Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kenapa susah sekali membujuk karyawan itu?
Aku menghentakkan kaki meninggalkan karyawan itu. Tujuanku sekarang adalah Mas Hanan, aku akan merengek pada lelaki itu agar mau membujuk kalau bisa mengancam mereka agar mau memberikan tas itu padaku."Mas ...," rengek ku bergelayut di lengan Mas Hanan. Lelaki itu mengerutkan keningnya."Ada apa, Sayang? Sudah selesai belanjanya? Barangnya mana?" cecar Mas Hanan. Aku menggeleng manja sembari memasang tampang sedih."Tadi aku liat tas, bagus banget, Mas. Tapi ...," Sengaja ku jeda kalimatku. Aku cemberut seraya melepas lengan Mas Hanan."Tapi kenapa, Sayang? Barangnya mana? Kalau suka kenapa nggak ambil aja? Mas akan bayarin, kok!" kata lelaki itu lembut."Tas yang aku suka itu sudah lebih dulu dipesan orang lain, Mas. Jadi ... karyawan itu nggak mau memberikannya padaku," aduku pada Mas Hanan.Mas Hanan menghembuskan napas. Kemudian menatapku, aku berharap dia mengatakan akan mengusahakan itu, tapi dugaanku salah."Kalau begitu, kita tidak bisa memaksa mereka, Yank. Kamu pilih yang lain saja, ya? Banyak yang bagus-bagus, kok!" bujuknya. Aku menghempaskan napas kasar. Tapi mengangguk juga, dari pada tak dapat apa-apa, pikirku.Akhirnya, aku menjatuhkan pilihan pada tas kecil berwarna cream. Bagus juga, tapi tetap saja lebih bagus dan mewah yang kuinginkan tadi. Ah, sudahlahSetelah melalui drama beli tas tadi, kami melanjutkan naik ke lantai dua. Biasanya disana ada sepatu dan baju yang bagus-bagus. Mas Hanan menurut saja, dia setia melangkah mengikuti kemana kakiku membawanya.Sampai akhirnya aku menemukan toko sepatu dan baju branded. Kebetulan tokonya berdampingan. Aku memilih membeli beberapa baju dulu, baru setelahnya memilih sandal dan sepatu."Bagaimana menurutmu, Mas? Aku cocok pakai yang mana?" Aku menanyakan pendapat Mas Hanan, ku tunjukkan kaki kanan yang memakai high heels, warna hitamnya sangat kontras dengan kulit putihku. Aku menyukainya, karena terlihat mewah saat ku kenakan."Ambil yang hitam dan biru saja, Yank. Bukannya tadi kamu ambil dress berwarna biru pastel? Cocok itu," katanya. Aku berbinar, ternyata Mas Hanan peka dengan keinginanku yang ingin dua-duanya.Setelah puas berbelanja, aku mengajak Mas Hanan pulang. Rasanya kaki ini sudah hampir putus, tapi hatiku senang karena dapat apa yang kuinginkan.Kami tiba di apartemen tempat tinggal ku. Saat memutuskan menjadi kekasih Mas Hanan, aku di fasilitasi apartemen olehnya."Mas nggak mampir dulu?" tanyaku dengan nada manja."Mas langsung balik aja, ya, Yank? Besok kita ketemu lagi," katanya menolak. Biasanya aku akan merajuk, tapi untuk hari ini aku maklumi saja, toh dia sudah membelanjakan banyak barang padaku hari ini."Yaudah. Kamu hati-hati, ya?" kataku seraya mengecup pipinya sekilas. Lelaki itu menyipitkan matanya ke arahku dengan senyum terkulum."Jangan mancing-mancing, Yank," katanya mengingatkan. Ku balas ucapannya itu dengan kekehan kecil, lalu bergegas membuka pintu dan kembali menutupnya.Ku lambaikan tangan saat mobil Mas Hanan mulai melaju, dibalasnya dengan membunyikan klakson. Setelahnya aku berbalik, aku sudah tak sabar ingin segera sampai ke kamar apartemenku.Menjadi kebanggaan tersendiri bagiku dengan menenteng paper bag dengan merk ternama. Mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa, tapi bagiku tentu saja luar biasa. Aku yang selama ini hanya mampu membeli barang tiruan, tiba-tiba bisa membeli yang asli.Aku bergaya didepan cermin besar di kamar apartemenku dengan mengenakan dress yang tadi ku beli bersama Mas Hanan, aku berpose dengan berbagai gaya, kemudian mengirimnya pada Mas Hanan. Aku yakin, dia pasti suka.[Kamu sukanya mancing-mancing, Yank! Awas aja kalo ketemu, ya? Bisa abis kamu sama Mas.]Aku terkekeh membaca balasan pesan Mas Hanan karena ku kirimi foto-foto tadi. Di berbagai pose, aku memang bergaya dengan sedikit 'berani', mungkin itu yang dikatakannya aku sedang memancingnya. Padahal memang iya.[Aku nggak mancing, kamunya aja yang kepancing nggak jelas. Bilang aja kalau memang kamu yang mau.] Aku mengirim pesan balasan pada Mas Hanan.[Tentu saja Mas mau, Yank.][Kesini atuh Mas kalau memang mau. Aku selalu siap, loh!] balasku dengan emot senyum menggoda.[Besok, ya, Yank. Pas Mas balik kantor. Sekarang Mas ke rumah Ibu dulu. Aluna memaksa bercerai, jadi dia meminta Mas pergi dari rumah.]Aku terkesiap membaca pesan Mas Hanan. Bukan karena Aluna yang memaksa bercerai, malah aku senang kalau memang benar. Tapi yang membuatku kaget dan tak habis pikir, kenapa pula Aluna mengusir Mas Hanan dari rumah mewah mereka? Padahal aku sudah bermimpi bisa tinggal disana.Tak ku balas lagi pesan terakhir Mas Hanan tadi, melainkan menelponnya langsung. Aku ingin mencecar lelaki itu, kenapa ia mau-mau saja diusir dari rumah sendiri?"Kenapa, Sayang? Mas lagi jalan ini," kata Mas Hanan saat pertama kali telepon ku diangkat."Mas ngapain pergi? Kenapa juga Mas mau-maunya diusir sama Aluna? Rumah itu, kan, milik Mas juga. Harusnya Aluna, dong, yang pergi." Aku mencerca Mas Hanan."Ceritanya panjang, Sayang. Besok saja Mas jelaskan, ya? Mas jalan dulu, kalau Mas sudah sampai Mas hubungi lagi," katanya membuatku menghembuskan napas kasar, mau tak mau aku menurut.Setelah mematikan panggilan, aku keluar dari kamar setelah sebelumnya mengganti dress tadi dengan baju rumahan. Aku menuju dapur, mengeluarkan minuman dingin dan juga cemilan, kemudian membawanya ke sofa depan tv.Aku menyalakan tv, dan mencari chanel kesukaanku. Ku habiskan waktu dengan menonton sambil menikmati cemilan.Entah sudah berapa lama aku menonton, tiba-tiba saja rasa kantuk menyerang ku. Ku putuskan untuk tidur di sofa, dengan tv yang masih menyala.***Aku tak tau pasti sudah berapa jam ku habiskan waktu dengan tertidur. Yang pasti, saat terbangun hari sudah mulai gelap. Ku cek ponselku, aku mendesah pelan saat tak mendapati satu pun pesan juga panggilan dari Mas Hanan.Kemana dia? Padahal tadi dia berjanji akan menghubungiku setelah sampai di rumah Ibunya. Apa dia belum sampai? Tak mungkin juga, setahuku jarak rumahnya dengan rumah Ibunya tak terlalu jauh. Paling hanya butuh waktu 20 menit jika menggunakan mobil.Ku putuskan menghubungi Mas Hanan lewat wa. Sedetik, dua detik, sampai beberapa menit berlalu tapi tak kunjung kudapat balasan darinya. Bahkan pesan tadi masih saja centang satu. Ada apa sebenarnya ini? Kenapa wa Mas Hanan malah tak aktif?Karena tak kunjung mendapat balasan pesan darinya, ku putuskan untuk menyegarkan tubuh lebih dulu. Siapa tau setelah itu Mas Hanan akan menghubungi.Setelah menghabiskan waktu beberapa menit di kamar mandi, aku keluar dan mulai bersiap. Ku pakai baju harian saja, karena hari pun sudah malam. Saat mengecek ponsel, ternyata Mas Hanan menelpon tadi beberapa kali. Dia juga mengirim pesan meminta maaf karena telat menghubungi. Setelah bertanya padanya, barulah aku tau ternyata dia sedang bicara dengan keluarganya.Mas Hanan memintaku tidur lebih dulu, karena dia tak bisa menemani sebab masih ada urusan dengan keluarganya. Aku menurut saja, lagi pula besok aku akan kembali bekerja.Saat hendak membaringkan tubuh, tiba-tiba ponselku kembali berdenting. Awalnya aku mengira itu pesan dari Mas Hanan, ternyata aku salah. Pesan itu dari ...Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N