Share

~ 5 ~

           Ruangan yang berupa bangunan toko barang antik di sudut pusat perbelanjaan itu tampak begitu hening. Juna terdiam dengan rasa kalut menyelimuti. Laki-laki paruh baya yang tengah menanti salah satu dari pemuda di hadapannya untuk mengeluar kata-kata. Dan ada Reandra yang tidak mengerti kenapa ketua perpustakaan tempat pemuda itu bekerja terlihat begitu khawatir.

            Kedua bola mata bulat meruncing milik Reandra mulai menilik sekitar. Pemuda itu baru tersadar bahwa dirinya berada pada sebuah toko yang menjual berbagai barang-barang unik. Laki-laki paruh baya yang menanti adanya perbincangan tersenyum tipis melihat tingkah Reandra.

            “Apa ada yang membuatmu tertarik, nak?” Akhirnya laki-laki paruh baya itu mengeluarkan suara.

            Reandra terkejut sejenak sebelum berhasil menetralkan ekspresinya. Pemuda itu menggeleng sekilas dan kemudian menatap ke arah Juna yang masih setia diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Reandra ingin menegur, tetapi urung dilakukan karena dari luar terdengar seseorang yang datang.

            Laki-laki paruh baya sekaligus Reandra menatap ke arah sumber suara. Di pintu masuk toko berdiri seseorang yang berpakaian khas seorang dokter. Dengan derap langkah yang pasti, seseorang itu mendekat dan langsung menghampiri Juna.

            “Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh adikmu? Apa dia berpikir dengan semua usaha yang dia lakukan akan membuat keadaan membaik? Tidak! Dan kau bisa lihat sendiri apa yang dilakukan oleh otoritas keamanan?” Seseorang berujar dengan keras dengan tangan yang sudah mencengkeram kerah baju Juna.

            Melihat keadaan yang tidak kondusif, laki-laki paruh baya itu memilih turun tangan untuk menenangkan seseorang yang datang dan langsung menyerang Juna.

            “Zaki, tenanglah. Ini semua juga di luar kehendak. Kita semua tidak tahu apa tujuannya melakukan semua ini,” ujar laki-laki paruh baya.

            Seseorang yang diketahui bernama Zaki itu menghela napas sejenak sebelum melepaskan cengkeraman. Pemuda itu menatap lekat ke arah Juna yang masih terdiam. Di samping itu terdapat Reandra yang memandang tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi. Siapa itu Zaki? Dan mengapa mereka semua saling mengenal?

            “Pemuda ini adalah Zaki, salah satu tim dokter di rumah sakit kota. Dia salah satu sahabat Juna,” ujar laki-laki paruh baya menjelaskan kepada Reandra.

            “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Reandra.

            “Ceritanya sangat panjang, nak. Yang jelas gelombang suara itu memang benar berasal dari adik Juna. Dia tidak berada di kota ini. Melainkan disuatu tempat yang tidak mudah dijangkau.” Laki-laki paruh baya itu kembali memberikan menjelasan.

            Zaki, pemuda yang diketahui berprofesi sebagai dokter itu masih menunggu Juna untuk menjelaskan keadaan. Meski emosi masih pemuda itu perlihatkan, tetapi sikapnya sudah lebih bersahabat. Deru napas Zaki juga sudah berangsur-angsur mereda.

            “Permasalahan jaringan ilegal belum ada keputusan. Namun, sudah ada permasalahan baru. Bahkan otoritas keamanan langsung bertindak dengan cepat. Sebenarnya aku tidak memprediksi bahwa gadis nakal itu akan melakukan semua ini. Apa yang sudah aku lewatkan selama ini?” tanya Zaki dengan nada yang lebih tenang.

            Helaan napas terdengar dari pembauan Juna. Pemuda itu menatap di sekelilingnya sebelum memberikan jawaban yang membuat raut khawatir tercipta pada wajah Zaki.

            “Aku kehilangan kontak dengannya dua tahun belakangan ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Gelombang suara ini juga membuatku khawatir. Apalagi setelah pemberitahuan tadi. Aku pun takut terjadi sesuatu dengannya,” ucap Juna dengan raut wajah sendu.

            “Jika otoritas keamanan telah bertindak, tidak menutup kemungkinan gadis kecilmu akan dalam masalah,” ujar Zaki menimpali.

            “Aku tahu....” Juna berkata lirih seolah tidak ada lagi semangat dalam diri pemuda itu.

            Reandra yang masih menyimak mencoba memahami keadaan. Secara tidak langsung, gelombang suara yang berasal dari adik Juna membuat pemuda itu terlibat dalam permasalahan. Meski belum mengerti sepenuhnya, Reandra sudah turut merasakan bagaimana rasa khawatir yang memeluk erat tubuh Juna.

            “Kita belum bisa melakukan apa pun. Dalam keadaan seperti ini, kita hanya perlu menanti keajaiban. Percayalah Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk kita.” Laki-laki paruh baya itu mencoba menenangkan dua pemuda di hadapannya.

            Tidak ada yang keluar selain helaan napas. Memang benar apa yang dikatakan oleh laki-laki paruh baya itu, tidak ada yang bisa dilakukan selain bersabar menanti keajaiban. Jika jalan yang ditemui telah buntu, satu-satunya harapan adalah kehendak dari Tuhan.

            “Kalian pulanglah. Tenangkan diri kalian. Dan kau, Juna. Yakinlah bahwa adikmu pasti baik-baik saja,” ucap laki-laki paruh baya itu.

            Tanpa mengeluarkan kata, Juna mau pun Zaki memilih beranjak yang diikuti oleh Reandra kemudian. Namun, saat kaki Reandra hampir mencapai pintu keluar, silau cahaya menarik atensi pemuda itu. Seberkas cahaya terang terpantul ke arah Reandra. Pemuda itu mendekat dan menemukan liontin antik yang begitu indah. Jemari pemuda itu meraih liontin itu dan seketika cahaya terangnya meredup.

            Dari ruang tengah toko, laki-laki paruh baya itu kembali tersenyum tipis melihat Reandra. Sejak pertama kali pemuda itu menginjakkan kaki di toko barang antik, laki-laki paruh baya itu tidak dapat melepaskan perhatiannya terhadap Reandra.

            “Aku memang tidak salah mengira. Pemuda pembawa cahaya harapan telah datang,” ucap lirih laki-laki paruh baya itu sebelum akhirnya memilih beranjak mendekati Reandra.

            Pemuda bertelinga unik itu masih sibuk dengan benda di tangannya. Reandra tengah sibuk mengagumi keindahan dari pola bintang pada liontin kalung. Hingga pemuda itu tidak sadar bahwa sang pemilik toko sudah berada di dekatnya. Laki-laki paruh baya yang telah mengamati tingkah Reandra dari dekat mencoba untuk menyapa dengan ramah. Namun, ternyata hal itu mengundang keterkejutan pada diri Reandra.

            “Apa ada yang membuatmu tertarik, Nak?” tanya laki-laki paruh baya itu.

            Reandra menunjuk liontin yang masih terpajang pada etalase kaca. “Bisakah aku membeli liontin itu?” tanya Reandra.

            Laki-laki paruh baya tersenyum tipis. Tangan rentanya meraih liontin yang ditunjuk oleh Reandra. Ada sendu yang terlihat dari pandangan Reandra saat menatap laki-laki paruh baya itu.

            “Liontin ini milik putriku. Tapi aku rasa liontin ini telah menemukan pemiliknya yang baru,” ujar laki-laki paruh baya itu. “Ambil saja liontion ini. Putriku akan senang jika ada yang merawat benda kesayangannya,” lanjutnya dengan menyerahkan liontin berbandul bintang bersinar.

            Mata bulat meruncing itu terkesiap. Reandra memang tertarik dengan liontin itu, tetapi pemuda itu berniat ingin membelinya bukan menerima cuma-cuma seperti saat ini. Pemuda itu ingin menolak, hanya saja saat akan berucap laki-laki paruh baya itu mengatakan sesuatu yang membuat Reandra semakin terkejut.

            “Liontin ini akan membantu menjawab pertanyaanmu selama ini,” ucap laki-laki paruh baya itu.

            “Sebenarnya Paman ini siapa?” tanya Reandra. Pemuda itu belum mengambil liontin yang diserahkan oleh laki-laki paruh baya itu.

            “Apa Juna tidak pernah menceritakan orang tuanya kepadamu?” Laki-laki paruh baya itu memilih kembali bertanya.

            Reandra hanya memberikan jawaban berupa gelengan kepala.

            “Aku pikir anak itu akan terbuka banyak hal kepadamu. Aku lihat kalian cukup dekat. Tapi ternyata Juna masih menjadi sosok yang suka menyimpan semua sendiri. Aku Ayah dari rekan kerjamu itu. Kau bisa memanggilku Amerta,” ucap laki-laki paruh baya itu dengan senyuman tipis.

            Tubuh jangkung itu mematung saat mendengar nama Amerta disebutkan. Reandra tidak bodoh untuk menyadari siapa sosok di hadapan pemuda itu. Degup jantung pemuda itu terpacu menatap tidak percaya. Di hadapan Reandra adalah Profesor Amerta, salah satu rekan kerja dari sang Ayah.

            “Bagaimana mungkin Paman masih hidup? Bukankah semua tidak ada yang selamat dari ledakan itu?” tanya Reandra dengan deru napas tidak teratur. Tubuh pemuda itu bahkan sudah bergetar hebat bersiap untuk tumbang. Namun, ada sebuah fakta yang cukup memukul hati pemuda itu.

            “Ayahmu berkorban untuk kami semua....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status