LOGINKemenangan di konferensi pers terasa seperti peristiwa di kehidupan lain. Sekarang, yang tersisa hanya rasa pahit logam di mulutku dan bisikan-bisikan yang membuntuti setiap langkahku di lorong ALCORP.
“Sugar Daddy.” Kata itu bergema di udara seperti bau busuk yang sulit hilang. Sebagian kolega menghindari tatapanku, sebagian lagi memberiku senyum palsu yang lebih menusuk daripada tatapan sinis. Aku menolak untuk lagi menunduk. Aku berjalan dengan punggung tegak, berpegang pada data, pada angka, pada Ibu Sari. Itu hal-hal yang tidak bisa diambil siapa pun dariku. Pesanku pada Alvaro dibalas dengan cepat. Dalam hitungan jam, artikel balasan keluar di media terpercaya, membongkar kebohongan blog gosip itu. Humas ALCORP bahkan mengeluarkan pernyataan resmi dan ancaman hukum. Tameng korporat yang dingin dan terukur. Tapi bisikan-bisikan tetap ada. Yang lebih mengganggu adalah pesan ancaman berikutnya. Panggung dibakar. Kata-kata itu langsung menggerogoti pikiranku yang sudah letih. Aku menunjukkan pesan itu pada Alvaro di kantornya, kali ini dengan pintu tertutup rapat. “Ini semakin menjadi-jadi,” kataku, suaraku nyaris pecah. Dia membaca pesannya, rahangnya mengeras. “Mereka semakin nekat karena takut. Mereka tahu kau makin kuat.” Matanya menatapku dengan kilatan tajam. “Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita harus menyerang balik. Kita harus tahu siapa sumber di dalam itu. Dan siapa yang bekerja sama dengan Nadine.” “Bagaimana caranya?” tanyaku lelah. Aku merasa sudah habis tenaga. “Kita umpan mereka,” jawabnya cepat, lalu membuka laptop. “Kita buat informasi palsu. Sesuatu yang hanya diketahui tim inti dan Nadine. Kalau bocor, kita tahu persis siapa pengkhianatnya.” Rencananya terdengar cerdik, meski berbahaya. Tapi aku hanya mengangguk. Aku sudah terlalu lelah untuk terus jadi umpan pasif. “Oke. Apa yang harus kita lakukan?” Keesokan harinya, kami mengumpulkan tim inti yayasan: aku, Alvaro, Bima (keuangan), Tari (koordinator lapangan), dan Danang (humas). “Tim, kita punya kabar penting,” kataku, mencoba menyuntikkan semangat ke dalam suaraku. “Ada calon donor dari Singapura, melalui koneksi pribadi Tuan Alvaro. Mereka tertarik untuk mendanai program beasiswa kita secara penuh. Tapi ada syaratnya.” Semua langsung fokus padaku. “Mereka sangat menjaga privasi. Hanya ingin berurusan dengan saya dan Tuan Alvaro langsung. Mereka juga ingin meninjau lapangan minggu depan secara incognito, menyamar sebagai relawan. Nama mereka: Yayasan Phoenix.” Aku menatap mereka satu per satu. “Ini sangat rahasia. Jika bocor, peluang ini bisa hilang. Hanya kita berlima yang tahu.” Cerita itu diramu dengan detail meyakinkan dari Alvaro. Reaksi mereka bervariasi: Bima langsung menghitung potensi dana, Tari semangat membayangkan program berkembang, dan Danang sudah membayangkan strategi komunikasi. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Tapi racun tidak selalu terlihat di awal. Dua hari berlalu. Tidak ada kebocoran. Aku mulai curiga, mungkin sumbernya bukan dari tim inti. Atau Nadine punya jalur lain. Sampai malam itu. Aku baru pulang ke apartemen, melepaskan sepatu hak tinggi dengan lega. Saat menyalakan lampu, tidak menyala. Kupikir listrik padam. Tapi kemudian, hidungku menangkap sesuatu—bau manis yang menyengat, seperti sesuatu yang terbakar. Aku berlari ke jendela yang menghadap ke parkiran. Dan darahku membeku. Mobilku. Civic tua yang selalu menemaniku. Terbakar. Api menjilat-jilat langit malam, asap hitam tebal mengepul. Sirene pemadam kebakaran meraung di kejauhan. Tapi bukan itu yang paling menakutkan. Di tembok parkiran, dengan cat semprot merah yang menetes seperti darah, ada tulisan besar: BERHENTI SEBELUM KAU TERBAKAR. Kakiku lemas. Aku merosot ke lantai. Tubuhku gemetar hebat. Ini bukan lagi gosip atau ancaman samar. Ini nyata. Ini kekerasan. Nyaris percobaan pembunuhan. Ponselku bergetar—Alvaro. Aku tak sanggup mengangkat. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan keras di pintu. “ALEXA! Itu aku, Alvaro! Buka pintunya!” Dengan langkah gemetar, aku membukanya. Dia berdiri di sana, wajah pucat, napas terengah. Begitu pintu terbuka, dia langsung menarikku ke dalam pelukannya. “Ya Tuhan, Alexa… aku lihat beritanya di scanner polisi. Aku langsung lari ke sini.” Pelukannya rapat, seolah-olah aku bisa hilang kalau dia melepaskan. “Kau baik-baik saja? Tidak terluka?” Aku menggeleng, wajahku terkubur di bahunya. Air mata mengalir diam-diam. Dia melepas pelukan, kedua tangannya di bahuku, menatap wajahku penuh cemas. “Kau tidak bisa tinggal di sini lagi. Mereka tahu alamatmu.” “Terus… aku harus ke mana?” suaraku kecil, nyaris seperti anak tersesat. “Bersamaku. Aku punya apartemen tamu, dengan keamanan penuh. Kau akan aman di sana.” Itu jelas ide buruk. Tidak profesional. Tapi malam itu, setelah melihat api melahap mobilku, aturan-aturan terasa konyol. Aku mengangguk. “Oke.” Alvaro membantu mengemasi beberapa barang seadanya. Tangannya tidak pernah jauh dariku. Di mobilnya yang hitam, perjalanan berlangsung dalam diam penuh ketegangan. Apartemen tamunya lebih mewah dari seluruh apartemenku. Minimalis, mahal, steril. Aku duduk di sofa kulit, masih gemetar, sementara Alvaro membuatkan teh. Dia memberikannya padaku, lalu duduk di depanku. “Ini salahku,” katanya lirih. “Aku yang mendorongmu melawan. Aku yang membuatmu jadi target.” “Jangan salahkan dirimu.” Suaraku serak. “Ini bukan pilihanmu, ini pilihan mereka. Kalau aku diam, mereka akan tetap menghancurkan. Kau memberiku kekuatan. Jangan menyesali itu.” Dia mendongak, dan untuk pertama kalinya aku melihat ketakutan yang sama besarnya dengan yang kurasakan. “Alexa, ketika aku dengar laporan itu… membayangkan kalau kau ada di dalam mobil…” Suaranya pecah. “Aku tidak sanggup.” Tangannya menyentuh pipiku, menyeka air mataku. Sentuhan itu menghantamku seperti arus listrik. “Alvaro…” napasku tercekat. “Kode etik itu,” bisiknya, menatap bibirku lalu kembali ke mataku, “tidak ada artinya dibanding keselamatanmu. Dibanding perasaanku padamu.” Dia berhenti. Memberiku pilihan. Dan malam itu, setelah menatap api dan kematian begitu dekat, yang kuinginkan hanyalah kehangatan. Kehangatan dia. Aku menutup jarak di antara kami. Ciuman itu liar, penuh rasa lapar dan pelepasan. Semua ketegangan, ketakutan, dan hasrat tumpah jadi satu. Tangannya memelukku erat, aku meraih rambutnya. Dunia di luar lenyap. Saat akhirnya berpisah, dahi kami masih bersentuhan. “Ini gila,” bisikku. “Dunia sudah gila,” jawabnya, napasnya panas di wajahku. “Kita hanya mencari kewarasan di dalamnya.” Dia tidak memaksakan lebih. Dia hanya memelukku. Dan malam itu kami duduk dalam diam, saling menguatkan di tengah kekacauan. Keesokan paginya, aku terbangun di ranjang besar yang asing. Sinar matahari menembus tirai. Butuh waktu sebentar untuk sadar aku di tempatnya Alvaro. Lalu kenangan semalam menghantamku—api, ciuman, pelukan. Aku keluar dan menemukan Alvaro di dapur kecil, membuat kopi. Ia sudah rapi, tapi wajahnya masih menyimpan sisa ketegangan. “Pagi,” sapanya, tersenyum kecil, lebih lembut dari biasanya. “Tidur nyenyak?” “Tidak cukup,” jawabku, malu. Dia mengangguk. “Tim keamanan sudah memeriksa CCTV. Kabel listrik mobilmu dirusak. Itu pembakaran yang disengaja.” Dadaku sesak lagi. “Dan tulisan di tembok?” “Masih diselidiki.” Dia menyodorkan segelas kopi, tangannya menyentuh tanganku sebentar—dan itu terasa seperti janji. “Kau tidak akan kembali ke apartemenmu. Kau tetap di sini sampai aman.” “Ini tidak benar, Alvaro,” protesku lemah. “Yang tidak benar adalah membiarkanmu sendirian,” katanya tegas. “Itu tidak akan terjadi.” Ponselnya berdering. Dia mengangkatnya. “Danang? Ada apa?... APA?!” Ekspresinya berubah drastis, dari hangat ke murka. “Jangan biarkan dia pergi. Tahan dia. Aku dan Alexa segera ke sana.” Dia menutup telepon, matanya berkilat marah. “Ada apa?” tanyaku panik. “Umpan kita bekerja. Berita tentang donor Phoenix bocor.” Napasnya berat. “Dan sumbernya jelas. Danang. Dia ketahuan mengirim informasi ke jurnalis bayaran Nadine.” Rasanya perutku ditinju. Pengkhianat itu orang yang bekerja bersamaku setiap hari. “Jadi sekarang kita tahu,” bisikku datar. Alvaro mendekat, menatapku dengan sorot mata penuh api. “Sekarang,” katanya, suaranya dingin, “kita balas menyerang.”Musim hujan datang tanpa banyak peringatan. Awalnya cuma gerimis lembut yang membasahi jalan, lalu berubah jadi rintik-rintik yang menetap, mengetuk jendela dengan ritme tenang. Buat kami, hujan bukan sekadar cuaca. Ia seperti bab baru—bukan yang menutup, tapi yang menyembuhkan.Surya menemukan kesenangan aneh dari suara hujan. Sore itu, dia duduk di dekat jendela, dagunya bertumpu di lutut, dahinya menempel di kaca dingin.“Dengerin, Bu,” katanya pelan, matanya setengah terpejam. “Hujannya nyanyi.”Aku ikut diam, mencoba mendengar seperti dia. Suaranya bukan sekadar rintik air—ada dentuman kecil di talang, desisan lembut di daun, dan ketukan acak di teras. Seperti melodi yang nggak butuh alat musik.“Lagu apa yang dia nyanyikan?” tanyaku.“Lagu tentang yang hilang terus ketemu lagi,” jawabnya lirih. “Tentang bumi yang haus, terus akhirnya bisa minum. Kayak kita.”Aku tersenyum. Anak ini... selalu punya cara sendiri buat memahami hal-hal besar dengan kata-kata sederhana.Alvaro yang
Kemenangan hari itu kami rayakan dengan cara sederhana. Tidak ada pesta, tidak ada balon atau tumpeng. Hanya semangkuk es krim cokelat—favorit Surya—yang dia habiskan dengan penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang menikmati sesuatu yang sakral. Setiap sendok yang masuk ke mulutnya adalah pengingat bahwa tubuhnya masih sanggup menerima kebahagiaan kecil."Enak," gumamnya sambil menjilat sendok. Matanya berbinar, cahaya itu kembali—belum sekuat dulu, tapi cukup untuk membuat dadaku sesak oleh rasa syukur."Pelan-pelan, Sayang," kataku, sambil menatapnya dengan senyum yang nggak bisa kutahan.Alvaro duduk di seberang, merekam dengan ponselnya. Gambar itu goyah, tapi justru di situlah keindahannya—rekaman tangan seorang ayah, bukan sinematografer. Bukan untuk dibagikan, hanya untuk disimpan. Sebuah kenangan kecil yang ingin kami genggam selamanya.Malamnya, setelah Surya tertidur dengan perut kenyang dan senyum yang masih menempel di bibirnya, aku dan Alvaro duduk di dapur. Teh c
Kata remisi itu seperti udara segar yang tiba-tiba masuk ke paru-paru setelah berbulan-bulan menahan napas. Bukan akhir dari perjuangan, tapi sebuah jeda—izin untuk bernapas lega, untuk berharap lagi, untuk percaya bahwa hidup masih punya ruang bagi keajaiban. Pulang dari rumah sakit tak seperti yang sering digambarkan film. Tidak ada tawa besar atau musik ceria. Yang menyambut kami justru keheningan yang lembut, seperti doa yang baru saja selesai dibisikkan. Rumah kami yang selama ini dipenuhi bau obat, botol antiseptik, dan langkah perawat kini terasa seperti tempat yang baru. Seperti ruang yang telah disucikan oleh air mata dan keberanian. Surya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya masih kurus, gerakannya hati-hati, tapi matanya—mata itu sudah kembali bersinar. “Rumah,” katanya pelan, seolah mencicipi arti kata itu lagi. Alvaro berdiri di belakangnya, dan aku melihat bahunya bergetar. Dia tak berkata apa pun. Air matanya jatuh diam-diam, bukan karena kesedihan, tapi karena lega.
Pameran “Keluarga Seutuhnya” memang telah berakhir, tapi gema emosinya masih terasa di mana-mana. Surat-surat mulai berdatangan ke kampus Sri Wirawan—dari orang-orang yang bercerita tentang keluarganya sendiri, tentang rahasia yang dulu mereka sembunyikan, tentang luka yang akhirnya mereka berani hadapi. Kampus itu, yang dulu hanya menjadi tempat belajar, kini menjelma menjadi ruang penyembuhan. Tempat di mana orang datang bukan hanya untuk mencari ilmu, tapi juga untuk berdamai dengan masa lalu mereka.Di dalam keluarga kami sendiri, suasana damai itu terasa nyata, tapi berbeda dari sebelumnya. Ini bukan ketenangan karena tidak ada masalah, melainkan karena kami tahu, apapun masalah yang datang nanti, kami bisa menghadapinya bersama.Alvaro dan Siska terlihat semakin dekat. Hubungan mereka yang dulu rumit kini berubah jadi sesuatu yang tulus—aneh, tapi hangat. Mereka bukan sekadar paman dan keponakan, bukan juga hanya teman seperjuangan, tapi dua jiwa yang saling memahami karena pern
Ketenangan setelah pengungkapan terakhir tentang Ibu Sari terasa seperti tarikan napas pertama setelah lama menyelam. Ada kelegaan yang hampir bisa kurasakan secara fisik—seolah-olah beban yang selama ini menekan punggung kami akhirnya terangkat. Rumah baru kami yang sederhana bukan lagi tempat berlindung dari ancaman, melainkan ruang yang benar-benar meneduhkan, tempat di mana kami belajar bernapas dengan damai. Alvaro dan Siska melewati minggu-minggu berikutnya dengan cara mereka sendiri. Mereka sering pergi berdua, mengunjungi tempat-tempat yang dulu berarti bagi ibu mereka. Bukan untuk mencari jawaban lagi, tapi untuk berdamai dengan kenangan. Kadang, aku melihat mereka duduk di taman sambil berbagi cerita lama. Ada tawa, ada air mata, tapi selalu ada kedekatan yang tulus di antara keduanya. Rasanya seperti menyaksikan luka lama perlahan berubah jadi sesuatu yang lembut. Sementara itu, Diana yang sudah mulai pulih kembali menemukan semangatnya lewat musik. Ia memutuskan untuk men
Kehidupan di rumah baru berjalan dengan irama yang sama sekali berbeda. Tidak lagi terburu-buru, tidak lagi dibayang-bayangi agenda rapat atau dering telepon tanpa henti. Pagi hari dimulai dengan tawa Surya yang sibuk menceritakan mimpinya sambil menyendokkan sereal. Alvaro, yang dulu bahkan jarang turun ke dapur, kini punya ritual baru: membuat kopi dengan metode tuang perlahan. Aku sering memperhatikan caranya menuang air panas di atas bubuk kopi dengan kesabaran yang tak pernah kubayangkan darinya. Aku sendiri menemukan ketenangan sederhana dalam menanam basil dan rosemary di pot-pot kecil di jendela dapur. Ada rasa puas yang aneh saat memetik daun segar untuk masakan malam.Perubahan ini merembes ke segala hal. Alcorp, di bawah kepemimpinan generasi baru, mulai bergerak ke arah yang lebih berani, menekankan pada keberlanjutan dan bisnis yang etis. Sementara kampus Sri Wirawan semakin ramai. Tidak lagi sekadar ruang kuliah, tapi pusat dialog lintas budaya. Festival tahunan yang mer







