Share

Amina Tidak Akan Pulang

Brak! Brak! Brak!

“Mas, buka pintunya! Cukup drama yang kamu lakukan ini, jangan membela diri di depan mereka. Kamu tidak salah dengan menikah lagi!” Suara teriakan Sarah membuat suasana malah menjadi memanas.

Rasanya aku ingin membungkam mulutnya itu. Tidak lama tangis Rifany terdengar, Amina buru-buru masuk ke dalam kamar untuk menenangkannya. Suara Sarah melengking hingga membuat putriku terbangun.

“Tante tidak akan mengambil posisi untuk melindungi kamu dari ayahnya Amina. Apapun yang akan Pak Surya lakukan padamu nanti, kamu harus menanggungnya.”

Sungguh, rasanya tidak bisa membayangkan jika nanti ayah mertuaku datang dan tahu semua yang terjadi. Aku sudah menyakiti anak kesayangannya, orang tua manapun jelas akan marah dan tidak terima anaknya disakiti. Aku pun begitu, aku tidak akan terima jika anak-anakku ada yang menyakiti. Tapi kenapa aku malah menyakiti ibu dari anak-anakku.

Aku langsung mendongak melihat Amina yang keluar dari kamar sambil menggendong Rifany. Sepertinya ia akan pergi lagi, jarak sekolahnya memang tidak jauh. Hanya beda gang dari rumah kami.

“Tante, maaf. Aku harus pergi karena takut Refal nanti mencari,” ucap Amina.

“Tante ikut. Tante ingin bertemu dengan Refal, sekalian jemput Asti di sekolahnya juga ‘kan?”

Amina mengangguk, ia sama sekali tidak menoleh padaku dan seperti tidak ada niat untuk melanjutkan pembicaraan kami tadi. Ingin menahan pun tidak bisa karena memang situasinya seperti ini, Refal tidak mungkin ditinggalkan di sana terlalu lama.

Hanya bisa menatap kepergian mereka, tubuh ini rasanya lemas tidak ada tenaga sama sekali ditambah memang aku belum sarapan.

“Mas Aryo!”

“Bersisik sekali!” Geram sekali rasanya jika saat ada masalah seperti ini Sarah malah membuat semuanya semakin tambah berantakan.

Sarah langsung berhambur keluar saat kuncinya dibuka, dia menatap tajam padaku.

“Mas, sudahlah. Biarkan saja istrimu itu pergi agar istri kamu hanya aku saja.”

“Enak sekali kamu bicara seperti itu, Sarah. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan Amina, dia sangat berharga untukku. Jika saja Amina pergi sama saja aku juga kehilangan anak-anak.” Kucoba menahan emosi, bagaimanapun saat ini Sarah sedang hamil dan tidak boleh banyak dibentak.

“Kita ‘kan sebentar lagi juga punya anak, Mas. Untuk apa kamu memikirkan anak-anak kamu dari istri pertamamu itu.”

Tanganku mengepel berusaha untuk mengendalikan gejolak di dalam dada. Kenapa Sarah tidak pernah bisa bicara dengan baik, tidakkah dia berpikir sebelum bicara.

“Bagaimanapun mereka tetap anakku, Sarah. Aku tidak akan mau mereka berjauhan dariku.”

“Ya sudah, anak-anak tetap di sini dan biarkan istrimu itu pergi! Aku juga tidak mau berlama-lama menjadi madu, bukankah kamu sendiri yang mengatakan akan menceraikan istri pertamamu itu? Aku sudah lama menunggu, Mas. Apalagi pernikahan kita juga belum terdaftar.”

Aku menarik nafas dalam, menatap Sarah yang tidak pernah sama sekali menaruh pengertian dengan kondisi yang ada saat ini. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana perasaan suaminya ini.

“Ya, aku akui dulu memang aku ingin menceraikan Amina tapi sekarang tidak. Amina terlalu berharga untukku lepaskan.”

Sebelah alis Sarah menukik sambil menatapku. “Jadi, aku yang akan kamu ceraikan, Mas? Aku juga mendengar sendiri tadi.”

Dengan cepat menggelengkan kepala, menggenggam tangannya dengan erat. “Tidak, aku juga tidak akan menceraikanmu. Bagaimana nasib anak kita nanti, aku bicara seperti itu tadi karena ingin menenangkan Amina saja.”

Sarah menghempaskan tanganku. “Mas, kamu itu tegas sedikit! Sampai kapan aku harus seperti ini, menjadi istri kedua tanpa memiliki dokumen sah dan juga harus hidup satu atap dengan istri tuamu. Aku tersiksa!”

“Untuk sementara kamu tinggal di rumah kontrakan saja ya? Aku akan sediakan fasilitasnya juga di sana, setidaknya kamu akan nyaman di sana.” Mencoba membujuk Sarah agar dia tidak marah lagi.

“Sampai kapan aku di sana? Selamanya?” pekik Sarah terlihat marah.

“Tidak, sayang. Hanya untuk sementara saja, aku hanya tidak ingin ada keributan lagi di sini. Aku juga akan adil nantinya, aku akan tinggal di sana tiga hari dan di sini empat hari.”

“Adil dari mana? Kenapa di tempatku hanya tiga hari?” Sarah marah sambil berkacak pinggang.

“Karena di sini ada anak-anak dan juga Asti. Aku harus membantu Amina mengurus mereka juga.” Sengaja kubuat nada suara selembut mungkin berharap Sarah akan mengerti.

Akhirnya dia setuju, tidak mudah membujuk Sarah. Berbeda dengan Amina yang selalu mengerti dengan situasi, tidak pernah menuntut apa-apa. Amina memang lebih segalanya dari Sarah kecuali soal fisik. Kuakui Sarah memang sangat cantik, kulitnya seputih susu, selembut sutra, tubuhnya juga pas, tidak kurus dan tidak gemuk. Ditambah rambut panjang yang menjuntai indah. Pertama kali bertemu dengannya saja aku sudah terpesona, bahkan hanya setelah beberapa kali pertemuan aku langsung mengutarakan keinginanku untuk meminangnya.

Amina juga cantik saat dulu tahun pertama kami menikah, tapi semakin kesini entah kenapa dia sudah tidak menarik lagi di mataku.

Daripada zinah lebih baik aku menikahinya, memang tidak langsung memberitahu Amina. Bahkan butuh beberapa bulan untuk itu hingga dengan desakan dan juga ancaman Sarah, akhirnya aku memutuskan untuk jujur pada Amina.

Setelah mengantarkan Sarah ke rumah kontrakan yang tidak jauh dari sini, aku menunggu Amina yang masih belum pulang padahal sudah lewat dua jam dari jamnya biasa pulang dari sekolah Rafael. Perasaan mulai tidak enak karena mengingat tadi Amina pergi bersama Tante Atika.

“Jangan-jangan Tante Atika membawa Amina pergi? Tidak, aku tidak akan membiarkannya.”

Baru saja akan menelpon Amina, pesan dari Tante Atika mengagetkanku.

[Amina tidak akan pulang, jangan tunggu dia.]

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status