LOGINBab 4 – Sentuhan yang Terlarang
Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghadapi semuanya.” Ia mengangguk, mendekat sedikit, dan menaruh tangannya di atas meja. “Saya mengerti. Kadang hanya perlu seseorang yang mau mendengar, bukan?” Tanganku terasa dingin saat menatap tangannya. Keberanian dan rasa bersalah bercampur. Perlahan, tanpa sadar aku mengangkat tanganku, menyentuh ujung jarinya. Sentuhan itu singkat, tapi arus halusnya merambat ke seluruh tubuhku. Aku menelan ludah. Dokter Adrian tersenyum, tidak menarik tangannya. “Tidak apa-apa. Kadang kontak fisik sederhana bisa menenangkan,” sahutnya sambil tersenyum. Aku menunduk, merasakan panas di pipi. Kata-kata dan tatapannya membuatku merasa aman. Perasaan yang sudah lama tidak kurasakan dari Mas Dharma. Tubuhku merespon, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin semuanya menjadi lebih dari sekadar sentuhan. Ah, entahlah pikiran macam apa ini? Aku seperti remaja ingusan yang baru mengenal cinta. Sesi konsultasi berjalan, tapi percakapan mulai melebar ke keseharianku sendiri. Aku bercerita tentang rasa kesepian, tentang malam-malam panjang yang kulalui sendiri dan bagaimana aku ingin merasa dicintai. Bukan hanya kata-kata, tapi juga dengan sentuhan yang lebih dalam lagi dan lagi. Dokter Adrian mendengarkan dengan seksama, sesekali menepuk tanganku perlahan saat aku menangis. Hatiku bergetar. Aku ingin menarik diri tapi juga ingin membiarkan dirinya berada di dekatku. Di satu momen, aku menunduk untuk menyeka air mata. Dan ia mencondongkan tubuh, menyentuh pipiku dengan ibu jari membersihkan tetesan yang jatuh. Sentuhan itu hangat, terlalu dekat, tapi juga lembut dan penuh perhatian. Hati kecilku berdetak kencang. Aku tahu ini salah. Aku istri orang dan perasaan ini mulai melewati batas. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Ada rasa nyaman yang menenangkan semua luka yang kurasakan di rumah. “Bu Selena…” suara Dokter Adrian terdengar lembut, “Anda kuat, tapi tidak perlu menanggung semuanya sendiri.” Aku menatap matanya, dan untuk beberapa detik waktu seakan berhenti. Ada ketegangan yang tak bisa kupungkiri, sebuah magnet yang menarikku padanya. Tanpa sadar, aku menunduk dan menyentuh tangannya lagi dan kali ini lebih lama. Ia menatapku, dan bibirnya sedikit tersenyum. “Ini tidak harus menjadi beban,” katanya. Sesi berakhir namun aku tidak langsung pergi. Kami berbicara lebih lama tentang hal-hal sepele, hanya berdua. Tangan kami bersentuhan beberapa kali. Sangat singkat, tapi cukup untuk membuat hatiku kacau. Aku tahu aku mulai kehilangan kendali, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku sulit menarik diri. Andrian seperti mempersilakan diriku untuk masuk lebih dalam lagi. Saat aku berdiri hendak pulang, Adrian menahan tanganku sebentar. “Jika Anda butuh bicara lagi, jangan ragu. Bahkan jika hanya ingin berada di dekat seseorang yang mendengar.” Aku menelan ludah, jantungku berdegup keras. “Terima kasih, Dok,” kataku sambil tersenyum tipis. Langkahku keluar terasa berat, tapi di dada ada rasa hangat yang aneh. Aku tahu, sentuhan itu salah. Aku tahu perasaan ini bisa berbahaya. Tapi entah apa yang menggerogoti hati kecilku, rasanya hal yang aku rasakan ini adalah jawaban atas kesabaranku selama ini. Aku menemukan sosok lain dari Adrian yang tidak ada dalam diri suamiku. *** Malam harinya, Mas Dharma masuk dengan wajah lelah. “Kau ke mana hari ini?” tanyanya tanpa menatapku. Aku tersenyum ringan, pura-pura tenang. “Hanya keluar sebentar, ada urusan kecil.” Ia mengangguk, tapi tatapannya yang dingin membuatku menelan ludah. Saat aku menutup pintu kamar, tubuhku gemetar. Perasaan bersalah dan gairah bercampur. Aku menyentuh pergelangan tanganku sendiri membayangkan sentuhan Dokter Adrian siang tadi. Seberapa jauh aku akan jatuh dalam rahasia ini sebelum Mas Dharma mengetahuinya? “Selena,” terdengar suara Dharma yang berat, “kita… perlu bicara sebentar.” Hatiku berdegup kencang. Aku membuka pintu kamar dan membiarkan Mas Dharma masuk, lalu mengikuti langkahnya ke kamar tidur. Mas Dharma melangkah mendekat, tangannya tiba-tiba menggapai pinggangku. Sentuhannya hangat, tapi kaku, membuat dadaku bergetar bukan karena gairah, melainkan ketegangan yang menyesakkan. Aku menunduk menahan napas, merasakan perasaan campur aduk. Berharap, takut, dan sedikit kecewa karena aku tahu apa yang akan terjadi… atau tidak akan terjadi. Mas Dharma menunduk, bibirnya hampir menyentuh leherku. “Selena… malam ini aku ingin….” Aku mengangguk pelan, kemudian menutup mata dengan jantung berdebar. Tapi kemudian, Mas Dharma tersentak sendiri. Tubuhnya gemetar, wajah memerah. Nafasnya terengah, ia menatapku penuh frustasi, tapi bukan dengan gairah, melainkan malu dan ketakutan. “Aku… aku tidak bisa…” suaranya tercekat. Ia mundur selangkah dengan tangan terkepal. Aku tercengang. Dadaku seketika terasa sesak. Kehangatan yang sempat kurasakan, kini menghilang diganti rasa hampa yang familiar. Lagi-lagi ini yang terjadi. Malam pertama yang selalu gagal selama dua tahun. Aku ingin memeluk suamiku untuk menenangkan, tapi aku juga ingin menangis. Aku menunduk, menyentuh tanganku sendiri, merasakan sentuhan dingin yang kontras dengan bayangan hangat Adrian di kepalaku. Mas Dharma sudah merebahkan diri, membelakangiku. Sementara aku masih berdiri di tepi ranjang, menatapnya nelangsa. Sampai kapan akan terus seperti ini? Aku mengusap air mata yang jatuh diam-diam. Pikiranku kacau. Kupalingkan wajah, menatap dinding kamar yang menjadi saksi bisu setiap kegagalan kami. Malam pertama, malam keempat, dan entah sudah malam keberapa… semuanya berakhir sama. Keintiman itu tak pernah sampai. Aku berbaring mendengar napas berat Mas Dharma, sementara bayangan Adrian masih menempel di hatiku. Sentuhan terlarang, keintiman yang tertunda, dan perasaan asing yang mulai tumbuh… semuanya melebur menjadi satu.Bab 6 Luka Hati yang Terpendam Setelah insiden perselingkuhan yang telah diketahui oleh Dharma, aku mencoba untuk bersikap seperti biasa. menyiapkan sarapan, makan malam untuk Dharma. walaupun aku tahu, pria itu tengah menyimpan lukanya dengan tetap terlihat tenang dan sikapnya semakin dingin padaku. “Mas, aku sudah siapkan sarapan,” ucapku pelan. Tapi Dharma hanya mengangguk singkat,mengambil kunci mobil, lalu pergi. Tanpa kata, tanpa tatapan. Suara pintu yang menutup pelan justru terasa seperti ledakan di dadaku. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Siang hari, aku mencoba menenangkan diri dengan membersihkan rumah, memasak makanan kesukaan Dharma, lalu menata ruang makan dengan rapi. Namun saat malam tiba, Dharma hanya menyentuh piringnya sebentar sebelum bangkit dari kursi. “Sudah kenyang,” katanya datar. Padahal ia bahkan belum menyentuh setengahnya. Malam semakin larut. Dari kamar, aku bisa mendengar suara langkah Dharma menuju ruang kerja. Lampu
Bab 5 – Api yang Membara Pagi ini, Mas Dharma duduk di sofa ruang tamu, matanya menatapku lekat saat menyadari aku sudah berpakaian rapi. Aku mencoba tersenyum menutupi kegugupan. “Aku harus ke Superstar sebentar, ada urusan penting di sana,” kataku. Mas Dharma menatapku lama. Ada sesuatu yang berbeda di matanya. “Superstar? Sendirian?” tanyanya dengan suara rendah tapi menusuk. Aku mengangguk, pura-pura tenang. “Iya, sebentar saja. Tidak lama. ada beberapa hal yang harus aku lakukan bersama Mama.” Superstar adalah restoran kebanggaan milik keluargaku. Hampir dua dekade ini keluargaku mempertahankan gelar sebagai restoran terbaik di Indonesia. Mas Dharma diam sejenak, lalu menghela napas. “Baiklah… tapi jangan lama-lama. Kau tahu, aku jarang sekali di rumah akhir-akhir ini.” Aku tersenyum tipis, menelan rasa lega yang muncul di dada. Di perjalanan, perasaanku langsung campur aduk. Rasa bersalah muncul tanpa bisa dicegah. Aku merasa jahat karena telah berbohong pada suamiku,
Bab 4 – Sentuhan yang Terlarang Hari berikutnya, langkahku menuju klinik terasa berat. Aku tahu aku sedang menempuh jalan yang salah, tapi rasa kesepian di rumah dan perasaan yang muncul sejak pertemuan pertama dengan dr. Adrian terlalu kuat untuk diabaikan. “Aku pergi konsultasi, demi suami.” Aku mengulang kalimat itu untuk meyakinkan diriku sendiri. Walau hatiku tahu itu hanya setengah kebenaran. Pada dasarnya, aku hanyalah mencari-cari alasan. Setibanya di klinik, suasana familiar menyambutku. Resepsionis tersenyum, menyalamiku ramah. Tak lama kemudian, Adrian mempersilakanku masuk ke ruang praktik. “Selamat datang kembali, Bu Selena,” sapanya. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, membuat jantungku semakin berdebar kencang. “Terima kasih, Dok,” jawabku, suaraku sedikit bergetar. Aku duduk, dan ia menatapku lama, seakan menimbang apakah aku baik-baik saja. “Bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Aku menunduk, memutar jemari di pangkuan. “Masih… sama, Dok. Masih sulit menghada
Bab 3 – Pertemuan yang Mengubah Segalanya Keesokan harinya, selepas Mas Dharma pergi ke kantor, aku menghampiri meja rias dan membuka laci. Ada dorongan aneh untuk membuka amplop yang tempo hari aku lihat. Namun rasa takut menahan. Bagaimana jika Mas Dharma marah? Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan pikiranku? Tapi, aku tidak bisa hidup dengan rasa penasaran seperti ini. “Kenapa aku merasa bersalah hanya karena ingin tahu?” ucapku lirih. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam tasku. Sambil berharap agar Mas Dharma tidak akan tahu jika aku mengambil amplop ini. Dan di sinilah aku sekarang. Di klinik tempat dokter Adrian praktik terletak di pusat kota. Dari luar, klinik ini tampak sederhana, tapi bersih dan tenang. Tidak seperti rumah sakit besar, tempat ini terasa lebih pribadi. Aku berdiri di depan pintu kaca, menatap papan nama kecil bertuliskan: Andrology Care. Tanganku terasa dingin, dan aku nyaris berbalik ketika pintu terbuka dari
Bab 2 – Rahasia di Balik Nama Itu Pagi itu, sinar matahari yang menelusup melalui sela gorden mengusik tidurku. Aku melirik ke arah tempat tidur yang sudah rapi. Mas Dharma ternyata sudah bangun lebih dulu. Ia selalu begitu, bangun sebelum aku sempat membuka mata seakan menghindari pagi bersamaku. Saat aku melangkah ke dapur, Mas Dharma sudah duduk di meja makan, menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Tangannya memegang cangkir kopi. “Pagi, Mas,” sapaku pelan mencoba mencairkan suasana. Ia menoleh sekilas, “Pagi.” Hanya itu. Tak ada percakapan lanjut, tak ada tawa kecil seperti dulu. Aku tahu, seharusnya aku berhenti berharap pagi-pagi kami akan kembali hangat. Aku duduk di seberangnya, mencoba menata napas. Ingatanku kembali ke kejadian semalam. Aku sempat menyalahkan diriku sendiri, berpikir mungkin aku kurang menggoda, kurang cantik, kurang seksi atau terlalu kaku. “Mas...” aku akhirnya memberanikan diri memanggil. “Soal semalam….” “Aku cuma capek kerja, sudah, jangan mi
Bab 1 – Malam yang Selalu Gagal Sudah dua tahun aku tidur di ranjang yang sama dengan suamiku, tapi setiap malam rasanya seperti tidur sendiri. Kehangatan suami-istri yang seharusnya hadir di antara kami, justru menguap seperti asap. Dan malam ini, aku mulai lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Mas Dharma, suamiku, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan kaos abu-abu dan celana tidur. Aku duduk di tepi ranjang. Kami tampak seperti dua orang asing yang terjebak di kamar yang sama, tapi tak tahu cara saling mendekat. “Kau belum tidur?” tanyanya datar, sambil menyalakan lampu tidur di sisi tempatnya. Aku menggeleng. “Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum kita tidur, mas.” Mas Dharma berhenti sejenak. Aku tahu, kalimat itu saja sudah cukup membuatnya canggung. Ia duduk di sisi ranjang dengan punggungnya tegak. “Kita... nggak bisa terus begini,” kataku dengan suara nyaris bergetar. Ia menatapku dengan tatapan tajam. “Maksudmu?” Aku menarik napas panjang. “Suda







