Share

Jejak yang Terlacak

Author: laliza mpoet
last update Last Updated: 2025-09-06 07:09:36

Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat.

Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania.

Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi.

“Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah.

Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya.

Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercayaannya—seseorang yang berani dan bisa diandalkan. Dalam percakapan singkat di telepon, ia menyampaikan semua informasi yang dimiliki, memastikan bahwa strategi mereka tidak bocor.

Di luar, langit mulai mendung. Hujan sore kemungkinan akan turun. Alexa menarik napas panjang, menatap peta digital alamat itu.

Satu hal jelas: Nadine semakin mendekat, dan waktu semakin sedikit. Setiap langkah harus tepat, atau Rania bisa hilang selamanya.

Malam itu, Alexa dan orang kepercayaannya—Rafa, seorang sahabat lama yang tangguh dan cerdas—berdiri di balik bayangan gedung yang berjarak beberapa blok dari alamat yang mereka temukan. Lampu-lampu jalan memantul di genangan hujan, membuat suasana semakin mencekam.

“Aku sudah periksa rute masuk dan keluar. Nadine pasti menaruh pengawas di sekitar,” kata Rafa sambil menunduk, memeriksa peta digital yang menempel di tangannya.

Alexa menelan ludah. Hatinya berdebar, tetapi tekadnya lebih kuat daripada rasa takut. “Kita harus cepat. Setiap detik berarti untuk Rania,” jawabnya.

Mereka mulai mengamati lokasi dari jarak aman. Gudang itu tampak sepi, tapi lampu redup di jendela menunjukkan ada seseorang di dalam. Setiap gerakan bayangan dari jendela mereka catat dengan teliti.

“Celah masuk ada di belakang, tapi dijaga kamera. Kalau kita ingin masuk, kita harus mengalihkan perhatian mereka,” Rafa menjelaskan.

Alexa mengangguk. Rencana mereka sederhana: buat gangguan di sisi timur gedung, sementara mereka masuk melalui pintu belakang. Risiko tinggi, tapi satu-satunya cara untuk menemukan Rania.

Detik-detik terasa seperti jam. Hujan mulai turun, membasahi jas hujan mereka. Alexa merasakan adrenalin membuncah. Ia tahu, setiap langkah salah bisa membuat Rania hilang untuk selamanya, atau bahkan membahayakan nyawa mereka.

Mereka bersiap, menahan napas. Malam ini, bayangan Nadine harus ditembus.

Alexa dan Rafa merunduk di balik semak-semak, mengintai gudang dari jarak dekat. Hujan deras membuat suara langkah mereka hampir tak terdengar. Lampu redup dari jendela menimbulkan bayangan bergerak-gerak di dalam, memperlihatkan beberapa sosok yang sedang berjaga.

“Jika kita ketahuan, itu berakhir buruk,” bisik Rafa, matanya fokus pada pintu belakang.

Alexa menelan ludah, merasakan detak jantungnya berlari. Ia mengangguk pelan. “Aku tahu. Kita harus sabar dan tunggu celahnya.”

Beberapa menit kemudian, seorang penjaga keluar dari pintu kecil untuk membuang sampah. Rafanya segera memberi isyarat. Ini saatnya.

Dengan gerakan cepat tapi hati-hati, mereka menyelinap ke pintu belakang gudang. Pintu itu sedikit terbuka—mungkin lupa dikunci sepenuhnya. Alexa menahan napas, memegang dokumen-dokumen Rania erat di tasnya.

Begitu masuk, aroma lembab dan debu menyergap. Bayangan di dalam bergerak cepat, namun mereka berhasil bersembunyi di balik tumpukan kardus. Setiap langkah mereka diperhitungkan, hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Alexa mengintip ke salah satu sudut dan melihat Rania—terikat kursi, wajahnya pucat tapi masih sadar. Mata mereka bertemu sejenak. Seketika, rasa lega dan marah bercampur. Nadine benar-benar menaruh Rania dalam bahaya.

Rafa menepuk bahu Alexa pelan, memberi tanda. “Kita harus membebaskannya sekarang, tapi pelan. Jangan sampai Nadine atau anak buahnya sadar.”

Alexa menarik napas panjang, menyiapkan langkah pertama untuk menyelamatkan Rania. Malam ini, mereka harus cerdik—satu kesalahan kecil bisa membuat segalanya berakhir tragis.

Alexa dan Rafa merayap pelan menuju Rania. Setiap langkah terasa seperti napas tertahan; suara sekecil apapun bisa membongkar rencana mereka.

Rania menatap mereka dengan mata yang basah, tapi ada secercah harapan di sana. “Alexa… Rafa… aku tahu kalian akan datang,” bisiknya, suara bergetar.

Alexa tersenyum tipis, menyalurkan keberanian pada Rania. “Kita akan keluar dari sini, Rania. Tenang saja.”

Rafa membuka ikatan tali di tangan Rania, hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Setiap detik terasa seperti abad, sementara beberapa bayangan dari penjaga masih terlihat di ujung gudang.

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari arah pintu utama. Alexa menahan napas, menempelkan tubuhnya dan Rania di balik kardus. Seorang penjaga muncul, menoleh ke arah mereka.

Rafa mengerang pelan, menahan panik. Alexa meraih tangan Rania, berbisik, “Ikuti aku, pelan-pelan.”

Dengan hati-hati, mereka merayap ke arah pintu belakang. Hujan deras malam itu menjadi pelindung alami, menutupi suara langkah kaki mereka. Sesekali, bayangan penjaga melintas, tetapi mereka berhasil tetap tersembunyi.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, mereka berhasil keluar dari gudang. Udara malam yang basah menyapa wajah mereka, membawa kelegaan sekaligus ketegangan yang masih menempel.

Rania memeluk Alexa dengan erat, suara gemetar tapi lega. “Terima kasih… kalian menyelamatkanku,” katanya.

Alexa menghela napas panjang, menatap Rafa. “Ini belum selesai. Nadine pasti akan mencari kita, tapi malam ini, kita menang sedikit.”

Hujan mulai mereda saat Alexa, Rafa, dan Rania bergerak menjauh dari gudang. Jalanan sepi, tapi Alexa tetap waspada. Ia tahu anak buah Nadine bisa muncul kapan saja.

“Tetap tenang. Jangan membuat suara,” bisiknya, matanya menatap gelap malam.

Tiba-tiba, dari gang sempit muncul dua sosok yang tampak seperti penjaga. Alexa segera menarik Rania ke belakang mobil, menahan napas. Rafa bergerak cepat, menghadang jalan mereka.

Pertarungan singkat terjadi—Rafa berhasil menundukkan salah satu, Alexa dengan cekatan menghadapi yang lain. Rania tetap di belakang, jantungnya berdebar.

Setelah beberapa menit yang menegangkan, mereka berhasil lolos dan berlari ke mobil yang diparkir beberapa blok dari situ. Alexa menyalakan mesin, dan mereka bergerak cepat meninggalkan area itu.

Di dalam mobil, ketiganya diam sejenak, menenangkan napas yang tersengal. Alexa menatap Rania, lalu Rafa. “Kita berhasil keluar. Tapi ini baru permulaan. Nadine tidak akan diam. Kita harus siap untuk konfrontasi terakhir.”

Rania mengangguk, masih terisak. “Aku… aku percaya padamu, Alexa.”

Alexa menepuk bahunya lembut. “Dan aku tidak akan mengecewakanmu. Sekarang kita fokus pada satu tujuan: menghadapi Nadine, dan memastikan dia tidak bisa menyakiti lagi siapa pun.”

Malam itu, meski rasa takut masih menggantung, ada secercah kemenangan. Mereka berhasil selamat, dan langkah pertama menuju akhir pertarungan dengan Nadine telah dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Bayangan yang Mengusik

    Malam itu, setelah rapat panjang, Rafa dan Alexa akhirnya pulang. Namun, suasana rumah yang biasanya hangat terasa sedikit berat. Alexa berusaha tersenyum sambil menyiapkan makan malam, tapi pikirannya masih tertinggal di kantor.“Rafa…” ia membuka suara pelan. “Aku merasa Isabella bukan hanya sekadar konsultan. Ada sesuatu dalam caranya menatapmu… seperti dia ingin lebih dari sekadar kerja sama.”Rafa yang sedang melepas dasi menoleh, matanya serius. “Aku tahu kau melihatnya. Tapi jangan khawatir, aku tidak pernah memberi ruang untuk hal itu. Fokusku hanya padamu… dan kita.”Alexa menunduk, sedikit lega, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa hilang.Sementara itu, di sebuah café mewah, Isabella duduk sendirian dengan segelas anggur. Ponselnya bergetar—sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Pastikan Rafa tetap dalam tekanan. Semakin dia terpojok, semakin mudah kita masuk.”Isabella tersenyum tipis. “Permainan baru saja dimulai,” gu

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Kehidupan Baru

    Sinar matahari pagi menembus jendela besar rumah Rafa. Alexa membuka matanya perlahan, masih merasakan hangatnya malam yang damai kemarin. Tawa Rania terdengar dari halaman belakang, sementara Rafa sedang menyiapkan sarapan sederhana tapi hangat.“Selamat pagi, Alexa,” sapa Rafa sambil menyerahkan secangkir kopi hangat. Matanya menatap lembut, penuh perhatian. “Tidur nyenyak?”Alexa tersenyum, menerima kopi itu. “Iya… aku rasa untuk pertama kalinya sejak lama, aku benar-benar merasa tenang.”Rania muncul membawa beberapa kertas gambar. “Aku menggambar semua kejadian seru kita selama beberapa bulan terakhir!” katanya antusias. Alexa tersenyum melihat hasil karyanya. Momen sederhana ini, tawa dan kegembiraan mereka, terasa jauh lebih berharga daripada semua kekayaan dunia.Namun, di balik kedamaian itu, Rafa mulai menerima kabar dari kantornya—proyek baru yang menantang menuntut perhatian segera. Alexa menatap Rafa dengan sedikit khawatir. “Apakah kau yakin kita masih bisa menikmati pag

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Ketenangan dan Awal Baru

    Beberapa minggu setelah penangkapan Nadine, kehidupan Alexa, Rania, dan Rafa perlahan kembali normal. Gudang yang dulu menjadi sarang ancaman kini sepi, hanya menyisakan bekas-bekas ketegangan yang kini berubah menjadi kenangan yang memberi pelajaran. Alexa duduk di teras rumahnya, menyesap kopi hangat sambil menatap matahari terbit. Udara pagi segar, seolah menyapu semua rasa takut dan ketegangan dari malam-malam sebelumnya. Rania berjalan menghampiri dengan senyum tipis, masih terlihat lemah tapi matanya bersinar dengan rasa lega. “Aku tidak pernah menyangka bisa merasa bebas lagi,” katanya. Alexa tersenyum lembut. “Itu karena kau berani menghadapi semuanya. Dan kau tidak sendirian. Rafa, aku, kita selalu bersamamu.” Rafa muncul dari dapur membawa beberapa camilan. “Dan jangan lupa, sekarang kita bisa tidur tanpa waspada setiap malam,” canda Rafa, membuat Rania tertawa pelan. Alexa menatap kedua sahabatnya, rasa syukur mengalir di hatinya. Mereka telah melewati badai, menghadap

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Konfrontasi Terakhir

    Beberapa hari setelah penyelamatan Rania, Alexa duduk di ruang kerjanya, menatap peta dan catatan yang menumpuk di meja. Nadine tidak hanya licik; ia brutal dan cerdas. Kali ini, Alexa tahu mereka harus menyerang dengan strategi matang, bukan sekadar mengandalkan keberanian. Rafa masuk membawa secangkir kopi dan duduk di seberang meja. “Aku sudah memeriksa semua jalur keluar dan masuk, serta anak buah Nadine. Ada titik lemah yang bisa kita manfaatkan,” katanya. Alexa mencondongkan badan, matanya berbinar. “Bicara.” Rafa menunjuk pada peta. “Gudang terakhir yang mereka gunakan untuk latihan atau penyimpanan barang berisiko tinggi. Tapi ada terowongan lama yang dulunya untuk evakuasi darurat. Nadine kemungkinan besar tidak menggunakannya lagi.” Alexa tersenyum tipis. “Jadi kita masuk melalui sana. Kita buat Nadine lengah.” Rania duduk di sudut ruangan, masih lemah setelah pengalaman mengerikan itu, tapi tatapannya penuh tekad. “Aku ingin ikut. Aku tahu aku lemah, tapi aku ingi

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Jejak yang Terlacak

    Pagi itu, Alexa duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir dingin. Matanya masih menatap dokumen-dokumen Rania, menyusun potongan teka-teki yang semakin kompleks. Nadine bukan hanya licik; ia strategis, dan setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan cermat. Alexa membuka laptop dan mulai menelusuri jejak digital Nadine. Ia meneliti transaksi, media sosial, dan bahkan lokasi-lokasi yang mungkin dikunjungi Nadine. Setiap detil kecil bisa menjadi petunjuk untuk menemukan Rania. Setelah beberapa jam, Alexa menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah alamat yang sering dikunjungi Nadine dalam beberapa minggu terakhir. Itu bukan rumah biasa—lebih seperti gudang atau tempat tersembunyi. “Ini… mungkin tempat Rania disembunyikan,” bisiknya, menelan ludah. Tanpa membuang waktu, Alexa menyiapkan rencana. Ia tahu sendirian ia akan sulit menembus rahasia itu. Ia perlu bantuan, tapi harus hati-hati memilih orang yang bisa dipercaya. Ia menghubungi seseorang dari lingkaran kepercay

  • Saat Kau Ambil Suamiku, CEO Itu Jadi Milikku   Rahasia dalam Bayangan

    Pesan Rania masih tergantung di layar ponsel Alexa. Jantungnya berdetak tak beraturan. Setiap kata seperti menancap di dada, membuatnya sulit bernapas.“Jangan percaya siapa pun… semua ini ada hubungannya dengan Nadine…”Alexa menatap langit-langit kamarnya, mata berkaca-kaca. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa yang bisa ia lakukan sendirian?Dengan tangan gemetar, ia mulai menelpon Rania berkali-kali. Nada sambung terdengar, lalu berhenti. Nada itu seperti terputus di tengah harapannya. Ponsel Alexa berdering tanpa henti, tapi tak ada jawaban.Rasa takut perlahan berubah menjadi kepanikan. Ia menelpon rumah Rania, nomor darurat, bahkan teman-teman lain yang mungkin tahu keberadaannya. Semua sia-sia.“Apa yang terjadi padamu, Rania…?!” bisiknya, suaranya hampir pecah.Alexa duduk di sofa, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar pertanyaan: apa yang sebenarnya dilakukan Nadine? Dan seberapa jauh ancamannya?Di luar, lampu jalan berpendar di trotoar basa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status