Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian.
Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingin memastikan Nadine tidak bisa menyakiti orang lain lagi.” Alexa menatapnya dan mengangguk pelan. “Kita butuh matamu untuk memantau, Rania. Tapi jangan terlalu dekat. Fokus pada pengamatan dan komunikasi.” Mereka menyusun rencana terakhir: infiltrasi melalui terowongan, mengalihkan perhatian Nadine, dan menghadapi anak buahnya satu per satu. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Langit malam di luar jendela gelap dan mendung. Tapi di dalam, tekad mereka membara. Konfrontasi terakhir dengan Nadine akan menentukan segalanya—keamanan Rania, masa depan mereka, dan akhir dari teror yang sudah terlalu lama menghantui. Malam itu, Alexa, Rafa, dan Rania bergerak menuju gudang melalui terowongan tua yang gelap dan lembap. Setiap langkah terdengar seperti gema di dinding batu, membuat jantung mereka berdetak lebih cepat. Rafa menyalakan senter kecil, hanya untuk menerangi beberapa langkah di depan. “Hati-hati… Nadine pasti punya kamera atau sensor di beberapa titik,” bisiknya. Alexa menggenggam tangan Rania sebentar untuk menenangkan. “Kita hanya perlu fokus. Ikuti langkahku.” Mereka merayap melalui terowongan sempit, dan akhirnya sampai di pintu belakang gudang. Alexa mengintip dari celah pintu dan melihat beberapa anak buah Nadine berjaga. Mereka sedang berbicara, tampak santai, tidak menyadari bahwa bahaya sudah dekat. “Ini kesempatan kita,” bisik Rafa. “Kita harus cepat.” Alexa mengangguk dan memberi sinyal pada Rania untuk tetap bersembunyi dan memantau situasi. Rafa bergerak pertama, mengalihkan perhatian dua penjaga dengan beberapa lemparan benda kecil yang membuat suara keras di sisi lain gudang. Anak buah Nadine segera berlari ke sumber suara, meninggalkan jalur bagi Alexa untuk masuk. Hatinya berdebar, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa takut. Ia bergerak dengan cepat dan senyap, mendekati ruang utama di mana Nadine mungkin berada. Suara langkah kaki, bisikan, dan ketegangan memenuhi udara. Malam itu, setiap detik adalah ujian bagi kesabaran dan keberanian mereka. Alexa menahan napas, siap menghadapi Nadine—dan mengetahui bahwa konfrontasi terakhir akan menentukan segalanya. Alexa menahan napas saat melangkah pelan masuk ke gudang dari pintu belakang yang sudah dikosongkan anak buah Nadine karena pengalihan Rafa. Lampu redup dari jendela hampir tidak menerangi ruangan, tapi cukup untuk melihat bayangan bergerak-gerak. Rania tetap di pintu masuk terowongan, mengintai dengan senter kecil. Ia mengirim kode melalui walkie-talkie: “Alexa… ada tiga orang di ruang utama, tapi Nadine belum terlihat.” Alexa merunduk di balik tumpukan kotak, matanya menelusuri ruangan. Ia melihat tumpukan dokumen dan beberapa peralatan elektronik—tanda bahwa Nadine sedang menyiapkan sesuatu. Rafa muncul di sisi lain gudang, memberi isyarat tangan bahwa jalur aman. Alexa menunduk dan melangkah lebih dekat ke ruang utama. Tiba-tiba terdengar langkah cepat dari arah tangga. Alexa menahan napas. Nadine muncul—wajahnya dingin, matanya menyala penuh amarah. Ia menatap langsung ke arah Alexa. “Akhirnya kita bertemu,” suara Nadine penuh sindiran. “Kupikir kalian terlalu lemah untuk menemukan jalanku.” Alexa menatap balik, menyalurkan semua keberanian. “Ini bukan tentang lemah atau kuat. Ini tentang menghentikanmu, Nadine. Rania sudah cukup menderita karena ulahmu.” Rafa melangkah perlahan di belakang, siap jika Nadine mencoba menyerang. Nadine tersenyum tipis, mengangkat tangan ke arah beberapa anak buah yang tiba-tiba muncul dari bayangan. Alexa tahu ini saatnya: strategi yang mereka susun harus dieksekusi sekarang, cepat dan tepat. Ia menatap Rania melalui walkie-talkie. “Tetap di belakang dan pantau jalur keluar. Jangan berani turun ke sini kecuali aku bilang.” Rania mengangguk, menahan napas. Ketegangan di udara terasa seperti badai siap meledak. Alexa dan Rafa bersiap menghadapi Nadine—satu konfrontasi terakhir yang akan menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Alexa menatap Nadine dengan tegas. “Cukup sudah, Nadine. Semua permainanmu berhenti di sini.” Nadine tersenyum sinis. “Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?” Ia melangkah maju, menyeret salah satu dokumen dari meja, dan tiba-tiba lembaran itu terbang, memperlihatkan rencana rahasia yang selama ini disembunyikannya: semua tindakannya terhadap Rania dan orang lain sudah ia catat rapi, bahkan menyiapkan jebakan untuk Alexa. Rafa segera melangkah di samping Alexa, menahan Nadine dengan sedikit gerakan fisik untuk memberi waktu Alexa membaca dokumen itu. Alexa tercengang—semua bukti yang selama ini mereka butuhkan ada di hadapannya. “Tapi kau lupa satu hal,” Alexa berkata pelan tapi penuh tekad. “Aku selalu satu langkah di depanmu.” Ia mengambil telepon genggam dari saku, menyalakan rekaman kamera yang telah mereka pasang diam-diam beberapa hari sebelumnya. Suara Nadine terdengar jelas, mengakui semua tindakannya. Wajah Nadine memucat, dan matanya terbuka lebar. “Bagaimana kau bisa…?” Rania muncul dari belakang dengan cepat, mengunci pintu gudang sehingga anak buah Nadine tidak bisa masuk. “Aku mengikuti perintahmu, Alexa. Aku tidak akan membiarkan Nadine lolos lagi.” Pertarungan fisik singkat terjadi, Nadine berusaha melarikan diri, tapi Rafa dan Alexa bekerja sama menahannya. Akhirnya, Nadine terpojok. Alexa menatapnya dingin. “Ini akhirmu, Nadine. Semua yang kau lakukan akan terbongkar, dan kau akan membayar.” Nadine terdiam, menyadari kekalahannya. Semua rencana liciknya hancur dalam satu malam. Alexa menepuk bahu Rafa dan Rania, lega tapi tetap waspada. “Malam ini, kita menang,” bisiknya. Rania mengangguk, air mata menetes di pipinya, tapi senyumnya lega. “Terima kasih, Alexa. Kau menyelamatkanku… dan orang lain juga.” Alexa menatap malam yang mulai terang, menyadari bahwa perjuangan mereka belum benar-benar selesai, tapi malam itu adalah kemenangan pertama yang besar. Nadine tidak akan bisa mengganggu siapa pun lagi.Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu
Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag
Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap
Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi
Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay
Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa