"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.
Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur. "Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Cepat kejar pria itu!?" teriak salah seorang yang mengejar Nalan.Nalan yang bersembunyi di balik ujung bangunan tinggi, kini sedang marah. Bisa saja ia melawan hanya luka dibagian perut, kanan bekas tembakan 3 hari lalu masih terasa perih belum sepenuhnya sembuh."Si*l akan kubalas kau, Mark," ucap Nalan dengan gigi gemelatuk seraya memukul bangunan itu dan tangan kanannya masih memegang perut yang mengeluarkan darah meski diperban.Suara teriakan orang-orang yang mengejarnya itu masih terdengar sangat jelas didekat Nalan. Ingin kabur tapi mereka masih berjaga disekitaran gedung."Ugh! Aku harus bagaimana?" tanyanya seorang diri dengan nafas yang memburu. "Aku tidak mampu berlari lagi," perlahan Nalan mulai jatuh karena kehilangan banyak darah."Celaka! Jika aku kedapatan mereka, aku tak bisa meny
'Drrrt!!''Drrrt!!'"Hpmu berbunyi," tegur Mayra. Nalan segera mengangkat dan melihat nama yang tertera "Nami"."Halo, kak," sedikit ragu mengangkat telepon seraya menatap tajam pada Mayra yang hanya bisa menunduk."Nalan, apa kau sudah menemukan Zena?" tanya Nami dari seberang telepon. Lelaki bejakung itu terhenyak sesaat, bagaimana bisa dia melupakan keponakan kesangannya itu?"Ma-maaf. Kak aku masih mencarinya," jawab Nalan gugup."Memangnya kau dimana? Kenapa semalam tidak pulang?" tanya Nami beruntun.Ia menelan salivanya, memikirkan jawaban yang tepat untuk kakak, "Aku banyak urusan tidak sempat mengabari kakak semalam, maaf!""Ya, sudah biar aku dan Athar mencarinya.""Jangan, kak?!" cegat Nalan panik sebelum Nami menutup sambungan telepon."Kenapa?"
Nalan berusaha mencari sela-sela di dinding rumah itu, lalu meraih dinding dan perlahan bergeser. Tak ia pedulikan lagi rasa sakit.Namun, dinding yang reot itu mulai mengeluarkan suara bertanda akan segera rubuh, Nalan panik tapi terus menggeser tubuh. Darah telah menempel di cat putih. Berusaha meraih kursi, tapi tetap tak sampai, berkali-kali mencoba tetap gagal."Bos, turunlah. Dinding itu akan segera roboh," titah Hans ketika melihat keberanian Nalan. Namun, tak dipedulikannya. Sekarang dipikiran hanya menyelamatkan Zena.Hans yang kebingungan ingin meminta tolong, tapi tak ada satupun warga di desa. Akhirnya, ia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan Nalan."Zena, pegang Uncle! Jangan takut sayang," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Si tangan mungil itu terus berusaha tapi tak mudah di raih."Oh, iya lebih baik aku cari sesuatu yang empuk, jangan sampai bos
"Mmm, Nalan boleh aku tahu siapa Kinan?" tanya Mayra ragu. Nalan terbelalak saat pertanyaan itu terlontar.Mereka kini hanya berdua di kamar, tentu saja Mayra berani bertanya. Meski pria yang dihadapannya bukan siapa-siapa bagi Nalan. Tentu, rasa cemburu dan penasaran ingin segera terjawab.Sejenak Nalan berwajah masam, ia paling tidak suka ada orang bertanya tentang Kinan. Lagipula, Mayra bukan hal penting."Tak penting bagiku menjawabnya," balas Nalan ketus. Mayra tertunduk sedih."Kau tak perlu tahu siapa dia," jawabnya lagi."Ya, maaf! Aku terlalu penasaran," ucap Mayra serak. Ia menahan kesedihannya didepan Nalan."Bagus, kau harus mengerti dirimu di posisiku," kata Nalan pedas, menyakiti hati Mayra. Ia memang suka mengatakan sejujurnya ketimbang menjaga perasaan."Nalan, apa aku tak layak untuk kau cintai?" tanya Mayra getir.
"Jadi, begitulah kisahnya. Nalan berpacaran dengan Kinan sejak duduk di bangku menengah pertama. Tepat 5 tahun gadisnya itu mengalami tragedi mengenaskan dan penyesalan mendalam hingga kini, meski cukup lama ia membuka hati kepada Serra, tapi hatinya tetap pada Kinan. Itulah Nalan sangat sulit untuk membuka hati, mau hubungan itu lama atau singkat, ia tetap keras kepala," terang Marco panjang kali lebar dengan wajah sendu."Apa kak Nami tahu tentang Kinan?" tanya Mayra getir."Tahu, hanya saja ia tak mengingat lagi. Selama ini kesedihan Nalan tertutupi dengan hadirnya Serra, ia memang keras kepala. Sejujurnya, Mayra berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Jangan mengejar Nalan apalagi sangat kecil kemungkinan membuka hati. Menyerahlah, lupakan dia dan temukan pria yang bisa menghargaimu.""Sulit, sungguh. Aku juga ingin melupakan dia, tapi cinta sejak kecil tidak bisa kubuang," isak Mayra sejak tadi menahan tangis kini pec