tanggapan dan saweran semalam. Aku pun berdiri dari kasurku, aku mengambil tas pribadiku dan aku buka, astaga duitnya banyak sekali. Aku pun hitung lembar-demi lembar uang yang ada. Totalnya ada dua puluh juta rupiah, doa gepok uang pecahan 100.000. Duit siapa ini? oh iya aku pun ingat saat aku mau naik ke panggung aku melihat ada Abah Rahmat di sana. Sungguh dia memberikan aku uang sebanyak ini dalam satu malam saja saat menari? Aku pun bergegas mandi dan mengganti pakaianku, aku ingin sarapan dahu
Aku harus tetap menari, agar teman-temanku tidak curiga dengan kejanggalan- kejanggalan yang terjadi ini. Memang benar aku memperoleh banyak uang dari itu semua, tapi haruskah aku mengorbankan seseorang demi syarat Nyi Mas Srinti. Hampir setiap malam pun aku memimpikannya mimpi yang aneh dan sangat menakutkan, mimpi yang sama terus berulang-ulang tentang Nyi Mas Srinti yang meminta bantuanku untuk membalaskan dendamnya. Terkadang aku juga bermimpi, mimpi tentang kehidupan masa lalu Nyi Mas Srinti sebagai seorang penari jaipong. Tampak sosoknya yang memiliki paras yang ayu dan sangat piawai menari. Rasanya ingin berhenti dari semua kehidupan dan mimpi-mimpi buruk ini, tapi sepertinya tidak mungkin, masih sangat berat dan terlanjur semua, aku sudah terlambat untuk mundur. "Teh...." "Iya ada apa Asep dan Jaja?" "Asep sebentar lagi lulus Sekolah Menengah Pertama, Asep mau kerja saja ya? biar dapat bantu Teteh dan Abah." "Jangan! Asep dan J
“Lestari Aku makin curiga sama Kamu.” “Curiga apa sih Cahyati? Kamu ada-ada saja deh pakai acara curiga segala sama aku.” “Ya, Aku sering merasa Kamu itu aneh Lestari kalau sedang tampil di panggung. Kamu tidak seperti yang aku kenal sejak dulu tau, kamu makin aneh setiap malamnya.” “Aku baik-baik saja Cahyati, percaya deh, hanya saja Aku ingin total kalau sedang tampil.” "Tidak, kamu kalau tampil seakan tidak kenal dan tidak dekat kepadaku, bahkan kamu suka pergi sendiri tanpa pamit padaku." Gawat, Cahyati sudah sering menegurku sikap dan kelakuanku saat manggung. Sedangkan aku sungguh-sungguh tidak sadar dengan semua yang aku lakukan setiap harinya. Ya tuhan, sampai kapan aku harus berkelit seperti ini. Dan aku pun telah di tegur mak Lastri kemarin. Apa iya aku sangat berbeda jika sedang manggung. Aku pun terus melipat pakaian yang baru saja aku ambil dari halaman rumahku, terus menyibukan diri agar diriku tidak melamun. Tamp
Bertubi-tubi dalam setahun ini Nyi Mas Srinti menjalankan aksinya untuk balas dendam. Aku benar-benar merasa stress dan ketakutan sekali, rasanya nyaris aku tidak bisa menjalani kehidupanku dengan tenang. Dalam satu bulan terakhir ini saja sudah ada emoat orang yang meninggal, dan aku rasa semua karena perbuatan balas dendam Nyi Mas Srinti dan semua kisah kematiannya mereka nyaris sama mati terbunuh secara misterius. Nyi Mas Srinti membunuh pak Asep, korban ke 4 empatnya, kemudian juragan Pepen dan pak Waluyo. Mereka terbunuh dengan motif yang sama, malam di mana telah berjaipong denganku, meninggal dengan kisah yang sama tragisnya. Hari ini tepat tanggal 1 Suro, seperti kesepakatanku dengan abah Anom. Aku harus menggelar ruwatan mandi kembang di kediamannya. Aku berangkat dari rumah menggunakan bus umum, aku tak ingin seorang pun tahu apa yang aku lakukan. Hal ini aku lakukan untuk menjaga khasiat dari susuk-susuk yang aku gunakan di tubuhku. Dan satu