Dulu aku merasa bangga saat Mas Hanan lebih memilihku dibanding istrinya. Tapi sekarang, kejadian itu seolah menjadi boomerang untukku. Kejadian 1 tahun silam kembali berputar. Dulu aku yang menjadi selingkuhannya, dan sekarang ... aku yang diselingkuhi. Ternyata begini rasanya diselingkuhi? Harus bagaimana aku bersikap? apakah aku bisa setenang Aluna dulu saat memergoki suaminya selingkuh denganku?
Lihat lebih banyak"Ada hubungan apa kamu dengan Mas Hanan?" Seorang perempuan cantik, berhijab dan lemah lembut menghampiri meja tempat aku dan Mas Hanan menghabiskan waktu.
Aku mendongak, begitu juga dengan Mas Hanan. Lelaki itu tampak terkejut, tapi kembali bisa menguasai dirinya. Sudah bisa ku tebak, perempuan itu adalah Aluna âistri dari lelaki yang sedang bersamaku saat ini.Ku akui, Aluna perempuan yang cantik. Kulitnya putih, bersih, aroma tubuhnya juga wangi. Gaya berpakaiannya juga modis, tapi tetap sopan dan enak dipandang. Satu kekurangan perempuan itu, selama tiga tahun pernikahan mereka, tak sedikit pun ia menempati hati Mas Hanan âsuaminya. Setidaknya itu yang aku dengar dari mulut lelaki yang mencintaiku itu."Aluna? Ngapain kamu disini?" Mas Hanan berdiri, aku pun ikut berdiri.Aku ingin menyaksikan drama hari ini. Apa Aluna akan melabrak ku seperti di film-film dan cerita novel yang ku baca? Lalu apa Mas Hanan akan lebih membelaku dibanding istrinya sendiri? Apa dia akan melindungi ku dari amukan istrinya itu?"Aku tidak sedang bicara denganmu, Mas. Aku bicara dengannya," kata Aluna melirikku. Aku hanya tersenyum sinis menanggapinya."Kita pulang dan bicara di rumah saja! Ini tempat umum." Mas Hanan mengambil langkah. Aku berinisiatif mengikuti ayunan langkah lelaki itu, hingga sebuah tangan menahan lenganku lebih dulu.Aku menoleh dan menatap tangannya di lenganku, Aluna melepasnya kemudian tersenyum tenang sekali. Apa sebenarnya mau perempuan ini? Jika ingin melabrak ku, kenapa tak langsung saja?"Seperti yang kukatakan, aku tak ingin bicara dengan Mas Hanan. Aku hanya ingin bicara denganmu. Jadi, tinggal lah sebentar." Tenang sekali pembawaan perempuan ini, pikirku.Mas Hanan berbalik, mungkin sadar jika kami tak mengikuti langkahnya. Lelaki itu menghempaskan napas, kemudian menatap Aluna dengan tajam."Luna! Sudah kukatakan, kita bicara di rumah saja!" Mas Hanan mencekal pergelangan tangan Aluna, membuat perempuan cantik itu sedikit meringis.Beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Sejujurnya aku begitu malu, apalagi dari mereka secara terang-terangan melempar tatapan sinis padaku, seolah aku adalah seorang terdakwa."Kenapa kamu harus takut begitu, Mas? Kamu tau sifatku, kan? Apa 3 tahun tak cukup untukmu mengenal dan tahu akan sikap dan sifatku, Mas?" balas perempuan itu tetap tenang, meski raut wajahnya terlihat menahan sakit sebab cekalan tangan Mas Hanan.Gila! Besar sekali nyali perempuan ini. Bahkan dia tak sedikit pun meninggikan suaranya terhadap kami. Apa yang membuatnya setenang ini? Apa dia tak sedikit pun merasa cemburu?Mas Hanan melepaskan tangan Aluna dengan sedikit sentakan. Entah kenapa, ada rasa senang saat melihat perlakuan Mas Hanan terhadap perempuan cantik itu."Apa yang ingin kamu tanyakan?" ketus Mas Hanan."Duduklah dulu. Kita tak mungkin bicara sambil berdiri begini. Bisa-bisa kita akan semakin menjadi pusat perhatian pengunjung lainnya," sahut Aluna sambil menarik kursi dan duduk disana dengan tenang.Aku memilih duduk didekat Mas Hanan, ingin melihat apakah dia cemburu dan terpancing emosinya, atau tidak? Aku yakin, sejak tadi Aluna pasti sedang menahan cemburu. Mustahil rasanya jika ia tak merasa cemburu saat memergoki suaminya sedang bersama perempuan lain."Apa aku bisa memulai pertanyaan?" tanya Aluna.Bahkan ia tak sedikit pun menoleh pada aku dan Mas Hanan yang duduk berdekatan. Ku rasa ia sudah gila, bagaimana bisa ia tak cemburu? Bukankah cemburu itu tandanya cinta? Apa jangan-jangan ... dia sama sekali tak mencintai Mas Hanan?"Aku hanya ingin bertanya padamu, apa hubunganmu dengan Mas Hanan?" Aku mendongak menatapnya. Tak terlihat kaca-kaca di matanya. Pintar sekali dia menyembunyikan rasa sakitnya."Sebelumnya kenalkan dulu. Aku ... Nayma. Untuk pertanyaanmu itu, mungkin bisa tanya langsung pada Mas Hanan." Aku sengaja melirik Mas Hanan. Lelaki itu menatapku dengan kening berkerut. Aku sengaja, ingin mendengar langsung dari mulutnya. Apa dia mengakui hubungan kami secara terang-terangan?"Ah, Nayma. Apa kau ... tak punya mulut? Aku bertanya padamu, dan itu artinya aku ingin mendengar jawaban pun dari mulutmu. Tak usah takut, katakan saja, aku tak akan marah," sahut perempuan itu.Sialan! Entah kenapa aku merasa sangat marah dengan ucapannya itu.Baru saja aku hendak membuka mulut, Mas Hanan sudah lebih dulu menjawab."Nayma kekasihku!"Sontak aku menoleh pada Mas Hanan, senyum lebar terbit dari bibirku. Ah, ternyata lelaki itu benar-benar mencintaiku. Bahkan dia berani mengakui hubungan kami.Ku lirik Aluna. Dia tampak diam sejenak, raut wajahnya sudah berubah. Di detik kemudian, dia kembali memasang wajah tenangnya dan tersenyum pahit pada kami.Rasakan, kau! Cemburu juga ternyata? Batinku senang."Sudah berapa lama kalian berhubungan?" Dia kembali mewawancarai kami. Aku diam saja, kubiarkan Mas Hanan yang menjawab pertanyaan istrinya itu. Sedang aku, hanya memainkan kuku-kuku cantikku."Menjelang 3 bulan." Singkat. Mas Hanan menyahut sesuai pertanyaan perempuan itu."Apa ... kalian ... sudah pernah ... berhubungan badan?"Aku terkesiap. Ku lihat Mas Hanan pun begitu. Aku tak menyangka, pertanyaan itu keluar dari mulut Aluna. Aku menggerutu dalam hati, kenapa dia harus sekepo itu?"A-apa maksudmu?" Mas Hanan memelankan suaranya. Mungkin takut pertanyaan itu didengar oleh pengunjung lain. Ah, dasar perempuan sialan! Apa dia tak sadar ada banyak telinga disini? Apa dia sengaja ingin mempermalukan kami?"Apa pertanyaanku kurang jelas? Perlu ku ulangi?" tanya perempuan itu."Tak perlu! Kenapa kamu harus menanyakan urusan pribadi?" Aku menyahut kesal. Dia malah terkekeh pelan."Aku tau, ini mungkin memang pertanyaan pribadi. Tapi, apa kamu lupa, siapa lelaki ini? Dia suamiku! Jadi, aku harus memastikan, apa suamiku sudah pernah mencicipi barang lain diluar sana?"Tenang tapi penuh penekanan. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Ku lirik Mas Hanan, tetapi lelaki itu malah diam saja."Kau kira aku barang, hah? Sembarangan sekali kau bicara!" balasku. Aku mulai kesal berada disana, apalagi melihat wajah sok polos Aruna."Dengar, ya, Mas Hanan itu tidak pernah mencintaimu! Bukankah pernikahan kalian itu karena sebuah perjodohan? Jadi, jangan pernah berpikir jika Mas Hanan lebih memilihmu dibanding aku! Benar, kan, Mas?" Aku menatap Mas Hanan, berharap lelaki itu akan mengiyakan perkataanku.Mas Hanan tak langsung menjawab. Dia hanya diam sembari menatap Aluna dengan tajam. Aku yakin, Mas Hanan pasti akan lebih membelaku dibanding perempuan itu.Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku â Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapiâ""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... toâlong." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen