Share

2. Awal Pengantin Baru

last update Last Updated: 2022-12-29 10:37:55

POV Damar

Rumah Ibu tak begitu jauh dari kontrakanku. Hanya butuh waktu lima menit mengendarai motor, aku sudah sampai di sana.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu bercat putih itu. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu pun terbuka menampilkan wajah wanita yang sudah melahirkanku 28 tahun yang lalu.

"Eh, kamu, Mar. Tumben malam-malam kemari?" Sapa Ibu begitu melihat kehadiranku.

Aku langsung masuk ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan dulu.

"Ibu masak apa?" Tanyaku langsung menuju meja makan diikuti Ibu. Aku memang tak pernah sungkan jika bertandang ke rumah Ibu. Karena rumah Ibu adalah rumah kedua bagiku.

"Masak ayam rica-rica kesukaan kamu tuh. Kenapa? Kamu belum makan emangnya?" Selidik Ibu sembari duduk di kursi makan mendampingiku.

Aku menggeleng lalu mengambil piring dan menyendok nasi dengan semangat.

"Istri kamu gak masak? Dasar pemalas! Sejak beranak sepertinya makin malas saja istri kamu itu," sungut Ibu.

Aku hanya terdiam tanpa membantah perkataan Ibu. Karena apa yang Ibu katakan memang benar. Semenjak punya anak Dista benar-benar berubah. Walau pekerjaan rumah tetap ia handle dengan baik, tapi perubahan penampilannya benar-benar membuatku bosan.

Usai makan aku dan Ibu menghabiskan waktu berdua menonton televisi. Suasana rumah benar-benar sepi, karena Ibu memang tinggal sendirian sejak aku dan Dista memutuskan pindah ke kontrakan. Ada rasa kasihan juga saat melihat Ibu yang terlihat kesepian di rumah ini. Andai Dista mau tetap tinggal di sini, pasti rumah ini tak akan sesepi ini.

Sebenarnya Ayahku masih ada. Hanya saja ia sudah sangat lama berpisah dengan Ibu. Sedangkan Mas Danis--kakakku satu-satunya juga tinggal berpisah karena sudah memiliki rumah sendiri.

Dulu awal-awal menikah, Dista dan aku hanya beberapa bulan saja tinggal di rumah ini. Dista selalu mengadu, tak tahan dengan sikap dan ucapan Ibu yang selalu menuntut ia agar cepat-cepat hamil.

"Mas, aku sudah tak tahan lagi tinggal di sini. Ayolah, kita pindah, Mas," rengek Dista kala itu.

"Memangnya kenapa, Sayang? Bukannya kamu senang tinggal dengan Ibu? Bukannya dulu kamu gak masalah saat aku ajak kamu tinggal di rumah Ibu?"

Dista tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia hanya mulai terisak. Entahlah sejak tinggal di rumah Ibu, Dista jadi lebih perasa dan cengeng. Padahal sebelum menikah, Dista adalah seorang wanita yang selalu periang.

"Kok malah nangis sih, Yang? Jangan bikin aku bingung dong."

"Aku capek, Mas, dengar Ibu selalu nyindir-nyindir aku yang gak hamil-hamil. Padahal bukan kemauanku begini. Toh, kita juga sudah berusaha." Dista mulai berucap di sela isak tangisnya.

Aku menghembuskan napas kasar. Sebenarnya bukan hanya pada Dista saja Ibu sering menuntut tentang cucu, tapi padaku juga. Tapi aku berusaha menanggapinya dengan santai, toh pernikahan kami baru berjalan beberapa bulan. Soal perkataan Ibu yang kadang pedas juga aku berusaha untuk tak memasukkan ke dalam hati. Mungkin Ibu hanya terbawa perasaan karena sudah sangat ingin punya cucu dariku.

"Sabar ya, Sayang. Mungkin Ibu begitu karena sudah sangat ingin punya cucu dari kita. Lagi pula jika harus ngontrak, Mas belum ada biayanya." Aku berusaha membujuk Dista kala itu. Tapi ternyata tak berhasil. Dista malah mengeluarkan dompetnya dari dalam lemari dan menunjukkan sejumlah uang padaku.

"Aku punya uang, Mas. Biar pakai uangku saja untuk biaya ngontrak, jika memang itu yang memberatkan Mas." Dista berucap penuh semangat.

Aku hanya mematung melihat uang yang berada di tangan Dista. Sampai sebegitunya Dista ingin pergi dari rumah Ibu, hingga ia merelakan uang tabungan yang ia kumpulkan sejak gadis. Ya, aku tahu uang itu murni uang Dista. Karena sejak menikah dan tinggal di rumah Ibu, uang gajiku selalu Ibu yang mengelola. Hanya jika kami ingin membeli sesuatu barulah aku meminta ke Ibu. Walau kadang disertai omelan darinya, aku tak ambil pusing. Mungkin Ibu tak ingin aku dan Dista boros.

"Simpan saja uang kamu, Yang. Aku tak enak menggunakan uang kamu untuk keperluan kita mengontrak," ucapku beralasan saat itu. Padahal aslinya dalam hati aku memang tak berniat pergi dari rumah Ibu, ada atau pun tidak biayanya. Aku benar-benar berat pergi dari rumah Ibu.

"Lalu aku harus menunggu sampai kapan, Mas? Sampai Mas punya uang? Mustahil terjadi! Karena semua uang Mas, Ibu yang pegang!" Sahut Dista dengan nada tinggi. Tangisnya berhenti berganti dengan emosi yang memuncak.

Aku sampai terkejut mendengar suara tinggi Dista. Sebab selama mengenalnya belum pernah sekali pun ia bersuara keras di hadapanku.

Tanpa mengindahkan raut terkejut di wajahku Dista pergi keluar dari rumah. Kupikir ia hanya pergi karena kesal, ternyata ia malah pulang ke rumah orang tuanya tanpa membawa apapun.

Ibu yang tahu akan hal itu malah semakin memperburuk keadaan dengan memanasi hatiku.

"Biar saja dia pergi, Damar! Sudahlah tak subur, eh, malah jelek-jelekin Ibu di depan kamu."

Aku benar-benar bimbang kala itu. Ibu melarangku menjemput Dista, sedangkan hatiku yang saat itu masih benar-benar cinta dengannya tak rela jika harus terus berjauhan.

Namun pada akhirnya aku memilih mendengar kata hati untuk menjemput Dista. Tapi sayang, Dista tak mau kuajak pulang, kecuali jika aku setuju untuk pindah rumah.

Demi menyelamatkan rumah tangga yang baru aku bina, terpaksa aku menuruti permintaan Dista dan menghadapi kemarahan dari Ibu.

Namun semua itu hanya sekejap, karena lama kelamaan Ibu luluh. Apalagi aku selalu memprioritaskan wanita yang telah melahirkanku itu. Walau pun kemarahan Ibu pada Dista masih tersisa hingga kini, tapi setidaknya tak ada masalah berat yang berlaku di antara keduanya.

Aku mengambil paper bag yang tadi kubawa, lalu mengangsurkannya pada Ibu.

"Ini hadiah ulang tahun dariku, Bu. Semoga Ibu suka ya," ucapku sembari tersenyum manis pada Ibu.

Wajah Ibu yang tadinya tengah serius menonton sinetron kesukaannya langsung berubah sumringah.

"Apa ini, Mar?" Tanya Ibu seraya membuka paper bag tersebut.

Mata tua Ibu langsung berbinar saat melihat hadiah dariku. Aku pun ikut merasa gembira melihat wanita yang kusayangi itu dengan semangat mencoba gamis yang baru kuberikan.

"Bagus banget, Mar. Pasti mahal ya? Makasih banyak lho."

Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil tersenyum manis pada Ibu. Padahal Ibu tak perlu sampai berterima kasih. Sudah kewajibanku memberikan hadiah untuk Ibu.

"Ibu kira kamu gak akan ngasih Ibu hadiah lagi jika sudah ngontrak. Tapi ternyata kamu tetap jadi anak Ibu yang berbakti," lanjut Ibu lagi.

"Tak mungkinlah, Bu. Mau bagaimana pun keadaanku, Ibu tetap yang nomor satu," sahutku sambil memeluk sayang Ibu.

Usai menyerahkan hadiah tersebut. Aku langsung pamit pulang pada Ibu, karena hari sudah beranjak makin malam.

Namun, baru saja langkahku akan mencapai pintu keluar, tiba-tiba aku teringat perkataan Dista tentang uangnya yang hampir habis.

"Bu, aku boleh pinjam uang gak? Nanti gajian aku ganti," pintaku pada Ibu yang mengekor di belakang hendak mengantarkanku ke teras.

Mendengar permintaanku Ibu langsung berdecak kesal.

"Baru ngasih hadiah, eh, malah ngutang! Gimana sih kamu, Mar?!" Sungut Ibu langsung berbalik arah kembali ke kamar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   77. Akhir dari Segalanya

    Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   76. Kabur

    POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   75. Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

    Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   74. Hilang Kembali

    POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   73. Kemana Rasti?

    "Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny

  • Saat Istri Tak Lagi Cantik   72. Ingin Rujuk

    Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status