Saat Istri Tak Lagi Cantik

Saat Istri Tak Lagi Cantik

Oleh:  Wella Andriana  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
77Bab
16.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Adista benar-benar tak menyangka. Pengorbanannya demi mendapatkan anak malah dibalas menyakitkan oleh suami dan mertuanya. Padahal merekalah yang menginginkannya agar segera hamil. Sikap Damar--suami Dista juga mulai berubah, saat melihat Dista tak lagi cantik dan menarik, karena tak punya cukup waktu untuk merawat diri lagi. Penderitaan Dista bertambah saat mengetahui Damar diam-diam punya wanita lain di belakangnya. Dapatkah Dista mempertahankan rumah tangganya yang baru seumur jagung itu?

Lihat lebih banyak
Saat Istri Tak Lagi Cantik Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Vilda 2021
akhir yang tragis utk pria arogan kisahnya biasa saja
2023-05-22 17:39:31
1
77 Bab
1. Sambutan Tak Menyenangkan
POV Damar"Mbak, kalau yang itu harga berapaan ya?" Tanyaku sembari menunjuk satu set gamis syar'i yang terpajang di sebuah manekin."Oh, kalau yang itu 550 ribu saja, Mas," jawab karyawan butik tersebut dengan ramah.Tanpa banyak berpikir aku langsung meminta karyawan tersebut membungkus satu set gamis tadi. Dengan hati riang, aku pun membawa baju tersebut pulang, berharap sang penerima akan bahagia saat kuberi hadiah gamis tersebut.Kupacu kuda besiku menuju rumah dengan enggan. Dulu rumah adalah tempat yang paling kurindukan saat bekerja, tapi sekarang malah kebalikannya. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung memarkirkan motor. Lalu masih dengan berat hati, aku menuju ke teras rumah."Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam sembari meneliti setiap sudut teras. Bersih dan kinclong, lumayan lah."Wa'alaykumus salam." Pintu pun terbuka menampilkan raut wajah Adista, wanita yang sudah kunikahi selama dua tahun ini.Kutelisik penampilannya dari atas ke bawah. Masih dengan tampil
Baca selengkapnya
2. Awal Pengantin Baru
POV DamarRumah Ibu tak begitu jauh dari kontrakanku. Hanya butuh waktu lima menit mengendarai motor, aku sudah sampai di sana. Tok! Tok! Tok!Aku mengetuk pintu bercat putih itu. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki dari dalam. Pintu pun terbuka menampilkan wajah wanita yang sudah melahirkanku 28 tahun yang lalu."Eh, kamu, Mar. Tumben malam-malam kemari?" Sapa Ibu begitu melihat kehadiranku.Aku langsung masuk ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan dulu. "Ibu masak apa?" Tanyaku langsung menuju meja makan diikuti Ibu. Aku memang tak pernah sungkan jika bertandang ke rumah Ibu. Karena rumah Ibu adalah rumah kedua bagiku."Masak ayam rica-rica kesukaan kamu tuh. Kenapa? Kamu belum makan emangnya?" Selidik Ibu sembari duduk di kursi makan mendampingiku.Aku menggeleng lalu mengambil piring dan menyendok nasi dengan semangat."Istri kamu gak masak? Dasar pemalas! Sejak beranak sepertinya makin malas saja istri kamu itu," sungut Ibu.Aku hanya terdiam tanpa membantah perkataan
Baca selengkapnya
3. Kedatangan Ibu Mertua
POV AdistaAku menatap kepergian Mas Damar dengan hati yang terluka. Sedari tadi aku sudah berusaha menahan diri untuk mengabaikan sikap Mas Damar yang acuh tak acuh itu. Bahkan aku berusaha sabar saat tahu ia membelikan gamis mewah untuk Ibunya. Tapi melihatnya menolak masakan yang sudah kumasak dengan susah payah sembari menjaga Rafis yang sedang aktif-aktifnya, membuat hatiku benar-benar terluka.Aku tahu jelas kemana Mas Damar akan pergi. Sudah pasti ia akan ke rumah Ibunya dan meminta makan di sana. Aku memilih masuk kamar. Tak ada selera lagi untuk melanjutkan makan malam. Kurebahkan tubuh sambil menyusui Rafis yang mulai terlihat mengantuk. Air mataku menetes saat melihat wajah polosnya. "Kasihan kamu, Nak. Dulu kamu dinanti-nanti kehadirannya oleh Papa dan Nenek, tapi di saat kamu sudah hadir, mereka malah menyia-nyiakanmu," ucapku sembari membelai pipi Rafis, membuat ia mulai memejamkan mata.Lima belas menit menyusui Rafis, akhirnya ia pun tertidur. Perlahan aku bangkit. S
Baca selengkapnya
4. Kembalinya Sang Mantan
POV DamarAku berjalan dengan semangat memasuki gedung kantor tempatku bekerja, sambil menyapa beberapa teman dan staff lainnya dengan ramah. Rasanya saat-saat bekerja begini adalah saat yang paling menyenangkan, karena bisa sekalian merefresh mata melihat wanita-wanita cantik nan bahenol. Ah, berbeda jauh dengan pemandangan yang ada di rumah.Tak berapa lama, Hardi--sobat kentalku menghampiri dengan raut sumringah."Eh, Bro ... Udah dengar kabar belum?" Tanyanya begitu berada di sampingku."Kabar? Kabar apa, Di?""Barusan Pak Jaya ngasih pengumuman mendadak," ujarnya antusias."Pengumuman apa?" "Nanti akan diadakan rapat mendadak. Ada desas-desus katanya soal kenaikan jabatan."Mendengar penjelasan Hardi aku langsung semangat. Jelas, setiap orang di kantor ini pasti berharap dapat jabatan yang lebih baik. Apalagi aku. Selama ini aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini sebagai supervisor. Jadi wajar saja kalau aku pun ikut berharap bisa naik jabatan juga.Aku m
Baca selengkapnya
5. Awal Perubahan Damar
POV AdistaAku menatap lekat jam dinding yang sedari tadi terus berputar jarumnya. Sedikit gelisah menanti kepulangan Mas Damar. Biasanya jam segini Mas Damar sudah sampai rumah. Aku juga sudah memasakkan makanan kesukaan Mas Damar sesuai permintaannya. Mumpung Mas Damar sudah memberi uang tambahan.Namun hingga waktu beranjak malam, Mas Damar tak jua kembali. Pesan yang kukirim sejak sore pun tak dibacanya sama sekali. Kemana sebenarnya Mas Damar? Apa ia sedang lembur?Lamunanku yang sedang berkelana memikirkan Mas Damar langsung buyar saat mendengar notifikasi pesan masuk di ponsel. Buru-buru aku meraih ponsel, berharap Mas Damar lah yang menghubungiku.Aku kembali lesu saat melihat ternyata bukan Mas Damar yang mengirim pesan tersebut.Kubuka pesan dari Wina, sahabatku itu. Begitu melihat apa yang dikirim Wina, hatiku langsung terlonjak kaget. Ternyata Wina mengirim sebuah foto yang diambilnya dari sebuah restoran ternama.[Ta, ini suamimu dan mertuamu ada di sini. Kamu kok gak iku
Baca selengkapnya
6. Ulang Tahun Ibu
"Asal kamu tahu ya, Ita ... Aku benar-benar bosan dengan dirimu yang sekarang. Tampilanmu yang sekarang selalu bikin mataku sakit!"Ucapan Mas Damar bak sembilu yang menusuk ke ulu hati. Aku menatap mata Mas Damar lekat, tak menyangka jika sikapnya selama ini berubah hanya karena tampilanku."Maksud kamu apa, Mas? Tampilanku yang mana yang membuat matamu sakit?" Tanyaku lemah karena syok."Kamu selama ini gak ngaca ya, Ta? Lihatlah dirimu! Hari ke hari tampilanmu itu makin kucel dan tak menarik tahu!" Balas Mas Damar benar-benar membuat hatiku semakin sakit."Mas ... Tega kamu berkata begitu ya? Padahal kamu tahu, gimana sibuknya aku mengurus rumah dan anak kita. Bahkan untuk sekedar mandi saja aku harus menunggu kamu pulang, Mas. Aku begini juga demi kalian, Mas!" Mataku mulai terasa berembun saat mengucap kata-kata itu. Padahal aku selalu berusaha ikhlas untuk melakukan semua kewajibanku, tapi kali ini terpaksa kuungkit agar mata Mas Damar terbuka walau sedikit."Selalu itu saja al
Baca selengkapnya
7. Bibit Pelakor
"Maaf, Bu ... Aku benar-benar gak tahu kalau Ibu buat acara. Kalau tahu juga aku bakal datang ke sini sejak subuh." Aku terus membela diri. Terlihat Ibu hanya berdecih."Ada apa ini?" Tanya Mas Damar yang tiba-tiba sudah berada di belakangku."Mas, kamu kok gak bilang ke aku kalau Ibu hari ini mau bikin acara?"Mas Damar langsung berdecak kesal."Gimana aku mau bilang ke kamu? Pas aku pulang kamu udah tidur," sindir Mas Damar membuatku makin kesal. Hanya perkara tak disambut pulang kerja, Mas Damar jadi terus mengungkit-ungkit. "Apa, Mar? Ita tidur saat kamu pulang? Jadi kamu tak disambut dia dong?""Boro-boro, Bu."Mendengar sahutan Mas Damar, hatiku langsung panas."Untuk apa aku menyambut kamu, Mas? Untuk menyenangkan hati kamu gitu? Sedangkan kamu saja bersenang-senang di luar tanpa aku!" Balasku tak mau kalah.Mas Damar langsung membelalakkan mata seperti terkejut mendengar perkataanku.
Baca selengkapnya
8. Ucapan Menyakitkan Ibu
"Maass!"Aku terkejut mendengar panggilan keras Dista. Bahkan ponsel yang sedang kugunakan untuk bermain game online pun hampir terjatuh sangking terkejutnya."Kenapa teriak-teriak, sih?" Ketusku menatap Dista tak suka. Apalagi setelah melihat kembali ke ponsel, ternyata game yang kumainkan jadi kalah, akibat fokusku beralih ke Dista."Kamu gimana sih, Rafis nangis dibiarkan saja," sentak Dista dengan nada tinggi. Membuat perhatian para tamu Ibu beralih pada kami."Aku gak dengar.""Astaga, Mas. Aku yang lagi di dapur aja dengar jelas. Kamu yang posisinya dekat kenapa malah gak dengar?" Protes Dista dengan wajah yang benar-benar terlihat kesal.Ingin saja kujawab ucapannya, tapi kalau aku bilang, aku tak dengar karena sibuk bermain ponsel, sudah pasti Dista akan mengamuk lebih parah."Lihat ini! Baru beberapa hari yang lalu, Rafis jatuh karena kamu gak jaga dengan benar. Sekarang malah benjol kepalanya karena jatuh lagi,
Baca selengkapnya
9. Kepergian Dista
"Mas, apa kita tak bisa dekat seperti dulu lagi?" Aku refleks mengerem motor mendadak mendengar perkataan Rasti barusan."Maksudmu apa berkata begitu, Ras?" Aku bertanya dengan nada tinggi sembari menoleh ke arah Rasti.Rasti sedikit gugup menerima tatapan tajam dariku."Tolong jangan melewati batas! Aku mengantarkanmu pulang semata-mata karena Ibu. Jadi, tolong jangan berucap omong kosong seperti itu!" Tukasku lalu kembali melajukan motor.Dapat kulihat dari spion motor, Rasti hanya menunduk sedih mendengar ucapanku. Namun, sama sekali tak ada rasa iba di hati ini untuknya.Sebenarnya Rasti cantik, lebih cantik dari Dista saat ini. Namun bila mengingat luka yang pernah ia torehkan, sedikit pun aku tak terpesona dengan kecantikannya.Kami melanjutkan perjalanan hanya dengan saling diam. Syukurlah Rasti tak mengoceh yang tidak-tidak lagi. Mungkin ia takut setelah tadi kubentak.Tak berapa lama, motor yang kulajukan pun sampai di depan rumah Rasti
Baca selengkapnya
10. Saat Tak Ada Baru Terasa
Part 10Sudah berhari-hari Dista tak pulang ke rumah. Akhirnya aku tahu bahwa ia berada di rumah orang tuanya, sewaktu mencoba menghubungi adiknya. Awal mengetahui itu jelas aku geram, karena ia pergi tanpa izinku. Aku sama sekali tak ada niat untuk menjemputnya. Toh, dia pergi sendiri? Untuk apa aku yang menjemput.Tapi setelah lama sendiri begini, aku malah merasakan kesepian tanpa kehadiran dirinya."Woi! Seharian bengong mulu Lu!" Aku terjengit kaget saat Hardi menepuk punggungku."Si*alan Lu, Di. Bikin Gue terkejut aja," sungutku lalu kembali fokus melanjutkan makan siang yang sedari tadi kunikmati tanpa minat."Elaaah ... Pak Manager gitu doang terkejut." Hardi terkekeh lalu ikut duduk di hadapanku."Kenapa muka Lu kusut begitu? Ada masalah? Atau jabatan baru tak menyenangkan?" Selidik Hardi seraya menelisik raut wajahku."Lagi kesel aku, Di.""Sama siapa?" Tanya Hardi sembari menyuap makanannya.
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status