Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya, pasalnya tadi Mas Hanan menghubungiku. Dia mengatakan akan sarapan disini. Jadi aku bangun lebih cepat untuk memasak sarapan spesial untuk lelakiku itu.
Untuk urusan dapur, aku tak perlu diragukan lagi. Karena terbiasa hidup di kampung bersama Ibu, menuntut ku untuk bisa mengerjakan setiap pekerjaan rumah, termasuk untuk urusan dapur.Dulu, Ibu dan Bapak sama-sama bekerja. Pagi-pagi sekali, keduanya akan berangkat ke sawah dan akan pulang menjelang sore. Aku yang di rumah terpaksa memasak untuk diantar ke sawah untuk makan siang Ibu dan Bapak. Sejak itulah aku terbiasa di dapur, begitu juga saat bekerja dan ngekos.Dua porsi nasi goreng udang sudah selesai. Aku membawanya ke meja makan. Sambil menunggu Mas Hanan datang, aku memutuskan mandi lebih dulu. Agar saat dia datang, kami bisa langsung sarapan.Selesai mandi dan bersiap, aku keluar dari kamar. Ternyata Mas Hanan sudah menunggu di sofa tamu. Dia tersenyum begitu melihatku keluar dari kamar. Aku mendekatinya dan mengajak sarapan, karena kami berdua akan berangkat kerja setelahnya."Eum ... Yank, kamu ... siap nggak kalau Mas ajak ketemu Ibu dan keluarga, Mas?" Disela-sela sarapan, Mas Hanan tiba-tiba melempar pertanyaan yang membuatku hampir saja tersedak. Apa katanya? Menemui keluarganya? Apa itu artinya dia akan ... menikahiku?Aku menatap Mas Hanan tak percaya, ku raih gelas berisi air putih dan meneguknya hingga menandaskan setengah isinya."K-ka-mu serius, Mas?" Mas Hanan mengangguk santai. Dia terus menikmati nasi goreng buatan ku, hingga isi piringnya tinggal sedikit."Kamu ngajak aku ketemu keluargamu? Yang benar saja, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.Mas Hanan kembali mengangguk. Nasi gorengnya sudah tandas, ia meraih gelas dan meneguknya hingga habis."Mas serius, Yank. Kenapa? Kamu nggak mau?" Aku menggeleng cepat."Bukan, Mas. Aku ... cuma nggak nyangka aja secepat ini," sahutku sedikit ragu."Bagus, dong? Lebih cepat lebih baik. Supaya kita juga cepat nikah. Mas nggak sabar, Yank. Pengen nikah sama kamu secepatnya," ujar Mas Hanan menggenggam tanganku. Aku tersenyum, aku juga ingin cepat-cepat menikah dengannya, tapi ... bagaimana dengan Aluna? Bahkan jika dikatakan akan bercerai, prosesnya tentu akan lama."Eum ... aku juga maunya gitu, Mas. Tapi ... bagaimana dengan pernikahan kamu dan Aluna?" tanyaku."Kamu nggak usah mikirin itu. Mas dan Aluna sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Kami juga sudah sepakat tak ada mediasi. Kemudian untuk kelancaran prosesnya, kami berdua juga tak akan menghadiri sidang, agar lebih cepat putusannya." Mas Hanan mencoba meyakinkanku. Aku mendesah pasrah kemudian mengangguk. Aku memutuskan mengikuti saja langkah demi langkah, yang penting bisa sah dengan Mas Hanan."Terus gimana ceritanya kamu diusir oleh Aluna, Mas? Seharusnya dia yang keluar dari sana, bukannya itu rumah milikmu?" Aku berusaha mengompori Mas Hanan. Lagian enak sekali Aluna, sudah diceraikan malah dapat rumah mewah. Dari pada rumah itu untuknya, lebih baik Mas Hanan berikan padaku saja."Rumah itu memang milik Aluna, Yank. Mas nggak ada turut serta dalam rumah itu. Rumah itu ... pemberian orang tua Aluna setelah kami menikah," ungkap Mas Hanan mengejutkanku. Aku hanya bisa terdiam mendengarnya, apa Aluna anak orang kaya? Sampai mereka bisa memberikan rumah semewah itu padanya?"Kamu tenang saja, Yank. Setelah nikah nanti, kita bisa tinggal disini dulu, sambil menabung untuk beli rumah." Mas Hanan menambahkan. Aku hanya mengangguk pasrah, semangatku tiba-tiba saja menghilang pagi ini. Padahal aku sudah menghayal akan tinggal di rumah itu, kalau bisa akan membawa Ibu dan Bapak turut serta."Nanti sore Mas jemput, ya? Kita ke rumah Ibu," katanya lagi.Aku hanya mengangguk, setelahnya cepat-cepat ku habiskan sarapanku, dan segera berangkat bersama Mas Hanan.Keadaan kantor tempatku bekerja sudah ramai saat mobil Mas Hanan berhenti didepannya. Aku segera turun setelah mencium punggung tangan Mas Hanan. Lelaki itu kembali melajukan mobilnya, jarak tempat kami bekerja tak terlalu jauh."Wih, kayaknya ada yang baru belanja lagi, nih!" Sella teman satu ruangan ku berseru menggoda.Aku tersenyum menanggapi. Segera ku gandeng tangannya dan berjalan menuju ruang kerja kami, tak lupa Sella bertanya kapan aku membelinya. Tentu saja dengan berbangga diri aku menceritakan semuanya."Mas Hanan itu sudah mau cerai dari bininya," kataku memberitahu. Sella langsung melepas gandengan tanganku, langkah kakinya pun terhenti hingga aku juga ikut berhenti karenanya. Aku lupa, Sella tak pernah tau jika Mas Hanan adalah laki-laki beristri."Ka-kamu gila? Maksudnya gimana? Jangan bilang kalau selama ini kamu itu jadi selingkuhan suami orang, Nay!" Orang-orang disekitar kami langsung menoleh saat mendengar ucapan Sella. Aku memukul lengannya, kesal karena perempuan itu tak bisa menjaga nada bicaranya.Aku tersenyum kikuk pada semua orang, jelas saja sekarang mereka menatapku penuh curiga. Ah, Sella! Semua ini gara-gara perempuan itu. Salahku juga kenapa bisa keceplosan ngasih tau Sella tentang Mas Hanan.Segera kutarik tangan Sella dengan sedikit kasar, ingin menjauh dari sana. Kepalang malu aku dibuatnya. Sella benar-benar tak bisa diajak kerjasama."Kamu itu apa-apaan, sih, Sel? Ngomong itu pelan aja. Kamu nggak liat orang-orang merhatiin kita?" gerutuku. Sella menggaruk belakang kepalanya yang tertutup hijab."Ya, maaf. Lagian gimana aku nggak kaget coba? Kamu itu yang benar saja menjadi selingkuhan? Nggak takut karma kamu?" Kali ini Sella lebih memelankan suaranya.Aku memutar bola mata, malas sekali mendengar ucapan Sella. Mana ada karma di dunia ini?"Ngapain takut? Lagian, nih, ya, Mas Hanan itu nggak pernah cinta sama Aluna. Nggak salah, dong, kalau dia mencari perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta?" sahutku membela diri. Aku tak ingin disalahkan dalam hal ini."Nggak salah. Tapi caranya yang salah. Kalau memang dia nggak cinta sama istrinya, ceraikan, baru mencari pengganti. Ini malah selingkuh, dimana-mana selingkuh itu tetap salah, Nayma." Sella membalas dengan penuh penekanan. Aku hanya mengendikkan bahu tak acuh."Dia sudah punya anak belum?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ngapain Sella nanya begitu?"Tuh! Dia ngakunya nggak cinta sama bininya, tapi, kok, bisa punya anak dari sana? Bikinnya gimana? Pasti nyentuh bininya, kan? Orang kalau nyentuh itu pasti karena sudah ada rasa, Nay! Lagian kamu percaya aja sama ucapan buaya. Ati-ati, ntar kalo sama kamu malah diselingkuhi juga lagi." Aku memukul Sella, enak saja dia ngomong begitu. Mana mungkin aku diselingkuhi?"Enak aja kamu! Mas Hanan itu cinta sama aku. Nggak mungkin dia selingkuh lah," balasku kesal."Selingkuh itu kebiasaan, Nay. Siapa pun nggak bisa mencegah, mau pun ngelarang. Mereka bakal berubah jika dari keinginan sendiri. Sekarang kamu dijadikan selingkuhan, kedepannya siapa tau malah kamu yang diselingkuhi. Itu namanya hukum karma, Nay. Aku cuma ngingetin kamu aja, terserah mau nurut atau enggak."Sella meninggalkanku. Dia berjalan lebih dulu, sedang aku terpaku disana. Itu tak mungkin, kan? Sella pasti hanya sedang menakut-nakuti ku saja.Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N