Aku mengirim pesan pada Aluna jika tak bisa bertemu hari ini, semalam perempuan itu memang mengirim pesan padaku, mengajak bertemu. Aku jelas saja mau, karena merasa penasaran dengan apa yang ingin dia sampaikan. Apa dia akan mengancamku, dan meminta agar aku menjauhi Mas Hanan?
Setelah mengirim pesan pada Aluna, Aku menunggu kedatangan Mas Hanan dengan gelisah. Bagaimana pun juga, ucapan Sella tentang hukum karma tadi terus menggerayangi pikiranku. Bagaimana jika itu benar?Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Aku segera berjalan setelah tau itu adalah Mas Hanan. Aku membuka pintu dan duduk disana dengan wajah kusut, ternyata Mas Hanan menyadarinya."Kenapa, Sayang? Mau ketemu mertua, kok, kusut gitu wajahnya?" tanya Mas Hanan menggoda. Aku meliriknya sekilas, ku buang napas kasar. Pikiran ku masih dipenuhi dengan kalimat Sella tadi."Mas, kamu nggak berniat untuk selingkuh dari aku juga, kan?" Ku lempar pertanyaan yang sejak tadi mengganjal di pikiranku.Mas Hanan yang baru saja melajukan mobilnya seketika mengerem secara mendadak, dan hal itu membuatku terhuyung kedepan dan hampir saja terjatuh jika aku tak memakai seat belt.Mas Hanan menoleh padaku, dia menatapku dalam diam. Kemudian menghela napas panjang, tak ku perhatikan bagaimana raut wajahnya, yang pasti aku ingin mendapat jawaban darinya."Kamu kenapa kepikiran kesana, Yank?" Bukannya langsung menjawab, dia malah kembali mengajukan pertanyaan padaku."Jawab aja apa susahnya, sih, Mas? Jangan bikin aku over thinking begini. Bisa saja, kan, hari ini aku kamu jadikan selingkuhan, terus kedepannya malah aku yang diselingkuhi?" cercaku.Mas Hanan terlihat menarik napas dalam, dia menghembuskannya dengan kasar. Tangannya meraih jemariku, dan membawanya dalam genggamannya."Jangan berpikir begitu, Yank. Mana mungkin Mas selingkuhi kamu, sedangkan Mas saja sangat mencintaimu," kata Mas Hanan mengecup tanganku yang berada dalam genggamannya. Matanya menatapku dengan tulus, aku jadi merasa bersalah karena sudah suudzon pada lelaki itu.Aku memalingkan wajah, gara-gara ucapan Sella tadi aku jadi berpikiran buruk pada Mas Hanan. Padahal aku tau, dia sangat tulus dalam mencintaiku."M-maaf, Mas. Aku ... cuma kepikiran aja dengan ucapan temanku tadi, katanya kalau sekarang saja Mas bisa selingkuh dari istri Mas, bukan tak mungkin kedepannya akan mengulangi lagi. Aku cuma takut, aku ... nggak mau kehilangan kamu, Mas." Aku membalas tatapan Mas Hanan. Dia tersenyum menanggapi ketakutanku, dia membelai wajahku dan mengecup pipiku sekilas, membuat darahku berdesir hebat."Mas menyelingkuhi Aluna itu jelas karena Mas tidak mencintainya. Sedangkan kamu? Mas sangat mencintai kamu, Yank. Buat apa Mas selingkuh lagi, kalau orang yang Mas cintai saja sudah didepan mata?" Wajahku menghangat mendengar ucapan Mas Hanan. Aku menundukkan wajah dan tersenyum malu."Tapi ... ada yang bilang selingkuh itu kebiasaan Mas. Aku cuma–""Siapa yang bilang? Memangnya Mas pernah ketahuan selingkuh sebelumnya? Enggak, kan? Seperti yang Mas bilang tadi, Mas denganmu itu karena cin-ta. Jadi, kamu jangan dengerin kata mereka, ya?" Mas Hanan menekankan setiap katanya.Sekarang aku yakin, Mas Hanan tak akan seperti yang dikatakan Sella. Sella pasti hanya sedang iri padaku, karena mendapatkan laki-laki loyal seperti Mas Hanan.Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja aku percaya. Apa yang Mas Hanan katakan itu benar, dia selingkuh dari Aluna karena tak ada cinta, sedang dia denganku karena sebuah rasa bernama cinta. Jika sudah cinta, untuk apalagi dia berselingkuh, kan?Mas Hanan kembali melanjutkan perjalanan. Selama di jalan, kami berbincang-bincang sambil sesekali melempar canda dan tertawa bersama. Ku lihat Mas Hanan begitu bahagia bersamaku, tatapannya padaku selalu penuh cinta. Itu yang membuatku selalu merasa jatuh hati padanya, dia juga selalu memperlakukanku bak ratu di istananya.Setelah beberapa menit, kami sampai juga di sebuah rumah yang tampak begitu asri dan sejuk. Perkarangan yang luas itu ditanami dengan berbagai macam jenis tumbuhan, dan tampak terawat.Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat, rasa gugup tiba-tiba saja datang menyerang. Ku tatap Mas Hanan yang sudah melepas seat belt dan bersiap untuk turun."Mas," cicitku. Suaraku nyaris hilang dari tenggorokan karena rasa gugup yang berlebihan. Mas Hanan menoleh padaku, dia menatap dengan kening berkerut. Mungkin heran, kenapa tiba-tiba raut wajahku berubah."Kenapa, Yank? Ayok, turun. Kita sudah sudah sampai. Ibu dan yang lain pasti sudah menunggu," ajaknya."Eum ... aku ... takut." Ku sampaikan ketakutanku padanya. Mas Hanan malah tersenyum, dia meraih jemariku dan membawanya dalam genggamannya."Nggak usah takut, Yank. Ada Mas, kok! Mas nggak akan ninggalin kamu sendiri. Kita hadapi sama-sama, ya?" katanya menenangkan ku.Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan secara perlahan. Ku ulangi hingga beberapa kali, demi mengurai rasa gugup yang terus menyergap. Ku coba meyakinkan diri, aku pasti di terima. Apalagi ada Mas Hanan yang akan selalu menemani ku nanti.Kuanggukkan kepala. Mas Hanan menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia segera mengajakku turun, aku pun menurut. Setelah memastikan riasan ku masih menempel sempurna, aku keluar juga. Mas Hanan sudah menunggu diluar, dia mengulurkan tangannya untuk ku genggam, dengan senang hati aku pun menyambutnya."Inget, ya? Mas jangan tinggalin aku disana sendiri nanti," kataku mengingatkan Mas Hanan dengan suara manja. Lelaki itu terkekeh dan mengangguk, dia mencubit hidungku dengan gemas."Mas janji, Yank. Lagian Ibu dan saudara Mas juga nggak akan makan kamu, kok! Mereka juga makan nasi sama kayak kita," canda Mas Hanan untuk menutupi kegugupanku. Aku hanya tertawa pelan mendengarnya.Kaki kami terus terayun, melewati jalan kecil yang kiri kanannya ditanami pohon bonsai hingga menyerupai pagar, kami menuju pintu utama. Rasa gugup ku semakin bertambah saat kaki kami hampir mencapai teras, tapi aku berusaha tetap tenang. Mas Hanan senakin mengeratkan genggamannya, seakan paham dengan kegelisahan ku.Kami mencapai pintu, Mas Hanan mengetuknya. Beberapa detik kami menunggu hingga seseorang membukakan pintu. Aku semakin was-was, rasa cemas ku semakin menjadi."Eh, Mas Hanan sudah datang?" sapa seorang wanita paruh baya. Jika dilihat dari penampilannya, jelas wanita itu ART disana."Dimana Ibu dan yang lain?" tanya Mas Hanan pada wanita itu."Sudah menunggu didalam, Mas. Mari masuk." Wanita itu mempersilahkan kami. Sebelumnya dia sempat melirikku dari atas hingga bawah, dia juga menggelengkan kepala, seolah penampilanku begitu buruk.Aku melempar tatapan tajam pada pembantu itu, berani sekali dia mencemooh penampilanku. Lihat saja nanti, kalau aku sudah menjadi istri Mas Hanan, akan ku hasut Ibu mertua agar memecatnya.Baru saja kaki kami melangkah masuk, aku sudah dibuat kagum dengan pemandangan didalam. Dari luar terlihat sederhana, tapi begitu masuk ... wah! Menakjubkan. Rumah calon mertuaku begitu luas dan furniturenya juga terlihat mewah dan mahal semua. Aku jadi membayangkan, bagaimana jika rumah Ibu dan Bapak ku minta pada Mas Hanan dibuat seperti ini? Pasti para tetangga di kampung akan berdecak kagum melihatnya."Sudah datang ternyata. Ayok, Masuk!" Suara seseorang membuyarkan lamunanku tentang rumah ini. Aku menoleh, seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana tapi terlihat berkelas sudah berdiri didepan kami. Tak lupa dengan senyum ramah yang ia tampakkan.Sambutan calon mertuaku sangat baik. Ternyata Mas Hanan benar, aku pasti diterima dengan baik oleh keluarganya. Aku merasa lega, setidaknya hubungan kami tak akan ditentang seperti dalam bayanganku.Baru saja aku merasa senang dengan sambutan hangat Ibu Mas Hanan, dari arah dalam muncul seorang bocah yang amat kukenal membuatku tercekat. Dia ... apa dia juga disini?Aku masih saja terisak sambil terus memeluk ibu dari samping. Wanita itu berusaha terlihat tegar, bahkan tak ada lagi air mata yang keluar sejak jenazah bapak dibawa pulang. Ibu dan para tetangga membacakan yasin untuk almarhum bapak. Suara ibu terdengar parau, aku tau jika wanita itu memendam kesedihan hanya demi terlihat kuat oleh orang-orang.Didepan kami, tubuh bapak yang terbujur kaku ditutup dengan kain jarik. Saat kulihat tadi, wajah bapak tampak berseri dengan senyum menghiasi bibir pucatnya. Apa bapak pergi dalam keadaan tenang dan bahagia? Semoga saja iya."Nay, Zavier nangis. Sepertinya mau nyusu," bisik bude Niar menghampiriku. Aku menoleh dan mengangguk, setelah itu berpamitan pada ibu untuk menyusui Zavier ke kamar.Saat aku beranjak ke kamar, ibu mas Hanan menggantikan posisiku dengan duduk disisi kanan ibu, sedang disisi kiri ada mama Aluna yang turut hadir. Dua wanita yang juga berhati malaikat selain Aluna. Meski awalnya ibu mas Hanan sangat membenciku, tapi sekarang
Nayma POV Sakit. Sungguh, baru kali ini aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Diluar bapak dan ibu sedang menemani mas Hanan dan ibunya bertemu dengan putraku – Zavier. Putra yang ku lahirkan dengan susah payah, dengan kesakitan yang luar biasa Allah hadirkan.Sedang aku disini sendiri. Aku duduk di pinggir jendela dengan gorden yang sengaja ku singkap habis, agar mata bisa memandang langsung hamparan sawah yang menghijau dan mampu meredamkan sakit yang sekarang mendominasi.Saat pertama kali tau mas Hanan berselingkuh, jantungku ribut hingga menimbulkan sesak. Yang ada dipikiranku saat itu, apa kurangnya aku? Setelah selama ini ku terima dia yang hanya menikahiku secara sirih, bahkan rela berpisah dengan ibu dan bapak, serta ku terima saja penolakan keluarganya.Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar. Selingkuh akan menjadi sebuah kebiasaan, tak akan ada yang bisa menghalangi kecuali ia sendiri yang ingin berubah. Dan itu nyata! Bahkan aku baru tau dari Aluna, jika te
Merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Aryo bergegas meninggalkan rumah Nayma setelah membungkuk sopan pada Hanan dan Widya. Sementara itu, Widya mengusap bahu sang putra agar bisa lebih tenang."Bu, aku tau jika kesalahanku memang fatal. Tapi ... kedatangan kita kemari pun karena ingin minta maaf dan berdamai dengan Nayma." Hanan menatap kosong pintu rumah yang kini tertutup rapat."Apa aku tak pantas untuk dimaafkan, Bu?" ujar Hanan frustasi."Kesalahan yang paling sulit mendapatkan maaf adalah sebuah pengkhianatan, terutama perselingkuhan. Makanya ibu nggak bisa menyalahkan sikap Nayma padamu sekarang ini. Karena ibu paham bagaimana rasanya jadi dia, diselingkuhi dan diceraikan padahal dia sendiri sedang dalam keadaan hamil besar." Widya sengaja menjeda kalimatnya sejenak, berharap sang putra paham dengan maksudnya."Iya, aku tau, Bu! Tapi–""Harusnya kamu sabar, jangan memaksakan kehendak. Memaafkan itu mungkin mudah, tapi melupakan apa yang sudah terjadi itu yang sulit." Widya
Di depan ruang bersalin, Rosidin menunggu dengan harap-harap cemas. Erangan kesakitan Nayma memecah keheningan malam. Didalam sana, perempuan itu sedang berjuang melahirkan dan hanya ditemani sang ibu. Sebagai seorang ayah, Rosidin tak henti merapalkan do'a agar proses persalinan sang putri diberi kelancaran, dan cucu pertamanya bisa lahir dengan selamat.Di sisi lain, Widya tak sedikit pun beranjak dari sisi Hanan. Bahkan saat Ikke memintanya istirahat karena malam kian larut pun di tolak wanita itu. Widya menggenggam tangan Hanan yang dipenuhi alat. Wanita itu tak henti berdoa agar sang putra diberi keselamatan. Widya tak meminta kesembuhan sempurna putranya, dia hanya ingin putranya bertaubat setelah kejadian yang menimpanya malam ini.Di ruang bersalin sedang terjadi kehebohan, pasalnya Nayma mengalami kejang-kejang setelah berhasil melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin laki-laki. Narti menangis histeris bahkan hampir ambruk dan ditenangkan oleh perawat yang bertugas.
"Awh ... Bu ... to–long." Tiba-tiba saja Nayma memekik saat merasakan perutnya menegang.Lagi-lagi dia merasakan kontraksi, namun kali ini sangat berbeda seolah telah terjadi sesuatu pada bayinya didalam sana.Narti yang duduk di sofa bersama Rosidin melompat begitu mendengar rintihan kesakitan sang putri. Dia langsung mendekati ranjang Nayma dan bertanya."Nak, ada apa, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Narti cemas.Keringat sebesar biji jagung sudah membanjiri pelipis Nayma. Wajahnya berubah pucat menahan kesakitan yang mendera. Narti mengelus-elus perut Nayma, tapi perempuan itu malah semakin kesakitan."Jangan pegang, Bu, sakiiit ... Nay rasanya ingin buang air besar, tapi ... arrghh ... sakit, Bu." Nayma semakin merintih kesakitan.Melihat putrinya kesakitan, Rosidin sigap keluar dan memanggil suster yang sedang berjaga. Suster tadi langsung bergegas menuju ruang rawat Nayma, dan langsung memeriksanya disana."Eum ... sepertinya bu Nayma sudah mau melahirkan. Kita pindah ke ruang bersa
"Nak, makan dulu, ya? Tadi bapak belikan kamu mie ayam. Kamu pasti suka," bujuk Narti. Nayma menggeleng tanpa mau membalikkan badan menghadap orangtuanya. Bahu Narti mengendur bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut wanita itu."Biarkan Nayma istirahat dulu, Bu. Mungkin dia belum lapar," kata Rosidin mencoba membesarkan hati sang istri."Tapi, Pak. Dari tadi siang Nayma belum makan, kasihan bayinya," sahut Narti masih tak tenang."Mau bagaimana lagi, Bu? Kita paksa pun Nayma tetap nggak mau, kan? Jadi biarkan dia istirahat dulu. Mungkin dia butuh ketenangan saat ini," kata Rosidin lagi.Mau tak mau, Narti mengangguk juga. Keduanya berbalik dan duduk di sofa, sembari menunggu sang putri bangun."Assalamu'alaikum," kata Aluna dan Widya serentak, bersamaan dengan itu pintu ruangan pun dibuka."Wa'alaikusalam," sahut Narti dan Rosidin pula. Keduanya berdiri menyambut kedatangan Aluna dan Widya."Mbok sama bapak sudah makan?" tanya Aluna. Keduanya menggeleng sebagai j
"Mas? Kamu gila?!" bentak Aluna."Kenapa? Apa salah kalau aku minta rujuk? Apalagi antara kita ada Alana. Anak kita butuh kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya, jadi nggak ada salahnya kalau kita rujuk, kan?" balas Hanan santai.Aluna menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan itu tak habis pikir dengan cara berpikir laki-laki didepannya itu. Benar-benar dangkal!"Terus gimana dengan calon anakmu dan Nayma? Apa kamu nggak mikirin itu? Kamu nggak kasihan anakmu lahir tanpa ayah? Dimana hati nuranimu sebagai seorang laki-laki sejati, Mas?" cecar Aluna. km"Itu lebih baik. Dia belum pernah bertemu denganku, sedang Alana pernah bersamaku selama dua tahun. Jelas Alana lebih butuh aku dibanding anak Nayma." "Kamu gila! Kamu benar-benar egois, Mas. Setelah selingkuh berulang kali, dan sempat menceraikanku, sekarang kamu datang lagi karena ditolak perempuan itu? Dan kamu pikir aku bersedia kembali pada laki-laki bajingan sepertimu? Lebih baik aku hidup begini, dari pada kembali bersa
"Freya?"Panggilan sang ayah membuyarkan lamunan Freya. Perempuan itu mengalihkan pandangan pada Kardi, dia tersenyum menanggapi."Freya belum siap menikah, Yah." Jawaban Freya mengejutkan Hanan. Dia pikir gadis itu akan menuruti keinginannya. Ternyata Freya gadis yang keras kepala.Kardi menghembuskan napas pelan. Dia tak bisa berbuat apa-apa, memaksakan kehendaknya pun bukan pilihan yang tepat, meski ia yakin bisa melakukan itu. Dia ingin putrinya sendiri yang menjatuhkan pilihan, tanpa paksaan apa pun."Boleh ayah tau alasannya?""Alasannya masih sama seperti dulu. Freya belum siap berpisah dari ayah dan Dara. Dan ... Freya ingin mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Freya takut salah pilih, terus malah masa depan Freya yang jadi korbannya," ucap Freya lugas.Gadis itu menatap Hanan tajam. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan laki-laki pecundang itu. Dia sangat tidak suka diancam dan dipermainkan.Jika saja Hanan laki-laki single, mungkin Freya
"Mas, ada apa ini? Mereka ini siapa?" tanya Freya berpura-pura.Dia menatap semua orang bergantian. Tak ada satu orang pun yang berani bersuara disana, termasuk Widya dan Aluna yang berdiri didekat Hanan dan Freya. Mereka ingin menyaksikan sendiri, bagaimana cara Hanan menjelaskan pada gadis itu tentang kebohongannya."Ahm ... mereka ini ...," Hanan tak kuasa melanjutkan kalimatnya.Jantung laki-laki itu sudah berdegup kencang. Terlebih melihat tatapan mematikan dari Rosidin. Dia langsung memalingkan muka, enggan menatap wajah ayah mertuanya itu."Kenapa, Nak Hanan? Jelaskan pada gadis itu, siapa perempuan hamil yang sedang terbaring lemah ini!" tekan Rosidin.Freya menoleh pada Hanan, dia memasang tampang bingung, seolah meminta jawaban dari laki-laki itu."Mas?" Freya menatap langsung wajah lelaki disisinya."Di–a ... istri Mas, Fre. Tapi, mas akan segera menceraikannya agar kita bisa menikah." Jawaban Hanan sama sekali tak mengejutkan Freya. Tapi tidak dengan yang lain, terlebih N