Part 6 (Jual Beli Bacotan)
Musik tiba-tiba saja berhenti, lagu yang tadi mengalun merdu di telingaku kini tak lagi terdengar. Para tamu undangan saling menatap sambil berbisik-bisik. Mungkin mereka terkejut, mendapati seorang wanita yang datang dan langsung membuat kekacauan di pesta semeriah dan semegah ini."Nana," ucap Mas Reza, ia menelan ludah kasar. Pupil matanya masih membesar. Tangan yang tadi melingkar di perut Salma kini terlepas. Senyum merekah yang terukir di bibirnya telah di ganti dengan raut keterjutan. "Apa, Mas? Mau ngomong apa kamu, hah? Mau bilang ini semua tidak benar Nana? Ini sandiwara, begitu, hah! Kamu pikir aku ini, bodoh! Dasar munafik! Dan kamu Salma! Kamu tega hianati persahabatan kita. Apa kurangnya aku selama ini? Sampai hati kamu tikung sahabatmu sendiri! Otakmu itu kamu taruh di mana!" ujarku seraya menunjuk-nunjuk wajah Salma. Dadaku naik turun seiring amarah yang menggebu-gebu. Kulempar telur busuk ke arah Salma saking geramnya aku melihatnya. Jijik. Sok cantik, sok caper, sok manis. Padahal hatinya busuk seperti telur busuk yang mengenai rambutnya. "Nana, apa-apaan sih kamu ini! Ngapain coba kamu ke sini, kamu gak lihat kalau kita, dan apa ini—" Salma tidak melanjutkan ucapannya. Ia terlihat syok melihat gaun indah yang ia kenakan tersebut kotor. Bau amis menyeruak sampai ke hidungku. Aromanya tidak sedap. Dan ini tidak akan cukup untuk membalas rasa sakitku."Kita apa? Beraninya kamu ambil suamiku! Dasar, pelakor! Wanita jahanam, saking gak lakunya kamu, suami sahabatmu sendiri kamu embat, hah!" Aku berteriak keras membuat orang yang ada di sekelilingku tercengang. Dalam sekejap suasana di gedung ini berubah tegang. Tidak ada suara, baik dari dentuman musik atau pembawa acara. Seluruh tamu undangan diam membiarkanku berteriak lantang. "Nana, cukup!" sentak Mas Reza padaku. "Kenapa? Biar semua orang tahu perbuatan kalian di belakangku! Alasan keluar kota karena pekerjaan! Gak tahunya gelar resepsi dan pergi bulan madu!""Jangan bikin kita malu!" pekik Mas Reza. Darahku mendesir sampai ubun-ubun. Mataku terus menyala tajam ke arah Mas Reza. Suamiku itu bahkan tidak merasa bersalah. "Bikin malu kamu bilang? Harusnya kalian berdua yang malu, hah!" Aku maju selangkah, kuambil tomat busuk dalam tas. Lalu kulempar ke arah Salma dan Mas Reza. "Nana, stop! Bau, Na!""Kalian menyuruhku berhenti, oh tidak semudah ini. Kalian harus rasakan ini!" Aku menyerang mereka bertubi-tubi. Kulempar telur busuk ke arah mereka. Tidak kugubris teriak Mas Reza yang memintaku berhenti. Hatiku terlanjur sakit, tidak bisa kujelaskan betapa hancurnya aku mendapati kenyataan ini. Dia dan Salma. Mereka bahkan sudah berhubungan badan sebelum menikah. Bolehkan aku merasa jijik. Milikku telah dibagi. Dan aku benci kenyataan itu."Nana, stop! Kamu ini apa-apaan sih Na," teriak Salma, wajahnya memerah. Tampak guratan kekesalan terpancar di matanya. "Nana berhenti! Lebih baik kamu pergi dari sini!" Tiba-tiba saja Tante Rona datang. Ia Ibunya Salma yang sudah kuanggap seperti Ibuku sendiri. Di sini lah wajah asli mereka terlihat. Dan ternyata, mereka tak sebaik yang kukira. Oh, atau jangan-jangan mereka selama ini hanya berpura-pura baik padaku."Tante mengusirku? Setelah apa yang mereka lakukan padaku!""Jangan berlebihan, Nana. Kita selesaikan masalah ini di rumah!" berang Mas Reza. Aku tertawa kecil, urat-urat di leherku semakin menegang. Gigiku gemeletuk mendengar ucapannya. "Aku bisa jelaskan semua ini, tapi tidak di sini. Pulang, dan tunggu suamimu di rumah!" lanjut Mas Reza. Kugelengkan kepala, ia menyuruhku menunggu di rumah? Yang benar saja. "Tidak Mas, aku tidak akan pulang sebelum tujuanku tercapai!" tuturku penuh penekanan. Mas Reza menyugar rambutnya ke belakang. Kulihat Tante Rona menghampiri putrinya. "Kalian semua dengar aku!" Mataku mengarah ke setiap sudut yang ada di gedung ini. Kudapati tatapan para tamu undangan tertuju padaku. "Asal kalian semua tahu, sosok lelaki yang ada di samping wanita itu adalah suami saya! Dan wanita itu adalah sahabat saya! Mereka memiliki hubungan di belakang saya! Dan mereka berencana bulan madu dengan mengelabui saya! Membodohi saya!" Aku menarik napas panjang, memberi jeda sejenak. Mas Reza terperangah, sekujur tubuhnya mematung di sana. Tanpa bisa dibendung, suara ricuh mengisi gedung ini. Para tamu undangan bergosip ria, ada sebagian dari mereka yang langsung memaki dan mencibir Salma. Aku tidak perduli apa pun yang akan terjadi setelah ini. Karena yang kubutuhkan sekarang adalah kepuasan melihat mereka tak punya muka di pesta yang mereka adakan. "Huh, lagi-lagi pelakor!""Gak tahu diri banget,""Woy pelakor! Mati saja kau! hidup cuman sekali! Kalau kau merasa tidak berguna jangan menyusahkan orang lain. Kalau kau tidak bisa membahagiakan orang, jangan rusak kebahagiaan orang.""Aku paling benci kalau udah menyangkut perselingkuhan. Bawaanya pengen kucubit ginjalnya," sungut mereka. Salma memalingkan muka, kulihat kepalan tangannya semakin kuat. Sedangkan Mas Reza, suamiku itu tak berkutik. "Cukup Nana, jangan permalukan anakku! Kamu jadi perempuan itu sadar diri! Koreksi dirimu sampai suamimu itu berpaling!" seru Tante Rona, ia berjalan cepat ke arahku. Tanpa aba-aba Tante Rona mendorongku. "Tidak salah tante menyuruhku introspeksi diri? Kenapa tidak Tante suruh saja anak Tante itu berkaca. Oh, jangan-jangan Tante merasa bangga yah anak Tante merebut suami orang!" Aku mundur beberapa langkah. Membalas cibiran Tante Rona. Matanya mendelik tajam, Tante Rona mendengus tak terima. "Beraninya kamu, hah! Siapa kamu!"Kutepis tangan Tante Rona. Sekali lagi kulempar telur busuk itu ke arah suamiku dan Salma. "Cukup, Nana. Bau, lebih baik kamu pergi dari sini! Mas, usir dong dia!""Tidak tahu malu, sahabat macam apa kamu!" Aku mengayun langkah menghampiri Salma. Kami saling adu tatapan. Tanpa pikir dua kali, kutampar pipinya dengan tenaga berlipat-lipat. "Plak!"Salma tersentak kaget, ia menyentuh pipinya yang mulus itu. "Beraninya kamu menamparku!""Dasar pelakor! Kamu pikir aku takut! Ratusan tamparan tidak akan bisa mengobati sakit hatiku!" Salma menatapku garang. Ia berkacak pinggang. Mana Salma yang kukenal. Dia telah berubah menjadi ular berbisa. "Aku bukan pelakor, suamimu sendiri yang datang padaku. Kamu tahu itu! Ngaca dong, lihat itu mukamu. Kamu itu udah jelek Nana, ikhlasin aja kalau di selingkuhi!" tutur Salma. Gejolak dalam dada menguap. Ingin kubalas perkataannya. Namun penuturan dari Ibu-ibu membuatku bungkam, tanpa sadar terciptal senyuman tipis di sudut bibir ini."Hey pelakor! Lihat itu mukamu sendiri! Mirip nenek-nenek. Masih cantikan dia! Muka licin kaya belut aja kamu banggakan. Apa tidak ada laki lain yang bisa kamu jadikan suamimu!""Kalian tidak usah ikut campur, ini salahnya Nana sendiri. Jadi istri nyusahin suaminya doang!""Nyusahin kamu bilang? Lihat itu dirimu sendiri Salma. Hatimu busuk! Bermuka dua, baik di depan, nikung dari belakang!"Menyentak napas, Salma melototiku. "Mau apa kamu hah?""Biadab kamu Nana, kamu bikin acaraku berantakan. Rasakan ini!"Aku segera menghindar. Dengan cepat aku mengambil sisa tomat busuk yang ada dalam tas. Lalu kulempar ke arah Salma hingga mengenai wajahnya."Ayo mbak, hajar. Lempar lagi. Masih ada tidak persediaan telurnya.""Rasain lu pelakor, gak bisa ngebahagiain, ya minimal gak usah ambil milik orang!""Mampus kau, rasakan itu!"Salma tersudutkan. Aku menoleh ke samping, lalu melirik tanganku yang dicengkeram kuat oleh Mas Reza. Matanya meruncing. Sedikit pun aku tidak merasa takut. "Nana!" serunya. Kuhempaskan begitu saja tangannya. "Apa? Mau marah?""Jaga sikapmu!""Coba bilang sekali lagi?""Nana cukup, jangan sakiti Salma!"Aku mengangkat wajah. Tanganku yang gatal ini telah melayang di pipi Mas Reza. "Plak!"Suara tamparan itu keras, jejak kemerahan terlihat di pipi kiri suamiku. "Kamu menamparku, Nana?""Iya, biar adil.""Usir saja dia Reza!" Tante Rona menyahut. "Di sini kau ternyata Rona! Kucari-cari kau di mana-mana, tak tahunya kau menjadi tameng anakmu! Kembalikan uangku! Dasar penipu, kembalikan atau kulaporkan kau ke polisi! Anak jadi pelakor, Ibunya penipu! Waw, menjijikkan. Goblok banget kamu Reza! Cari selingkuhan yang kelasnya masih jauh dari Nana, menantuku!"Aku melongo, Mama berdiri tak jauh dariku. Tante Rona menoleh dan langsung bergeming. Mas Reza pun sama. Ia pasti terkejut melihat Mamanya ada di sini. Papanya pun ada, lihat saja yang berdiri dipojok kiri itu. Oh, sekarang aku mengerti. Orang yang Mama maksud itu ternyata Tante Rona. "Dasar bangkek kamu Reza!" gerutu Mama. Ia mempercepat langkah. Bisa kulihat ada kilatan amarah di matanya."Kamu menikah dengan anaknya penipu!""Tutup mulutmu Reni! Lebih baik kamu ajari itu menantumu sopan santun. Haknya Reza mau nikah lagi atau tidak. Kamu lebih baik diam saja. Ibu macam apa kamu ini yang lebih membela anak mantu. Ketimbang anakmu sendiri!" hardik Tante Rona. Mama yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima. "Apa kataku? tidak salah dengar aku ini, hah. Ajari itu anakmu biar tahu malu, sini kembalikan uangku. Penipu, kulaporkan polisi mampus kau Rona!" murka Mama.Part 64 (Sempurnanya Bahagiamu) ****Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Nana sudah memasuki sembilan bulan. Kata Dokter, seminggu lagi perempuan itu diperkirakan akan melahirkan. Segala keperluan sudah Zeen persiapkan, Zeen juga meminta pada Mamanya untuk menemani Nana saat ia tak ada di rumah. Wanita paruh baya itu sudah sejak semalam tinggal di sana. Sementara sang suami, sesekali datang berkunjung di sela kesibukannya bekerja, dan menemani sang putra yang masih berada di rumah sakit. Reza masih berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. "Ya ampun, Na. Mau ke mana?" Mama Reni tampak terkejut saat mendapati sang menantu berjalan tertatih keluar dari kamar. Buru-buru ia menghampiri Nana, dan memapah menantunya agar tak jatuh. "Mama lagi apa?" tanya Nana. Mereka berdua berjalan menuju sofa yang ada di ruang tengah. Mama Reni membawa Nana ke sana."Mama lagi bersih-bersih terus lihat kamu, kamu kenapa keluar dari kamar sayang?" Dengan penuh kelembu
Part 63 (Gendutan Yak?)****"Iya, yang itu—ah tidak, jangan yang itu. Yang sampingnya Mang. Sudahlah Mang, lebih baik Mang Kasep turun, biarkan saya sendiri yang manjat." Zeen berujar pada Mang Kasep yang kini berada di atas pohon. Nana yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Dirinya yang hamil, justru sang suami yang mengidam, morning sickness dan segala macamnya. Sejak kedatangan Ibunya ke rumahnya beberapa hari yang lalu, Nana mulai kembali pada aktivitasnya. Beban yang bersarang pada pundaknya perlahan berangsur hilang. Ia mulai menikmati hidupnya. Toh sekarang hidupnya sudah lengkap dengan keberadaan Zeen dan tentunya dengan kehadiran sang buah hati yang masih mereka nantikan."Tapi Tuan," keluh Mang Kasep. Lelaki itu menunduk, menatap Tuannya."Saya bilang turun, Mang. Biarkan saya sendiri yang ambil." Sambil mendengkus Zeen menjawab perkataan Mang Kasep. Tanpa menunggu perintah dua kali, Mang Kasep segera turun. "Biarkan Mang, Ibu hamil satu ini memang aktif," c
Part 62 (Damai)****Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berhembus pelan memasuki ruangan bernuansa putih itu. Reza merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Ia merapatkan selimut, mengigit ujung bibir menahan nyeri dalam hati. Entah perasaan apa ini? Hanya rasa sesak yang menguasai hatinya. Ia telah terbelenggu oleh rasa bersalah yang ternyata semakin hari, semakin menjadi-jadi. Rasa yang tak mungkin bisa lagi ia ulang. Untuk ikhlas pun rasanya berat. Huft. Tarikan napas berat Reza ambil."Reza ..."Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu segera menyudahi lamunan, ditatap kembali wajah sendu Mamanya dari balik layar ponselnya. Dirinya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ia telah membuang berlian, dan menukarnya dengan bongkahan batu. Dan parahnya, berlian yang ia buang itu telah dipungut oleh orang yang tepat. "Kamu kenapa? Are you okey?""Nana hamil Ma?" tanya Reza. Ia mati-matian menahan gelombang yang menghimpi
Part 61 (Baby Twins?)****"Nana, bagaimana kabarmu? Kamu nyaman kan tinggal bersama Zeen? Apa Zeen memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Reni melalui sambungan telepon. Wanita itu sungguh merindukan menantunya. Setelah Zeen memboyong Nana pergi rumahnya tampak sepi. "Kabarku baik Ma, hanya saja ada sedikit masalah. Zeen memperlakukanku dengan baik. Bagaimana kabar Mama?" jawab Nana pelan. Ia berlari berbirit-birit ke kamar mandi saat mendengar suara rintihan. Dengan kasar Nana membuka pintu, dan langsung menemukan Zeen yang membungkuk di wastafel."C'k, menyusahkan. Sudah berapa kali kukatakan, kau ini butuh ke Dokter. Jangan nakal bisa tidak, seharian ini kau terus saja memuntahkan isi perutku, membuatku repot mengurusmu," cerocos Nana. Ia menaruh benda pipih itu di dekat telinga dan menghimpitnya dengan pundak. Lalu dengan sedikit kasar ia mulai memijat tengkuk Zeen. Nana benar-benar dibuat geram. Pasalnya seharian ini Zeen terus saja muntah-muntah. Bahkan pria itu berkali-kal
Part 60 (Ck, Rujak?) **** Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela. Cahaya keemasan itu tak terasa menerpa wajah Nana, seketika ia menggeliat. Ia meraba sisi kanan yang ternyata sudah kosong. Di mana Zeen? tanya Nana dalam hati. Nana melenguh pelan, ia mulai membuka mata, dan mengedarkan pandangannya pada kamar bernuansa hitam ini. Ia mencari keberadaan suaminya. Membuat benaknya bertanya-tanya. Tidak biasanya Zeen pergi kerja tanpa pamitan padanya. Terlebih ia meninggal Nana yang masih ingin bermanja-manja dengannya. "Zeen," panggil Nana setengah berteriak. Ia masih bergulat dalam selimut. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan malas Nana bangun, ia bersandar pada kepala ranjang sambil mengucek matanya. Semalam setelah pulang dari rumah sakit, mereka berdua menghabiskan malam panjang dan panas. "Zeen ..." Lagi-lagi Nana memanggil nama suaminya. Nihil, tak terdengar sahutan. Hanya keheningan yang perempuan itu rasakan. Kamarnya sunyi, sepertiny
Part 59 (Talak & Pencerahan)****"Pergi kamu dari sini!" pekik Abraham marah. Setelah semuanya beres, ia segera menurunkan koper Ira, dan membawanya keluar. Membuat wanita itu seketika panik.12 tahun bersama, ini kali pertamanya lelaki itu bersikap seperti ini padanya. Abraham tidak pernah marah sampai sebesar ini, dan mengusirnya begitu saja. Seperti yang terjadi sore ini. Hal itu tentu membuatnya kelimpungan. Dan tak tahu harus berbuat apa demi meredam emosi suaminya. "Kamu dengarkan aku dulu, Mas!" Ira berucap seraya menyusul suaminya, berulang kali ia mencoba menyentuh lengan Abraham. Namun, dengan cepat lelaki berambut hitam itu menepisnya. Amarah telah menguasai dirinya. Tak ada kata penjelasan, bagi lelaki itu semuanya sudah jelas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas! Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!""Itu sudah lama!" sanggah Ira. Abraham mengayun langkah cepat menuruni tangga. Ia melempar koper itu setibanya di teras rumah. "Pergi!""Mas, aku