Share

Saat Istri Mantan Menghubungiku
Saat Istri Mantan Menghubungiku
Penulis: iva dinata

Bab 1 Pernikahan yang Penuh Tekanan.

"Tidak usah menginap ya, Mas!" Pinta Serena ketika suaminya memberitahu kalau mereka akan pulang ke rumah orang tuanya saat libur kerja, tanggal merah besok.

"Kita itu jarang pulang ke rumah Ibu, massa menginap dua hari aja tidak mau," balas Suaminya.

"Aku gak nyaman Mas di sana, Ibu sama adik kamu kalau bicara tidak enak," sahut Serena menjelaskan.

"Itu, itu saja alasan kamu. Padahal aku tidak pernah lihat Ibu memarahi kamu atau menghina kamu. Aku lihat Anita juga baik sama kamu," kesal Dirga lalu berdiri meninggalkan Serena yang diam berusaha menahan kekesalannya.

Serena menghela nafas sepenuh dadanya. Hatinya selalu terasa sakit setiap kali dia pulang ke rumah mertuanya.

Ibu mertua nya sangat pintar berakting. Ketika ada suaminya dia selalu bersikap baik namun jika Dirga tidak ada, semua yang Serena lalukan selalu salah di mata mertua dan iparnya itu.

Setiap kali dia mengeluh Dirga akan langsung bermuka masam dan mendiamkan Serena sampai berhari-hari. Sudah 8 tahun Serena menahan semua perlakuan buruk keluarga suaminya. Jika saja dia punya pilihan selain bertahan pasti akan dia lakukan, tapi sayangnya nasib baik tak berpihak padanya. Mau tidak mau dia harus bertahan dengan semua duri-duri di pernikahannya.

"Ma, Oma telpon." Seorang gadis kecil menghampiri Serena yang terduduk dengan lesu menyerahkan ponsel milik Serena.

"Iya, Makasih ya Zena," ucapnya menerima ponselnya.

📞

"

[Assalamualaikum Bun,] sapa nya.

[W*'alaikum salam. Kapan pulang kesini Nak? Bunda sudah kangen sama kamu dan Zena.] tanya suara dari seberang sana.

[InsyaAllah bulan depan depan ya Bun, karena minggu depan mau pulang ke rumah Ibunya Mas Dirga.] jawab Serena.

[Ya sudah. Beneran ya bulan depan ke rumah Bunda,]

[InsyaAllah bulan depan ke rumah Bunda.]

Setelah mengucapkan salam Serena memutuskan sambungan telfon dengan Bunda nya.

"Libur tanggal merah besok tidak jadi ke rumah Oma Ma?" tanya Zena gadis cantik bermata tajam seperti mata milik Dirga dan berwajah manis mirip Serena.

Dengan wajah sedih Serena menggeleng, "Ke rumah mbah Uti dulu. Bulan depan baru ke rumah Nenek," jawab Serena sambil merapikan rambut Sang putri yang sedikit berantakan.

"Gak usah tidur di sana ya Ma," rengek gadis kecil berambut panjang itu.

"Menginap dua hari. Gak papa, nanti kalau di sana sama Mama aja," ujar Serena lalu memangku Zena yang cemberut.

"Nanti Zena di salahin terus kalau Raya nangis." Zena menatap ku memelas.

"Nanti Mama belain Zena." Serena memeluk penyemangat hidupku itu. "Bersabarlah sayang" batin Serena.

Terkadang Serena merasa tidak tega melihat putrinya yang masih belum genap berusia tujuh tahun harus menahan diri ketika di salahkan. Namun Serena bisa apa, jika Dirga sendiri menganggap rasa tidak nyaman Serena dan Zena hanya masalah sepele.

🥀🥀🥀

Seperti yang sudah di putuskan Dirga. Mereka pulang ke rumah orang tua Dirga selama dua hari.

"Kakak Zena," pekik Raya menyambut kedatangan mereka.

"Sudah di tunggu Raya dari kemarin lo Kakak Zena. Sampai tidak mau pulang, tidur di rumah Uti nunggu Kak Zena pulang," beritahu Mirna, mamanya Dirga.

"Salim dulu sama Mbah kung sama Mbah Uti!" suruh Serena saat Zena di tarik paksa oleh Raya untuk di ajak bermain.

"Sebentar dulu Raya," tambah Serena saat Raya tidak mau melepaskan tangan Zena.

"Udah biarin aja, sudah pengen main," sahut Anita yang baru keluar dari ruang tengah.

"Iya biarin sudah kangen itu mau main bareng." Mirna ikut menimpali.

Serena hanya bisa menghela nafas. Dulu saat masih kecil Zena tidak mau salim, katanya tidak pinter seperti Raya yang masih kecil tapi sopan.

"Raya. Biar Kakak Zena salim dulu," tegur Dirga pada keponakannya.

Dengan cemberut Raya melepaskan tangan Zena. "Salim dulu sama Mbah kung dan Uti." Dirga manarik pelan tangan putrinya.

"Raya itu sudah kangen. La Kakak Zena tidak pernah pulang," kata Mirna sambil memeluk Zena. "Sering pulang ya Kakak Zena, biar bisa main sama Adik Raya." Tambahnya.

Serena mendengus kasar, "Zena sekolah Uti. Ayah juga kerja," tutur Serena memberi penjelasan.

"Ya kalau libur Ren, massa gak ada liburnya?" sahut Mirna tanpa memandang pada Serena.

"Maksudnya kalau ada libur itu pulang. Misalnya libur dua hari seperti sekarang, harusnya pulang dari kemarin malam. Bukannya pulang sekarang," kata Anita menggurui.

"Capek tante kalau pulang sekolah langsung pulang kesini. Ayah juga masih capek pulang kerja langsung nyetir," ujar Serena memberi alasan.

"Alah capek apa? Di jalan cuma diam doang," cibir Anita.

"Yang capek ya yang nyetir. Tapi buat Dirga tidak ada capek kalau mau ketemu keluarga nya," Mirna ikut menambahi.

Seperti biasa Dirga hanya diam saja tanpa mau membantu Serena menjelaskan. Bagi Dirga itu perbincangan biasa.

Serena sendiri sudah lelah setiap kali pulang ke rumah mertuanya selalu seperti itu. Tidak ada habisnya mereka mengajak berdebat. Serena hanya menghela nafas, menahan dirinya agar tidak menjawab. Akan semakin panjang perdebatannya jika Serena menjawab, sepanjang perjalanan yang sudah dilaluinya untuk sampai di rumah mertuanya beberapa menit yang lalu.

🥀🥀🥀

Pagi ini Serena membantu memasak di dapur. Mencuci piring dan peralatan dapur yang kotor. Setelah selesai Serena berniat membantu memotong sayuran.

"Ini mau di buat sayur asem kan?" tanya Serena sambil memegang kacang panjang hendak memotongnya.

"Tunggu tunggu," pekik Anita. "Lihat Mbak motongnya kayak apa? Nanti kekecilan," kata Anita sambil mendekat memeriksa.

"Belum aku potong Nit." Serena menunjukkan kacang yang dipegang nya.

"Coba potong!" perintahnya, "Gak segitu mundur! Itu kepanjangan, agak kecil dikit." Anita memberi instruksi.

Serena hanya mengikuti saja kemauan Anita. Memang seperti itu sikap Anita. Selama delapan tahun dia menjadi menantu di rumah itu, Serena tidak pernah benar. Serena gadis bodoh yang tidak tahu apa-apa bagi Anita dan mertuanya.

"Kamu biasanya masak apa sih Ren, motong kacang saja tidak bisa," sahut Hendrawan mengomentari.

"Masak biasa Pa," jawab Serena "Mas Dirga juga tidak pernah protes sama masakan aku," ucapnya tanpa memandang Sang mertua.

"Ya pasti tidak protes, wong adanya itu. Mau gak mau ya di makan," ujar Mirna sambil menggoreng ikan.

Serena menahan dirinya agar tidak menyahut lagi atau akan semakin panjang. Sudah tidak terhitung lagi Serena mencari simpati keluarga suaminya. Mulai dari membelikan sembako. Namun mertuanya mengatakan di rumahnya banyak sembako bahkan gula sampai mencair karena terlalu banyak sampai tidak terpakai.

Tidak berputus asa Serena membawakan buah untuk mertuanya, tapi hasilnya tidak jauh beda dengan sebelumnya. "Buah seperti ini yang kita suka. Bukan seperti yang tadi kamu beli," ucap Mirna sambil menunjukkan buah yang lebih mahal dari yang Serena belikan.

Pov Serena.

"Akk hiks hiks.. " Suara tangisan dari halaman.

Aku berlari keluar di ikuti kedua mertuaku dan Anita.

"Kakak Zena lo nakal. Aku di dorong jadi jatuh," adu Raya sambil menangis.

Aku langsung menarik dan merangkul Zena yang hanya diam saja. "Ada apa sayang? Bilang sama Mama," tanyaku didepan wajah Zena.

"Adek Raya duluan, dia merebut bunga punyaku..." Belum selesai Zena berbicara Raya sudah menyahut sambil menangis.

"Nggak." Raya membantah sambil sesekali menangis, "Hiks hik. La Kaka Zena lo, sudah tak bilangin itu bunga aku. Aku mau ambil yang itu. Eh malah diambil Kakak Zena duluan. Ya aku minta lagi tapi gak di kasih," celoteh gadis berumur 6 tahun itu.

"Terus tidak di kasih, kamu rebut?" tanyaku berusaha untuk tenang.

"La Kakak sih. Sudah di bilang punyanya Adek kok masih di ambil," sahut Anita sewot.

"Sudah ini banyak bunganya," ucap Mas Dirga membawa sekeranjang bunga.

Seperti biasa dia tidak akan membelaku atau anaknya. Dia seperti tidak peduli setiap kali kami di salahkan atau dipojokkan.

"Sudah sudah bunga banyak, di petik semua juga tidak apa apa sudah main lagi sana," ujar mertuaku menarik Zena membawanya agar bermain lagi bersama dengan Raya.

Aku sudah tidak berniat lagi membantu memasak. Aku memilih duduk di kursi teras mengawasi dua anak perempuan yang usianya hanya terpaut beberapa bulan saja.

Baru juga setengah jam aku bernafas lega. Suami Anita datang. Ini orang juga salah satu dari contoh lelaki bermulut perempuan yang pernah aku temui.

"Halo princessnya Papa," sapanya pada Raya. "Halo Kak Zena," ucapnya menepuk pundak Zena pelan.

"Halo Mbak, Kapan dateng" tanyanya basa basi.

"Kemarin siang," jawabku sambil tersenyum.

"Mas, gimana kabarnya?" tanyanya pada Mas Dirga yang baru keluar dari ruang tamu dengan ponsel di tangannya.

"Sehat," jawab Mas Dirga menyambut uluran tangan Andika.

"Pa. Mau jalan-jalan dong Pa," rengek Raya sambil memegang tangan Andika.

"Siap. Nanti siang kita jalan-jalan," ujar Andika sambil menggendong Raya. "Kakak Zena sini! Coba berdiri berjejer sama Raya," perintahnya.

Andika menurunkan Raya lalu menarik Zena untuk berdiri di samping Raya. "Loh, kok lebih tinggi Adek Raya? Badannya juga lebih besar Adek Raya dari pada Kakak Zena," ujarnya membanding-bandingkan Zena dan Raya.

Ini laki-laki memang bermulut lemes. Suka sekali membandingkan Zena dengan putrinya, sebelas dua belas dengan Papa mertuaku.

"Iya dong tinggi aku," ucap Raya membanggakan dirinya.

Wajah Zena langsung berubah muram, menatapku sedih, "Zena sini! Ayo sudah waktunya sarapan," panggilku lalu membawa Zena masuk tanpa berkomentar apapun.

Aku sudah sangat lelah untuk berdebat. Setiap kali datang kesini serasa dalam keadaan gencatan senjata. Benar-benar tidak bisa tenang.

Mas Dirga sepertinya mengerti jika aku kesal, dia ikut menyusul ku masuk. "Gak usah di masukkan hati," ucapnya santai.

Aku menoleh padanya. Aku menatapnya tajam lalu tanpa berkata apapun aku masuk kamar bersama Zena.

🥀🥀🥀

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku menoleh padanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status