LOGINPerjalanan ke kantor pagi itu terasa seperti berjalan menuju ruang eksekusi. Sunyi. Berat. Bahkan aroma kopi dan wangi sandalwood Alvaro yang biasanya menenangkan, kini justru membuat dada terasa sesak, seakan ada badai yang menunggu di ujung jalan.
Alvaro menyetir dengan rahang mengeras, kedua tangannya mencengkeram setir erat-erat. Otot di lehernya menegang, seakan satu kata salah saja bisa meledakkan amarahnya. Aku menatap keluar jendela, berusaha mengatur napas dan menekan sakit yang ditinggalkan pengkhianatan Danang. Orang yang selama ini ramah, penuh ide, ternyata hanya topeng. “Kita tidak akan memberinya kesempatan membela diri,” suara Alvaro memecah keheningan, datar tapi tajam. “Bukti sudah cukup. Dia akan dipecat. Dan aku akan pastikan semua orang di industri tahu alasannya.” Aku menoleh, menatapnya. Inilah sisi Alvaro yang jarang terlihat: dingin, kejam, dan tanpa ampun. Sisi seorang CEO yang tahu caranya membangun kerajaan—dan juga menghancurkan musuh. “Tunggu,” bisikku, tanganku menyentuh lengannya. Dia menegang, tapi tidak menepis. “Dia hanya pion, Alvaro. Nadine yang memanfaatkannya. Kita harus tahu lebih dulu apa yang sebenarnya dia simpan. Tekanan, utang, sesuatu...” Alvaro menoleh sekilas, tatapannya menyipit. “Bersikap lunak sekarang hanya akan dilihat sebagai kelemahan. Alexa, mereka sudah membakar mobilmu. Mereka tidak main-main.” “Aku tahu,” aku tidak menyerah. “Tapi kalau kita habisi dia begitu saja, kita bisa kehilangan kesempatan tahu seberapa jauh permainan Nadine. Danang mungkin punya informasi penting.” Keheningan kembali turun. Amarah Alvaro mereda perlahan, digantikan kalkulasi dingin. “Kau terlalu baik untuk dunia ini,” gumamnya, kali ini lebih lembut. “Tapi mungkin kau benar. Baiklah, kita akan dengar. Tapi kalau aku merasa dia membuang waktuku—dia akan menyesalinya.” Kantor ALCORP pagi itu tegang, seperti suasana pemakaman. Desas-desus kebakaran, gosip tentang Danang yang digiring security ke ruang konferensi, semua orang jelas sudah tahu. Ketika aku dan Alvaro masuk, Danang sudah duduk di sana. Pucat, keringat membasahi pelipisnya. Tangannya menggenggam ponsel seolah itu pelampung penyelamat. Dua orang security berdiri kaku di pintu, menambah tekanan. Alvaro tidak duduk. Dia berdiri di ujung meja, menatap tajam seperti pisau. “Kami hanya ingin tahu satu hal, Danang. Mengapa?” Danang menunduk. “Saya... saya tidak—” “Jangan bohong!” bentak Alvaro, telapak tangannya menghantam meja keras. Suara dentumannya membuat Danang terlonjak. “Kami tahu transfer itu. Kami tahu pesan terenkripsimu. Kau hanya punya satu kesempatan untuk bicara jujur.” Aku memilih jalan berbeda, duduk di sampingnya. “Danang, kami tahu Nadine yang menekanmu. Apa yang dia pegang? Keluargamu? Utang?” Matanya berkaca-kaca, lalu air mata itu tumpah. Suaranya bergetar, putus-putus. “Dia... dia punya video. Adik saya. Terjerat judi, berutang banyak pada rentenir. Orang-orang Nadine yang kendalikan. Mereka pukuli dia, ancam bunuh. Nadine bilang dia bisa hentikan itu... asal saya kasih dia informasi. Tentang kalian. Tentang Bu Alexa. Dia mau reputasi Ibu hancur... dipecat. Saya... saya tidak tahu dia sampai berani bakar mobil! Saya bersumpah!” Alvaro dan aku saling pandang. Ceritanya masuk akal. Nadine memang predator yang tahu di mana titik lemah seseorang. “Kau punya video itu?” tanya Alvaro dingin. Dengan tangan gemetar, Danang membuka ponselnya dan menyerahkannya. Video itu singkat, tapi cukup membuat perutku mual: adik Danang dipukuli, Danang terdengar memohon agar mereka berhenti. “Iblis,” gumamku pelan. Nadine benar-benar iblis. “Kau bisa cerita dari awal,” kataku, suaraku lemah tapi tulus. “Kami bisa bantu.” Danang menunduk, bahunya terguncang. “Dia ancam bunuh adik saya kalau saya buka mulut. Apa yang bisa saya lakukan?” Alvaro menghela napas berat, lalu berkata tegas, “Ini yang akan terjadi. Kau tetap dipecat hari ini. Tapi alasannya ‘pelanggaran etik ringan’. Reputasimu cukup untuk cari kerja lagi.” Danang menatap tak percaya. “Sebagai gantinya,” lanjut Alvaro, “kau jadi mata-mata kami. Kau tetap berhubungan dengan Nadine. Kau sampaikan informasi yang kami beri. Kau akan jadi umpan.” Aku menambahkan pelan, “Adikmu akan aman. Tim keamanan Alvaro yang urus. Utangnya dibayar, dengan syarat dia masuk rehab.” Air mata Danang jatuh lebih deras. Dia menatapku, lalu Alvaro, sebelum akhirnya mengangguk. “Ya... saya akan lakukan. Terima kasih. Maafkan saya, Bu Alexa. Saya benar-benar minta maaf.” Aku tak bisa bilang “tidak apa-apa”, karena jelas tidak. Tapi aku mengerti. Dan itu cukup. Begitu Danang dibawa keluar, Alvaro duduk berat di kursi, mengusap wajah lelahnya. “Kau lihat? Begini caranya mereka bekerja. Menjadikan kelemahan orang sebagai senjata. Kita harus selalu waspada.” Aku berdiri di sampingnya, menaruh tangan di bahunya. Ototnya tegang, tapi aku bisa merasakan sedikit kelegaan. “Kau tadi hebat,” bisikku. “Keras, tapi adil.” Tangannya terangkat, menutup tanganku. Hangat, erat. “Aku tidak ingin kau melihat sisi ini dariku,” ucapnya rendah. “Kenapa? Ini sisi yang melindungi orang yang dia cintai,” jawabku berani. Tatapannya bertemu denganku, hazel matanya berperang antara keinginan dan kewajiban. “Alexa...” Pintu mendadak terbuka. Siska, HR, berdiri kaku, wajahnya terkejut melihat tangan Alvaro masih menahan tanganku. “S-saya... maaf. Saya kira ruangan ini kosong. Ada dokumen yang perlu ditandatangani...” Alvaro menarik tangannya perlahan, tenang seperti biasa. “Tidak apa. Kami sedang bahas penanganan krisis. Nanti saya temui Anda.” Siska mengangguk cepat, wajahnya memerah, lalu pergi tergesa. Begitu pintu tertutup, aku mendesis, “Bencana.” “Atau kesempatan,” balas Alvaro dengan senyum licik. “Sekarang dia pasti gosip. Jadi kita dahului. Kita umumkan hubungan kita.” Aku terbelalak. “Apa? Itu gila! Kita malah menguatkan gosip!” “Tidak. Kita kendalikan narasi. Kita bilang hubungan ini serius, profesional, dimulai setelah prestasimu terbukti. Tidak ada konflik kepentingan. Dan ini alasan resmi kau pindah ke lantai ini, jadi penasihat yayasan. Lebih dekat, lebih aman. Tidak ada lagi sembunyi-sembunyi.” Dia sudah memikirkan semuanya. Bukan hanya strategi, tapi juga keamananku. “Kau yakin?” bisikku. Dia menatapku dalam. “Alexa, setelah mobilmu dibakar, setelah ciuman itu... masih ada yang bisa sama seperti dulu?” Aku menelan ludah. Tidak. Garis sudah terlewati. “Oke,” bisikku. “Ayo lakukan.” Sore itu, pengumuman dibuat. Semua kepala departemen berkumpul. Aku berdiri di samping Alvaro, menatap ruangan penuh wajah penasaran. Dengan tenang, Alvaro mengakui hubungan kami. Menjelaskan timeline, menekankan profesionalisme, tanpa nada minta maaf. Hanya pernyataan jujur. Ruangan sunyi sesaat. Lalu seseorang bertepuk tangan. Disusul yang lain. Bukan untuk hubungan kami, tapi untuk keberanian kami jujur. Aku sempat melihat wajah Siska yang pucat. Rencananya kandas. Untuk pertama kalinya sejak berminggu-minggu, aku bisa bernapas lega. Kami mengambil kembali kendali. Malamnya, kami makan bersama di apartemennya. Tidak lagi sebagai bos dan bawahan. Tidak hanya sekutu. Tapi sebagai dua orang yang mencoba memulai sesuatu yang baru. Percakapan mengalir ringan. Film, buku, makanan. Tawa yang jujur akhirnya muncul. Rasanya aneh... menyenangkan... intim. Sampai ponselku bergetar. Pesan dari nomor tak dikenal. Selamat. Permainan bagus. Tapi jangan lupa, aku masih pegang kartu terbesar. Dokumen itu tak berarti jika perusahaan itu sudah runtuh. Tanyakan pada pacarmu siapa yang sedang membeli saham PT Wirawan Development di pasar gelap. Permainan berubah. Level dua dimulai. Aku menunjukkan pesan itu ke Alvaro. Wajahnya mengeras. “Dia benar. Nadine sedang membeli saham Wirawan Development lewat banyak tangan. Tujuannya jelas. Hancurkan perusahaan, jual aset, lalu kabur.” Perutku mual. Ini bukan sekadar gosip atau intimidasi. Ini perampokan terang-terangan. “Rendy...” gumamku. Alvaro menatapku, penuh tanya. “Kau masih peduli padanya?” Aku terdiam sejenak. “Bukan cinta. Tapi aku tidak ingin Nadine menang. Aku ingin keadilan, bukan pembalasan buta.” Alvaro mengangguk, matanya menyala penuh strategi baru. “Kalau begitu, kita selamatkan PT Wirawan Development. Kita rebut kembali hakmu. Dan kita jebak Nadine dengan permainannya sendiri.” Aku menatapnya, merasakan tekadku mengeras. “Bagus. Aku sudah siap. Apa langkah pertama?” Dia tersenyum. Senyum penuh janji sekaligus bahaya. “Kita temui Rendy. Dan kita tawarkan kesepakatan yang tak bisa dia tolak.”Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang
Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c
Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.
Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern
Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men
Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer







