Niat Zen untuk mengakhiri kesendiriannya dan membina rumah tangga selayaknya pria normal lain, tampaknya sudah sangat bulat. Pria itu kini sudah tidak menutupi lagi bagaimana perasaannya terhadap Lea. Injeksi kedua dari penawar racun yang diberikan Clint membuat pria itu menanamkan harapan yang tinggi untuk kesembuhan si wanita. Setiap hari, selama tiga hari terakhir ini Zen selalu mengajak Lea mengobrol seolah wanita itu dapat mendengarnya. Well, mungkin Lea memang bisa mendengarnya, namun wanita itu tak dapat memerikan respons apa pun.
“Kapan injeksi ketiga akan dilakukan?” tanya Zen pada Clint yang baru saja menyuntikkan penawar tahap kedua.
“Besok sudah bisa dilakukan jika tidak ada penolakan dari tubuh Lea. Reaksi tubuhnya untuk injeksi pertama kemarin kurang bagus.” Clint menoleh pada Zen yang menatap wanitanya dengan alis berkerut samar. “Awalnya tubuh Lea menolak penawar itu, meski akhirnya bisa menyesuaikan dengan obat yang kuberi
Usai mencekoki Zac dengan segala hal yang menyangkut pahit manis dunianya, Zen meminta bocah itu untuk menunggu di tumpukan jerami sementara dia menyiapkan Storm untuk berkeliling.“Kau tunggu di sini, sementara aku mempersiapkan Storm.” Zen menegakkan tubuh. Sebelum benar-benar berpaling, pria itu melihat sekali lagi pada Zac lalu berkata, “Jangan pergi ke mana pun, okay?”“Yes, Mr, Aberdein,” balas Zac dengan suara cadel.Jawaban itu membuat Zen memutar mata. Sudah berkali-kali dia bilang pada Zac untuk memanggilnya “uncle”, tapi bocah itu tidak mendengarkan dan justru memanggilnya “Mr. Aberdein” lagi seperti yang dikatakan Arthur.“Aku tahu ayahmu adalah Arthur, dan sangat bagus jika kau patuh padanya. Akan tetapi, aku lebih suka jika kau memanggilku ‘uncle’. Jadi jangan memanggilku seperti itu lagi. Kau mengerti?” Zen mengacak-acak rambut Zac.Anggukan kepala bo
Nyaris saja desing peluru terdengar menggema di kendang kuda itu, andai orang yang berada dalam bidikan Zen tidak menarik pria di sebelahnya dan menodongkan senjata api ke kepela pria tersebut.“Shoot me then I’ll shoot him,” ujar si pengkhianat.Dia adalah Robert, salah satu pekerja di peternakan itu yang memiliki tugas untuk membersihkan kandang kuda setiap harinya. Mari kita lihat, mengapa pria itu berkhianat.“Bagaimana sebuah jasad dapat menembak orang lain?” sarkas Zen tanpa menurunkan senapannya.Robert tertawa sumbang mendengar ucapan Zen, namun dia tak melepaskan pria yang dia sandera. Kakinya terus melangkah mundur, menjauh dari jangkauan pria-pria di sekitarnya.“Kesombonganmu memang tiada banding, Aberdein!” cibir Robert.Zen menatap Robert melalui bidikannya. Dia diam beberapa saat karena mengira Robert masih akan mengatakan sesuatu. Namun rupanya pria itu hanya terus menekankan moncong
Pada saat Zen tiba di ruangan tempat Lea dirawat, di dalam ruangan itu dia dapat melihat wanitanya dengan posisi setengah duduk karena bagian kepala ranjang yang dinaikkan. Sejenak Zen tertegun di depan pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghalang antara dirinya dan si wanita.Apakah yang dia lihat ini nyata? Begitulah pertanyaan yang menggaung di dalam benak Zen ketika melihat iris hijau seindah zamrud yang telah lama tak dia temukan di wajah cantik itu. Sialnya lagi, di dalam dada pria tersebut ada sebuah jantung yang berdetak tidak karuan hingga membuat si empunya raga merasa tidak nyaman.Zen menipiskan bibir sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. “Ada apa dengan jantung sialan ini?” gumam pria itu.Degup yang kian menggila itu membuatnya tak bisa masuk ke dalam ruangan. Dia tidak ingin Lea melihat atau merasakan apa yang tengah terjadi padanya. Karena saat ini Zen merasa seperti seorang remaja yang akan menemui gadis yang dia taksir.
Sorot mata Zen kian menajam hingga manik pekatnya membulat. Mendengar pengakuan Lea membuat pria itu semakin tercengang. Benarkah yang dikatakannya? Bahwa wanita itu sekarang dapat melihat?“Ya, Zen. Penglihatanku sudah kembali. Aku dapat melihat semuanya.” Lea tersenyum pada Zen lalu mengusap wajah pria itu. “Aku … merindukanmu,” ucapnya dengan sepenuh hati.Ibarat kain hitam yang digunakan untuk menutup sebuah lampu, kain tersebut sudah berlubang di beberapa bagian hingga cahaya terang menerobos keluar. Maka seperti itulah kondisi hati Zen saat ini. Di mana sebuah cahaya yang bernama cinta bersembunyi di balik ambisi dan kekuasaan, kini mencoba untuk menerobos keluar melalui celah-celah kecil di dalam hatinya.Perasaan hangat yang menjalar melalui tatapan dan senyum Lea mampu menembus dada Zen hingga menimbulkan getaran aneh yang mengusik jiwa pria itu. Kemudian Zen menggerakkan tangan untuk menyentuh tangan Lea yang ada di wajah
Setelah dinyatakan pulih oleh Clint, Lea diperbolehkan mrninggalkan ruang perawatan. Menuruti apa yang diperintahkan oleh Zen, wanita itu sama sekali tidak mengatakan pada orang lain bahwa dirinya sudah mendapatkan penglihatannya kembali—termasuk kepada Clint.“Hati-hati,” ucap Clint ketika Lea hendak turun dari ranjang.Terlalu lama berbaring di atas tempat tidur, membuat kaki Lea terasa kaku saat digerakkan.“Oh, kakiku terasa kaku dan kebas. Harusnya selama aku koma, kau pasang sesuatu di kakiku supaya ada pergerakan yang membuat peredaran darahku normal,” ujar Lea.Clint terkekeh mendengar ucapan konyol Lea, namun dia tidak menanggapinya. Pria itu hanya memberi arahan dan memosisikan tangan di dekat tubuh Lea untuk berjaga-jaga jika wanita itu membutuhkan bantuan.“Ayo, aku akan mengantarmu kembali ke kamar,” kata Clint.Dalam kondisi yang berpura-pura buta, tentu Lea menerima tawaran itu. Akan s
Deru napas lirih yang teratur, terdengar saling bersahutan. Dua insan yang telah menghabiskan waktu selama berjam-jam dengan saling memberi kenikmatan itu kini terlelap, mengistirahatkan raga yang penuh dengan peluh sisa-sisa kenikmatan yang beberapa saat lalu menerbangkan mereka hingga ke langit ketujuh.Geliat pelan si wanita membuat kelopak mata yang membungkus netra pekat si pria perlahan terbuka. Hal pertama yang pria itu lihat adalah surai halus yang bersandar di dada bidangnya. Sebuah senyum tipis tercetak dari bibir si pria ketika satu tangannya bergerak mengusap surai si wanita.“Kau memang yang terbaik, Sweet Cake,” ujar pria itu lirih yang menyerupai gumaman.Bukannya segera bangun, Zen justru mempererat pelukannya pada tubuh polos Lea yang terbungkus selimut tebal berwarna putih, senada dengan sprei yang telah kusut di bawah tubuh mereka. Hingga akhirnya pria itu kembali terlelap.Beberapa saat kemudian, ketika Zen masih terbuai da
Ucapan Zen tentang apa yang akan terjadi esok hari di labirin membuat Lea tidak bisa tidur hampir semalaman. Wanita itu terus memikirkan apa yang akan dilakukan Zen di sana.“Apa ini ada hubungannya dengan orang yang mendalangi semua kecelakaan yang terjadi?” gumam Lea saat Zen meninggalkannya untuk urusan pekerjaan bersama Arthur. Entah pekerjaan macam apa yang pria itu lakukan di tengah malam seperti itu.Wanita tersebut melihat jam yang ada di atas nakas. Sebentar lagi matahari akan terbit dan kedua matanya tidak mau terpejam. Hati Lea terus gelisah karena firasat buruk yang dia rasakan tentang kejadian di labirin.Untuk itu Lea memutuskan turun dari ranjang dan melenggang ke kamar mandi. Memosisikan diri di bawah kucuran air dari shower, wanita itu membasahi seluruh tubuhnya mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Rasanya jauh lebih baik sekarang,” ujar Lea di depan cermin yang ada di walk in closet.Dengan hanya mel
Ketika roda dari kursi yang diduduki Lea behenti bergerak, wanita itu berpura-pura tidak tahu bahwa mereka berhenti di dalam sebuah ruangan kosong dengan sebuah lampu gantung yang berada di tengah-tengah ruangan. Jangan lupakan lorong sepi yang membawa mereka menuju ruangan tersebut. Tak ada penjaga yang tampak melintas. Terlebih lagi, ruangan ini berada di dalam sebuah ruangan lain yang lebih besar. Lea mulai berpikir bahwa ini akan menjadi sebuah perjuangan yang sulit untuknya. Wanita itu memperkirakan kemungkinannya untuk keluar dari ruangan itu dalam keadaan hidup hanya akan berada dalam kisaran tak lebih dari 25%. Ya, 25% dengan mengandalkan keberuntungan. Antara Matt yang menemukannya sebelum mati di tangan siapa pun bedebah ini atau Zen kembali ke mansion di saat yang tepat.“Apa kita sudah sampai?” tanya Lea berpura-pura bodoh.“Sudah, Nona. Kita sudah sampai,” jawab si pelayan.“Tapi … kenapa di sini terasa han