Bab 14 kedatangan RatnaAku menghela napas panjang. Meskipun bapak tidak melanjutkan ucapannya. Tapi aku mengerti akan seperti apa pada akhirnya.Aku terdiam sejenak. Menyatukan kata agar terdengar tidak egois."Bela, masuk dulu! Biar nanti Bela nyari solusi gimana baiknya. Masalah pengacara, biar nanti saya bicarakan dengan Nia dan Mas Arya. Mereka lebih tahu!"Emak mengusap punggungku dengan lembut lalu mengangguk. Keluargaku sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak uang yang kami butuhkan. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali. Sudahlah, tak baik jika terus merutuki jalan takdir yang sudah diberikan Allah. Aku beranjak dari tempat duduk. Berjalan gontai menuju kamar. Kujatuhkan bobot tubuhku diatas kasur. Sedangkan tas masih dalam dekapan.Aku meraih ponsel yang berada di dalamnya. Keningku mengkerut tak percaya melihat beberapa pesan di aplikasi berwarna hijau."Ibu? Ngapain ibu kirim pesan sama aku?" Banyak pertanyaan yang muncul begitu saja dalam pikiranku. Segera aku buka pesan
Bab 15Apakah aku tidak salah dengar? Wanita itu tanpa malu meminta ku kembali kerumah yang seperti neraka. Tak ada raut wajah bersalah atau sekedar meminta maaf. Tapi rasanya sulit sifat manusia itu berubah dengan cepat. Melihatnya saja, aku sudah bisa menebak. Dia dijadikan menantunya pembantu di rumah anak sendiri. Sehingga mencoba memintaku kembali agar semua tugas aku yang mengerjakan. Ow, tentu tidak akan pernah terjadi. Aku bersumpah untuk itu."Anda bicara seperti itu tidak mempunyai hati apa? Anda tidak mempunyai malu dengan kami? Meminta maaf kepada kami saja tidak anda lakukan. Dan sekarang tanpa malu meminta anak saya pulang?! Jangan pernah berharap itu terjadi. ku, Ibu yang sudah melahirkannya. Akan menjadi orang pertama yang menolak Bela rujuk dengan Imam. Dengar itu baik-baik!" Emak menahan amarah. Terlihat dari tangannya yang mengepal. Rahangnya pun mengeras, wajah yang tadi teduh berubah menjadi merah padam."Sabar, Mak!" Bapak mencoba menenangkan wanita yang duduk
Bab 16"Motor kamu baru, Mam? Bukannya kamu habis kena musibah? Kok sudah bisa beli motor?" tanya Pakde Hamdani. "Memang kenapa, Pakde. Toh, aku juga beli motor pake uang sendiri, gak minta sama Pakde. Ngapain situ sewot?!""Pakde gak sewot. Pakde cuma nanya. Kamu kok udah beli motor baru? Padahal baru aja kena musibah kecelakaan. Syukur deh, berarti punya duit banyak! Terus Bela istri kamu, kamu kasih nafkah enggak?""Bela? He, Pakde. Dia itu minta cerai terus sekarang juga sudah diproses di pengadilan dia yang mengurus semuanya jadi buat apa aku ngasih dia nafkah? Toh sebentar lagi kita resmi bercerai. Buang-buang duit aja. Buat sesuatu yang gak penting!""Astagfirullahaladzim, kamu kok bicaranya seperti itu sih, Mam? Kamu ngerti agama tapi kok kelakuan begitu?! Heran, Pakde sama kamu!""Dah ah, Imam pergi dulu! Pusing dengerin omongan Pakde yang gak jelas itu!" Aku sengaja pergi untuk menghindari Omelan Pakde yang pasti akan menuju satu nama yakni Bela. Jika itu mengenai dia aku a
BAB 17[Memangnya Mbak Arumi dimana?] Balasku berbohong. Seakan tadi aku tidak melihat mereka, mustahil.[Apakah kau berniat menghindari Mas Arya juga?] Membaca pesan dari Mbak Arumi keningku mengkerut. Sejenak berfikir apa yang harus aku jawab? Apakah permintaan menikah dengan Mas Arya itu juga keinginan dari lelaki itu? Padahal mereka sudah dikarunia seorang putra. Aku kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Pikiranku sudah tidak bisa merangkai kata untuk menjawab pertanyaan Mbak Arumi.Aku membiarkan Mbak Arumi menerka-nerka sendiri jawabanku. Sebagai seorang wanita dia pasti paham. Aku yang masih status istri orang. Sedangkan putusan pengadilan juga belum diumumkan. Apakah pantas sudah merencanakan suatu pernikahan? Ah, memikirkan masalah keluarga ku saja menyita banyak waktu. Apalagi harus mengurusi suatu hal yang menurutku diluar nalar. Tak aku hiraukan lagi Mbak Arumi, mungkin itu hanya sebuah lelucon baginya.****Seperti biasa Emak dan juga Bapak pergi ke ladang selepas subu
Bab 18"Apakabar, Bel?" sapa Mbak Arumi yang langsung menghamburkan pelukannya. Akupun dengan reaksi spontan menerima pelukan Mbak Arumi dengan mengeratkan pelukan."Baik, Mbak. Alhamdulilah." Pikiranku tidak sinkron hingga menanyakan kabar sebaliknya pun enggan ku lakukan. Berbagai pertanyaan hinggap di ot*kku kenapa mereka bisa kemari?"Sidang putusan sebentar lagi turun, Bel.""Terus?""Kok terus sih, Nduk? Ya, berterima kasih no sama Nak Arya. Yang sudah bersedia membantu selama ini! Kamu kok jadi kayak orang bingung gitu tho?""Ow, Iya. Mak, maaf!" Aku menggaruk tengkuk leher yang sebenarnya tidak gatal. Meskipun sudah tertutupi jilbab instan.*****POV Ibu RatnaAku berjalan tergopoh-gopoh menuju warung. Hari ini Imam memberiku uang dua ratus ribu. Dia menyuruhku membeli pulsa listrik sisanya digunakan untuk membeli sayur dan kebutuhan lain. Perut Lia semakin hari semakin membesar alasan yang selalu digunakan jika aku menyuruhnya membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Awalnya si
Bab 19Wah …." Aku membelalak, melihat isi dalam kardus yang lumayan besar itu. Ada pakaian bayi lengkap dari sepatu hingga topi untuk si baby."Baik banget, Bela." Sengaja aku menekankan kata baik. Agar Lia tahu dia tak sebaik Bela. Lia langsung mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya tajam. Imam pun tak kalah heran. Mengapa Bela mau memberi mereka hadiah, padahal Imam tau betul bahwa Bela sangat marah mengenai Lia. "Ini apa?" Imam menarik sesuatu yang berada paling bawah. Seperti lembaran foto. Dibaliknya dengan perlahan hingga semua orang yang ada di tempat itu terkejut melihat sosok yang berada di dalam foto, sedang bergandengan tangan dengan seorang pria yang terlihat sangat mesra. "Ini apa maksudnya?!" Imam murka. Tangannya seketika mengepal. Rahangnya mengeras. Ketika menatap lembaran demi lembaran foto yang ia bawa."Lia gak tahu, Mas. Sumpah!""Kalau kamu gak tahu terus ini apa?" Dibuangnya foto itu langsung didepan wajah Lia. Lia memalingkan wajahnya lalu memungut l
BAB 20"Lho kok gitu, Om? Bukannya kita sudah sepakat ya. Kalau hutang itu dibayar perbulan." Aku terheran-heran mendengar permintaan lelaki ini. "Eh, Bela. Kamu ini dikasih keringanan malah ngelunjak. Dulu aku sudah peringatkan kamu ya! Hutang bapakmu itu akan lunas jika kamu rujuk dengan Imam. Eh, malah kamu tetep ingin cerai. Sekarang mana uangnya?""Belum ada, Om. Besok kalau Bela sudah gajian pasti Bela lunasi!""Om gak mau tahu. Pokoknya kembalikan uang Om sekarang!""Sabar, Pak sabar. Semua bisa diselesaikan baik-baik! Berapa hutang Bela yang belum terbayar?" tanya Mbak Arumi dengan nada biasa saja."Empat juta! Kenapa? Kamu mau bayar?"Mbak Arumi menghela napas panjang lalu meraih dompet yang tersimpan dalam tas."Mbak." Aku menggeleng tanda menolak pertolongan Mbak Arumi. Mbak Arumi pun berhenti dari aktivitasnya lalu menatapku."Eh, Bela. Gak usah sombong kamu! Gak mau dibantu segala. Memangnya kamu punya uang?!""Tu dengar, memangnya jika kamu tidak mau aku bantu, kamu ada
Bab 21LegaAku masih termangu duduk di kursi menatap langit-langit rumah. Dadaku sedikit lega. Mengungkap semua rahasia yang dulu kututup rapat-rapat. Mbak Arumi pun sudah pergi. Dijemput mobil entah berwarna apa? Sudah tak diperhatikan lagi."Nduk, kamu gak papa?" Emak berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Bajunya yang kotor sudah berganti baju bersih. Sepertinya juga sudah mandi. Aku tak melihat kedatangannya tadi."Baik, Mak." Aku tersenyum menutupi semuanya. "Emak sudah tahu, gak perlu lagi kamu tutupi! Wahyuni tadi panggil Emak. Saat mantan suami dan juga mertuamu kemari. Maaf, Emak gak langsung menemui mereka. Emak mandi dulu. Setelah keluar malah sudah bubar. Mereka kesini ngapain? Gak bikin ulah kan?""Gak papa, Mak. Mereka gak bikin ulah kok.""Terus baju yang ada di depan itu baju siapa?"Aku menghela napas panjang. Jika aku tidak menceritakan pada Emak, lantas bagaimana aku bisa menjelaskannya?"Iya, Mak itu baju Mas Imam. Tadi dia kesini marah-marah. Mereka pikir Bela y