Mag-log inBab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu
Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mikir aneh-aneh,” sela Mas Dharma dengan cepat. Dengan berat hati, aku mengangguk, walau hatiku menolak percaya. Beberapa menit kemudian, Mas Dharma berdiri. “Aku berangkat dulu. Ada rapat di luar kantor.” Ia memakai jaket, memasukkan beberapa berkas ke dalam tas hitamnya. Di antara tumpukan kertas itu, sekilas aku melihat amplop putih dengan logo seperti rumah sakit di pojoknya. Logo yang sama seperti semalam. Aku menelan ludah. dr. Adrian Prasetya. Nama itu muncul lagi di kepalaku. Setelah pintu tertutup, aku duduk sendirian di kursi. Tanganku refleks meraih amplop kecil yang tertinggal di meja. Kali ini bukan yang semalam, tapi amplop baru yang lebih tebal, dengan cap “Pribadi dan Rahasia.” Aku tidak berniat membuka. Aku tahu itu salah. Tapi saat mataku menangkap tinta biru bertuliskan “dr. Adrian Prasetya, Sp.And”, rasa ingin tahuku berubah jadi rasa cemas. Sp.And… bukankah itu singkatan dari dokter spesialis reproduksi pria? Perutku mendadak terasa keram dan tidak nyaman. Pikiran aneh mulai berputar di kepalaku. Tapi kenapa Mas Dharma tidak cerita? Apakah aku penyebabnya? Atau ada hal lain? Siangnya, aku tidak bisa fokus pada apa pun. Memasak, mencuci, membereskan rumah, semuanya aku lakukan tapi pikiranku masih membayangkan tentang sesuatu yang masih belum pasti. Sekitar jam dua siang, ponselku berdering. Nomor tak dikenal. “Halo?” suaraku bergetar. “Selamat siang. Ini dengan istri Bapak Dharma?” Suara perempuan lembut di seberang terdengar formal. “Iya, benar. Dengan siapa ini?” “Dari klinik Andrology Care, Bu. Mohon maaf, dokter Adrian ingin mengonfirmasi jadwal kontrol ulang minggu depan. Apakah Bapak Dharma jadi hadir? Maaf, kami lancang menelepon Ibu karena kami sudah mencoba menghubungi Bapak Dharma, tapi ponselnya tidak aktif.” Aku membeku. Klinik... apa tadi? Andrology Care? “Oh, maaf, saya... saya kurang tahu soal itu. Nanti saya tanyakan ke suami saya ya,” jawabku gugup. “Baik, Bu. Mohon disampaikan, jadwalnya penting.” Telepon ditutup. Aku menatap layar ponsel lama sekali, seakan dari situ, semua pertanyaan yang ada di kepalaku ada jawabannya. Andrology Care. Perasaan nyaman itu kini berubah menjadi takut. Sore harinya, saat Mas Dharma pulang aku berusaha bertingkah seperti biasa. “Mas...” aku memanggilnya pelan. “Tadi siang ada telepon dari klinik... katanya dokter Adrian mau konfirmasi jadwal.” “Oh, iya. Itu urusan kerja,” jawabnya tanpa memandang ke arahku. “Kerja? Dari dokter?” Aku menyesal bertanya begitu cepat, tapi kata-kataku sudah terlanjur keluar. Mas Dharma menatapku tajam. “Aku sudah bilang jangan mikir macem-macem. Itu urusanku!” “Tadi pagi, ada barangku yang tertinggal. Apa kau menyimpannya?” “Aku letakkan di laci lemari pakaian kamar, mas.” “Kau membukanya?” “Ti-tidak!” ucapku jujur, karena memang aku tidak membuka isi amplop itu. Mas Dharma beranjak ke kamar, meninggalkanku di ruang tamu dengan ribuan pertanyaan yang bergema di kepala. Saat Mas Dharma sudah tertidur, aku membuka ponselku diam-diam. Kutulis di kolom pencarian. dr. Adrian Prasetya Sp.And. Hasilnya muncul cepat. Situs klinik, foto dokter itu, dan deskripsi singkat. Spesialis Andrologi, menangani gangguan fungsi reproduksi pria. Aku mematung. Reproduksi... pria. Seketika semua malam yang gagal terasa seperti potongan puzzle yang akhirnya mulai menyatu. Tapi di saat yang sama, dada ini terasa sesak, antara ingin tahu kebenaran, tapi juga takut menemukannya. Aku menatap wajah Mas Dharma yang terlelap. Ada gurat lelah di sana, mungkin juga rasa malu yang tak pernah sempat ia bagi. Air mataku jatuh diam-diam. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Bertanya, atau pura-pura tidak tahu? Pada akhirnya, aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh suamiku. .Bab 6 Luka Hati yang Terpendam Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu
Bab 5 – Api yang Membara Pagi ini, Mas Dharma duduk di sofa ruang tamu, matanya menatapku lekat saat menyadari aku sudah berpakaian rapi. Aku mencoba tersenyum menutupi kegugupan. “Aku harus ke Superstar sebentar, ada urusan penting di sana,” kataku. Mas Dharma menatapku lama. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. “Superstar? Sendirian?” tanyanya dengan suara rendah tapi menusuk. Aku mengangguk, pura-pura tenang. “Iya, sebentar saja. Tidak lama. ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama Mama.” Superstar adalah restoran kebanggaan milik keluargaku. Hampir dua dekade ini keluargaku mempertahankan gelar sebagai restoran terbaik di Indonesia. Mas Dharma diam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah… tapi jangan lama-lama. Kau tahu, aku jarang sekali di rumah akhir-akhir ini.” Aku tersenyum tipis, menelan rasa lega yang muncul di dada. Di perjalanan, perasaanku langsung campur aduk. Rasa bersalah muncul tanpa bisa dicegah. Aku merasa jahat karena telah berbohong pada suamiku,
Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghada
Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci. Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku? Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. “Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini. Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota. Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi. Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care. Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari
Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mi
Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Suda







