Pov Serena. "Tidak usah di masukkan hati." ucapnya santai. Aku menoleh padanya. Aku menatapnya tajam lalu tanpa berkata apapun aku masuk kamar bersama Zena. Dengan entengnya dia mengatakan itu. Apa dia tidak pernah mencintai aku dan putrinya sehingga tidak sedikitpun hatinya merasa sakit saat melihat anaknya sakit hati karena dibanding-bandingkan. Aku juga tidak pernah sekalipun melihatnya sedih setiap kali melihat kami sakit hati. Tanpa terasa air mataku menetes, "Ma, pulang aja yuk," pinta Zena menatapku sedih. Aku memeluknya, 'Maafkan Mama sayang' ucapku dalam hati. "Iya, kita pulang. Mama beres-beres dulu, Zena makan roti dulu ya!" kataku sambil mengusap kasar air mata di pipiku. Aku mengambil sebungkus roti dari tas yang memang selalu aku siapkan untuk berjaga-jaga jika lapar di perjalanan. "Zena makan dulu. Mama beresin pakaian kamu dulu ya!" Aku memberikan sebungkus roti pada Zena lalu memasukkan pakaianku dan Zena kedalam tas ransel milik Zena. Sedangkan Pakaian Mas Dir
"Kita pulang bareng. Cancel saja taksi online nya," suruh Mas Dirga sambil berjalan mengikutiku. "Tidak perlu. Terima kasih," jawabku tegas dan singkat. Aku berjalan cepat menuju taksi online yang sudah menunggu di depan rumah. "Jalan Pak," kataku pada sopir setelah aku dan Zena duduk di kursi penumpang. Tidak sekalipun aku menoleh pada Mas Dirga. Kesabaran ku rasanya sudah tidak bersisa lagi. Sudah selama delapan tahun aku mengalaminya. Jika itu tentang aku yang di hina dan di remehkan aku bisa terima. Namun jika sudah melukai perasaan Zena, aku tidak bisa lagi menahan amarah ku. Tidak sekali dua kali anakku di salahkan. Tidak sekali dua kali anakku mengalami bullyan Verbal di depan Mas Dirga, namun tidak sekalipun Mas Dirga membelanya. Arzena Ayu Kinara, dia tidak seperti Raya yang sangat pandai bicara. Zena putriku gadis pendiam yang tidak suka berdebat. Dia lebih sering mengalah jika bertengkar dengan temannya. Bagaimana bisa berhadapan dengan Raya yang sangat pandai bicara da
Pov Serena. Ternyata Mas Dirga memilih untuk pulang besok dan menambah satu hari libur kerjanya. Ada sedikit rasa kecewa di hatiku terhadap Mas Dirga. Aku kira dia akan langsung pulang menyusul kami. Ternyata aku salah, mungkin dia dan keluarganya lebih bahagia ketika tidak ada aku di sana. Untuk yang kesekian kalinya aku kecewa dengan sikap dan tindakannya.Kemarin malam Mas Dirga sempat mengirim pesan memberitahu bahwa dia akan langsung berangkat ke kantor tanpa mampir ke rumah terlebih dahulu. Aku hanya membacanya saja tanpa berniat membalas pesannya. Aku sudah tidak lagi peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Mas Dirga. "Ma, Papa gak pulang?" tanya Zena ketika kami duduk di meja makan. "Tidak sekarang tapi besok Papa pulangnya," jawabku sembari mengelus kepalanya, "Mungkin Papa masih kangen sama Kakung dan Uti. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan aja ke taman? Nanti kita beli eskrim," ajak ku agar tidak membuatnya sedih. Terlihat wajah Zena berubah sedih, "Kenapa? Sudah kang
Pov SerenaSetelah menurunkan Zena di sekolahnya, segera aku menuju ke kafe milik Mas Gibran. Ketika aku sampai di parkiran, Kafe masih baru di buka. Tulisan open baru saja di balikkan okeh karyawan."The Gis's Cafe," gumam ku lirih membaca tulisan pada pintu kafe yang terbuat dari kaca itu. Tanpa sadar aku tersenyum mengingat asal usul dari nama kafe itu. GIS adalah singkatan nama kami bertiga, Gibran, Indira dan Serena. Kami tiga bersaudara. Setelah Ayah dan Bunda berpisah kami memilih untuk ikut Bunda. Waktu itu aku masih kelas satu SMA ketika Ayah berselingkuh lalu menikahi selingkuhannya yang sedang hamil, karena Bunda tidak bersedia di madu, Bunda memutuskan untuk bercerai. Sejak itu hubungan kami dengan Ayah menjadi renggang. Kami tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang dulu kami yang dulu setelah Ayah membawa pulang selingkuhannya itu. Namun lambat laun kami akhirnya mengikhlaskan semua. Setiap hari raya kami akan berkunjung untuk bersilaturahmi meski tidak sampai satu jam
Pov Serena. Sudah satu bulan aku bekerja di kafe Mas Gibran, selama itu juga aku dan Mas Dirga masih saling diam. Mas Dirga selalu pulang malam namun aku tidak pernah bertanya atau mengirim pesan padanya untuk menanyakan kapan dia akan pulang? Setiap hari aku berusaha belajar tentang cara menghandle sebuah kafe. Namun sesibuk apapun, aku tidak pernah lupa tugasku sebagai seorang ibu untuk Zena. Setiap kali di rumah aku menghabiskan waktuku untuk Zena. Baru setelah Zena tidur aku mengerjakan tugas yang aku bawa pulang. sore ini aku sedang bercanda dengan Zena ketika Mas Dirga pulang. Entah apa yang membuatnya pulang lebih awal hari ini jika biasanya dia akan pulang pukul 8 malam berbeda hari ini laki-laki itu sudah terlihat memasuki rumah pada pukul 5 sore dia. Seperti biasa dia pulang membawa tas kerja dan tumpukan Map di tangannya. Zena langsung turun dari sofa dan berjalan menuju kamarnya tepat ketika Mas Dirga bejalan masuk menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Zena. Ma
Pov Serena. Seperti biasa setiap pagi aku mengantar Zena ke sekolah dan langsung menuju kafe. Ini sudah menjadi rutinitasku hampir dua bulan ini. Aku sangat bersyukur karena aku sudah terbiasa dengan semua pekerjaanku di kafe. Itu tidak lepas dari bantuan Mas Gibran dan Mbak Lina tentunya. Setiap pagi aku akan memastikan semua bahan di dapur lengkap lalu memastikan kafe di buka dalam keadaan rapi dan bersih. Sesekali aku memeriksa ke dapur untuk melihat makanan yang di pesan pelanggan kafe lalu kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan. Sekitar pukul 9 pagi aku kembali ke meja kerjaku untuk memeriksa laporan belanja bulanan. Baru setengah jam aku berkutat dengan kertas-ketas itu sebuah panggilan masuk ke ponselku. panggilan dari Dewa, teman sekolahku yang bekerja di kota Bali. 📞[Hallo,] sapaku begitu aku menerima panggilannya. [Hallo Rena,] sahutnya. [Iya, apa kabar kamu?]tanyaku basa basi. [Alhamdulillah sehat, kamu bagaimana?] tanya Dewa balik. [Sehat. Alhamduliilah.
[Aku tahu kamu sudah menikah dan memiliki keluarga, jika perlu aku akan menemui suami kamu dan meminta izin langsung darinya.] Suara Aira memohon karena Serena tidak juga menjawab permintaannya. [Apa kamu yakin jika aku menjenguknya, Kaisar akan sadar?] tanya Serena dengan suara yang di usahakan setenang mungkin. [Iya. Aku sangat yakin jika kamu mau datang dan berbicara dengannya InsyaAllah dia akan sadar,] jawab Aira penuh keyakinan. [Kenapa kamu begitu yakin?] kembali Serena mempertanyakan keputusan Aira menghubungi mantan kekasih suaminya. Apa hatinya tidak terluka? pikir Serena. [Karena dia menunggumu. Tolonglah!] [Kamu yakin?] tanya Serena sekali lagi untuk memastikan. Serena tidak ingin kehadirannya menjadi bumerang untuk rumah tangga Aira dan Kaisar. [Iya aku yakin. Percayalah tidak akan ada yang mempermasalahkan kedatangan kamu menemui Kaisar] jawab Aira mengerti kekhawatiran yang dirasakan Serena. [Baiklah besok aku akan datang,] putus Serena. [Aku akan mengirim pesan
"Aku tidak setuju, jika Zena harus di titipkan di rumah orang lain ketika kamu bekerja," tolak Dirga. "Kita tidak tahu kondisi ke amanan tempat tinggal teman kamu itu," Dirga mengutarakan alasannya. "Lalu, mau bagaimana?" tantang Serena menatap Dirga sinis. "Kita panggil pengasuh saja, untuk mengasuh Zena di rumah," kata Dirga memutuskan. Sontak Serena melebarkan matanya menatap penuh amarah pada Dirga, "Maksudmu, kamu ingin memanggil Ratna, janda yang membuatmu membentakku dan bahkan bersedia meminta maaf padanya padahal dalam mimpi pun kamu tidak pernah meminta maaf padaku," ucapnya tidak terima. Ada rasa marah bercampur dendam jika mengingat Ratna yang setelah kehadiran wanita itu rumah tangganya tidak lagi harmonis. Dirga menggigit bibir bawahnya, menyadari jika dirinya sudah salah bicara dengan mengungkit hal yang seharusnya tidak pernah mereka bahas lagi. "Silahkan bawa dia kembali kesini untuk me nga suh mu." Serena menekankan pada kata di akhir kalimatnya, "Dengan senang h