POV Dwi.Usai perkenalan, aku diberikan meja di ruangan terbuka. Bergabung dengan beberapa karyawan yang lain. Tentu saja ini atas keinginanku sendiri. Aku yang baru lulus SMA dan sama sekali belum berpengalaman tidak mungkin langsung meminta posisi yang sama dengan mas Arya. Apalagi mendampingi mas Dimas yang seorang direktur.Aku juga tak mau orang-orang di kantor ini juga bersikap hormat dan segan hanya karena aku istrinya mas Dimas. Apalagi jika mereka sampai tahu kalau atasan yang mereka hormati itu menikahiku karena terpaksa. Aku pasti akan lebih dipermalukan lagi."Makan siang yuk, Dwi." Mas Arya kini sudah berdiri di depan mejaku. Kulihat beberapa rekan sudah meninggalkan tempat mereka. Aku melirik arloji kecil di pergelangan tangan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Pantas saja perutku terasa lapar."Kita makan di mana, Mas?" tanyaku."Terserah kamu aja. Di bawah ada kafetaria. Atau kita keluar cari makanan yang kamu suka.""Di kafetaria aja deh, Mas. Kerjaan Dwi
"Iya, Mas. Makasih ya, traktirannya. Besok-besok gantian Dwi yang bayar."Mas Arya tersenyum manis dan mengangguk.Aku kembali ke mejaku dan membuka laptop untuk melanjutkan pekerjaan."Ciee... Dwi pacarnya Pak Arya, ya?" ledek Suci, wanita yang bersama kami di dalam lift."Wah, beruntung banget, Dwi, ya. Udah ganteng, Pak Aryanya ramah lagi." Sinta, wanita yang satunya ikut menimpali."Selamat ya, Dwi.""Rupanya karyawan baru di kantor kita adalah pasangan.""Kapan kita rayain, Dwi?"Masing-masing dari mereka berseloroh denganku. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya tersenyum mendengar mereka yang telah salah paham pada aku dan mas Arya.Suci dan Sinta pasti menyimpulkan sesuatu saat mas Arya menarik tanganku tadi. Dan pastinya setelah kembali ke kantor, mereka menyampaikan apa yang mereka lihat dan mereka simpulkan pada yang lain.Pantas saja rekan-rekan yang lain ikut meledekku. Aku jadi malu sendiri. Tapi aku merasa senang. Setidaknya orang-orang di sini bersikap ramah dan me
Aku jadi semakin kesal dengan sikap mas Dimas. Bukannya merasa bersalah, malah menuduhku yang bukan-bukan. Aku enggan kembali berdebat dengannya. Sudah ketahuan pun masih juga membela diri dan menyalahkan orang lain. Dasar laki-laki egois.Aku memilih mengabaikannya. Meletakkan tas di atas meja rias, lalu mengambil baju ganti dari lemari. Selama pernikahan, memang seperti inilah yang aku lakukan.Sejak menjadi istri mas Dimas dan pindah ke kamarnya, aku selalu mengganti pakaian di kamar mandi. Hal ini karena mas Dimas sama sekali tak pernah menyentuhku. Otomatis ada rasa canggung dan malu jika harus membuka pakaian di hadapannya.Lagipula mas Dimas juga tidak peduli. Terkadang dia juga keluar saat melihatku bersiap-siap untuk mandi. Harusnya dari situ aku sadar, bahwa mas Dimas benar-benar tidak tertarik dan menganggapku sebagai istrinya."Kenapa kamu nggak jawab pertanyaan Mas?" Mas Dimas masih ngotot. "Ada hubungan apa kamu sama Arya?"Aku yang tadinya diam dan mulai tenang, kembal
Selain statusku yang akan menjadi janda, hubungan keluarga mereka juga akan menjadi canggung. Terlebih lagi di antara mas Dimas dan mas Arya. Kedekatanku dengan mas Arya selama ini hanyalah agar aku tak larut dalam kesedihan karena perselingkuhan suamiku. Aku butuh teman yang lebih dewasa dan juga baik hati seperti mas Arya."Tega sekali mama ingin menikahkan istri Dimas sama orang lain." Mas Dimas kembali memelas."Kamu sendiri bagaimana? Apa bukan tega namanya, berselingkuh di belakang istri kamu sendiri? Coba kamu bayangkan, seandainya Ajeng masih hidup, dan suaminya berselingkuh di belakang dia. Apa kamu juga akan membiarkan adik kamu tersiksa seperti itu?" Mama mulai emosi.Mas Dimas terdiam sejenak. Kembali melirikku lagi. Dia pasti berpikir akulah yang selalu mengadukan semuanya pada mama. Mas Dimas pasti akan membalasku lebih parah lagi dari ini."Dimas nggak selingkuh, Ma. Dimas dan Lena sudah menjalin hubungan sebelum menikah dengan Dwi. Saat itu Lena mengalah dan mau menun
Pagi hari ini, Mas Dimas ikut sarapan bersama aku dan mama. Aku hanya diam tak menyapa suamiku itu. Hanya sesekali melirik untuk melihat bagaimana ekspresinya terhadap aku dan juga ibu mertuaku.Mimik wajah mama kini terlihat lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena mas Dimas akhirnya mengalah dan mau kembali menyapanya. Tak lagi menghindar dan mendiamkan mama seperti kemarin."Dimas berangkat ya, Ma!" Mas Dimas pamit dengan ucapan yang lembut.Mama hanya berdehem menjawab ucapan putranya. Mama sepertinya masih enggan untuk berbaikan. Atau mungkin hanya memberi mas Dimas pelajaran. Mas Dimas sama sekali tidak keberatan atas jawaban mama kali ini. Pria dengan kemeja biru langit itu beranjak dan keluar dari ruang makan. Saat berpapasan di ujung tangga saat mau turun tadi, kulihat mas Dimas sudah memegang kunci mobil. Sepertinya dia telah menerima semuanya. Mengambil kembali aset-aset yang sempat disita oleh ibunya.Hati mas Dimas pasti kini sudah merasa tenang. Semua kemb
Aku hanya tersenyum mendengar celotehan rekan-rekanku. Salah satu dari mereka pasti melihatku turun dari mobil mas Dimas. Aku tahu mereka hanya mencoba bersikap akrab padaku. Aku tak ambil pusing dengan ledekan mereka. Hanya sedikit terhibur saat mereka menyebut nama mas Arya.Hari ke dua di kantor, aku mulai terbiasa. Meski hanya menyalin data-data saja. Tugas pertama aku selesaikan dengan mudah. Jam makan siang sudah tiba. Aku berdiri di pintu utama ruangan, menunggu seseorang."Mas Arya?" Aku tersenyum saat melihat pria yang aku tunggu muncul dari ruangannya."Udah makan?" tanya dia, ramah."Dwi nunggu Mas Arya.""Dah selesai kerjaannya?""Udah dong. Kan Mas Arya yang ngajarin." Aku tersenyum bersemangat."Ciee..., gitu dong. Mau makan di mana?""Dwi lihat di depan ada kafe, Mas. Kali ini Dwi yang traktir, ya?""Eh, kok gitu? Kan belum gajian?""Nggak apa-apa, Mas. Kan gantian.""Nanti aja kalau kamu udah gajian. Mas minta traktir yang mahal."Aku tertawa kecil."Memangnya Mas Ary
Sore harinya aku turun dari gedung terlebih dahulu. Kubiarkan saja mas Arya dan mas Dimas masih tetap berada di ruangannya. Pembicaraan saat makan siang tadi masih membuatku merasa tidak enak hati untuk kembali bertemu dengan mereka.Aku tahu mas Dimas sengaja melakukannya untuk membuatku jadi rendah diri. Membuktikan semua kata-kata yang pernah dia ucapkan tentang mas Arya agar aku tak berharap disukai olehnya.Tujuannya adalah agar aku berpikir ulang untuk menyukai mas Arya seperti yang dia tuduhkan selama ini. Dan nyatanya, mas Dimas sudah berhasil melakukannya.Saat ini aku merasa asing dan tak lagi mengenal mas Arya. Pikiranku tentang dia yang punya perhatian khusus denganku lenyap begitu saja. Aku hanya salah satu dari wanita korban perasaannya. Untunglah perasaanku belum terlalu dalam pada orang itu.Ke dua pria itu benar-benar membuatku menjadi seperti wanita yang tidak diinginkan.Tapi aku masih penasaran. Kenapa mas Dimas menunjukkan semua kejelekan mas Arya di hadapanku. B
Aku terdiam. Mulutku yang biasanya selalu membantah, jadi tak tahu harus berkata apa. Hanya tanganku saja yang semakin meremas kuat handuk, seolah-olah takut terjatuh di hadapan pria ini.Mas Dimas lagi-lagi menatapku. Kulihat jakunnya naik turun memandang wajahku. Lututku sampai bergetar ketakutan. "Ya, sudah. Lain kali kalau ke mana-mana kasi tahu, ya. Jangan bikin orang khawatir." Mas Dimas langsung memalingkan wajah, kemudian berjalan menuju pintu dan keluar dari kamarku.Huft!Jantungku hampir saja mau copot. Ada apa dengan mas Dimas? Kenapa sikapnya begitu aneh? Aku pikir dia akan marah-marah karena aku meninggalkannya di kantor dan mengabaikan semua chat dan panggilannya.Tapi nyatanya dia hanya menasihatiku agar tak melakukan lagi hal seperti itu. Mas Dimas benar-benar membuatku takut. Rencana apa lagi yang akan dia lakukan kali ini?*Makan malam berlangsung hening. Bukan hanya mama dan mas Dimas yang terlibat perang dingin. Aku pun ikut canggung, hingga tak sepatah kata pu