Share

Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang
Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang
Author: Galuh Arum

Satu

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2021-08-20 15:05:59

"Loh, Ma, kamu dari mana?" tanyaku saat istriku pulang dengan beberapa tentengan di tangan.

 

"Ada kumpul-kumpul sama teman. Papa sudah pulang?" Istriku berbalik bertanya.

 

"Ya, Mama lihatnya bagaimana?" 

 

Istriku tersenyum, kemudian berlalu begitu saja tanpa memperdulikan aku yang baru saja pulang. Bukannya bertanya suaminya sudah makan apa belum, ini malah begitu saja melewati aku.

 

Dia punya uang dari mana? Padahal, uang yang kuberikan tidak banyak. Kenapa dia bisa setiap hari pulang malam dan membawa banyak barang? 

 

Aku teringat ibu tempo hari bilang kalau istriku kerap menitipkan anak-anak pada ibu. Sementara, ia tidak bilang mau ke mana. Hanya bilang akan kembali sore hari dan ibu pun sama curiga seperti aku.

 

Apa yang dilakukan istriku, apa dia main serong? Dengan dada yang bergemuruh, aku bergegas menghampiri istriku.

 

"Ma!" Aku berteriak lantang.

 

"Ada apa?" Ia menjawab datar. 

 

Aku menoleh beberapa kali ke arah barang belanjaannya. 

 

"Ada apa?" Ia kembali mengulang pertanyaannya.

 

"Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak ini? Aku saja belum memberikan uang gajiku."

 

"Apa aku harus bilang sama kamu semua pengeluaranku, sementara kamu hanya memberiku 10 persen gajimu dan sisanya kau berikan pada ibu sebagai baktimu pada orang tua?"

 

Tangan ini tak kuasa menampar istriku. Hebat sekali dia berbicara. Memang aku harus berbakti pada ibu karena dia aku menjadi sukses. Untuk apa dia membahasnya. Kalau tidak karena ibu, mana bisa aku sehebat ini.

 

"Aku lelah, biarkan aku istirahat." 

 

Ayu berlalu begitu saja tanpa melawan saat aku tampar. Ia membaringkan tubuh dan menutupnya dengan selimut.

 

***

 

Saat terbangun pagi, aku sudah tidak melihat Ayu di sampingku. Namun, harum masakan membuat aku tak pusing karena dirinya sedang berada di dapur. 

 

Sebaiknya aku bergegas mandi dan berangkat ke kantor. 

 

Selesai mandi, kulihat di meja makan sudah terhidang masakan. Anak-anak juga sudah siap dengan seragam mereka. Begitu juga dengan Ayu. Semakin hari istriku semakin cantik. 

 

Mungkin dia merawat diri dengan baha alami. Mana mampu dia membeli skin care. 

 

"Kamu pergi lagi nanti sore?" tanyaku.

 

"Aku nggak ke mana-mana. Tap sehabis menjemput anak-anak, aku mau ke rumah ibu."

 

"Ngapain?" 

 

"Ngapain? Memangnya hanya kamu yang boleh mengunjungi ibumu?"

 

Kenapa aku bicara satu kata dia bisa lebih dari satu kata. Aku hanya ingin dia di rumah dan tidak pergi ke mana-mana. Mengurus anak-anakku seperti ibu dahulu mengurus kami.

 

"Ya, sudah. Sore pulang," ujarku.

 

Setelah itu aku pamit pada Ayu dan anak-anak. Seperti biasa, Ayu menolak aku antarkan ke sekolah anak-anak. Ia lebih suka mengantar menggunakan motor.

 

Semenjak menikah dengan Ayu, aku bahagia memilikinya. Dia cantik dan berpendidikan. Aku memang tidak memperbolehkan dia bekerja karena ingin lebih fokus pada anak-anak. 

 

Pengalaman ibu, ia mendidik anak pasti baik. Aku ingin Ayu seperti ibuku kelak. Sempat ia protes saat aku memintanya berhenti bekerja, tetapi aku mengancamnya dan dia diam. Baguslah, istri harus tunduk pada suami. 

 

Sudah setahun ini aku memberikan gajiku pada Ayu untuk keperluan masak saja. Sejak adikku Asih kuliah, biaya semakin mendesak. Biarlah aku utamakan adikku dahulu. Toh, Ayu pun tidak masalah, ia hanya mengatakan aku harus adil. Dan aku bisa adil dengan memberikan mereka uang.

 

Baru saja aku memarkirkan mobil, kulihat Arman dengan beberapa SPG yang bekerja di kantor kami. Ia sepertinya mencari muka pada gadis-gadis muda itu.

 

"Weh, inget bini." Aku menggodanya kali ini.

 

"Bini di rumah, nggak tahu. Ciwi-Ciwi mulus, Bro." 

 

"Bini gue lebih mulus." Aku tak malu memuji Ayu di depan Arman.

 

"Yakin, bini lo mulus?"

 

"Main kalau nggak percaya. Lihat ini, mukanya glowing." Aku memberikan ponsel menunjukkan wajah Ayu.

 

Arman menoleh padaku.

 

"Kata Lo, doi Lo kasih uang masak doang. Itu juga cuma 1.500.000. Bini gue aja di rumah ngoceh-ngoceh. Belum beli skincare, crembat, facial dll. Bini, Lo, yakin pakai alami? Atau di belakang Lo dia ada main sama pria lain?" 

 

Sial si Arman, bikin bulu kuduk aku merinding. Ini lebih saram dari diamnya Ayu saat marah. Lebih baik aku pastikan lagi nanti. Benar juga, Ayu terlihat santai dengan uang yang aku berikan. Apa benar perkataan Arman?

 

***

 

Sepulang kantor aku gegas mencari di mana istriku. Namun, Ayu tak nampak di hadapanku. Kemana dia dan anak-anak?

Aku mengusap wajah kasar. Aku langsung menghampiri Ayu saat kulihat dia memasuki halaman rumah. Polesan make up masih terlihat jelas. Apalagi lipstik pink yang membuat ia semakin cantik. Hendak marah, aku menjadi lunak melihat kecantikan istriku.

"Kami dari mana, jam segini baru pulang?"

"Bukannya aku tadi pamit mau ke rumah ibuku? Lagi pula, ini baru jam 15.00. Tumben kamu sudah pulang?" Kesal dibuatnya, bukan menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya balik. 

Memang aku pulang lebih cepat karena ucapan Arman sangat menggangguku. Apa benar istriku ini memiliki pria idaman lain? 

Apa kurangku selama ini? Kunafkahi dia, lalu apa yang sedang dia sembunyikan dariku?

"Aku bawa makanan, tadi ketemu Mas Arfan di rumah ibu. Dia membelikan anak-anak makan, sekalian aku minta buat kamu. Kutaruh di meja makan, aku mau menggantikan anak-anak baju."

Lagi, Ayu melewatiku begitu saja. Ia merangkul kedua anakku. Perut terasa lapar, sepertinya kuhentikan saja emosi yang memuncak ini. Besok akan kucari tahu lagi atau kupasang CCTV saja.

***

Tidak ada gelagat aneh dari Ayu. Ia hanya bermain ponsel sebentar, lalu mengajari anak-anak belajar. Setelah itu, ia bangkit dan mengambil nasi untuk ia makan.

Aku membuang wajah saat ia menoleh ke arahku.

"Aku makan dulu, kamu masih mau makan apa nggak?" tanyanya seperti biasa.

"Aku sudah makan, buat kamu saja." Aku kembali fokus pada anak-anak yang sejak tadi mengajakku bermain.

Tanpa menjawab ucapanku, ia langsung melahap makanannya. Aku terus memperhatikannya, tidak mungkin kecantikannya alami. Pasti Ayu perawatan, tapi dari mana uangnya?

Ponselku bergetar, aku mengambil di meja. Ternyata adikku menelepon. 

"Iya, Sih, ada apa?" Sambil melirik ke arah Ayu, aku menjawab telepon dari Asih. Kenapa Ayu biasa saja? Biasanya ia langsung merengut saat menerima telepon dari ibu atau Asih. Apalagi dari Mba Laras--Kakak Perempuanku.

"Mas, aku butuh uang semester. Kemarin aku mengulang satu mata kuliah, jadi harus ikut semester pendek." Aku mengehela napas saat mendengar apa yang diminta Asih.

"Berapa?" tanyaku cepat.

"Dua juta rupiah, Mas." Terdengar suara Asih pelan, mungkin ia takut tidak enak sama aku.

"Nanti Mas tranfser."

"Makasi Mas."

Setelah menutup ponsel, aku menaruh kembali di meja. Kuhampiri Ayu yang sedang mencuci piring.

"Ma, Asih meminta uang untuk semester pendek."

"Hmm."

Dia hanya menjawab seperti itu. Setelah itu, ia kembali mencuci piring lagi.

"Kok kamu cuma jawab, Hmm ... aja?"

Ayu mengembuskan napas kasar. 

"Aku harus bagaimana? Harus jawab apa? Toh, semua keputusan ada ditangan kamu. Kamu yang mencari uang dan kamu pun wajib menghidupi keluarga kamu. Apalagi, pendidikan adikmu. Apa masih bisa aku berkomentar?"

Panjang sekali jawabannya. Aku sampai sesak mendengarnya. Sejak kapan Ayu seperti itu? Sangat tegas dan membuat aku seperti tidak bisa menjawab apa yang dikatakannya.

"Ya, sudah. Jangan diperpanjang." 

Sepertinya memang ada sesuatu pada diri Ayu. Sikapnya seperti acuh pada keluargaku, tapi kenapa?

***

Mengobrol dengan Pak Endang membosankan. Isinya ceramah saja, apalagi kalau sudah mengatakan suami itu harus mendahulukan istri. Apa dia lupa terlahir dari siapa?

Ibu itu lebih penting. Dia yang melahirkan dan membesarkan kita. Sejak Bapak meninggal, ibu bating tulang untuk menghidupi anak-anaknya.

"Astagfirullah, kamu bikin kaget Mas saja," ujarku saat masuk ke kamar melihat Ayu memakai masker wajah.

Ayu duduk sambil memainkan ponselnya. Sesekali dia terlihat tertawa, tanpa sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Aku ingin tahu, dia sedang apa di ponselnya.

"Kamu WA siapa?" tanyaku.

"Nih." Ayu menyodorkan ponsel miliknya. Kulihat video anak dari Mas Arfan--kakaknya.

Pantas saja dia tertawa, keponakannya itu bergaya banyak membuat yang melihat tertawa. Kembali aku memberikan ponselnya.

Aku tak tahan seperti ini. Kenapa seperti bersama wanita kulkas? Dingin dan entah aku merasa hambar.

"Kamu kenapa, sih, aku tanya jawab hanya sekadarnya saja. Mas kaya nikah sama patung, tahu nggak."

"Aku harus seperti apa? Bukannya Mas yang menjadikan aku seperti patung? Harus menuruti apa yang tidak aku inginkan? Aku hanya mengikuti mau kamu, diam dan hanya menurut saja. Apa salah?"

Astaga, kepalaku bisa sakit jika dia terus saja memojokkan aku. Apa salah aku selama ini?

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (16)
goodnovel comment avatar
Revi Yandra
Dari awal sudah ada greget dalam perannya masing-masing. Lanjut ...
goodnovel comment avatar
Sil V
Semoga kelak tidak dipertemukan dengan laki2 seperti ini...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Heh lo manusia oon yg nemenin loe ampe tua itu bknnya nyokap loe goblok tp bini lu tentu aj istri yg hra diutamakan jd org otaknya kosong gitu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Extra Part

    Ibu Andar terduduk di teras rumah. Sudah semingguan acara pernikahan Damar berlangsung. Ia merasa lega karena kini penyesalan dirinya sudah terbayarkan.Ia menyesal karena dirinya, kebahagiaan anak-anaknya hilang. Mulai dari Laras, hubungan mereka renggang saat ia ikut campur dalam rumah tangga sang anak. Kedua, rumah tangga Damar yang hancur olehnya. Ketiga, masalah Asih yang membuatnya sangat bersalah.Ia teringat lima bulan yang lalu saat ia bertengkar hebat dengan tetangga beberapa gang dari rumahnya."Ya ampun, Bu Andar lihat, deh. Ini anakmu bagaimana, sih. Masa istri barunya jadi pemeran video porno. Iki, loh," tujuk Bu Sentot sambil memperlihatkan video Erika bersama Yuda.Wajah Bu Andar memerah menahan malu juga amarah. Lalu, ia merampas ponsel milik Bu Sentot dan menghapus videonya."Ih, Bu Andar, lancang sekali, sih. Ini hape saya, nggak ada tatakrama sekali, main ambil saja. Pantas saja anak-anak ibu pada

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Enam

    Menunggu jawaban dari Ayu membuat Damar tak sabar. Ia kembali bertanya dengan dada yang begitu berdebar.Sorot mata Ayu mengisyaratkan ia ingin kembali, tetapi keraguan kembali membuncah di dada."Yu, bagaimana? Demi aku dan anak-anak?" Lagi, pertanyaan itu terus mendesak Ayu.Batinnya pun tersiksa saat Damar memutuskan untuk tetap pergi ke Surabaya. Terkadang berkirim pesan dengan mengatas namankan anak membuatnya sedikit lega melihat aktivitas sang mantan suami."Yu, mau nggak? Kalau mau, nanti aku bawa keluarga aku untuk datang kembali, dan semoga saja ibu sudah bisa lebih baik.""Mas, apa kamu yakin?""Kalau aku nggak yakin, buat apa aku datang.""Aku--aaku, mau, Mas. Dengan syarat," ucap Ayu."Full gaji di transfer gitu?" Damar menaikkan kedua alisnya."Nggak, tapi janji, kamu mau berubah, tidak seperti dulu.""Janji, sih, mudah. Kamu bantu aku mengingatkan, bagim

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima puluh lima

    Lima bulan berlalu begitu cepat. Kini, Ayu memulai semuanya dengan baik. Kabar pernikahan David pun membuat ia senang, walau tidak secara besar-besaran, pernikahan CEO itu mengundang banyak kontroversi karena anak yang di bawa Viola.Aku mengitari sebuah mall untuk membeli perlengkapan untuk kedua anaknya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Viola.Viola mengajak untuk berbincang di sebuah tempat makan. Ia pergi sendiri karena Gista bersama Oma Meria."Terima kasih, Yu. Kamu memberikan hari bahagia untuk anakku. Berkat kamu, anakku kembali tersenyum. Setiap malam tidur bersama ayahnya." Sembari menggenggam tangan Ayu, manik mata Viola itu meneteskan air mata."Maaf, aku mengambil kebahagiaanmu," ucap Viola lagi."Nggak, kok. Aku bahagia, memang aku dan David nggak berjodoh. Untuk apa memaksakan. Memang dia ada untuk kalian, bukan aku. Aku senang bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian." Senyum tulus Ayu membuat dirinya semakin bers

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Empat

    David sengaja menunggu Ayu pulang dari kantor. Ia duduk di lobi kantor Laras. Sudah beberapa hari ia tidak bisa menghubungi Ayu."Yu, kita perlu bicara," ujar David saat melihat Ayu ke luar."Tidak ada yang perlu di bicarakan lagi." Ayu terlihat sangat sengit menatap David.David terus saja memohon untuk bicara. Laras yang sedang bersamanya, memberi kode untuk berbicara saja dengan pria itu. Lebih baik untuk menyelesaikan masalah mereka."Baik, kita bicara.""Ya."Mereka memilih berbicara di sebuah tempat makan tidak jauh dari kantor. Ayu memesan cokelat hangat, sedangkan David memilih hanya memesan teh hangat saja."Yu, dengarkan aku. Saat ini, hati aku hanya untuk kamu dan nggak akan pernah mendua. Viola hanya masa lalu aku," ujar David."Tapi ada anak itu diantara kalian." Ayu menarik napas panjang.Ia juga perempuan, memiliki anak dan pasti hatinya sakit melihat David t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Tiga

    "Aku pamit, Yu," ucap Damar saat menemui Ayu di kantor Laras.Pria itu sengaja berpamitan, untuk memberitahu jika dia akan ke Surabaya dan menetap lama di sana."Bagaimana dengan anak-anak jika bertanya tentang kamu?" tanya Ayu."Katakan saja seperti biasa. Aku sedang bekerja dan mencari uang untuk mereka. Aku janji, sebulan sekali atau ada kesempatan ke Jakarta, aku akan bertemu dengan kalian, maksud aku anak-anak." Sedikit lega karena Damar merasa lebih baik ia menjauh dari Ayu.Seperti ada yang hilang, tetapi Ayu mencoba menenangkan hatinya. Dirinya hanya merasa sedikit sedih saat Damar pergi. Bukan karena hal lainya. Hanya bingung bagaimana jika kedua anaknya bertanya tentang Papanya."Ini, uang bulanan mereka," ucap Damar.Ayu mengambilnya, ia memperhatikan wajah Damar yang terlihat berbeda dari biasanya. Ia begitu tirus dan kurus."Aku pamit.""Cie, ada yang sedih mau di t

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Dua

    Damar menaruh kembali ponsel di nakas. Ia kembali mengerjakan beberapa pekerjaan miliknya. Ia tidak mau membahas lagi tentang Erika, baginya, perselingkuhan tidak bisa di tolerir walau dengan kata maaf.Beberapa karyawan sudah berbicara dengannya. Banyak yang bersimpati dengan pria dua anak itu. Bahkan, ia pun di panggil oleh atasannya."Pak Damar, di panggil pak bos," ujar Simon."Iya, aku ke sana."Dengan langkah gontai, Damar menuju ruang bos. Mengetuk pintu dan ia segera masuk ke dalam."Ada apa, Pak?" tanya Damar."Saya sudah melihat video istri kamu, kamu oke?" Pak Mario mempertanyakan kondisi Damar."Saya oke, ya, walau sedikit perih." Damar menjawab dengan tawa."Saya mau memastikan kamu baik-baik saja.""Saya masih bisa bekerja dengan baik kok, Pak. Tenang saja," jawab Damar."Baik, begini, Pak Damar, kami ada cabang perusahaan di kota Surabaya, di sana

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh Satu

    "Mas bagaimana ini?" Erika panik bukan main.Begitu juga ibunya Erika, wanita tua itu tidak mengerti bisa berada dalam situasi seperti itu. Bu Hindun panas dingin, seketika dadanya terasa sesak kian mendalam."Rik, duh dada ibu sesak ini," keluhnya."Aduh ibu, kenapa?"Geduran keras dari luar memaksa Yudi dan Erika akhirnya ke luar dari mobil. Maria dengan puas tersenyum sinis.Ia menarik Erika dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh di tanah. Tidak terima, Erika bangkit dan ingin mendorong Maria, tetapi oleh teman Maria di tarik kembali."Jadi ini, wanita pelakor itu? Dih, nggak tahu malu merebut suami orang." Salah satu teman Maria berteriak kencang hingga mengundang banyak orang memperhatikannya."Heh, suami situ yang emang nggak suka lagi sama kamu. Sadar diri dong, dia milih aku karena aku lebih dari kamu," ujar Erika membela diri."Dih, nggak punya malu, sudah merebut, malah membangga

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Lima Puluh

    "Oma, Maaf, aku belum bisa mengatakan ia atau tidaknya. Ini bukan pernikahan pertamaku dan aku sudah gagal dalam pernikahan pertamaku. Aku mohon, beri aku waktu utuk berpikir." Ayu berharap sang oma mau menerima alasannya."Baik, Yu. Kalau itu keputusan kamu, Oma dan David menunggu kabar baik dari kamu," ujar Oma Meria.Davit terlihat kecewa, tetapi ia harus menerima apa yang diputuskan oleh Ayu. Mungkin tidak lama lagi ia akan memberikan kabar baik untuknya.Beberapa menit mengobrol, akhirnya David dan Oma Meria pamit pulang. Sudah terlalu malam hingga mereka lupa waktu.Ayu bisa berbapas lega, ibunya pun ikut lega dengan keputusan sang anak. Baginya, pernikahan itu tidak bisa terburu-buru. Apalagi Ayu pernah gagal."Ibu setuju sama kamu, pokoknya pikirkan yang terbaik, ya, Sayang.""Iya, Bu. Aku juga takut gagal lagi," ucap Ayu.Ayu melihat keadaan kedua anaknya, mereka sudah tertidur nyenyak.

  • Saat Istriku Tak Lagi Meminta Uang   Empat puluh sembilan

    Kondisi Bagas sudah membaik, kemarin sudah pulang dan di jemput oleh Damar. Pria itu dengan telaten mengajak sang anak main dalam beberapa jam sebelum pulang.Berulang kali Bagas membujuk ayahnya untuk tetap tinggal. Namun, itu tidak mungkin karena Ayu dan dirinya sudah berpisah. Tidak mungkin bisa untuk bersama."Kalau kamu mau, nanti nginep di rumah papa, bagaimana?" Damar mencoba membujuk Bagas.Anak laki-laki itu mengerucutkan bibir. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukan sang ayah. Rasa rindunya kian membuncah, saat ia terbangun melihat hanya sosok ibunya yang ada."Nanti Papa main lagi, Bagas sama Mama dulu, ya," bujuk sang ibu.Beruntungnya Bagas menurut dengan apa yang dikatakan sang ibu. Walaupun dengan wajah masam, anak itu tetap mengantar sang ayah sampai ke halaman rumah."Yu, pamit," ucap Damar."Iya, Mas."Setelah Damar pulang, Ayu kembali membujuk sang anak u

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status