"Hahaahha, seperti inikah wanita pilihanmu Mas? Sungguh tak selevel denganku," ucap Anggun pada suaminya, sedangkan Ardi sedari tadi tak berkutik, hanya menundukkan kepala."Dasar wanita sialan, berani kau permalukanku di rumahku sendiri, lihat saja setelah ini kau akan di usir oleh Mas Ardi!" hardik Mika."Hahahaha, apa aku gak salah dengar? Rumah Laki-laki bejat ini? Hai gundik sayang, asal kau tau rumah beserta isinya dan semua harta yang di akui milik laki-laki durjana di sampingmu ini adalah punyaku, warisan dari orangtuaku, sepeserpun laki-laki itu tak ada sumbang sih di dalamnya.""Tidak! Kau pasti bohong!""Untuk apa aku berbohong padamu, tak da gunanya, yang kau ucapkan itu benar adanya.""Huuu, dasar pelakor murahan, emang enak kena tipu, hahahaha.""Rasain tuh, makan tuh laki kere banyak gaya, hahaha."Para warga yang kebanyakan ibu-ibu mengejek Mika."Udah pak Rt, arak aja mereka keliling kampung, biar tau rasa." ucap salah satu Ibu."Lekaslah kalian berpakaian, setelahnya
"Ya, aku gak sudi menjadi istrimu, sana kau pergi yang jauh, karena aku sudah gak sudi lagi berhubungan denganmu, jangan lagi pernah kembali kesini, karena aku sudah mendapatkan penggantimu!""Kalau begitu kembalikan semua yang pernah aku berikan sama kamu, uang, perhiasan, balikin semuanya!""Enak aja, emangnya kamu bisa balikin kenikmatan yang sudah aku berikan juga padamu? Udah sana jangan ganggu aku lagi, sebentar lagi calonku yang baru mau datang!"Ardi merasa sangat marah, dirinya merasa sangat terhina dengan ucapan yang di lontarkan Mika, Ardi mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk tanda jika dirinya tengah emosi, dan dengan secepat kilat, Ardi mengambil batu bata yang ada di pinggir pagar rumah Mika, tanpa aba-aba, Ardi memukulkan batu bata itu ke kepala Mika beberapa kali, Mika yang tidak siap dengan serangan yang di berikan Ardi pun tumbang tanpa sempat berteriak minta tolong.Ardi yang melihat Mika tergeletak tak berdaya bukannya menolong tapi malah meninggalkan Mika.
Setelah mobil ambulance berhenti tepat di depan rumah Mika, para warga pun membantu petugas membawa jenazah Mika untuk di baringkan di dalam rumahnya.Karena biasanya di rumah sakit sudah di mandikan, jadilah para warga hanya tinggal mensholati jenazahnya saja.Setelah selesai di sholati jenazah Mika pun di gotong para warga menggunakan keranda untuk segera di makamkan, kesedihan mendalam sangat nampak dari wajah keluarga Pak Darto, terlebih lagi Pak Darto, dirinya tak menyangka nasib anak bungsunya akan seperti ini, tiada henti Pak Darto menyesali apa yang sudah terjadi, karena menurutnya ini semua adalah kesalahannya, kesalahan yang tidak bisa mendidik anaknya hingga menjadi seperti ini.Saat sampak di tpu, para warga yang menolong membantu proses pemakaman cukup di buat terkejut lantaran tanah yang akan di gunakan untuk menguburkan Mika di penuhi dengan air."Astaghfirullahaladzim, gimana ini Pak ustadz," tanya seseorang pada ustadz Soleh, salah satu orang yang disegani di kampung
"Sudah Bu, sabar ya, kita ikuti saja aturannya, insyaallah laki-laki itu akan mendapatkan hukumannya," ucap Rita sembari mengelus bahu Bu Sri, berusaha meredakan tangisnya."Iya, Aliyah tau, makanya kita serahkan kasus ini pada polisi yang bertugas, Aliyah yakin dia akan mendapatkan hukuman yang setimpal dari perbuatannya."Akhirnya emosi Pak Darto mereda, sementara Bu Sri hanya bisa menangis, baginya melihat Ardi seperti melihat Mika yang tengah di azab oleh Allah, termata pedih jika mengingat itu semua, Bu Sri yang melahirkan ketiga anaknya, jadi bisa di bayangkan bagaimana sakitnya seorang Ibu kala melihat putri yang susah payah di lahirkannya harus menerima nasib setragis itu."Sudah Bu, sabar ya, kita ikuti saja aturannya, insyaallah laki-laki itu akan mendapatkan hukumannya," ucap Rita sembari mengelus bahu Bu Sri, berusaha meredakan tangisnya.Akhirnya hakim memutuskan untuk memberikan hukuman 12 tahun penjara dari tuntutan yang di layangkan jpu selama 15 tahun penjara, memangl
"Tidak usah Kak, karena memang itu Aliyah dan Mas Amar sengaja berikan pada Kak Rita dan Kak Raka.""Ya Allah Aliyah, sampe segininya kamu mikirin Kakak, apa karena kamu gak mau nampung Kakak lagi ya di rumah kamu?""Bukan gitu Kak, aku hanya gak bisa melihat ada penindasan di sekitarku, apalagi yang mengalami itu Kakak ku sendiri, kalau soal rumahku, mau sampai kapanpun Kakak mau tinggal disana juga aku gak masalah, justru aku seneng karena rumah ada yang jaga.""Terimakasih Aliyah, Kakak merasa tak enak denganmu juga dengan Amar.""O iya satu lagi, jadi rencana kami, satu cabang mi ayam yang baru kami buka ini rencananya kami mau minta tolong Kak Raka untuk mengelolanya, sedangkan kami juga berencana membukakan kedai mi ayam di halaman rumah Kak Rita, dan nanti Kak Rita yang menjaganya, karena di kampung kita kan belum ada kedai mi ayam seperti punyaku itu, nanti Kakak boleh ambil satu pegawaiku untuk membantu Kakak berjualan di rumah, gimana?""Terimakasih Aliyah, terimakasih Amar
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya aku bertemu dengan anakku juga, Amar ini aku Papa kamu dan ini Kartika adik kamu, tolong buka pintu gerbangnya, Papa kangen banget sama kamu," ucap pria yang bernama Bowo itu. "Papa? Maaf maksud anda apa ya? Saya ini yatim piatu sejak kecil," ucap Amar sembari menatap Bowo dan Kartika."Aku tidak bohong, Amar, aku benar Papa kamu," ucap Bowo meyakinkan Amar."Apa buktinya kalau benar kau adalah Papaku?" "Ini lihatlah, aku punya fotokopi akta kelahiranmu dan ini kartu keluarga kecil kita dulu," ucap Bowo sembari menyodorkan dua lembar kertas.Yakni, fotokopi akta kelahiran Amar dan juga kartu keluarga yang jelas terselip nama Amar di sana. Memang dulu saat Amar di tinggal di depan panti, dalam kain yang menyelimutinya terdapat beberapa berkas seperti akta kelahiran, hingga nama Amar dengan akta kelahiran itu pun sama."Untuk apa Papa datang ke sini menemuiku?" desis Amar pada Bowo. Terlihat jelas jika Amar sangat terpukul atas kejadian ini. Setelah
Akhirnya saat itu juga aku keluar dari panti. Awal niatku keluar dari panti adalah untuk menemui orang tua kandungku. Entah dari mana ibu panti mendapatkan alamat orang tua kandungku yang pasti saat itu aku sudah mendapatkan alamat tinggal mereka. Tapi sayang, saat aku sampai di alamat yang ibu panti berikan padaku ternyata rumah itu hanyalah rumah kontrakan dan sudah berganti pengontrak. Aku pun pergi dengan lesu karena uang yang aku bawa ternyata sudah habis untuk naik angkutan saat menuju alamat orang tua kandungku. Hingga saat aku tengah beristirahat di pos ronda yang ada di desa dekat dengan alamat kontrakan orang tuaku. Aku dikejutkan oleh suara teriakan maling. Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut dan benar saja ternyata ada seorang yang diteriaki maling oleh warga yang tengah berlari ke arahku. Entah angin darimana aku yang pendiam dan sedikit penakut tiba-tiba saja mempunyai nyali lebih. Seketika ide terlintas dalam benakku untuk menghentikan pelarian maling tersebut.
"Cih, memalukan, kalau hanya sekedar bikin anak pun orang gila juga bisa bikin anak, asalkan punya hasrat," ucapku tiba-tiba menimpali Kartika. Sontak saja Aliyah membulatkan matanya sembari menatapku tak percaya. Tentu saja siapa pun yang mengenalku dengan Amar yang alim dan bijak juga pendiam pasti akan terkejut saat mendengar ucapanku barusan yang terbilang frontal."Bicara apa kamu, Mar? Kurang ajar sekali kau menyamai orang tuamu dengan orang gila?" sentak papa. Sangat kentara sekali kalau dia tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Bukankah apa yang aku katakan adalah benar? Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku. "Huft ... " Kuhembuskan napasku demi menghilang