Share

Kepergok Keluarga Istri

"Apa maksud Tante Atika ini? Apa jangan-jangan Amina terpengaruh dengan ucapan Tante Atika?"

Semua pertanyaan itu berkecamuk di dalam benakku. Rasanya aku tidak bisa membayangkan jika Amina benar-benar pergi, aku membutuhkan Amina.

Aku akui, Amina itu lebih matang dalam segala hal termasuk urusan rumah tangga, selalu telaten dalam mengurus keuangan. Jelas saja karena Amina seorang sarjana, berpendidikan dan cerdas. Setelah menikah dan memiliki anak aku memintanya untuk fokus menjadi ibu rumah tangga, dia sama sekali tidak membantah.

Lebih baik cari mereka di rumah Tante Atika, berharap ada di sana. Meski jarak lumayan jauh tidak masalah, yang terpenting aku bisa membawa Amina pulang.

Sepanjang jalan terus mencoba menghubungi Amina tapi tidak bisa, teleponnya aktif tapi tidak diangkat. Perasaanku semakin tidak karuan.

"Bang Aryo cari Mama ya?" tanya Melly, anak bungsu Tante Atika.

"Iya. Ada di dalam 'kan? Amina dan anak-anak Bang Aryo juga di dalam?"

Melly menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, Bang. Eh, bukankah tadi Mama pergi ke rumah Bang Aryo?"

"Biarkan Abang masuk untuk melihat, Mell," pintaku. Rasanya tidak percaya sebelum melihat secara langsung.

Wajah Melly terlihat heran namun dia menggeser tubuhnya tanda mengizinkan aku untuk bisa masuk. Sepertinya memang benar mereka tidak ada di sini, jika ada aku sudah pasti bisa mendengar suara Refal dan juga Asti. Lalu dimana mereka berada.

"Nanti saat Mama pulang aku akan kasih tahu Mama kalau Bang Aryo kesini."

"Tidak perlu."

Kuhela nafas berat, tidak tahu harus kemana lagi mencari mereka. Berharap Tante Atika hanya main-main saja dengan ucapannya. Lebih baik tunggu saja di rumah, mencari pun percuma karena aku tidak tahu tujuan saat ini.

Ingin mencoba menghubungi lagi tapi ponselku mati. Disaat seperti ini malah tidak ada yang bisa diajak kompromi bahkan ponsel sekali pun.

Berkegiatan apapun tidak akan tenang karena tetap yang kupikirkan Amina. Bagaimana hidupku nanti tanpa dia, Sarah tidak akan bisa diandalkan soal mengurus rumah tangga termasuk keuangan. Dia tidak pernah bisa menahan diri untuk belanja ini dan itu.

***

Tok! Tok! Tok!

"Mas Aryo!"

Aku yang hampir terlelap kini terperanjat kaget mendengar ketukan pintu dan namaku dipanggil cepat-cepat membuka pintu berpikir jika itu Amina.

"Amina ka–" ucapanku terhenti saat melihat Sarah yang berdiri di balik pintu.

"Aku bukan Amina!" Sarah bersungut-sungut terlihat tidak suka lalu menerobos masuk dan berjalan ke kamar.

Aku menyusulnya tanpa menutup pintu.

"Kenapa kamu kembali ke sini?" tanyaku.

"Sebelah antingku tidak ada, Mas. Sepertinya terjatuh di sini," jawabnya.

"Kenapa harus datang kesini. Tinggal telepon aku dan akan kucarikan untukmu."

Sarah melempar bantal yang dipegangnya dan memicing menatapku. "Telpon bagaimana kalau hp kamu saja tidak aktif!"

Aku sampai lupa belum mengisi daya baterai karena dari tadi sibuk memikirkan kemungkinan keberadaan Amina. Bahkan sampai tadi hampir ketiduran.

"Maaf, aku lupa charge tadi."

"Itu anting mahal, Mas."

"Nanti aku ganti."

"Bukan soal diganti juga, itu sangat berharga untukku. Tidak bisa digantikan dengan yang baru.

Sarah ini mudah sekali marah, tidak seperti awal kami berkenalan. Dia begitu lembut, sopan dan terlihat penyayang pada anak-anak. Entah kenapa dia berubah seperti ini.

Sarah terlihat menghela nafas lalu mendekat padaku dan memelukku. "Mas, cepat belikan aku rumah ya. Kamu bukannya berjanji untuk membahagiakanku dan memberikan apapun yang aku mau?"

Dia menjadi lembut tapi untuk menagih janji yang memang pernah ku ikrarkan. Kenapa dia tidak mengerti juga jika keuanganku saat ini sedang tidak aman. Malah rumah yang dipikirkannya tapi tetap harus ditenangkan jika tidak maka suaranya akan seperti petasan, terus berbunyi dan memekakan telingaku.

Kubalas pelukannya dan mengelus punggungnya dengan lembut. "Iya, nanti akan kubelikan rumah seperti ini. Aku akan adil padamu dan juga Amina, apa yang Amina miliki kamu juga akan memilikinya. Tapi tolong bersikap baiklah pada Amina, dia juga istriku sama sepertimu. Ja-"

Brak!

Suara itu membuatku terlonjak kaget dan refleks menoleh.

Mataku membulat sempurna melihat ayah dan ibu mertuaku berdiri tidak jauh di sana. Entah apa yang terjatuh aku sama sekali tidak memperhatikan.

Dengan cepat aku mendorong Sarah menjauh, tubuh ini langsung menegang saat ayah mertua berjalan mendekat dengan tangan yang mengepal dan sorot mata tajam.

Apa mungkin mereka mendengar apa yang kubicarakan dengan Sarah.

"A-yah." Panggilku terputus.

Ayah mertua langsung mencengkram kerah bajuku dengan kuat. Bisa kulihat rahangnya mengeras dengan gigi yang bergemeretak.

"Apa maksudnya tadi? Kau, mengkhianati putriku?" tanya ayah dengan suara penekanan.

Rasanya untuk menatap matanya saja aku tidak mampu, sorot matanya begitu tajam seolah menusuk hingga ke dalam jantung.

"JAWAB ARYO!" Suaranya meninggi membuat bulu kudukku meremang.

Aku memejamkan mata bersiap menerima apapun yang akan dilakukannya.

"Bapak siapa? Lepaskan suamiku."

Sarah mencoba mendorong ayah mertua agar melepaskan cengkramannya di bajuku.

"Oh, jadi benar. Dia suamimu?" Ayah mertua menatap Sarah.

"Iya. A-"

Bugh!

"Argh!" Sarah langsung menjerit saat melihatku diberikan bogem mentah dari ayah mertua.

Kekuatannya begitu besar hingga sukses membuatku tersungkur. Aku langsung merangkak mendekat dan memeluk kaki ayah mertua.

"Ma-afkan aku, Ayah!"

"Dimana Amina? Dimana putriku?" Ibu mertuaku mulai histeris.

Sekarang ibu mertua mendekat dan menjambak rambutku dengan kuat. Aku tidak menjawab apa-apa karena memang aku tidak tahu dimana Amina berada.

"Bu, lepaskan suamiku." Sarah menarik ibu mertua menjauh.

"Dewi, bawa perempuan ini keluar!" Ibu mertua berteriak memanggil menantu perempuannya yang ternyata ada juga di sini.

Aku sudah tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku kedepannya.

"Lepaskan aku!"

Sarah memberontak saat Mbak Dewi menyeretnya keluar dari kamar.

"Berdiri," ucap ayah mertua.

"Ayah, maafkan aku."

"AKU BILANG BERDIRI ARYO!" Suaranya begitu tegas dan lantang.

Dengan takut aku langsung berdiri dengan posisi kepala menunduk.

Bugh!

Satu hantaman lagi ku dapat, rasa perih dan ngilu terasa. Sudut bibirku berdarah dan kepala rasanya langsung pusing. Aku sama sekali tidak melawan, berharap ini bisa meredam amarahnya, berharap setelah aku mengorbankan tubuhku ini ayah mertua akan memaafkanku.

"Bangs*t kau, Aryo!"

Bang Adit datang dan langsung menghantamku tanpa ampun.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Wajah, perut dan punggungku terasa sangat remuk. Bahkan tenagaku seperti sudah hilang. Aku hanya terkapar lemas di lantai, bau darah sangat menyengat karena keluar dari hidung dan juga sudut bibirku.

Ayah mertua dan kakak iparku seorang tentara, kekuatanku hanya seujung kuku mereka. Mungkin jika tidak ada hukum negara dan agama mereka sudah menghabisi aku.

"Luka yang kau rasakan tidak seberapa dibandingkan dengan luka yang kau berikan pada anakku, Aryo. Bukankah sudah kukatakan padamu dari awal, jika sudah tidak lagi menginginkannya. Kembalikan padaku, Aryo. Kembalikan dia dengan baik-baik, aku tidak akan marah. Tapi kau menahannya di sini untuk menyiksanya seperti ini!"

Di akhir ucapannya aku bisa mendengar suara ayah mertua bergetar seperti menahan tangis.

Bugh!

"Argh." Aku meringis saat Bang Adit menendang perutku dengan keras.

"Dimana adikku, bangs*t?!"

"A-ku … ti-dak … tahu."

"Ayah …."

Sayup-sayup aku mendengar suara Refal. Namun setelah itu semuanya gelap.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status