Bab 7 Sakit Hati
Tangan itu turun dengan lemah. Priaku melangkah dengan gontai dan duduk di sampingku. Aku mundur sampai di ujung ranjang, membiarkan air mataku turun dengan derasnya. Selama pernikahan kami, ini adalah fase terparah yang pernah kami hadapi. "Kenapa kamu harus seperti ini, Din?" tanyanya lemah. Matanya ikut memerah."Salahku di mana, Mas? Aku tidak seperti emak-emak di novel-novel online yang akan langsung membalas perbuatan Ibu mertuanya dengan cara jahat, meskipun aku mampu melakukannya. Kau tahu kenapa, karena aku masih memiliki sopan santun dan juga didikan dari ayahku. Jika mas juga berpikir jika aku memperlakukan ibumu dengan tidak baik seperti apa yang ibumu adukan sebelumnya, maaf Mas, kamu salah. Semua itu tidak benar."Mendesah berat, pria itu menunduk dan menyentuh tanganku. Namun aku segera menariknya dan melipat di atas perutku. Sakit hatiku tidak akan sembuh dengan sentuhannya kali ini."Kau tahu 'kan, jika kau bertengkar dengan Ibu, maka yang akan turun tangan adalah Mbak Mika dan juga suaminya. Tidak bisakah kau sedikit saja membuatku tenang selama Ibu ada di rumah ini?!" Aku mengangkat wajah menatap suamiku dengan air mata berlinang. Tampak pandangannya berubah sendu. "Lihat aku, lihat mataku, Mas. Apakah aku tipe wanita yang mampu berbuat buruk kepada ibumu?! Atau apakah aku pernah mengadukan perbuatan buruknya padamu? Atau pada ayahku? Bahkan kepada kakakku sendiri yang pasti akan langsung membelaku jika adiknya disakiti? Tidak pernah. Bahkan ketika aku hidup susah bersamamu dan tinggal di kontrakan, sementara kita tidak memiliki uang untuk membayar sewa bulanan, apakah aku pernah meminta kepada salah satu dari keluarga kita?! Nggak pernah!! Itu bukti jika aku bukan seperti wanita yang ibumu tuduhkan. Dan jika dia mengadu padamu atau pada kakakmu, seharusnya kalian jangan memojokkanku seolah-olah akulah satu-satunya orang yang salah di sini!!" "Tapi kau melawannya, bukan?!""Yang jelas, aku tidak seperti yang beliau tuduhkan! Aku bukannya melawan. Aku hanya bertanya dan aku sudah mendapatkan jawaban yang menyakitkan dari bibir ibumu!!""Tapi tugasmu adalah menghormatinya, memuliakannya, hanya itu keinginannya. Apa itu salah?!" "Aku sudah melakukan hal itu. Tapi maaf Mas. Aku merasa tidak salah karena melawannya. Bukan hanya itu, tugasmu sebagai seorang anak juga penting. Kamu wajib mengingatkan dan mendidik jika orang tuamu juga salah. Jangan langsung menyerang orang lain hanya karena ibumu mengadu hal yang macam-macam. Lagi pula tuduhannya sama sekali tidak benar. Aku berusaha melakukan tugasku dan memuliakannya di rumah ini. Aku juga sama sekali tidak pernah menggosipkannya kepada orang lain, bahkan tetangga sekalipun!!"Mas Akbar tidak berkata apa-apa lagi. Pria itu memilih berlalu keluar dari dalam kamar. Aku juga tidak menawarinya untuk makan. Biarkan Ibu saja yang melakukannya. Toh, wanita itu dengan segala ucapannya mampu membuat pikiran orang lain berbelok, kuharap dia mau membujuk suamiku untuk makan agar perutnya tidak kosong.Setelah priaku itu pulang, barulah aku meraih ponsel untuk membuka pesan-pesan yang masuk. Bukan hanya dari suami dan kakaknya, beberapa pesan lain juga masuk ke ponsel termasuk dari para tetangga yang tadi sempat menyaksikan pertengkaran kami. Aku memilih mengabaikan dan tidak membalasnya. Untuk apa menjelaskan pada orang yang tidak ada urusannya sama sekali.****Mas Akbar kembali ke kamar dengan suara sendawa. Memilih mengabaikanku, pria itu masuk ke dalam kamar mandi dan setelahnya terdengar guyuran air. Suasana hening menyelimuti kami berdua ketika pria itu tampak segar dengan handuk yang melilit di perutnya. Jika biasanya kami akan saling menggoda dengan canda tawa, tidak kali ini. Pria itu masih memasang wajah dingin dan mengambil pakaiannya sendiri. Aku pun malas untuk mengambilkan untuknya. Karena aku tahu, pria itu akan pergi bersama dengan ibunya mengingat kemarin pernah mendengar jika dia akan menemui seseorang yang bernama Linlin setelah pulang kerja."Bar, kamu sudah siap belum? Ini sudah semakin sore lho." Ibu mertua berteriak di balik pintu, namun tetap diabaikan oleh putranya. Tak berlama-lama berdandan, Mas Akbar sudah tampan dengan pakaian casual yang dikenakannya. Sunscreen dan aroma parfum menggoda, seolah memberi kesan jika pria itu akan menemui seseorang yang istimewa. Bahkan setelahnya pria itu pergi tanpa pamit padaku. Bantingan pintu menandakan jika dia masih marah.Marah, kesal, cemburu, sakit hati, menjadi satu. Aku berdiri dan mengunci pintu dengan kasar, agar pria itu tidak bisa kembali lagi ke dalam kamar.Jika tujuanmu tidak baik, aku sumpahi terjadi sesuatu di jalan, batinku berujar spontan.Membuang waktu percuma, aku duduk lagi. Meraih ponsel dan membaca beberapa pesan yang dikirim oleh Mbak Mika."Sandrina, aku sudah muak melihat tingkahmu yang terus-terusan memperlakukan ibuku dengan sangat buruk. Sebenarnya kau ini kenapa sih nggak pernah bersikap baik pada ibuku?""Angkat teleponku!!""Jangan jadi pengecut!!""Jangan bisanya hanya menyiksa hati ibu, kau butuh lawan sepadan!!""Jika sampai terulang lagi, awas saja kau!! Aku sendiri yang akan datang ke sana untuk membuat perhitungan denganmu!!"Panas hatiku membaca pesan pesan yang dikirim beberapa jam yang lalu itu. Adik dan kakak sama saja, sama-sama mudah dipengaruhi.Dengan dada bergemuruh kubalas dengan segera!!"Jangan hanya menyimpulkan dari satu sisi saja, Mbak. Bahkan hakim pun akan mendengar penuturan dari terdakwa dan penggugat, sebelum akhirnya mengambil keputusan!"Lekas kukirim balasan pesan itu, berharap wanita itu langsung membacanya. Jika pun benar seperti apa yang Mas Akbar katakan, jika Mbak Mika dan suaminya akan datang, maka tidak masalah bagiku. Justru itu lebih baik. Sekalian saja kukatakan bagaimana perbuatan dan perkataan Ibu padaku yang menyakitkan.Beberapa pesan lain masuk dari pelanggan. Banyak yang memesan untuk besok hari. Aku langsung mencatatnya dalam note, agar saat pergi ke pasar tidak kelupaan. Ketika adzan magrib berkumandang, aku memilih membersihkan diri dan menunaikan kewajibanku. ****Aku membuka mata, memindai ruangan yang masih terang benderang. Biasanya jika Mas Akbar pulang, dia akan langsung mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur. Tapi tempat di sampingku menandakan jika pria itu dan ibunya sama sekali belum pulang. Jam dinding sudah menunjukkan dua belas malam. Aku terbangun karena merasakan perut yang keroncongan. Aku lupa seharian tadi tidak diisi dengan makanan, karena bersitegang dengan Ibu, hingga akhirnya membuatku berdiam diri di dalam kamar. Kubuka pintu kamar dengan pelan. Ruangan masih sama seperti saat tadi sore aku menutup gorden dan menyalakan lampu. Motor Mas Akbar masih terparkir di halaman. Kamar Ibu juga masih terdengar sepi. Lalu kenapa suamiku itu masih belum pulang di pertengahan malam seperti ini. Karena tidak bisa tidur, aku memilih untuk memasak mie, melakukan qiyamul lail dan berdzikir. Hingga suara pintu terdengar terbuka disusul dengan suara canda tawa ibu dan putranya. Mereka baru kembali jam setengah dua malam. Bahkan Mas Akbar tidak langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, melainkan kembali mengobrol di ruang tamu. Suara tawa yang lepas serta kepuasan mereka berjalan-jalan menggema masuk ke telinga. Aku kalap, kesal, marah.Merasa sakit hati dan merasa diabaikan, membuatku seketika menyambar pashmina dan jaket tebal. Tak lupa uang hasil penjualan dari warung yang belum sempat kuhitung tadi, kubawa beserta dengan tasnya sekalian.Keduanya langsung menoleh, begitu aku membuka pintu kamar yang langsung berhadapan dengan ruang tengah. Aku memilih menyambar kunci mobil dan bergegas ke halaman lalu memanaskan mobil."Dina tunggu!!"Tak kupedulikan teriakannya. Mobil menderu seiring tangisku yang kembali pecah.Bab 8 Tingkah Ibu Mas Akbar kembali masuk ke dalam rumah setelah berteriak, mungkin untuk mengambil jaket miliknya. Dia kembali dengan tergesa, namun aku tidak peduli dan lebih memilih untuk mengemudikan kendaraan itu seorang diri dan membelah jalanan malam. Tangis air mata mewarnai perjalananku kali ini. Di mobil ini untuk pertama kalinya aku menangisi hidupku.Banyak yang kutangisi, banyak yang kusesali, dan lebih banyak lagi yang kuratapi. Betapa rasa sakit itu bersemayam di dalam dadaku.Di pinggir jalan yang sepi, kupukul kemudi berkali-kali. Setir yang tidak berdosa jadi melampiaskan kekesalanku kali ini. Tega kamu, Mas! Kamu bersenang-senang dengan bahagianya, sementara aku merasakan kesedihan berlarut-larut akibat ulah ibumu. Tok tok tok. Reflek aku mendongak ketika mendengar ketukan dari kaca mobil.Apa jangan-jangan itu pencuri, mengingat aku berhenti di tempat yang sepi? Aku tidak tahu."Dina, buka pintunya, Sayang. Kita harus bicara!"Aku melirik ke samping, Mas
Bab 9POV 3"Jahat apanya? Jangan hanya karena Ibu nggak sengaja mendorong dia, lantas kamu bilang kalau Ibu jahat. Buka mata kamu, Akbar! Gara-gara ulah wanita itu Ibu jadi stress setiap hari menghadapi dia, bahkan darah tinggi Ibu jadi naik karena nggak tahan dengan kelakuannya!!"Aminah memijat kepalanya yang terasa berat. Darah tingginya kembali naik mamang karena kekesalannya kepada Dina. Wanita itu sejak awal tidak pernah menyukai menantunya tersebut. Baginya, Akbar tidak cocok menikah dengan Dina. Wanita yang dia inginkan jadi menantu hanya Linlin seorang. Apalagi Linlin sekarang ada di Indonesia untuk cuti kerja. Uangnya yang banyak dengan gaji besar membuat mata Aminah kian tertutup."Nggak usah ngeles deh, Bu. Akbar sudah melihat perbuatan Ibu tadi sama Dina. Atau jangan-jangan apa yang selama ini Ibu adukan tentang istriku, itu tidak benar, iya. Jawab, Bu?!""Kamu lebih percaya wanita itu daripada ibumu sendiri yang sudah melahirkanmu?!" Aminah melotot menatap ke arah
Bab 10 Fakta dan Bukti"Tenang dulu Bu, nggak usah emosi. Dina kan nggak mengatakan apa-apa. Aku cuma bertanya dan dia hanya menjawab sekedarnya. Jika Ibu tidak terima, sebentar lagi Mbak Mika akan kemari. Kita akan bicarakan ini bersama, agar tidak ada yang disalahkan dan tidak ada kesalahpahaman. Andai pun Dina yang salah, aku yakin dia akan meminta maaf kepada Ibu di depan Mbak Mika." Akbar segera bicara agar ibunya tidak semakin emosi kepada istrinya. Jujur telapak tangan tangan ibunya yang kemarin mendarat di pipi Dina, masih terlihat bekasnya dan itu membuatnya merasa bersalah."Halah, kamu nggak usah sok bela-belain istri kamu yang pinter sandiwara ini, Akbar!! Kamu kan kerja, jadi kamu nggak tahu apa yang dilakukannya di belakangmu. Sekarang saja sok-sokan dia masak, sementara dua hari kemarin dia ke mana saja, selain seharian di kamar dan memainkan ponselnya. Entahdia tengah menelpon dengan siapa. Tapi dari suaranya saja, sudah ketahuan jika dia sedang berselingkuh dengan
Bab 11Akhirnya Ibu Pergi"Apa-apaan kamu ini? Kamu sengaja merekam omongan Ibu agar terlihat jahat di depan anak-anakku sendiri?" Bu Aminah melotot. Aku justru tersenyum puas melihat ekspresinya."Maaf Bu, aku terpaksa melakukan hal ini. Jika tidak, Mas Akbar dan Mbak Mika tidak akan pernah percaya apa yang sudah Ibu katakan padaku sebelumnya," ujarku dengan enteng.Kemudian suara Ibu mulai terdengar di balik rekaman itu. Mas Akbar terkejut, Mbak Mika bahkan memasang wajah bingung. Wajah masamnya berubah menjadi keterkejutan dan melirik ke arah ibunya sendiri."Kamu perlu tahu, jika sampai detik ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai menantuku. Selain itu, aku juga tidak suka padamu!! Kau tak usah mencoba bersikap baik hanya untuk mengambil hatiku, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah menerimamu!!" "Baik, jika itu keinginan Ibu. Tapi ingat, jangan salahkan jika sikapku pada Ibu pun juga berubah. Sikapku kepada Ibu kedepannya, tergantung bagaimana Ibu bersikap padaku!" "Ku
Bab 12 Kedatangan Linlin"Siapa itu, Mas?" tanyaku pada Mas Akbar. Setahuku tidak ada lagi tamu yang akan datang, mengingat Mbak Mika sudah mengajak Ibu pergi.Mas Akbar mengedikkan bahu. "Nggak tahu, Din. Biar mas yang temuin." Aku mengangguk, memilih masuk ke kamar mandi dan mencuci wajahku. Karena kekesalan sehabis bertengkar tadi dengan Ibu, aku bahkan tidak sempat untuk mencuci muka.Suara-suara obrolan dari depan membuat keningku mengernyit. Karena penasaran, aku segera keluar dari kamar setelah memakai krim wajah dan sedikit lip gloss. Tidak enak terlihat oleh orang lain, dengan wajahku yang pucat ini akan langsung ketahuan telah bertengkar sebelumnya."Linlin? Ngapain kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu alamatku?" Suara Mas Akbar yang terkejut terdengar di telinga.'Oh jadi itu yang wanita yang bernama Linlin,'gumamku dalam hati. B aja ternyata. Aku segera berjalan ke ruang tamu dimana wanita itu tampak hendak melingkarkan tangannya di pundak suamiku."Ehkm, maaf Mbak, seb
Bab 13Mas Broto Dan Savika"Dina, dengerin mas dulu. Sebenarnya wacana itu belum pasti. Mas memang nggak sengaja ngobrol sama dengan Mbak Mika dan keluarganya, mungkin didengar juga oleh Linlin karena dia ada di sana.""Oh, jadi kalian pergi bersama-sama tanpa sepengetahuanku, Mas? Kelihatan banget ya, keluargamu benar-benar tidak menerimaku. Bahkan ternyata wanita itu lebih berharga di mata ibumu daripada aku, menantu yang sudah menemani putranya selama 2 tahun ini. Lalu, kamu juga keterlaluan! Kamu lebih memilih mengatakan kepada orang lain tanpa memberitahuku terlebih dahulu, begitu, hm! Bagus sekali ya, Mas.""Dina, jangan salah paham kenapa, sih? Ibu ngajak Linlin makan malam bersama itu kan wajar, lagian wanita itu nggak akan lama di Indonesia.""Wajar? Aku aja nggak pernah kok, Mas. Kapan Ibu dan Mbak Mika pernah mengajakku untuk makan malam bersama?! Nggak pernah, kan?""Dina ….!"
Bab 14Pilihan Sulit Setelah mengisi bensin secukupnya dari uang pemberian Mbak Ani, aku langsung pulang dan memburu ke ruang tamu. Mas Akbar langsung berdiri menyambutku dengan sumringah. "Kamu udah pulang, Din. Kok bentar amat perginya?""Cuma ke tetangga beda gang doang Mas. Eh, kamu tahu nggak, kalau Mas Broto suka ada di sekitaran sini?!""Sekitaran sini?!" Aku mengangguk cepat. "Setahu Mas, nggak mungkinlah. Tadi aja waktu dia datang bersama dengan Mbak Mika, sepertinya Mas Broto heran kita tinggal di lingkungan ini. Kenapa memangnya?!" Benar juga. Aku menggelengkan kepala dengan pelan. Belum saatnya pria itu mengetahuinya lebih lanjut. Bisa saja aku juga salah mengenali. Mungkin mereka adalah sepasang bos dan sekretaris. Bukankah Savika bekerja di perusahaan besar dengan title sebagai seorang sekretaris."Nggak kok, Mas. Ya udah, aku mau minta maaf y
Bab 15 pergi ke rumah MikaPlease, Din. Aku nggak tahan. Tolong jemput Ibu.Din, jam berapa kamu mau datang?Aku serius lho, Din. Bawa Ibu pergi. Aku jengkel.Karena jengkel dengan beberapa pesan Mbak Mika yang masuk ke ponselku, aku memutuskan untuk bertanya langsung pada Mas Akbar. Ini tengah hari, sudah pasti pria itu tengah beristirahat di kantornya."Ya, Din. Tumben kamu nelpon, Sayang. Ada apa?""Eum, maaf Mas, aku mau ngeganggu kamu, nggak.""Nggak lah, Mas lagi istirahat sambil makan nasi pecel sekarang. Oh ya, ada apa?""Mbak Mika barusan menghubungi aku, katanya Ibu minta dijemput dan aku yang disuruh untuk menjemput ke rumahnya.""Oh.""Kok cuma oh doang sih, Mas. Aku harus gimana ini?""Hmm, ya Mas tahu kamu masih kesal dengan perbuatan ibu. Tapi Mas juga nggak bisa berbuat banyak. Dia kan ibu kita juga. Mas sebenarnya