Home / Rumah Tangga / Saat Hasrat Menjadi Dosa / Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Share

Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Author: Tri Afifah
last update Last Updated: 2025-10-23 08:51:44

Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci.

Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku?

Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini.

“Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih.

Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini.

Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota.

Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi.

Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care.

Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari dalam. Seorang resepsionis muda menyapanya dengan ramah,

“Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?”

Suara itu membuatku tersadar dari kebimbangan. Aku mengangguk pelan.

“Saya… ingin konsultasi. Tapi belum tahu jadwal dokter Adrian.”

Resepsionis itu tersenyum. “Hari ini, Dokter Adrian akan memulai jadwalnya siang nanti Ibu. Kalau mau, ibu bisa langsung masuk. Saya akan menjelaskan kepada Dokter, jika ini memang penting.”

Aku terdiam sejenak. Hatiku berdetak cepat nyaris menolak, tapi lidahku tak bisa berkata tidak.

“Baik,” ujarku akhirnya.

Ruang praktik itu sederhana, wangi antiseptik bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Di sana, berdiri seorang pria mengenakan jas putih.

Tingginya semampai, wajahnya teduh, dan matanya menatap dengan ketenangan yang sulit dijelaskan.

“Selamat pagi,” sapanya lembut. “Saya Adrian.”

Aku menelan ludah. “Selena,” suaraku nyaris seperti bisikan.

Adrian tersenyum kecil. “Silakan duduk, Bu Selena.” Nada suaranya lembut, tidak terburu-buru.

Aku duduk, namun pergerakan tanganku nampak tak tenang. Aku tidak tahu bagaimana memulai percakapan ini tanpa menyinggung rahasia Mas Dharma.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Adrian pelan.

Pertanyaan sederhana, tapi bagiku terasa seperti beban besar.

Aku menunduk. “Saya… hanya ingin tahu, apakah… suami saya pernah datang ke sini?”

Adrian menatap sebentar, matanya sedikit menajam tapi tetap lembut. “Maaf, saya tidak bisa membocorkan data pasien tanpa izin.”

Aku kembali menunduk semakin dalam. “Saya mengerti.”

Suasana hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak lambat.

Adrian memecah keheningan itu dengan nada yang hangat.

“Tapi saya bisa jelaskan… secara umum saja. Banyak pria datang ke sini bukan karena penyakit, tapi karena tekanan batin. Kadang mereka hanya butuh waktu dan dukungan, bukan obat.”

Kata-kata itu membuatku menatapnya. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang tulus seperti seseorang yang memahami luka, bukan sekadar menyembuhkan.

“Tekanan batin?” ulangku pelan.

Dokter Adrian mengangguk. “Ya. Ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan resep. Kadang… rasa takut, rasa malu, atau kehilangan percaya diri bisa membuat seseorang kehilangan kendali atas tubuhnya.”

Aku terdiam. Kata-kata itu menembus pelan ke dalam dada. Tiba-tiba saja, aku teringat wajah Mas Dharma yang marah, frustrasi, dan terlihat tertekan setiap aku berusaha untuk menanyakan keadaannya.

Apakah… itu sebabnya?

“Mungkin…” bisikku, “selama ini aku yang salah. Aku pikir dia tidak menginginkanku.”

Adrian menatap dengan lembut. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Pernikahan tidak pernah tentang siapa yang salah. Kadang kita hanya belum tahu bagaimana saling memahami.”

Kalimat itu sederhana, tapi membuatku ingin menangis. Sudah lama tidak ada yang berbicara dengan nada selembut itu.

Tentunya, aku tidak bisa sembarangan berbicara dengan orang lain tentang masalah rumah tanggaku. Jika aku bicara pada keluargaku, aku yakin mereka tidak akan seratus persen percaya. Karena yang ada dalam pikiran mereka hanyalah statusku sebagai seorang istri Dharma, pengusaha sukses dan bergelimang harta.

Aku mengangguk pelan, menatap meja di depan seperti melihat wajah Mas Dharma yang sering tertekan setiap kali ingin mencoba, tapi selalu gagal.

Aku mengedipkan mata berulang kali, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh.

Adrian memperhatikannya, tapi tidak mencoba menghibur secara berlebihan. Ia hanya menuangkan segelas air dan menyodorkannya dengan tangan tenang.

“Minum dulu, Bu. Kadang jawaban datang ketika kita berhenti menyalahkan diri sendiri.”

Aku menerima gelas itu, tangan kami tidak sengaja bersentuhan sesaat. Singkat, tapi cukup untuk membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Ada kehangatan di sana, yang terasa asing tapi menenangkan.

Ia buru-buru menarik tangannya, merasa malu dengan reaksi sendiri. “Terima kasih, Dokter.”

Adrian hanya tersenyum tipis. “Saya senang bisa membantu, meski hanya sedikit.”

***

Ketika aku keluar dari ruangan itu, beban dalam diri ini sedikit menguap.

Ya, ada sesuatu yang bergetar di dalam hati, rasa yang terasa asing, tapi mampu memberikan kepuasan tersendiri.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak hanya memikirkan kegagalan malam-malam yang aku lewati bersama suami di rumah. Tapi juga tatapan lembut seorang dokter yang entah mengapa terasa… begitu menenangkan.

Aku menatap amplop di dalam tas. Amplop yang tidak jadi aku berikan pada sang dokter.

Tentu saja, karena ada sumpah dokter yang tidak bisa ia langgar, yaitu tentang identitas setiap pasiennya. Dan karena amplop ini, aku bertemu dengan dokter Adrian.

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku mulai merasakan ada sensasi aneh yang terasa hangat di hatiku….

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 6 – Luka Hati yang Terpendam

    Bab 6 Luka Hati yang Terpendam Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 5 – Api yang Membara

    Bab 5 – Api yang Membara Pagi ini, Mas Dharma duduk di sofa ruang tamu, matanya menatapku lekat saat menyadari aku sudah berpakaian rapi. Aku mencoba tersenyum menutupi kegugupan. “Aku harus ke Superstar sebentar, ada urusan penting di sana,” kataku. Mas Dharma menatapku lama. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. “Superstar? Sendirian?” tanyanya dengan suara rendah tapi menusuk. Aku mengangguk, pura-pura tenang. “Iya, sebentar saja. Tidak lama. ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama Mama.” Superstar adalah restoran kebanggaan milik keluargaku. Hampir dua dekade ini keluargaku mempertahankan gelar sebagai restoran terbaik di Indonesia. Mas Dharma diam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah… tapi jangan lama-lama. Kau tahu, aku jarang sekali di rumah akhir-akhir ini.” Aku tersenyum tipis, menelan rasa lega yang muncul di dada. Di perjalanan, perasaanku langsung campur aduk. Rasa bersalah muncul tanpa bisa dicegah. Aku merasa jahat karena telah berbohong pada suamiku,

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang

    Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghada

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya

    Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci. Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku? Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. “Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini. Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota. Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi. Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care. Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu

    Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mi

  • Saat Hasrat Menjadi Dosa   Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal

    Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Suda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status