Cahaya matahari, menerobos masuk melalui celah-celah dinding jendela yang begitu mewah dari atas kamar hotel. Arum sudah terbangun. Ia berjalan ke arah balkon hotel , kakaknya Levin tertidur disova berselimutkan jas yang ia pakai semalam. Ketika Arum memanggil dan menggoyangkan tubuh Levin, ia merubah posisi tidur menghadap tembok dan menarik jas sampai leher."Mas, Levin!" Panggilan itu nyaris pelan, membuat Levin begitu terluka. Membayangkan jika nanti ia selalu dibangunkan Arum. Saat menjadi istrinya, namun sekarang hanya akan menjadi bayangan belaka. "Mas! Mas Levin! Sudah siang!" lirih Arumi seraya menarik jasnya dengan pelan. "Malas, lah, hari minggu juga, Rum." Levin tanpa membuka mata."Jadi, Mas mau disini saja?" "Ya, aku mau tidur seharian, dan aku tak peduli."Arum tahu hatinya sedang terluka, namun seiring berjalannya waktu pasti ia akan mengerti dan luluh. "Ya ampun, Mas ayolah!" ajak Arum gemas kemudian menarik paksa lengan kakaknya. Arum beeusaha membangunkan Lev
Arum membiarkan semilir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu. Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Arum dan keluarganya adalah momen yang sangat indah, Levin mengabadikan kebersamaan dengan foto bersama. Arum masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Arum merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ia beranjak berdiri dan berjalan melewati pasir, ia berjalan tanpa alas kaki, Arum menenteng flatshoes dipinggir pantai. Sementara Levin memperhatikan dari jauh dan masih merasakan detak jantung yang naik turun tak beraturan. Perempuan berwajah cantik itu masih diam, menatap jauh lautan yang tak bertepi. Lelehan air mata sesekali meluncur di pipi mulus
"Baiklah kami pergi dulu, Mas. Naura Tante pergi dulu ya."Gadis kecil itu cemberut. "Ya, Tante kok pergi sih," jawab Naura sedih. "Ya nanti kan bisa ketemu lagi."Gadis kecil itu mengulas senyum. Serius Tante, nanti mau ketemu Naura dan Papa lagi," ucap Naura pada Arumi senang. "Iya, pasti itu.""Baillah, Tante." Naura memeluk tubuh wanita yang sangat ia sayangi. "Mas Rum, pergi dulu ya."Elang mengangguk. "Iya, Rum.""Dah Tante cantik."Arum membalas dengan melambaikan tangan. Arum berjalan di samping Levin. Ada rasa cemburu yang begitu mendalam, namun Levin terlihat tenang. "Rum, siapa dia tampan sekali wajahnya juga seperti artis korea?" tanya Levin menggoda adiknya. Arum menghela nafas berat. "Selama ini, Mama kerja di luar negeri, jadi dia yang selalu ada buat Arum, yang menjaga Arum pas lagi sakit, ya kami berdua berjuang hingga saat ini ia sudah menjadi sukses. Dia kakak Arum, mas.""Oh. Terus...."Dada Levin terasa terhimpit, sepertinya kalimat itu serupa belati yang m
Bulan purnama telah menampakkan dirinya dilangit yang gelap, cahaya bulan purnama menerangi bumi. Mereka berdua menatap langit nan jauh di sana sedikit bintang yang memenuhi langit. Sekilas Elang menatap wajah Arumi yang makin hari makin dewasa dan cantik. Ia tersenyum dan kembali menatap langit lagi. "Ada apa ya, itu disana kok rame sekali, Mas?""Entahlah, kita lihat yuk."Arum mengangguk. "Ayo."Mereka berjalan ke arah ramai anak-anak muda. Ternyata kata meteka hari ini akan ada pesta kembang api. Arum tersenyum bahagia, dan memegang erat tangan Elang. Menanti kembang api dinyalakan. Mereka duduk berdampingan sambil melihat berbagai permainan para anak muda. Elang menghirup aroma yang menenangkan dari rambut Arum. Lalu ia menoleh ke samping menatap wajah cantik Arhm di bawah sinar rembulan juga lampu hias. 'Ternyata masih sama, ia sangat cantik' gumamnya dalam hati sembari tersenyum dan kembali melihat lalu lalang para pengunjung. Kini mereka ada di pesta kembang api, saat kemb
"Mas, aku rindu, malam ini menginap disini ya?" tanya Hani bergelayut manja dalam pelukan lelaki bertubuh kekar itu. "Maaf, Hani ... aku capek. Lain kali saja," tolak Damar perlahan, merenggangkan pelukan Hani di tubuhnya. Wajah tampan Damar sedikit ditarik saat Hani berusaha mengecup bibirnya."Terus kapan, Mas ... aku rindu, sudah lama kita tak pernah bertemu." Hani bangkit dari tempat tidur dan menggigit bibir dengan rasa kecewa yang dalam."Jangan, hari ini."Hani megusap rambut yang menutupi kening dan separuh matanya. Lalu ia menguncirnya dengan tali, saat ia sadar ada butiran halus menetes dipipinya. Hani menangis. Betulkah? Serapuh inikah? Dirinya perlahan bangkit dengan langkah gontai menuju cermin. Menatap wajahnya yang kini berurai air mata."Kau anggap apa aku ini mas?" tanya Hani terbata. Damar terdiam. Merasai sesak di dalam dadanya. "Kenapa, Hani. Kenapa sekarang kau banyak menuntut," jawab Damar seasalnya. "Karena aku inginkan dirimu, Mas." Hani terus menangis. "
"Wah, Rum, makin hari makin tambah cantik aja, deh," puji Levin yang baru datang lalu duduk di ranjang. "Biasa saja, Mas.""Serius ... kalo kamu begini, Damar makin tak mau dicerai. bisa jatuh cinta lagi dia," goda Levin. Arum tersenyum, sambil duduk di depan Kakanya Levin. "Ga mungkin lah Mas, jatuh cinta, lagian Rum, bukan tipenya kali.""Model begituan, pengen ku tonjok saja mukanya itu, nyebelin."Arum tertawa geli. "Bagaimana persiapannya Mas?""Mudah-mudahan kita menang Rum, oh ya Siapa saksinya, Rum?""Mama sama, Mas Elang.""Bailklah, ayo lama sekali dandannya."Arum mengembuskan napas kasar dan memijit pelipisnya. Semoga saja Damar tidak segila kala persidangan kemarin. Arum mengambil tas juga berkasnya dan berjalan mendekati sang Papa. "Kau gugup, Nak?" Tanya sang Papa pada Arumi yang terlihat diam. "Sedikit Pa." Arumi mencoba ngontrol detak jantungnya yang tak beraturan. Sang papa tersenyum manis. "Bagus, kau harus kuat Rum. Dan ingat anak papa pantang menangis ya."Aru
Aura merasa kesal, sang papa tak kunjung pulang juga tugas dari sekolah banyak sekali, musim pandemi membuat Aura lebih banyak daring di rumah, al hasil ia cepat sekali marah jika tidak mengerti cara mengerjakan soal yang akan dikerjakannya. "Jadi, guru Les private, Non, tidak hadir hari ini?" Bibi bertanya dan menemani Naura belajar. "Eggak, gimana nih, pusing Naura Bi, ini harus dikumpulkan paling lambat jam 12 siang ini," jawab Naura dengan suara lirih, karena takut tak bisa mengerjalannya. "Wah, apa Bibi bisa bantu, Non.""Malas, Naura Bi," tampak Naura kesal seraya kurang bersemangat. "Jangan gitu Non, nanti Papa marah lo.""Jika Bunda masih hidup, Naura kan enak Bi ada yang bantuin Naura." Setetes bulir bening keluar dari mata gadis kecil itu. "Jangan begitu, Non. Bibi jadi sedih."Gasis kecil itu, hanya diam. Menatap tugas yang tidak bisa ia kerjakan, sesaat ia menatap foto sang Bunda yang telah lama pergi meninggalkannya. Rasa pilu kini hadir lagi, hanya kata andai dan an
Damar menatap penjuru ruangan, sekilas ia melihat Levin bos dimana Arum bekerja. sedang bersama rekan kerjanya. Damar lepas kontrol ia langsung menghampiri dan memukul Levin. Berkali-kali ia mendorong tubuh Levin. Levin tak siap hampir terjatuh karena ulah Damar, namun ada rekan kerja Levin yang menagkapnya sati belakang. Ia bangkit dan membalas pukulan Damar dengan keras. Bughh"Hey, apa masalahmu?" tanya Levin tak mengerti. "Kau, jangan ambil, Arumku," jawab Damar kesakitan, darah segar mengalir diujung bibirnya. Levin mendorong tubub Damar menghimpit ke tembok. Dan berusaha membalas Damar. "Dasar gila ya, lihatlah sudah datang bersama selingkuhannya. Masih cemburu sama Arum. Lelaki macam apa ini." Goda Levin membuat Damar semakin memanas. "Tidak akan aku biarkan kau mendekati Arum."Levin tersenyum sombong. "Hay, kau yang tak akan pernah bisa menyentuh arum lagi, apa lagi menyentuh satu saja ujung rambutnya. Tak akan aku biarkan, lelaki gila." Ancam Levin. "Oh, sombong kau!"L