Share

Kacau Sudah

Part 7 (Kacau Sudah)

"Tutup mulutmu Reni! Lebih baik kamu ajari itu menantumu sopan santun. Haknya Reza mau nikah lagi atau tidak. Kamu lebih baik diam saja. Ibu macam apa kamu ini yang lebih membela anak mantu. Ketimbang anakmu sendiri!" hardik Tante Rona. Mama yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima. 

"Apa kataku? tidak salah dengar aku ini, hah. Ajari itu anakmu biar tahu malu, sini kembalikan uangku. Penipu, kulaporkan polisi mampus kau Rona!" murka Mama. Seketika raut wajah Tante Rona berubah. Wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya tak percaya. 

Mama menyeringai tipis. "Kenapa diam? Takut kau, hah! Seenaknya kau hina menantuku! Lihat Nana, dia jauh lebih berkelas ketimbang anakmu yang murahan itu!" tuding Mama berapi-api, gemuruh dalam dadanya membuncah hebat. Hanya ada emosi yang merasuki dirinya. 

"Ma, menantumu bukan hanya Nana, aku juga. Aku ini sekarang istrinya Mas Reza. Mama harus tahu itu." Salma menyahut membuat Mama langsung menatap perempuan itu tajam. 

"Menantu? Siapa yang Sudi memiliki menantu sepertimu, hah! Meminta restu saja tidak! Dan satu lagi, jangan memanggilku Mama, aku bukan ibumu!" balas Mama sambil mengembuskan napas kasar. 

"Cukup, Ma, hargai Salma. Dia sekarang istriku! Mama tidak boleh seperti itu," tutur Mas Reza. Sampai hati ia membela selingkuhnya di hadapanku. Sedikit pun tidak ada rasa bersalah di mata mereka. Apa yang mereka lakukan seolah-olah sudah benar. 

"Sadar Reza, buka matamu! Ini bukan cinta tapi nafsu! Nanti kalau kamu menyesal! Yang susah siapa, ya dirimu sendiri!"

"Sudah cukup Ma, Mama tidak perlu ikut campur urusanku. Bawa pulang Nana, dan jangan membuat kekacauan di sini!" 

"Aku tidak mau pulang, urusanku belum selesai," ucapku. 

Sontak Mas Reza menoleh, kepalan tangannya makin kuat. Sorot mata tajam itu mengarah padaku. Rahangnya mengeras. Aku tidak akan mundur sebelum mereka hancur, sama sepertiku. 

"Mau ngapain kamu di sini? Pulang, kita selesaikan masalah ini di rumah, Nana! Lihat banyak orang di sini, apa kamu tidak punya malu!" kata Mas Reza padaku. Nada bicaranya melengking tinggi membuatku tertegun. Ini kali pertamanya ia membentakku di depan umum. 

Aku menyilang kedua tangan ini di dada, kurasakan jantungku semakin berdebar-debar. Suasana di sekitar langsung panas. Begitu pun denganku. 

"Kita selesaikan saja di sini! Biar jelas!"

"Nana, jangan kekanak-kanakan. Aku bilang pulang!" seru Mas Reza sambil menunjuk ke arah pintu keluar. 

Aku mendengus, kunetralkan sesuatu yang membelenggu dada ini. Sesak menggerogoti jiwaku. Aku kesulitan bernapas. Hubungan yang terjalin bertahun-tahun akhirnya roboh karena orang ketiga. Dan parahnya, orang itu adalah orang yang mengaku menjadi sahabatku. 

"Kekanak-kanakan kamu bilang? Kamu tuh yang kekanak-kanakan."

"Nana, lebih baik kamu pulang sekarang! Jangan membuatku dan Mas Reza semakin marah padamu!" sergah Salma. 

Dahiku berkerut, apa telingaku tak salah dengar? Ia marah padaku? Bukan kah seharusnya aku lah yang patut marah padanya? Mereka mengkhianatiku. Menikah diam-diam di belakangku! Tidur memadu kasih tanpa memikirkan perasaanku. 

"Oya, baguslah kalau kau marah. Aku pun sudah muak denganmu! Kau tidak pantas disebut sebagai sahabat."

"Sadar dong Na, kamu itu juga tidak pantas menjadi seorang istri! Lihat dirimu, kamu sudah jelek!"

"Kamu tuh yang jelek, baumu saja busuk!"

"Itu karena kau melempar telur busuk kepada ku!" Salma melototiku, napas kami memburu seiring amarah yang membakar ubun-ubun. 

"Karena kau pantas mendapatkannya," pekikku. 

"Nana, stop! Kamu ini bikin malu doang. Reza pasti menyesal memiliki istri sepertimu!" sela Tante Rona. 

"Jangan ikut campur kau Rona, kembalikan sini uangku! Dasar penipu!" tampik Mama. 

Pertengkaran ini menjadi panas, ditonton banyak orang. Suara-suara dari para tamu undangan mengisi gedung ini. 

"Anak dan Ibu sama saja, anaknya jadi pelakor! Ibunya ternyata penipu. Buruan panggil polisi. Keburu kabur itu nenek-nenek lampir."

"Ayo hajar terus, jangan mau kalah."

"Mana uangku?" Mama menarik kasar tangan Tante Rona. Membuat wanita memekik kaget. 

"Apaan sih, uang apa?"

"Dasar penipu, kulaporkan polisi kamu, hah!"

"Jangan macam-macam kamu Reni, kamu dan menantumu itu sama saja! Kalian benar-benar rendahan!" hina Tante Rona. 

Mama menarik napas, kemudian membuangnya. Aku masih mengamati gerak-gerik Mas Reza dan Salma yang menatap Mama dan Tante Rona. Aku terperangah merasakan embusan nafas yang menerpa leherku. 

Lewat ekor mata aku melirik ke belakang. Zeen berdiri tetap di belakangku. Mau apa sih pria itu? 

"Payah kau Na, sudah kuduga. Salma lah pemenangnya. Sungguh menyedihkan dirimu!" bisik Zeen. 

Darahku mendesir, bisa kupastikan wajahku sekarang memerah karena marah. 

"Diamlah kau Zeen, aku belum kalah."

"Sudahlah, akui saja. Salma pemenangnya. Apa yang bisa kau lakukan, menangis dan mengadu pada Mamaku," cibir Zeen.

"Tutup mulutmu, berhenti mencibirku."

"Kenyataannya memang begitu, kau payah sekali."

"Zeen." 

Aku menggeram kesal, bukannya diam Zeen marah tertawa kecil. 

"Buktikan padaku kalau kau hebat. Coba kau tarik rambut Salma. Mana berani kau Nana banana!"

Tarikan napas kuat kuambil, perkataan Zeen membuatku di rundung rasa kesal. 

Tanpa pikir lagi kutarik rambut Salma dari belakang. Akan kubuktikan padamu Zeen. Aku tidak takut pada Salma. 

"Nana, kau gila! Lepaskan rambutku!" Salma menjerit, rambutnya yang tergerai bebas kujambak tanpa basa-basi. 

"Aku tidak kalah, kau lihat ini Zeen!" Aku melirik Zeen. Pria dengan stelan kemeja itu menatapku tanpa ekspresi. 

"Nana, lepaskan. Kasihan Salma," ucap Mas Reza bingung. Suamiku itu tidak tahu harus berbuat apa. 

"Ayo Mbak, lebih kencang lagi tariknya."

"Hajar itu pelakor, kasih dia pelajaran!"

"Cakar wajahnya, lempari telur lagi."

"Bau telur busuk itu sampai ke sini!"

"Jangan mau kalah Mbak, tim istri sah mana suaranya!" Suara itu membangkitkan semangatku. Tidak kuperdulikan teriak Mas Reza. Gedung ini ramai oleh cibiran.

"Nana, kamu menyakiti istriku!"

"Dulu aku mengakuimu sebagai sahabat, dan sekarang aku melihatmu seperti seonggok sampah!"

"Kamu itu yang sampah Nana, lepaskan tanganmu dari rambutku. Kau menyakitiku Nana!" Salma meringis, ia berteriak meminta tolong pada Mas Reza yang menyugar rambutnya berulang kali. 

"Mau lari kemana kamu Rona, ayo ikut aku ke polisi!" 

Dengan kasar Mas Reza mendorongku. Refleks aku mundur. Beruntung Zeen dengan cepat menahan tubuhku. 

"Kau lemah sekali Nana, baru didorong sedikit hampir jatuh. Memalukan!"

"Jangan terus menggomporiku Zeen. Aku akan menarik rambutmu nanti."

"Papa, buruan ke sini! Bantu Mama dong bawa wanita ini ke kantor polisi!" teriak Mama marah. 

Tak menunggu lama Papa menghampiri Mama. "Pegang Pa, jangan sampai lepas. Mama mau hubungi teman arisan Mama dulu. Mereka juga korban penipuan yang dilakukan maknya pelakor ini!" ketus Mama. Aku tidak menyangka pesta Mas Reza akan berantakan. 

Salma terkejut, nampak Mas Reza merangkul pundak Salma. Tante Rona makin panik mendengar ucapan Mama.

"Ma jangan lakukan itu, kita bicarakan masalah ini baik-baik!" potong Mas Reza. 

"Apanya yang harus dibicarakan! Mama rugi besar, dan Mama tidak terima!" sinis Mama. 

"Zeen, kamu telepon polisi, suruh datang ke sini."

"Reni gila kau, apa-apaan ini. Aku bukan penipu, lepaskan aku."

"Ah, jelaskan saja nanti di kantor polisi. Kalau kau merasa tidak bersalah, mengikut saja!"

"Diam, dan jangan memberontak!" balas Papa. 

Zeen berjalan menjauh, pria itu menuruti perintah Mama untuk cepat menelepon polisi. 

"Lihat ini Nana, ini semua gara-gara dirimu!"

"Mas bagaimana ini, selamatkan ibuku Mas." 

"Arg, sialan! Kacau semua!" teriak Mas Reza frustrasi. 

Lengkungan tipis tertarik di sudut bibirku. 

Aku berjalan ke arah Ibu-ibu, masih ada sisa telur dalam tas. Tidak banyak, tapi lumayan untuk meninggalkan jejak.

"Ibu-ibu boleh tidak saya minta tolong?" tanyaku sambil menyeka peluh. 

"Minta tolong apa Mbak?" jawab salah satu Ibu-ibu. 

"Tolong lempar telur ini ke arah pasangan itu ya, Bu!"

"Dengan senang hati Mbak, aku akan bantu."

Aku memberikan tasku pada mereka, Ibu-ibu itu tersenyum sumringah. 

"Hei pelakor, rasakan ini!"

"Ah, Mas, kita dilempar telur busuk lagi."

"Berhenti!"

Aku tersenyum puas, aksi itu langsung berhenti saat polisi datang. Tante Rona menangis, Ibu Salma itu di tarik paksa ikut polisi. 

Zeen menghampiri adiknya, ia menatap Salma dan Mas Reza seksama.

"Apa yang kamu lakukan ini benar-benar menjijikkan, Reza. Kamu ini malu-maluin dunia perlakian," maki Zeen. 

Mas Reza terbelalak, sedangkan Salma melongo. 

"Apa maksud Abang?"

"Setelah ini ganti celanamu itu dengan rok. Kamu tidak pantas mengenakan celana, lelaki macam apa kamu ini?" Zeen tidak melanjutkan ucapannya. Ia mengantungkan kalimatnya, lalu memandang Salma. Kukira hanya diriku saja yang mendapati mulut pedasnya itu. Impian mereka untuk menikah mewah dan megah telah terlaksana. Meskipun di akhiri dengan kehancuran.

"Lepaskan aku!"

"Salma tolong Ibu, Ibu tidak mau di penjara!"

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Rosmi Nurjanah Ros
jambak terusss sampe rontok...tu s plakorr
goodnovel comment avatar
Sindi Hermawati
Ceritanya bagus yg beginu bikin ga hosen baca
goodnovel comment avatar
Aini Rahayu
baru tadi aku baca. istri harus hati2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status