Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.
Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.
Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya.
"Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan"Cepat kejar pria itu!?" teriak salah seorang yang mengejar Nalan.Nalan yang bersembunyi di balik ujung bangunan tinggi, kini sedang marah. Bisa saja ia melawan hanya luka dibagian perut, kanan bekas tembakan 3 hari lalu masih terasa perih belum sepenuhnya sembuh."Si*l akan kubalas kau, Mark," ucap Nalan dengan gigi gemelatuk seraya memukul bangunan itu dan tangan kanannya masih memegang perut yang mengeluarkan darah meski diperban.Suara teriakan orang-orang yang mengejarnya itu masih terdengar sangat jelas didekat Nalan. Ingin kabur tapi mereka masih berjaga disekitaran gedung."Ugh! Aku harus bagaimana?" tanyanya seorang diri dengan nafas yang memburu. "Aku tidak mampu berlari lagi," perlahan Nalan mulai jatuh karena kehilangan banyak darah."Celaka! Jika aku kedapatan mereka, aku tak bisa meny
'Drrrt!!''Drrrt!!'"Hpmu berbunyi," tegur Mayra. Nalan segera mengangkat dan melihat nama yang tertera "Nami"."Halo, kak," sedikit ragu mengangkat telepon seraya menatap tajam pada Mayra yang hanya bisa menunduk."Nalan, apa kau sudah menemukan Zena?" tanya Nami dari seberang telepon. Lelaki bejakung itu terhenyak sesaat, bagaimana bisa dia melupakan keponakan kesangannya itu?"Ma-maaf. Kak aku masih mencarinya," jawab Nalan gugup."Memangnya kau dimana? Kenapa semalam tidak pulang?" tanya Nami beruntun.Ia menelan salivanya, memikirkan jawaban yang tepat untuk kakak, "Aku banyak urusan tidak sempat mengabari kakak semalam, maaf!""Ya, sudah biar aku dan Athar mencarinya.""Jangan, kak?!" cegat Nalan panik sebelum Nami menutup sambungan telepon."Kenapa?"
Nalan berusaha mencari sela-sela di dinding rumah itu, lalu meraih dinding dan perlahan bergeser. Tak ia pedulikan lagi rasa sakit.Namun, dinding yang reot itu mulai mengeluarkan suara bertanda akan segera rubuh, Nalan panik tapi terus menggeser tubuh. Darah telah menempel di cat putih. Berusaha meraih kursi, tapi tetap tak sampai, berkali-kali mencoba tetap gagal."Bos, turunlah. Dinding itu akan segera roboh," titah Hans ketika melihat keberanian Nalan. Namun, tak dipedulikannya. Sekarang dipikiran hanya menyelamatkan Zena.Hans yang kebingungan ingin meminta tolong, tapi tak ada satupun warga di desa. Akhirnya, ia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan Nalan."Zena, pegang Uncle! Jangan takut sayang," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Si tangan mungil itu terus berusaha tapi tak mudah di raih."Oh, iya lebih baik aku cari sesuatu yang empuk, jangan sampai bos
"Mmm, Nalan boleh aku tahu siapa Kinan?" tanya Mayra ragu. Nalan terbelalak saat pertanyaan itu terlontar.Mereka kini hanya berdua di kamar, tentu saja Mayra berani bertanya. Meski pria yang dihadapannya bukan siapa-siapa bagi Nalan. Tentu, rasa cemburu dan penasaran ingin segera terjawab.Sejenak Nalan berwajah masam, ia paling tidak suka ada orang bertanya tentang Kinan. Lagipula, Mayra bukan hal penting."Tak penting bagiku menjawabnya," balas Nalan ketus. Mayra tertunduk sedih."Kau tak perlu tahu siapa dia," jawabnya lagi."Ya, maaf! Aku terlalu penasaran," ucap Mayra serak. Ia menahan kesedihannya didepan Nalan."Bagus, kau harus mengerti dirimu di posisiku," kata Nalan pedas, menyakiti hati Mayra. Ia memang suka mengatakan sejujurnya ketimbang menjaga perasaan."Nalan, apa aku tak layak untuk kau cintai?" tanya Mayra getir.
"Jadi, begitulah kisahnya. Nalan berpacaran dengan Kinan sejak duduk di bangku menengah pertama. Tepat 5 tahun gadisnya itu mengalami tragedi mengenaskan dan penyesalan mendalam hingga kini, meski cukup lama ia membuka hati kepada Serra, tapi hatinya tetap pada Kinan. Itulah Nalan sangat sulit untuk membuka hati, mau hubungan itu lama atau singkat, ia tetap keras kepala," terang Marco panjang kali lebar dengan wajah sendu."Apa kak Nami tahu tentang Kinan?" tanya Mayra getir."Tahu, hanya saja ia tak mengingat lagi. Selama ini kesedihan Nalan tertutupi dengan hadirnya Serra, ia memang keras kepala. Sejujurnya, Mayra berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Jangan mengejar Nalan apalagi sangat kecil kemungkinan membuka hati. Menyerahlah, lupakan dia dan temukan pria yang bisa menghargaimu.""Sulit, sungguh. Aku juga ingin melupakan dia, tapi cinta sejak kecil tidak bisa kubuang," isak Mayra sejak tadi menahan tangis kini pec
Jangan lupa, like, coment & follow akunku... Happy Reading💐 Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu? Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya. Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut. "Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya. "Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini? "Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk me
"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan. "Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal. "Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri. Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan. "Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu. Kala itu.... Hans yang b
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j