Seperti bumerang, aku serba salah menghadapi Ayu. Istriku sekarang malah lebih tegas dan membalikkan semua perkataanku. Bahkan, kali ini saja aku dibuat bungkam olehnya.
"Maaf kalau Mas salah. Mas hanya---""Berbakti pada orang tua? Membuat ibu senang karena ibu yang merawat dan membuat Mas hebat seperti ini, kan? Damar Prakoso, IT ternama dan terpecaya di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Benar bukan?" Hal yang aku takutkan begitu nyata. Senyumnya membuat diri ini merasa bersalah. Apa istriku tidak waras? Kenapa dia seperti itu? Senyumnya pun terpaksa gitu. Bersyukur deh, dia tahu apa yang aku pikirkan."Sudah, bersihkan wajahmu. Mas risih melihatnya." Ayu berlalu begitu saja. Ia ke kamar mandi membersihkan wajah seperti apa yang aku perintahkan. Saat ke luar kamar mandi, auranya semakin cantik. Membuat hasrat lelakiku bergairah, sepertinya aku akan bersenang-senang malam ini."Sayang, kamu cantik banget, sih. Sini duduk di sini," pihtaku."Nggak usah memuji, aku sedang datang bulan. Tuh, aku habis ganti pembalut." Dengan tawa Ayu memperlihatkan bungkus pembalutnya. Astaga, aku gigit jari malam ini. Aku merebahkan diri di kasur dan menutup tubuh dengan selimut. Wajahku masih terasa panas, saat Ayu mentertawakan kekonyolanku.***Kenapa bangun tidur moodku, masih kurang bagus? Ah, sial! Gara-gara tamu datang bulan, aku jadi gagal semalam."Mas, ada Ibu." Terdengar Ayu memanggilku."Iya, tunggu. Mas cuci muka dulu," jawabku. Tumben Ibuku datang pagi-pagi sekali. Ada apa, ya?Setelah mencuci muka aku menghampiri Ibu yang sedang bermain dengan Bagas dan Anita. Kedua anakku sangat akrab dengan Ibu.Usia Bagas tujuh tahun dan Anita lima tahun. Jarak yang sangat dekat, itu pun kemauanku agar tidak terlalu jauh saat mereka dewasa."Bu," ucapku sambil mencium punggung tangannya."Kamu baru bangun?""Iya, tadi habis shubuh tidur lagi. Ada apa, Bu?" "Besok ada acara nikahan sepupumu Aldo. Kita semua diundang, bisa Ndak antar Ibu? Ajak anak dan istrimu juga. Sekalian temu keluarga." "Ouh, bisa, Bu. Besok Damar jemput ke rumah, ya."Kulihat istriku sibuk di dapur. Kenapa tidak menemani ibuku sih? Malah sibuk di dapur. "Ibu sudah minum?" "Belum, istrimu sibuk sendiri. Mana dia ingat memberi ibu minum," ujar Ibuku.Kesal aku mendengarnya. Tak lama Ayu datang membawakan minuman untuk Ibu."Kamu kok baru datang ngasih ibu minum?" Aku sengaja menegur Ayu di depan ibu. Agar ibu tidak merasa terabaikan."Ya, iya baru. Abis ibu minta buatkan jahe hangat, ya, kan lama buatnya. Digodok dulu, apalagi aku bersihkan dulu jahenya. Yang bubuk habis, jadi aku buatkan alami." Ayu menjawab cepat.Lagi, ia menaruh gelas dengan senyum. Namun, senyum itu kembali membuat aku takut. "Diminum, Bu. Nanti dingin nggak enak, malah nanti aku nggak enak kalau dikira nggak bikinin ibu minum."Wajah ibu memerah saat mendengar ucapan Ayu. "Eh, iya. Ibu lupa tadi." Ibu malah gerogi saat mendengar penuturan Ayu.Aku segera menghampiri Ayu di dapur. Tangannya cepat sekali memotong bumbu dan menyiangi sayuran. "Kamu jangan seperti itu sama ibu," protesku."Aku hanya membela diri," jawabnya tanpa menoleh padaku."Kalau Ibu lupa, ya sudah. Jangan dibahas."Lagi, aku memperingatkannya."Kalau aku diam, kamu bilang aku kaya patung lagi. Aku jawab salah, aku harus bagaimana? Diam gitu saat aku dijelekkan dan malah kamu lebih percaya ibu?"Duh, aku salah lagi, nih. Kenapa sih Ayu semakin pintar membalikkan ucapanku? Tidak mau banyak berdebat, aku memilih menghindar saja.Aku kembali menemui Ibu yang sedang menikmati jahe hangat buatan Ayu. "Istrimu itu, kenapa, sih, nggak bisa mulutnya nggak nyakitin ibu?" "Lagi datang bulan, Bu. Jadi sensitif." Kali ini aku membela Ayu di depan Ibu."Halah, begitu saja dijadiin alasan. Kalau nggak suka sama ibu, bilang. Jangan sedikit-sedikit menjawab omongan ibu. Ndak sopan, tahu."Aku merasa bersalah kalau melihat ibu sedih. Tidak pernah aku melihat dia seperti itu."Mar, istrimu kamu belikan skincare apa? Ibu mau juga, dong. Kayanya, udah banyak flek di wajah ibu, deh.""Hah, skincare?""Iya, itu ibu-ibu satu komplek bilang kalau kamu, tuh royal sama istrimu.""Pakai saja uang yang aku kasih untuk ibu. Kan, belum habis uang sebanyak itu. Lagi pula aku nggak pernah membelikan skincare buat Ayu. Ibu tahu sendiri beberapa persen gaji aku kasih ibu dan sesuai saran ibu, aku hanya memberikan Ayu 1.500.000 untuk sebulan. Lagi pula, Ayu nggak pernah minta uang lebih. Kayanya dia make alami deh.""Moso?""Iya."Aku menegaskan lagi. Kenapa lagi-lagi kecantikan istriku yang menjadi bahan perbincangan?"Kayanya nggak mungkin alami, deh. Jangan-jangan ada yang istrimu tutupi. Apa dia main serong dan dapat uang dari pria lain?"Ucapan ibu sama saja seperti Arman. Hati ini seperti teriris pisau saat mendengar dan membayangkan. Hanya demi skincare, istriku berselingkuh? Ah, sial! Mana mungkin, tapi ---***Untung saja ibu mau aku pesankan gojek. Aku masih ada urusan dengan Ayu. Tentang perselingkuhannya, ya, kemungkinan perselingkuhan Ayu dengan pria lain.Tanggaku mengepal keras, amarah di dada ini masih membuncah. Kuhampiri Ayu yang habis merapihkan anak-anak.Bagas dan Anita disetelkan TV oleh Ayu. Langsung saja aku menarik kasar lengan istriku menjauh dari anak-anak."Apa, sih, Mas!" Ayu berani menyentakku."Aku mau bicara!" Aku tak kalah tegas darinya."Mau bicara dengan menarik lenganku dengan kasar?" Bibir Ayu terangkat satu ke atas. Ia menatapku dengan berani. "Ya, oke. Maaf."Aku menarik napas panjang dan mencoba menahan emosi. Aku seperti orang yang tidak sabar kali ini. Jujur saja aku sangat mencintai istriku, bahkan sampai aku tidak mengizinkannya bekerja karena salah satu alasannya adalah, aku tidak mau pria lain memandangnya."Jadi bicara, nggak? Malah diam, Aku banyak kerjaan."Ingin sekali aku menampar wajahnya, tetapi aku tak akan pernah kasar padanya."Selama ini, uang yang aku kasih untuk kebutuhan sehari-hari, kamu pergunakan dengan baik, kan?" Rahangku terasa tercekat saat mengatakan hal itu. Lidah terasa kelu saat akan menuduhnya berselingkuh. "Ouh, itu, tuh, lihat saja kedua anak kamu sehat, buka? Rumah rapi dan bersihkan? Apa ada masalah denga nafkah 10 persen itu?" tanya Ayu tanpa bersalah."Aku, cuma mau memastikan saja.""Hanya memastikan apa, nih? Aku pikir mau menambahkan beberapa persen, oh, iya aku lupa kalau kamu habis mentransfer uang pada adikmu. Jadi, mana ada sisa untuk aku dan kedua anakmu.""Maksud kamu apa bicara seperti itu?" Aku naik pitam mendengar ucapannya. Kenapa dia selalu tidak suka jika aku memberikan uang untuk keluargaku. Harusnya, ia berterimakasih pada ibu. Karena doa ibu aku semakin sukses. "Bukan apa-apa, sekedar warning diri saja kalau aku harus sadar diri jika akan berada di nomer kesekian dibawah keluarga kamu."Kalau saja Bagas tidak datang, tangan ini sudah menamparnya."Ma, belikan aku mainan yang seperti Alan, ya. Kemarin aku nggak boleh pinjam," rengek anakku."Iya, nanti kita beli. Sekarang Bagas main sama adik dulu, ya." Ayu merangkul Bagas dan melangkah meninggalkan aku.Ia malah sibuk menenangkan Bagas. Tumben sekali, biasanya dia bilang minta saja sama Papa. Atau, langsung meminta uang.***Hari libur seperti ini lebih enak dinikmati sambil bermain game. Mereka semua kemana? Kenapa rumah sangat sepi? Kucari Ayu di dapur tidak ada, di kamar anak-anak pun tidak terdengar suara. Saat kubuka, kosong dan mereka tidak ada. Kemana mereka?Aku berdiri di halaman rumah. Ternyata anak-anak pergi bersama Ayu menggunakan sepeda motor. Bagas dan Anita masing-masing menenteng satu buah plastik."Papa." Mereka turun dari motor dan berhamburan menghampiriku. Aku memperhatikan apa yang mereka bawa. Sementara, Ayu sibuk merapikan motor di teras. Kaca mata hitam dan masker selalu tidak pernah ketinggalan saat ia berkendara."Kalian dari mana?" tanyaku."Toko mainan. Mama membelikan buat aku, bagus, kan, Pa?" Bagas memperlihatkan mainan mobil remot yang kutaksir dengan harga 200.000.Kemudian, Anita memperlihatkan boneka dengan dorongan bayinya."Anita juga dibelikan ini, lucu, kan, Pa?" "Iya, Sayang." Kini, yang ada di kepalaku adalah jumlah harga mainan anak-anak. Kalau di total bisa 300.000 an. Kalau misalkan aku memberikan Ayu 1.500.000, berarti sisa 1.200.000 untuk belanja."Ngapain di luar, Mas?" tanya Ayu yang sudah berada di sampingku."Kamu uang dari mana bisa belikan mainan anak-anak? Mahal pula harganya.""Uangku, masa uangmu." Ayu menjawab santai. Lalu, ia malah masuk ke dalam mengikuti anak-anak.Aku mengejarnya, masih penasaran dengan semua teka teki selama ini."Iya aku tahu. Tapi itu juga, kan uang dariku. Kenapa kamu malah boros membelikan anak-anak mainan. Jangan minta kalau uang belanja habis," ancamku.Sorot mata Ayu begitu tajam menantapku."Katamu boros, tapi menurutku tidak. Kamu kerja buat siapa memang? Hahaha ... aku lupa kalau suamiku bekerja untuk keluarganya bukan istri dan anaknya! Benar, kan, Mas?"Tangan ini sudah berada di atas, tetapi aku berhenti karena Anita berlari memeluk Ayu. Aku lupa anak gadisku takut dengan suara keras. "Cup, Anita Sayang," ujar Ayu sambil menggendong Anita.Aku belum selesai bicara, dia sudah pergi begitu saja. Kenapa ucapan Ayu malah membuat aku terus berpikir. Enak saja dia bilang aku bekerja hanya untuk keluargaku, benar, kan, dia sensitif jika berhubungan dengan keluargaku.Aku duduk sambil memperhatikan Ayu dan anak-anak. Pasti setelah ini, dia akan meminta uang tambahan untuk masak. Lihat saja, tidak akan kuberikan. "Ma, kamu, kan bisa minta aku belikan mainan anak-anak," ujarku mencoba mengajak bicara Ayu lagi."Aku masih bisa kok bikin anak-anak senang. Kalau kamu yang ke toko mainan, pasti semua mainan dengan harga murah dan besok rusak." Lagi, ia menyunggingkan senyum."Aku heran sama kamu, jangan sampai kamu minta tambahan uang," ketuaku."Tenang saja.""Tenang? Aku curiga, kamu dapat uang dari mana bisa membelikan anak-anak mainan, apa benar kata mereka kalau kamu berselingkuh?" Wajah Ayu memerah mendengar pertanyaan dariku.***Bersambung"Kata siapa?" Ayu yang lembut dan tenang kini berteriak seolah-olah aku bukan suaminya.Aku menahan sesak, gemuruh di dada begitu memuncak. Emosi pun kian membuat aku semakin panas berdebad dengan Ayu. Bisa-bisanya dia berteriak di hadapan suaminya."Kata Siapa aku berselingkuh, Mas?" Lagi, ia mempertanyakan padaku. Wajahnya semakin memerah menahan marah.Tidak mungkin aku mengatakan jika ibu dan Arman mengira-ngira saja karena mendengar ceritaku. Ini belum pasti, tetapi aku tak dapat mengontrol emosi."Bukan kata siapa-siapa, mana mungkin kamu bisa membeli beberapa barang. Apalagi lagi kamu sempathangoutbersama teman-teman kamu. Sedangkan--""Sedangkan kamu hanya memberikan sisa uang gaji setelah kamu berikan pada ibumu dan untuk kau pegang, kan?"Posisi ini membuat aku serba salah. Tak bertanya, tapi penasaran. Saat bertanya, malah menjadi bumerang untukku. Kenapa lagi-lagi membahas uang gaji, s
Apalagi ini? Ayu tampil sangat cantik. Dengan gamis maron senada dengan hijabnya yang baru aku lihat dan wajahglowing. Ini benar-benar istriku? Cantik sekali ia hari ini. Dada serasa cenat cenut melihatnya seperti itu. Astaga, kapan ia meminta uang untuk membeli gamis?"Mas, sudah jam 09.00. Jadi berangkat, nggak?" tanya Ayu."Eh, iya. Mas ambil kunci dulu." Aku melangkah masuk dengan kikuk, sampai aku tersandung meja. Apa ini namanya jatuh cinta sama istri sendiri. Untung saja masih istri sahku. Duh, kenapa jadi seperti ini, sih. Bisa-bisanya Ayu cantik seperti itu. Jadi pangling aku.Isi kepala penuh dengan bayangan wajah Ayu. Sampai lupa menaruh kunci mobil di mana. Astaga, Darma, gila kali ini, masa sampai lupa menaruh kunci mobil. Aku menepuk kening sendiri.Suara Ayu sudah terdengar tak sabar di luar. Juga suara anak-anak yang sudah kepanasan.Untung saja ketemu kuncinya. Gegas aku menghampiri mereka d
Kurampas cepat kartu nama yang bertuliskan CV Buana. Benar, ini atas nama Ayu Ningtias. Nama yang kusebut dalam ijab kabul sembilan tahun lalu, hanya saja tidak ada bintinya."Maen ambil aja, sih," keluh Arman dan mengambil kartu nama itu.Aku diam membisu. Selama ini Ayu menyembunyikan sesuatu dariku. Dia bekerja tanpa izin suaminya. Mana bisa seperti itu! Sudah jelas aku melarangnya bekerja, kenapa malah dia diam-diam dariku? Pantas saja dia seperti tak membutuhkan aku.Aku mendekati Arman yang memulai menelepon Ayu. Beberapa menit ia berbicara, tapi aku masih diam dan tak mengatakan jika itu benar istriku."Oke, Bu Ayu. Kami tunggu datanganya. Kalau bisa datang ke kantor dan bertemu langsung dengan HRD atau CEO kita, bagaimana?" Arman bertanya pada Ayu. Namun, aku tidak tahu apa jawabannya."Oke, pukul 15.00. siap, nanti saya kirim alamat kantor kami." Lagi, Arman mengakhiri pembicaraan.Jadi, hari ini
POV AyuAku menarik napas panjang, untuk menghadapi suami macam Mas Damar. Harus banyakistighfardan sabar. Merki bin kodot (pelit) dari dulu kenapa tidak hilang juga dari raganya. Bahkan semakin parah.Wajahnya memerah saat mendengar penuturanku. Panik bukan? Kamu pikir aku main-main dengan ancamanku? Lihat, apa yang akan kamu lakukan."Maksud kamu apa bicara hal itu? Aku nggak suka dengan apa yang kamu katakan." Mas Damar membela diri lagi. Sejak tadi dia mencoba berargumentasi denganku, tetapi dia tetap kalah telak."Masa kamu nggak ngerti. Apa harus aku perjelas. Ceraikan saja aku, Mas. Kembalikan pada keluargaku. Aku capek, punya suami kaya nggak ada. Kerja pontang panting, lelah, aku yang merasakan."Semua unek-unek itu akhirnya keluar juga. Dada ini terasa sesak saat ia menghabiskan banyak uang untuk keperluan keluarganya. Apalagi saat Asih mulai kuliah satu tahun lalu dan itula
Obatnya benar-benar paten, sampai aku baru saja terbangun dari tidur. Tubuh ini masih lemas dan terasa lapar. Memindahi sekeliling, rasanya sepi. Tidak terdengar suara anak-anak, apalagi Ayu."Ma," panggilku.Tidak ada jawaban. Perlahan aku bangkit dan mencari mereka. Namun, aku sama sekali tidak menemukannya. Kemana mereka? Apa iya, Ayu tega meninggalkan aku saat sedang sekit seperti ini?Gegas aku mengambil ponsel untuk menghubunginya. Namun, sebelum itu, ponselku masih terbuka pesan dari ibu. Aku ingat sebelum tidur, aku mengirim pesan padanya.Ibu sudah membalas pesan dariku, tapi aku sama sekali tidak merasa membukanya. Apa jangan-jangan Ayu yang membacanya?Kepala ini semakin sakit, jangan-jangan Ayu pergi karena membaca pesan dari ibu. Kutepuk kening ini, rasanya hancur sekali mengingat pesan Ibu pastilah Ayu sangat sakit hati.Gegas aku menelepon Ayu. Sial! Sama sekali tidak diangkat. Bagaimana&nbs
"Jelaskan sama Mas, apa benar yang dikatakan Mba Laras? Jawab Asih!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya.Emosi ini tak terbendung kala mengingat perkataan Ayu."Dia tidak ada niat belajar. Percuma buang-buang uang saja. Kamu pikir kuliah tidak mahal?"Aku mengusap wajah kasar. Demi keinginan ibu, Asih harus kuliah dan aku yang membiayainya. Namun, aku harus kecewa karena ia membohongiku."Jawab, Mas!""Sudah, kasihan adikmu," ujar Ibu.Tanganku mengepal keras, bisa-bisanya Asih berbohong padaku. Bagaimana bisa dia berbohong selama ini."Jaman sekarang, IPK banyak yang di palsukan. Coba kamu mampir aja ke daerah ujung, pasti deh banyak jasa edit yang pasti persis dengan hasil asli dari kampus." Kini Mba Laras kembali berujar."Mas nggak mau tahu, semester ini, kalau kamu masih saja jelek nilainya, lebih baik kamu selesaikan saja kuliahmu." Semoga saja ancamanku berhasil kali ini.
POV ibu Damar"Mas kamu kebangetan. Dia malah membela istrinya dari pada ibu." Aku mulai kesal karena Damar sekarang malah memilih Ayu dari apa aku.Aku pun kesal dengan Laras. Sejak dulu dia selalu bertentangan denganku. Seperti sekarang, dia sepertinya lebih berpihak pada Ayu dari pada aku. Kasihan sekali Asih, jatah uang jajannya harus berkurang."Iya, aku juga kesal. Masa jatah jajanku berkurang. Bagaimana aku bisa kuliah, Bu? Mana Mba Laras bongkar semuanya. Sebenarnya dia anak ibu apa bukan, sih. Kok malah membela si Ayu itu." Asih pun sama kesalnya denganku.Laras anakku, tapi sikapnya berbeda memang. Ia diasuh ibuku dulu karena aku bekerja dan Laras tak mau kembali tinggal bersamaku. Setelah ibuku meninggal, barulah ia kembali tinggal bersamaku.Namun, ia sangat berbeda. Entah, apa yang ibuku ajarkan padanya. Tak pernah mau menuruti kemauanku. Bahkan, memberikan sebagian gajinya saja tidak ma
"Perkara wanita banyak di dunia itu masalah kesekian. Harusnya Ibu membantu mempertahankan pernikahanku dengan Ayu. Bukan malah mendukung perceraian kami. Apa Ibu nggak mengerti perasaanku?" Aku menahan emosi yang memuncak di dada.Bisa-bisanya Ibu berlaku seperti itu. Salah apa Ayu padanya, selama menikah istriku tak pernah berkata kasar padanya. Baru kali ini Ayu mengatakan hal yang benar-benar sudah ia pendam selama ini.Keluhan demi keluhan Ayu selalu aku abaikan. Aku tidak suka saat ia mengatakan Ibu begini dan begitu. Kupikir semua mengada-ada. Nyatanya, semua terjadi seperti itu."Untuk apa Ibu mendukung kamu. Istri kamu pembangkang, apa yang harus dibanggakan? Kecantikan luar tidak menjamin hatinya baik." Lanjut Ibu lagi.Kulirik Mba Laras yang mulai gusar. Ia memilih ke luar dari kamar Ibu. Kupikir dia malas mendengar perdebatan kami. Kalau seperti ini, Ayu akan menjadi benci padaku."Ini rumah tanggaku. Ibu nggak