Akhirnya saat itu juga aku keluar dari panti. Awal niatku keluar dari panti adalah untuk menemui orang tua kandungku. Entah dari mana ibu panti mendapatkan alamat orang tua kandungku yang pasti saat itu aku sudah mendapatkan alamat tinggal mereka. Tapi sayang, saat aku sampai di alamat yang ibu panti berikan padaku ternyata rumah itu hanyalah rumah kontrakan dan sudah berganti pengontrak. Aku pun pergi dengan lesu karena uang yang aku bawa ternyata sudah habis untuk naik angkutan saat menuju alamat orang tua kandungku. Hingga saat aku tengah beristirahat di pos ronda yang ada di desa dekat dengan alamat kontrakan orang tuaku. Aku dikejutkan oleh suara teriakan maling. Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut dan benar saja ternyata ada seorang yang diteriaki maling oleh warga yang tengah berlari ke arahku. Entah angin darimana aku yang pendiam dan sedikit penakut tiba-tiba saja mempunyai nyali lebih. Seketika ide terlintas dalam benakku untuk menghentikan pelarian maling tersebut.
"Cih, memalukan, kalau hanya sekedar bikin anak pun orang gila juga bisa bikin anak, asalkan punya hasrat," ucapku tiba-tiba menimpali Kartika. Sontak saja Aliyah membulatkan matanya sembari menatapku tak percaya. Tentu saja siapa pun yang mengenalku dengan Amar yang alim dan bijak juga pendiam pasti akan terkejut saat mendengar ucapanku barusan yang terbilang frontal."Bicara apa kamu, Mar? Kurang ajar sekali kau menyamai orang tuamu dengan orang gila?" sentak papa. Sangat kentara sekali kalau dia tidak terima dengan apa yang aku katakan barusan. Bukankah apa yang aku katakan adalah benar? Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku. "Huft ... " Kuhembuskan napasku demi menghilang
Bahkan, kini Aliyah sudah merebahkan kepalanya di atas dadaku dan tanganku pun kini sudah mengelus-elus surai hitam indah milik Aliyah."Entahlah, Bun, aku rindu sangat rindu. Bertahun-tahun aku mencari keberadaan orang tuaku. Hingga aku seolah mati rasa dan tidak lagi membutuhkan mereka. Kenapa dia datang di saat aku sudah mati-matian dan benar-benar melupakannya?""Berdoa saja semoga apa yang menjadi kekhawatiran bagimu tidak akan pernah terjadi. Bukankah sesuatu akan terjadi sesuai dengan prasangka kita?" Ucapan Aliyah tentu saja membuatku mati kutu karena apa yang diucapkannya adalah benar. Tuhan akan memberikan sesuatu sesuai dengan prasangka hambanya. Itulah sebabnya kita sebagai hamba Sang pencipta diwajibkan untuk berprasangka yang baik-baik saja."Astaghfirullahaladzim, maafkan Ayah ya, Bun, sudah suudzon sejauh ini. Apa yang Bunda ucapkan benar. Semoga apa yang menjadi pikiran buruk Ayah tadi sore dan barusan tidak akan pernah terjadi di kemudian hari.""Amiin, ya udah yuk
Kini di rumah tinggallah hanya ada aku, papa juga Kartika. Kubereskan semua piring kotor bekas suami dan anakku maka tadi menuju wastafel. Baru saja aku selesai mencuci piring tiba-tiba Kartika datang dan meletakkan dua buah piring yang kuyakini itu adalah miliknya juga milik papa ke dalam wastafel yang sudah kubersihkan tadi. Setelahnya, Kartika pun kembali berbalik badan. Dengan cepat aku menarik tangan Kartika dan mencegah kepergiannya. "Mau kemana kamu?" tanyaku sembari memegang tangan Kartika. "Ya mau ke kamar lah, Mbak, memangnya mau kemana lagi?" ucapnya dengan santai. Apakah dia tak tahu kenapa aku sampai mencekal tangannya?"Peraturan di rumahku, habis makan langsung dicuci piringnya, kenapa kamu geletakin begitu saja di wastafel?" "Ck, tadi Mas Amar dan ketiga anak Mbak habis makan langsung pergi, terus kenapa aku mau pergi gak boleh?"Dasar tidak tahu malu, sudah menumpang seolah sok menjadi ratu. Jangan dikira aku menyetujui mereka untuk tinggal di sini lantas mereka bi
"Ngapain disambut? Emangnya kamu siapa? Yang berhak sambut aku ya Aliyah istri aku. Emangnya kamu istriku?" "Skakmat! Memangnya enak diketusin mas Amar?" ucapku dalam hati."Hehehe, ya bukan begitu, Mas. Kamu 'kan kakak aku meskipun tiri tapi, aku sudah mengnggap Mas Amar itu Kakak aku. Jadi aku merasa kalau wajib menyambut Mas Amar ketika pulang kerja," ucap Kartika gugup."Gak perlu. Menyambutku adalah tugas Aliyah bukan kamu. Minggir aku mau lewat!" ketus mas Amar pada Kartika. Tampak sekali kalau Kartika terlihat seperti kambing congek bagi mas Amar. "Rasain kamu!" geramku dalam hati sembari menaikkan sedikit kedua sudut bibirku."Oh iya satu hal lagi, jangan kamu kira meski kamu adik tiriku kita ini layaknya adik kakak. Kamu bukan mahramku. Jadi, aku harap perbaiki sikapmu!" ucap tegas mas Amar. Ah, suamiku i love you forever. Aku tidak salah memilihku sebagai imamku. Pria yang selalu menundukkan pandangannya pada wanita yang tidak halal bagimu. Sungguh, aku sangat beruntung m
"Iya, Bun. Mau dibantuin gak?" jawab mas Amar setelah melepas peci yang ia kenakan."Gak usah, Yah, cuma sarapan doang. Ayah langsung mandi ya, Bunda ke dapur dulu." Aku pun bergegas keluar kamar dan menuju dapur untuk memasak sarapan untuk keluargaku. Sedangkan untuk Kartika dan papa? Biarkan saja mereka masak sendiri toh Kartika sudah dewasa sudah menjadi tugas dia untuk melayani papanya. Ini sengaja memang kulakukan agar mereka tidak menginjakku di rumahku sendiri. Pagi ini aku akan memasak yang simple dan tentunya porsi pas untuk kami berlima. Menu nasi goreng seafood dengan toping telur mata sapi di atasnya tidak lupa taburan bawang goreng dan potongan mentimun membuat hidangan kali ini tampak menggugah selera. Setelah selesai aku segera membawa piring-piring berisikan nasi goreng seafood itu ke meja makan. Setelah kurasa sempurna aku pun bergegas menuju kamar dan ingin segera mandi karena tubuhku sedikit berkeringat saat memasak tadi. Baru saja tubuhku sampai di depan pintu k
"Kamu yang sabar ya, Dek. Aku yakin Allah menguji kita seperti ini karena kita adalah hamba pilihan. Allah tahu kalau kita ini bisa menhadapi ujiam demi ujian yang Allah berikan. Yakin sama Mas ketika kita berhasil melewati ujian ini maka Allah akan menaikkan derajat kita," ucap mas Amar sembari membeai lembut pipiku dengan tangannya. Seketika hatiku pun terasa tenang. Benar kata mas Amar. Tuhan tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan. Jika keluargaku mendapatkan ujian seperti ini artinya Tuhan percaya pada kita kalau kita semua mampu melewati semua ini. Saat tangan mas Amar masih membelai pipiku tiba-tiba saja aku teringat kalau tangan itu habis dipegang oleh Kartika. Seketika itu juga aku menepis sedikit kasar tangan mas Amar dari wajahku. "Aww, kamu kenapa? Kok tanganku di kibas?" tanya mas Amar sembari meringis. "Jangan pegang-pegang. Itu tangan bekas dipegang-pegang sama si jalang. Najis ah, sana mandi!" sungutku pada mas Amar. "Aku udah mandi, Dek, masa disuruh mandi l
"Kakak dukung pokoknya, Al. Kalau butuh bantuan kamu hubungi Kakak saja. Kakak siap membantu kalian terlebih lagi ada bibit pelakor di antara kalian," ucap kak Rita dengan menggebu-gebu yang membuatku tidak bisa untuk menahan tawa saat melihat wajah kak Rita yang lucu."Kalian lagi apa sih? Kok kayaknya seru banget?" Tiba-tiba saja ibu datang menghampiriku dan kak Rita yang lagi asik berbincang masalah papa mertua dan Kartika."Eh Ibu, ini lho di rumah Aliyah ada bibit pelakor," ucap kak Rita tanpa tedeng aling-aling. Sontak saja mulut ibu menganga."Apa! Pelor? Siapa yang mau ditembak?" Jawabn ibu tentu saja membuat aku dan kak Rita tergelak. Bagaimana tidak? Jika pelakor dikata pelor sama ibu."Lho kok pada ketawa? Apa ada yang lucu?" ujar ibu lagi."Ya Ibu lah yang lucu, wong pelakor kok disamakan dengan pelor, tapi memang fungsinya sama sih. Sama-sama membunuh. Bedanya yang satu membunuh orang yang satu lagi membunuh rumah tangga orang," ucap kak Rita sarkas."Ini maksudnya apa si