Share

~ 6 ~

            “Ayahmu berkorban untuk kami semua....”

            Tubuh Reandra benar-benar limbung mendengar kalimat yang baru saja pemuda itu dengar. Bahkan rasanya seluruh tubuh Reandra seperti terhantam benda keras yang membuat terasa begitu sakit. Pandangan Reandra masih terlihat kosong. Pemuda itu memandang ke arah Profesor Amerta yang sudah berada di hadapan Reandra. Raut wajah penuh penyesalan terlihat begitu jelas pada laki-laki paruh baya itu.

            “Maafkan aku, Nak. Tim penelitian sudah mencoba menghalangi ide gila dari Ayahmu. Tapi kekuatan kami kalah saat Ayahmu sendiri mendorong kami semua keluar dari laboratorium dan menguncinya.” Profesor Amerta mencoba menjelaskan dengan perlahan kepada Reandra walau pemuda itu masih menatap kosong.

            Hela napas terhembus dari Profesor Amerta melihat bagaimana Reandra masih membeku. Laki-laki paruh baya itu sadar bahwa tidak mudah menerima kenyataan yang ada. Namun, tetap saja, kenyataan pahit itu harus diterima oleh Reandra.

            “Nak, percayalah setiap pengorbanan Ayah dan Ibumu tidak akan sia-sia. Mereka masih memiliki dirimu yang merupakan cahaya harapan bagi semua.” Profesor Amerta kembali mencoba memberikan ketenangan kepada Reandra.

            “Ke—kenapa Ayah melakukan semua itu? Kenapa Ayah dan Ibu tidak memikirkan aku? Kenapa mereka malah memilih berkorban untuk kota yang semakin membuat semua hancur?” Reandra menunjukkan emosinya saat mulai tersadar. Perlahan pemuda itu juga mulai terisak.

            “Tidak, Nak. Kedua orang tuamu tentu sangat memikirkan dirimu. Bahkan mereka begitu menyayangimu. Oleh karena itu, mereka telah menyiapkan banyak hal untuk kehidupanmu,” ucap Profesor Amerta.

            Reandra mengusak kasar rambutnya. Pemuda itu bangkit dan pergi begitu saja dengan emosi yang belum mereda. Kaki jenjang Reandra membawa tubuh tingginya keluar menjauh dari bangunan yang merupakan salah satu toko di pusat perbelanjaan. Hati pemuda itu hancur bahkan sebelum semua luka lama mengering. Kenyataan yang baru saja Reandra terima sungguh memberikan pukulan yang amat menyakitkan pada hatinya.

            Langit mulai berhias jingga yang menenangkan. Menjadi panorama indah yang sering dinanti masyarakat Kota Metrolium saat tengah menikmati hari di alun-alun kota. Seperti apa yang Reandra lakukan. Pemuda itu berakhir duduk termenung di salah satu sudut alun-alun kota. Menatap kosong ke arah senja dengan pikiran berkeliling ke mana-mana.

            “Aku tidak tahu apa yang Ayah dan Ibu pikirkan. Penelitian apa yang kalian lakukan hingga harus meninggalkanku untuk selamanya? Apa Ayah dan Ibu tahu jika setelah kepergian yang menyakitkan itu hidupku tidak mudah? Aku terbangun di rumah sakit tanpa satu orang pun yang datang menunggui. Kenapa Ayah dan Ibu begitu tega kepadaku?” Air mata Reandra mulai menetes kembali. Bahkan semburat jingga tidak bisa membuat suasana hati pemuda itu membaik.

            “Reandra!” seru seseorang dari kejauhan. Namun, hal itu tidak membuat atensi Reandra teralihkan.

            Angkasa, pemuda yang berteriak memanggil Reandra itu mulai mendekat. Setelah beberapa saat berkeliling ke pusat perbelanjaan, pemuda itu tersadar bahwa rekan kerjanya menghilang entar ke mana. Dan berakhir dengan Angkasa melacak keberadaan Reandra menggunakan izin otoritasi untuk mengetahui lokasi seseorang.

            “Heh! Kamu jahat ya. Kenapa meninggalkanku di sana sendirian?” Angkasa protes. Namun, sayangnya Reandra lagi-lagi tidak peduli. “Kamu kenapa, Rean?” tanya pemuda itu saat melihat raut sedih rekan kerjanya.

            “Hanya sedang meratapi kepedihan tidak berujung,” ucap Reandra.

            Angkasa mengernyit heran, tidak mengerti apa yang Reandra ucapkan. Pemuda itu mencoba berpikir, tetapi tidak menemukan apa pun yang dapat menjelaskan ucapan Reandra.

            “Kamu sedih karena tidak bisa mendapatkan informasi di pusat perbelanjaan?” tanya Angkasa.

            Reandra hanya menghela napas sebelum beranjak dan mengabaikan Angkasa. Pemuda yang lebih pendek dari Reandra itu menggeram kesal karena tidak dipedulikan. Angkasa pun turut beranjak untuk menyamai langkah Reandra yang mulai menjauh. Berjalan dalam keheningan nyatanya membuat atensi Angkasa tidak mau terlepas dari sikap Reandra yang berubah.

            “Apa terjadi sesuatu tadi?” Angkasa mencoba kembali bertanya.

            Pemuda bertelinga unik itu hanya berdiam diri membuat Angkasa semakin emosi. Dengan kepalan tangan dibuat sekeras mungkin, pemuda pemuja teknologi itu memukul lengan Reandra. Pemuda jangkung itu terhenyak sesaat sebelum akhirnya tersadar dan melayangkan pukulan balasan ke arah Angkasa dengan lebih keras.

            “Kurang ajar! Aku tadi memukulnya tidak sekeras ini ... auh....” Angkasa memegangi pipinya yang berdenyut akibat pukulan Reandra.

            “Salahmu sendiri,” ujar Reandra.

            Angkasa mendengkus sebal. “Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?”

            “Aku baru saja mendapatkan kabar yang menyakitkan tentang orang tuaku. Aku tidak ingin percaya, tapi orang itu adalah sahabat dekat Ayah.” Akhirnya Reandra mengatakan apa yang membuat pemuda itu bersedih.

            Angkasa tahu bagaimana perjalanan hidup Reandra. Namun, pemuda itu tidak tahu tentang alasan kematian kedua orang tua rekan kerjanya itu. Yang Angkasa tahu, Reandra sudah yatim piatu sejak kecil.

            “Maksudmu?” tanya Angkasa.

            Pemuda bertelinga unik memilik bungkam dan terus melangkah menuju halte. Tubuh Reandra sudah terlalu lelah setelah menerima banyak hal yang tidak terduga. Dari fakta dengan gelombang suara itu hingga berita paling menyakitkan tentang kedua orang tua Reandra. Pemuda itu membutuhkan istirahat agar bisa kembali menghadapi semua dengan tenang.

            Tangan besar Reandra disembunyikan pada kantong jaket dan tidak sengaja menyentuh liontin yang terbawa dari toko milik Profesor Amerta. Pemuda itu menarik keluar liontin itu. Pendar warna jingga tampak terpantul dari liontin berbandul batu aquamarine itu.

            “Dari mana kamu mendapatkan benda itu?” tanya Angkasa saat melihat sebuat liontin tengah dipedang oleh Reandra.

            “Bukan apa-apa,” jawab Reandra kemudian menyimpan liontin itu kembali. Pemuda itu mempercepat langkah agar segera sampai ke halte.

            “Kamu mau pulang?” Angkasa kembali bertanya.

            “Iya. Aku ingin istirahat. Jika kamu ingin pulang juga, pulanglah. Kita bisa berpisah di halte sana.” Reandra menunjuk halte yang sudah terlihat di depan mata.

            “Hah! Baiklah. Oh iya, aku sudah mengirimkan beberapa informasi yang aku dapatkan di pusat perbelanjaan tadi. Barangkali akan dirimu butuhkan untuk memecahkan asal gelombang suara yang muncul di Kota Metrolium,” ucap Angkasa.

            Reandra mengangguk sekilas sebelum mengatakan terima kasih untuk informasi yang Angkasa berikan. Walau sebenarnya pemuda bertelinga unik itu sudah mengetahui dari mana sumber gelombang suara itu. Tepat saat langkah kaki mereka sampai ke halte, Angkasa berpamitan setelah memanggil kendaraan terbang pemuda itu.

            Reandra masih menunggu sejenak sebelum bus terbang datang membawa pemuda itu untuk pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Reandra terus termenung memikirkan banyak hal.

            “Jika kenyataan seperti ini, maka aku tidak akan berhenti untuk mencari jawaban atas semua ini,” ucap Reandra dalam hati.

            Tepat saat bus terbang itu hampir sampai pada halte bus berikutnya, tiba-tiba kendaraan besar itu oleng dan terjatuh dari lantasan. Bus terbang itu kehilangan daya terbang secara tiba-tiba membuat seluruh penumpang histeris tidak terkecuali Reandra. Pemuda itu berpegang kuat pada besi penyangga agar tidak terhempas. Mata bulat meruncing Readra memindai sekitar dan menemukan hampir seluruh kendaraan terbang tampak tidak memiliki daya untuk mengangkat tubuh.

            “Apa yang terjadi?” ujar Reandra lirih.

            Pemuda itu tampak kembali serius memindai hingga telinganya kembali menangkap gelombang suara yang tidak terlalu jelas. Dengingan yang terdengar sangat berbeda dengan yang sebelumnya terjadi. Bahkan tampak hanya Reandra yang bisa mendengarkan gelombang itu. Namun, rambatan suara yang mengikuti gelombang itu sama sekali tidak dapat Reandra mengerti dengan jelas.

            “Sial! Apalagi sekarang? Dan tadi itu apa?” Reandra kembali berujar lirih. Pemuda itu sebenarnya cukup terganggu dengan teriakan histeris penumpang yang terjebak dalam bus.

            Saat semua masih menjadi misteri untuk Reandra, sistem teknologi yang sempat lumpuh sejenak telah kembali berfungsi. Bus terbang yang sebelumnya ambruk terjatuh sudah kembali melayang.

            Sedangkan di sudut Kota Metrolium, seorang gadis bersurai hitam tampak menghela napas lelah. Dan di sudut lainnya, seorang laki-laki dengan pakaian rapi juga tengah menggeram kesal.

            “Kurang ajar! Berandal kecil itu benar-benar ingin dimusnahkan dengan segera.” Laki-laki itu tampak menahan emosi dengan mengepalkan tangan. “Kalian ... cepat bereskan berandal kecil itu. Aku tidak mau tahu. Pokoknya dia harus mendapatkan peringatan keras karena sudah mengusik kehidupan tenang Kota Metrolium,” lanjutnya.

            Di samping itu, Reandra sudah kembali dalam perjalanan pulang. Namun, raut wajah Reandra tampak penuh rasa heran setelah membaca pemberitahuan yang baru saja pemuda itu terima. Sebuah akses rahasia tiba-tiba saja terbuka untuk Reandra bersama dengan pesan yang menyertainya.

            “A—k—u ... su—du—t k—o—ta ... d—d—ind—ing....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status