"Cepat kejar pria itu!?" teriak salah seorang yang mengejar Nalan.
Nalan yang bersembunyi di balik ujung bangunan tinggi, kini sedang marah. Bisa saja ia melawan hanya luka dibagian perut, kanan bekas tembakan 3 hari lalu masih terasa perih belum sepenuhnya sembuh.
"Si*l akan kubalas kau, Mark," ucap Nalan dengan gigi gemelatuk seraya memukul bangunan itu dan tangan kanannya masih memegang perut yang mengeluarkan darah meski diperban.
Suara teriakan orang-orang yang mengejarnya itu masih terdengar sangat jelas didekat Nalan. Ingin kabur tapi mereka masih berjaga disekitaran gedung.
"Ugh! Aku harus bagaimana?" tanyanya seorang diri dengan nafas yang memburu. "Aku tidak mampu berlari lagi," perlahan Nalan mulai jatuh karena kehilangan banyak darah.
"Celaka! Jika aku kedapatan mereka, aku tak bisa menyelamatkan Zena," gumamnya sambil berpikir keras. iapun teringat akan kejadian tadi.
Sejam lalu, ia menjalankan misi dari Mark. Namun, tak disangka sebuah jebakan bagi Nalan. Tepat pukul 00.00 tengah malam, sesuai instruksi pria yang tak dikenalnya, mengambil sebuah koper dari lelaki berpakain nelayan yang turun dari kapal.
Baru saja ingin menerima koper itu, nelayan itu berteriak, "tolong?! ada pengedar."
Sontak Nalan terkejut dan melepaskannya dari genggaman, teriakan lelaki itu mengundang orang yang berada di pelabuhan dan preman, ia melepaskannya tanpa menghiraukan.
"Kau, menjebakku?" tanya Nalan geram.
Lelaki itu tersenyum kecut, lalu berkata, "Tentu saja ini jebakan buatmu, bersiaplah dengan kedatangan polisi. Kau tidak akan bisa kabur."
Sirine dari mobil polisi telah tiba, sayangnya Nalan dikepung oleh beberapa orang termasuk preman yang memegang balok dan beberapa senjata lainnya.
"Sekarang kau terkepung, tak akan bisa keluar dari sini. Bersiaplah menerima semuanya," ujar lelaki itu diiringi tawa keras dan berlalu. Pria misterius itu tahu jika Nalan tak akan mudah kabur karena luka diperutnya.
Tak ada jalan lain selain melawan dan menggunakan sedikit kekuatannya, Nalan memberikan kapalan tangan meninju mereka satu per satu dan mereka terjatuh, sayangnya pukulannya tak keras hingga membuat orang-orang itu dapat mengejar. Ia berlari sekuat tenaga.
Beberapa kali Nalan bersembunyi tapi tetap saja bisa ditemukan, akhirnya lelaki bertubuh tambun itu bisa keluar dari pelabuhan dan bersembunyi. Tubuh lelaki berotot itu sudah tak mampu menahan perih luka di perut, wajahnya pucat pasi dan mengeluarkan keringat.
$$$$$Ketika sadar Nalan sudah berada di rumah sakit, sontak membuatnya kaget dan memeriksa luka di perut, "Ternyata sudah diperban," batinnya. "Siapa yang menolongku?" tanyanya dalam hati lagi.
"Kamu sudah bangun?" tanya seorang perempuan yang mengejutkan dirinya. Nalan memalingkan wajahnya ke suara itu.
"Mayra," seru Nalan tak percaya.
"Hm, ya ini aku," balas Mayra mengulum senyum, menghampiri Nalan.
"Kenapa kau bisa ... " tanya Nalan terpotong karena terperangah.
"Aku menemukanmu tak sadarkan diri saat lewat," jawab Mayra. "Baik, kau harus makan sekarang."
"Aku tidak lapar," tolak Nalan dingin. Mengabaikan Mayra kembali berbaring seraya memalingkan wajah.
"Tidak bisa, kau kehilangan banyak darah dan tubuhmu sangat lemah," Mayra sedikit memaksa, mengarahkan wajah Nalan yang terpaku menatap Mayra, gadis yang sangat belia ini sungguh dewasa.
"Apa yang kau lakukan dini hari?" tanya Nalan mengerutkan dahi, tanpa menghiraukan paksaan gadis yang berdiri di samping pembaringannya.
Suapan Mayra mengambang di udara, ia terdiam sejenak. "Makanlah dulu," Mayra mengalihkan pembicaraan.
"Jawab aku," suara Nalan penuh penekanan.
Mayra tersenyum kecil, terpancar kebahagiaan diperhatikan lelaki yang amat disukainya. Meski terkesan lelaki itu tak menyadari kata yang keluar sedikit memaksa. Namun, hati berbunga.
"Kenapa kau tersenyum?" sekali lagi Nalan bertanya heran.
"Tak apa, aku senang kau memperhatika aku," jawab Mayra mengulum senyum.
Nalan memalingkan wajahnya, ia sadar pertanyaan yang diajukan ke gadis belia itu sebuah perhatian, lalu berkata keras, "Lupakan."
"Ayo makan," ajak Mayra seraya menyuap. Tak ada jalan lain, selain makan mendengar perkataan Mayra, agar bisa mengumpulkan tenaga lagi dan menyelamat Zena.
Beberapa jam lalu....Prank!!!
Nalan memukul cermin di depannya dengan kapalan tangan. Beberapa serpihan kaca menancap mengeluarkan darah secara perlahan, "Kenapa kau tidak bisa pergi dariku?" jerit Nalan seraya menarik rambut karena frustasi.
Bangunan rumah susun tak terawat hanya beberapa orang yang menetap tinggal. Bagi Nalan tempat ini sangat mampu menjaga rahasia. Ruangan sempit dan berantakan, dinding dipenuhi lumut.
Rusun itu sangat tak layak baginya. Namun, ia butuh privasi untuk misi, tak mungkin di rumah karena ada sang kakak perempuan tinggal disana juga.
Ting!! Tong!!
Bunyi bel dari luar membuat berhenti sejenak, ia bergumam, "Siapa yang datang?" Nalan merasa tak ada yang tahu tempat tinggalnya. Kembali bel berbunyi, segera ia menuju dengan memakai singlet berwarna hitam menampakkan kekar. Membuka pintu tak mengenali sama sekali tamu itu. Kedua alisnya bertaut.
"Anda siapa?" Nalan menatap pria itu dari atas kebawah.
"Boleh izinkan saya masuk?" pinta lelaki berjaket kulit coklat tanpa menjawab. Wajahnya terlihat seperti orang bule.
Nalan mempersilahkan pria itu masuk dan meningkatkan kewaspadaannya. Lelaki itu duduk tanpa dipersilahkan. Bahkan tanpa disuruhpun memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya, Mark," ucapnya.
"Apa keperluanmu?" tanya Nalan tak ingin basa basi.
Mark tersenyum sinis, "Benar yang orang katakan padaku tentangmu, kau ini sangat dingin."
"Aku tak peduli kau mengenalku dari mana, cepat katakan maumu," bentak Nalan menatap tajam ke Mark yang saling berhadapan.
Pria blasteran itu tetap tenang tak tersulut emosi, ia hanya tersenyum ramah kali ini, "Tenanglah, aku kemari ingin mengajakmu bekerja sama."
"Apa itu?" tanya Nalan datar.
"Aku akan membayarmu tiga kali lipat asal kau pergi ke pantai Himalaya yang ada di ujung Barat."
"Aku tidak suka kau berbelit," timpal Nalan dingin.
"Baiklah, aku akan berterus terang kepadamu. Pergilah ke pelabuhan Himalaya malam ini pukul 00.00 malam, kau harus mengambil barangku pada kapal kecil yang akan bersandar. Seorang lelaki berpakaian nelayan yang harus kamu cari," terang Mark panjang kali lebar.
Nalan menatap Mark dengan wajah masam, kenapa harus dia? Entah dari mana pria pendek ini tahu tempatnya. Ada perasaan tak enak yang dirasakannya. Lagipula, tak ingin berurusan dengan orang yang tak dikenal.
"Kenapa? Kau tidak tertarik?"
"Aku ingin tahu, kau tahu dari mana tempat ini?" tanya Nalan mengacuhkan pertanyaan Mark.
Mark mengambil sebatang rokok dari tempatnya dan menyalakan, ia menghisap hingga mengeluarkan asap yang lumayan banyak, lelaki itu tertawa dan berkata, "Kau tak perlu tahu, aku hanya ingin jawabanmu."
"Jika aku menolak?" Nalan berdiri dengan tegas menolak.
"Maka keponakan kesayanganmu akan kubunuh," ancam Mark.
Nalan tersenyum sinis dengan ancaman lelaki misterius itu, "Kau pikir bisa mengancamku?" ia tak percaya dengan sebuah ancaman.
"Jika kamu tidak percaya, tunggulah informasi dari rumahmu."
Bunyi dering telepon dari saku celana, segera Nalan mengambil dan melirik Mark. Dilihatnya dari layar panggilan Nami. Sedikit tak percaya dengan tebakan Mark, segera Ia mengangkatnya.
"Halo, Nalan. Zena menghilang," ujar Nami dari sebrang sangat panik.
"Apa?" Nalan terkejut dan tak percaya, kini ia melihat Mark dengan tatapan penuh amarah, "Kakak, tenang saja Zena akan kembali."
Telepon pun terputus secara sepihak dan mendekati Mark seraya menarik kerah baju lelaki bertubuh pendek itu.
"Kau pikir bisa mengancamku? Jangan bawa seorang anak kecil yang tak ada sangkut pautnya," teriak Nalan depan wajah Mark.
Ia tampak tenang dan tertawa, tetap santai menghisap rokok, "Lakukan kemuanku maka ponakan cantikmu akan baik-baik saja."
"Kalau kau tak memberitahuku dimana anak itu, aku akan membunuhmu disini."
"Silahkan, kau tak akan pernah menemukan gadis kecilmu," kata Mark yang tertawa terbahak-bahak.
Nalan membelalakkan mata yang hampir keluar, perlahan kerah baju Mark dilepasnya pelan-pelan. Seperti terjebak dalam situasi yang amat sulit baginya, terlebih lagi nyawa seorang anak kecil yang berumur 4 tahun sedang dalam bahaya. Padahal lelaki bertubuh kekar itu sudah berusaha menyembunyikan keberadaan keluarganya agar tak terjerat.
Dengan penuh amarah, Nalan mendorong keras tubuh Mark hingga terjatuh ke lantai, "Kau harus memberiku Zena setelah aku menyelesaikan tugas ini!?" teriak Nalan seraya menarik baju Mark menyeretnya keluar dari rumah.
"Wow, santai dong, "senyum tersungging di bibir Mark yang berhasil membuat Nalan menyetujui keinginannya.
"Malam ini, orangku akan mengawasimu dari kejauhan," Mark pergi dari hadapan Nalan, ia membanting kasar pintunya. Dan duduk dengan memegang kepalanya.
"Kenapa ini harus terjadi?" Nalan berdiri lalu menendang meja dan menghamburkan seisi ruangan hingga berantakan.
"Hans, aku mau informasi orang itu," titah Nalan pada asistennya. Saat tadi Nalan selesai menerima telepon dari Nami, ia diam-diam memotret Mark dan telah dikirim pada Hans.
"Baik, bos," balas Hans dari seberang telepon.
To Be Continue...
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.