Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV Damar"Mbak, kalau yang itu harga berapaan ya?" Tanyaku sembari menunjuk satu set gamis syar'i yang terpajang di sebuah manekin."Oh, kalau yang itu 550 ribu saja, Mas," jawab karyawan butik tersebut dengan ramah.Tanpa banyak berpikir aku langsung meminta karyawan tersebut membungkus satu set gamis tadi. Dengan hati riang, aku pun membawa baju tersebut pulang, berharap sang penerima akan bahagia saat kuberi hadiah gamis tersebut.Kupacu kuda besiku menuju rumah dengan enggan. Dulu rumah adalah tempat yang paling kurindukan saat bekerja, tapi sekarang malah kebalikannya. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung memarkirkan motor. Lalu masih dengan berat hati, aku menuju ke teras rumah."Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam sembari meneliti setiap sudut teras. Bersih dan kinclong, lumayan lah."Wa'alaykumus salam." Pintu pun terbuka menampilkan raut wajah Adista, wanita yang sudah kunikahi selama dua tahun ini.Kutelisik penampilannya dari atas ke bawah. Masih dengan tampil
POV DamarRumah Ibu tak begitu jauh dari kontrakanku. Hanya butuh waktu lima menit mengendarai motor, aku sudah sampai di sana. Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu bercat putih itu. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu pun terbuka menampilkan wajah wanita yang sudah melahirkanku 28 tahun yang lalu."Eh, kamu, Mar. Tumben malam-malam kemari?" Sapa Ibu begitu melihat kehadiranku.Aku langsung masuk ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan dulu. "Ibu masak apa?" Tanyaku langsung menuju meja makan diikuti Ibu. Aku memang tak pernah sungkan jika bertandang ke rumah Ibu. Karena rumah Ibu adalah rumah kedua bagiku."Masak ayam rica-rica kesukaan kamu tuh. Kenapa? Kamu belum makan emangnya?" Selidik Ibu sembari duduk di kursi makan mendampingiku.Aku menggeleng lalu mengambil piring dan menyendok nasi dengan semangat."Istri kamu gak masak? Dasar pemalas! Sejak beranak sepertinya makin malas saja istri kamu itu," sungut Ibu.Aku hanya terdiam tanpa membantah perkataan
POV AdistaAku menatap kepergian Mas Damar dengan hati yang terluka. Sedari tadi aku sudah berusaha menahan diri untuk mengabaikan sikap Mas Damar yang acuh tak acuh itu. Bahkan aku berusaha sabar saat tahu ia membelikan gamis mewah untuk Ibunya. Tapi melihatnya menolak masakan yang sudah kumasak dengan susah payah sembari menjaga Rafis yang sedang aktif-aktifnya, membuat hatiku benar-benar terluka.Aku tahu jelas kemana Mas Damar akan pergi. Sudah pasti ia akan ke rumah Ibunya dan meminta makan di sana. Aku memilih masuk kamar. Tak ada selera lagi untuk melanjutkan makan malam. Kurebahkan tubuh sambil menyusui Rafis yang mulai terlihat mengantuk. Air mataku menetes saat melihat wajah polosnya. "Kasihan kamu, Nak. Dulu kamu dinanti-nanti kehadirannya oleh Papa dan Nenek, tapi di saat kamu sudah hadir, mereka malah menyia-nyiakanmu," ucapku sembari membelai pipi Rafis, membuat ia mulai memejamkan mata.Lima belas menit menyusui Rafis, akhirnya ia pun tertidur. Perlahan aku bangkit. S
POV DamarAku berjalan dengan semangat memasuki gedung kantor tempatku bekerja, sambil menyapa beberapa teman dan staff lainnya dengan ramah. Rasanya saat-saat bekerja begini adalah saat yang paling menyenangkan, karena bisa sekalian merefresh mata melihat wanita-wanita cantik nan bahenol. Ah, berbeda jauh dengan pemandangan yang ada di rumah.Tak berapa lama, Hardi--sobat kentalku menghampiri dengan raut sumringah."Eh, Bro ... Udah dengar kabar belum?" Tanyanya begitu berada di sampingku."Kabar? Kabar apa, Di?""Barusan Pak Jaya ngasih pengumuman mendadak," ujarnya antusias."Pengumuman apa?" "Nanti akan diadakan rapat mendadak. Ada desas-desus katanya soal kenaikan jabatan."Mendengar penjelasan Hardi aku langsung semangat. Jelas, setiap orang di kantor ini pasti berharap dapat jabatan yang lebih baik. Apalagi aku. Selama ini aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini sebagai supervisor. Jadi wajar saja kalau aku pun ikut berharap bisa naik jabatan juga.Aku m
POV AdistaAku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak iku
"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!" Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja al
"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.