Adista benar-benar tak menyangka. Pengorbanannya demi mendapatkan anak malah dibalas menyakitkan oleh suami dan mertuanya. Padahal merekalah yang menginginkannya agar segera hamil. Sikap Damar--suami Dista juga mulai berubah, saat melihat Dista tak lagi cantik dan menarik, karena tak punya cukup waktu untuk merawat diri lagi. Penderitaan Dista bertambah saat mengetahui Damar diam-diam punya wanita lain di belakangnya. Dapatkah Dista mempertahankan rumah tangganya yang baru seumur jagung itu?
Lihat lebih banyakPOV Damar
"Mbak, kalau yang itu harga berapaan ya?" Tanyaku sembari menunjuk satu set gamis syar'i yang terpajang di sebuah manekin."Oh, kalau yang itu 550 ribu saja, Mas," jawab karyawan butik tersebut dengan ramah.Tanpa banyak berpikir aku langsung meminta karyawan tersebut membungkus satu set gamis tadi. Dengan hati riang, aku pun membawa baju tersebut pulang, berharap sang penerima akan bahagia saat kuberi hadiah gamis tersebut.Kupacu kuda besiku menuju rumah dengan enggan. Dulu rumah adalah tempat yang paling kurindukan saat bekerja, tapi sekarang malah kebalikannya. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung memarkirkan motor. Lalu masih dengan berat hati, aku menuju ke teras rumah."Assalamualaikum ...." Aku mengucap salam sembari meneliti setiap sudut teras. Bersih dan kinclong, lumayan lah."Wa'alaykumus salam." Pintu pun terbuka menampilkan raut wajah Adista, wanita yang sudah kunikahi selama dua tahun ini.Kutelisik penampilannya dari atas ke bawah. Masih dengan tampilan yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Wajah kusam dengan rambut digulung asal, juga daster yang itu-itu saja. Inilah yang membuat aku enggan dan muak untuk pulang ke rumah.Jika dulu aku menikahinya karena ia adalah sosok gadis yang cantik juga energik, tapi sekarang setelah menikah malah aku jadi serasa tertipu dengan perubahannya yang seratus delapan puluh derajat itu. Apalagi setelah ia melahirkan anak pertama kami."Belum mandi kamu?" Tanyaku dengan raut wajah datar."Belum, Mas. Rafis paling susah ditinggal ke kamar mandi. Makanya aku nunggu kamu pulang baru bisa mandi."Aku hanya bisa memutar bola mata mendengar alasannya. Selalu ia membuat alasan karena anak. Memang serepot apa sih mengurus anak? Sampai mandi saja pun tak sempat.Dengan hati sedikit sebal, aku masuk ke rumah dan menghenyakkan tubuh di atas sofa. Tak lupa kuletakkan paper bag berisi set gamis tadi disampingku.Adista yang melihat aku membawa bingkisan langsung mendekatiku dengan sumringah."Apa ini, Mas?" Tanyanya sambil mengecek isi dalam paper bag tersebut."Itu hadiah buat Ibu. Lusa Ibu ulang tahun," sahutku seraya meraih remote televisi dan menghidupkannya.Terlihat raut girang dari wajah Adista langsung memudar begitu mendengar jawabanku. Entah apa alasannya. Masa iya dia iri karena aku membelikan hadiah untuk ibuku? Harusnya ia bersyukur punya suami yang perhatian pada orang tua.Lagi pula untuk apa juga dia iri? Toh selama ini aku lebih banyak memberi jatah uang padanya ketimbang pada Ibu. Kalau hanya soal baju-baju begini, harusnya ia bisa membeli sendiri dengan uang yang sudah kuberikan."Malah bengong. Gak ada cemilan dan minuman nih?" Tanyaku pada Adista yang masih mematung di sebelahku.Lalu tanpa berkata apa-apa, ia pergi ke dapur untuk membuatkan apa yang kuminta.Tak perlu menunggu lama, secangkir kopi dan sepiring pisang goreng pun terhidang. Ya walaupun sekarang Adista tak cantik-cantik amat, setidaknya masih ada lah nilai plusnya sedikit."Mas, aku mau mandi. Titip Rafis sebentar ya?" Pinta Dista saat aku baru akan menyomot pisang goreng.Aku hanya menjawab dengan deheman tanpa memandangnya sama sekali.Usai Dista berlalu, aku kembali larut menatap layar televisi yang sedang menayangkan pertandingan piala dunia sembari mulut tetap sibuk mengunyah pisang goreng.Sangking asyiknya aku menonton sampai-sampai tak sadar jika Rafis sudah bergerak dan mencoba berdiri dengan memegang pinggiran meja. Anakku itu memang sedang aktif-aktifnya berdiri dan berjalan merambat.Praaang!Aku terkejut saat melihat kopi juga pisang gorengku sudah berhamburan di lantai. Ternyata Rafis yang sedang mencoba berdiri itu, menarik kain alas meja hingga semua yang ada di atasnya pun terjatuh.Rafis mulai menangis, mungkin karena terkejut juga. Gegas kuangkat Rafis untuk menjauh dari pecahan piring dan gelas tadi. Setelah posisi Rafis dirasa aman, cepat-cepat kubersihkan bekas kekacauan yang baru saja terjadi.Walau sedikit menggerutu dalam hati. Tapi tetap kubersihkan juga semuanya, takut serpihan kaca mengenai Rafis dan malah menimbulkan masalah baru.Dari kamar mandi terdengar Dista sedikit heboh mendengar keributan kami. Sambil mandi ia terus bertanya apa yang terjadi, namun tetap tak kuhiraukan pertanyaannya.Hanya dalam hitungan detik saja, Dista sudah keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih dibalut handuk. Aku benar-benar geleng-geleng kepala melihatnya, mandi apa dia? Masa mandi secepat kilat begitu."Kenapa ini, Mas?" Tanya Dista masih dengan nada panik sembari meraih Rafis yang masih terisak ke pelukannya."Anak kamu lah bikin ulah. Merusak ketenangan saja!" Ketusku masih tetap sibuk membersihkan tumpahan kopi."Astaghfirullah ... Rafis itu anak kecil, Mas. Tau apa dia? Harusnya kamu yang jaga dengan benar," sengit Dista makin membuatku jengkel.Harusnya aku yang marah di sini, bukan dia. Aku yang capek baru pulang kerja, eh, malah disuruh jaga anak.Dengan masih mengomel tak jelas Dista membawa anak kami itu ke kamar.'Hah! Lama-lama aku benar-benar malas pulang ke rumah ini!' Batinku benar-benar kesal.Untuk mengobati mood nonton bolaku yang sudah hancur, aku memilih pergi mandi saja, sekalian mendinginkan kepala yang panas akibat Dista.Gegas aku masuk kamar untuk mengambil baju ganti, namun aku kembali dibuat geleng-geleng kepala melihat Dista yang sudah rebahan sambil menyusui Rafis, dengan tampilan yang masih sama seperti sebelumnya. Walau daster sudah berubah, tapi tetap saja penampilannya sama seperti sebelum mandi. Rambut acak-acakan dan muka kusam tanpa polesan apapun.***Sampai malam sepertinya Dista masih marah denganku yang lalai menjaga Rafis. Tapi aku tak terlalu ambil peduli. Bahkan tak ada niat untuk membujuknya sama sekali."Mas, makan malam sudah siap," ujar Dista dengan nada dingin. Aku yang sedang bermain ponsel langsung tersenyum dalam hati. Walau marah, ia tetap menunaikan kewajibannya sebagai istri ternyata.Dengan semangat aku langsung menuju meja makan, di mana Dista yang sedang menggendong Rafis itu menunggu. Namun begitu mataku tertuju pada hidangan yang tersaji, aku langsung menatap Dista kembali dengan raut tak suka."Apa ini?" Sentakku, membuat Dista sedikit terkejut."Apanya yang apa, Mas?" Tanya Dista bingung."Lauknya kenapa cuma ini?" Tanyaku lagi-lagi tak terima. Masa aku sudah capek-capek kerja hanya disuguhi tumis kangkung dan orek tempe.Dista langsung menghela napas kasar, lalu memilih duduk di kursi makan."Uang belanja sudah menipis, Mas. Jadi aku harus hemat-hemat. Apalagi gajian masih lama kan," terang Dista dengan nada sendu."Sudah menipis? Aku ngasih kamu banyak lho, lebih banyak dari aku ngasih ke Ibu. Masa udah mau abis aja. Kamu bisa atur keuangan gak sih, Ta?" Ucapku berapi-api.Kesal rasanya, padahal aku selama ini memberi Dista uang dua juta sebulan, jumlah yang lumayan banyak. Tapi ini belum sampai akhir bulan, ia sudah mengeluh uang hampir habis. Benar-benar aku tak habis pikir dengan istriku ini.Aku pun memilih pergi meninggalkan Dista. Tak ada selera sama sekali untuk mencicipi masakannya itu. Kuraih jaket dan kunci motor lalu memilih pergi menuju tempat ternyamanku sejak dulu, rumah Ibu.Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen