'Drrrt!!'
'Drrrt!!'
"Hpmu berbunyi," tegur Mayra. Nalan segera mengangkat dan melihat nama yang tertera "Nami".
"Halo, kak," sedikit ragu mengangkat telepon seraya menatap tajam pada Mayra yang hanya bisa menunduk.
"Nalan, apa kau sudah menemukan Zena?" tanya Nami dari seberang telepon. Lelaki bejakung itu terhenyak sesaat, bagaimana bisa dia melupakan keponakan kesangannya itu?
"Ma-maaf. Kak aku masih mencarinya," jawab Nalan gugup.
"Memangnya kau dimana? Kenapa semalam tidak pulang?" tanya Nami beruntun.
Ia menelan salivanya, memikirkan jawaban yang tepat untuk kakak, "Aku banyak urusan tidak sempat mengabari kakak semalam, maaf!"
"Ya, sudah biar aku dan Athar mencarinya."
"Jangan, kak?!" cegat Nalan panik sebelum Nami menutup sambungan telepon.
"Kenapa?"
"Ngga apa-apa, kakak di rumah saja," utup Nalan tanpa membiarkan Nami melanjutkan pembicaraan.
Nalan menghempaskan selimut, tapi dicegat Mayra, "Kamu mau kemana?" tanyanya cemas sembari meraih lengan.
"Lepas, bukan urusanmu," ujar Nalan seraya melepaskan tangan gadis itu dengan tatapan datar.
Baginya tak perlu Mayra tahu akan hal yang dialami saat ini, ia tak percaya pada gadis manis itu. Takut akan memberi tahu Nami, mereka sangat dekat.
"Kondisimu saat ini tidak baik, luka diperutmu baru saja di jahit lagi karena terbuka," cegah Mayra yang cemas.
"Bukan urusanmu, aku mau pergi," kata Nalan kekeh sembari mengganti pakaiannya.
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan pada kak Nami, dia tahu kamu terbaring," ucap Mayra dengan pandangan sendu. Nalan menatap tajam ke arah gadis itu dengan penuh emosi.
"Gawat! Kakak pasti akan memata-mataiku kelak," gumam Nalan khawatir.
Lelaki berparas tampan itu sangat takut Nami mengetahui rahasia yang disimpan selama 4 tahun. Namun, sekarang bukan saatnya memikirkan tanggapan perempuan beranak 1.
Sekarang ia harus menyelamatkan Zena yang berada di tangan Mark si bajingan licik itu.
"Itu urusanku, tidak perlu kau ikut campur," ujar Nalan seraya pergi meninggalkan Mayra yang terus berusaha mencegahnya.
"Nalan?!" teriak Mayra berkali-kali memanngil lelaki itu, tapi tak diindahkan Nalan. Dia terus berjalan tanpa berbalik ke belakang meninggalkan rumah sakit sembari memegang perut yang terluka.
Tak pedulikan lagi rasa sakit bekas tembakan, ia terus berjalan sambil berpikir untuk menemukan gadis kecil itu.
Nalan merogoh saku mengambil telepon genggamnya, menelpon Hans. Seraya berjalan cepat.
'Hans, jemput aku sekarang di rumah sakit umum kota,' titah Nalan.
'Baik, bos,' jawab Hans dari seberang.
Setengah jam menunggu kedatangan Hans, melihat mobil segera masuk dan asisten itu terkejut dengan keadaan pria galak disampingnya.
"Bos, lukamu makin parah. Kenapa keluar dari rumah sakit?" tanya Hans tak percaya dengan sifat keras kepala atasanya, apalagi Nalan terus merintih kesakitan.
"Aku terpaksa, Zena dalam bahaya."
"Aku bisa menyelesaikan tugas ini, lebih baik kamu kembali ke rumah sakit."
"Tidak! Kak Nami saat ini sudah curiga, aku harus menyelamatkan Zena," tolak Nalan tegas.
Hans terdiam karena tidak mampu melawan keinginan besar Nalan, ia sangat tahu persis sifat lelaki yang ada disampingnya. Keinginan yang keras, tak ada yang bisa menghalangi.
"Kita kemana sekarang?" tanya Hans ragu.
"Apa kamu sudah menemukan informasi tentang Mark?" Nalan bertanya balik.
"Ya, Mark seorang bos bandar narkoba, hanya saja markas penyelundupan itu sangat rahasia, tidak ada yang bisa menemukan sejak 5 tahun belakangan ini."
"Artinya, Mark sangat pandai menyembunyikan sesuatu?"
"Benar bos, polisi pun tidak bisa menemukannya."
"Kita harus cari kemana Zena?" tanya Nalan kebingungan.
Hans pun mendapat kabar dari orang-orang yang disuruhnya untuk menemukan keberadaan Mark, Setelah mendapatkan kabar, tetiba ponsel Nalan berbunyi.
Dilayar tidak tertera nomor penelpon tersebut, Nalan mengerutkan dahi seraya bergumam, "Nomor tak dikenal?"
"Ada apa, Bos?"
"Nomor tak dikenal," jawab Nalan sekenannya.
Ia pun mengangkat, "Halo," ucapnya ketus. Namun, betapa terkejutnya Nalan dengan suara dari sebrang.
"Aku akan mengirimkan alamat keponakan kesayanganmu berada, kau hanya punya waktu sejam untuk menyelamatkannya, jika telat sedetik atau semenit kau akan dapati hanya mayat," imbuh Mark seraya memutuskan sambungan telepon tanpa memberi kesempatan Nalan untuk berbicara.
"Oh, shit?! teriak Nalan sambil mengepalkan handponenya.
"Ada apa bos?"
"Cek hpmu, lalu kita ke alamat itu dalam sejam," titah Nalan.
Hans membuka benda pipinya, sambil tetap mengemudi, ia membelalakkan mata. Alamat yang dikirim oleh Nalan. Bukan tak mungkin untuk kesana harus mencapai lebih dua jam, karena daerah itu berada sangat jauh dari kota Himalaya.
Alamat itu berada di daerah desa terpencil yang tak ada penduduk alias desa mati, desa yang terkenal di kota ini. Namanya, Artapura.
"Bos, desa Artapura sangat jauh dari sini, kita tidak akan mungkin bisa sampai dalam sejam," terang Hans.
"Lalu, kita harus bagaimana?"
"Harus menggunakan helikopter, desa Artapura memakan waktu paling cepat dua jam," balas Hans memberi ide. Ia sangat tahu sifat atasannya, tatkala sedang panik tidak bisa berpikir jernih.
"Butuh berapa lama helikopter untuk sampai?" tanya Nalan lagi sambil memastikan waktu, "Sekarang yang tersisa 55 menit lagi."
"Aku akan pastikan mereka sampain 5 menit."
Hans punmenghubungi karyawan, sementara Nalan sangat khawatir. Ia tak mampu mengendalikan kecemasannya. Sementara luka di perut, kembali terasa nyeri, sesekali lelaki bertubuh tabun itu meringis.
Hans yang tidak tega melihat Nalan kesakitan, berkata, "Bos, kembalilah ke rumah sakit. Berikan tugas ini kepadaku."
"Tidak perlu memperdulikanku," tolak Nalan bersihkeras. Hans hanya bisa menghela nafas pelan tak membujuk lagi.
Tepat sesuai dugaan Hans, helikopter pun datang tak sampai 5 menit. Keduanya, meninggalkan mobil dan segera meluncur ke arah desa Artapura.
Kini mereka diatas desa Artapura, mereka melihat sekeliling mencari keberadaan bocah mungil itu, tapi tak ditemukan.
"Bos, apa kita dibodohi?" tanya Hans cemas. Nalan tak menjawab, matanya terus mencari dan mengawasi.
Tetiba, terdengar suara dari bawa diiringi dengan tangis, "Mami, Papi, Uncle?!" teriaknya hingga menggema.
"Hans, kamu dengar sesuatu?" Nalan mengeraskan indra pendengarnya.
"Tidak, bos. Aku tidak mendengar apapun," jawab Hans memastikan segalanya.
"Mami, Papi, Uncle!?" sekali lagi suara itu menggema kembali di telinga dan didengar oleh Hans.
"Bos, aku mendengarnya," ucap Nalan menangkap suara itu menggema.
"Sepertinya itu suara Zena, dia selalu memanggilku uncle pasti itu Zena. Arahkan ke arah kanan, suaranya berasal dari sana," tunjuk Nalan.
Karena suara helikopter yang teramat ribut mereka kembali tak dapat mendengar suara teriakan lagi, tapi firasat Nalan kepada gadis kecil yang teramat disayanginya mampu membawa ke tempat dimana Zena berada.
Mereka menemukan gadis kecil itu sedang terikat di kursi yang digantung, dari ujung tali itu, ada api kecil yang perlahan menurunkan kursi. Zena hanya bisa menangis.
"Uncle!?" teriak Zena berkali-kali memanggil pamannya.
Nalan dengan segala kepanikannya dilanda kebingungan, Hans berusaha mematikan api tapi tidak berhasil jangkauan yang tinggi tidak dapat meraih terlebih tak ada air di sekitar.
"Zena, jangan takut Uncle di sini," tutur Nalan menenangkannya.
"Uncle, takut," Zena terus menangis karena dipenuhi rasa takut, apalagi dari ketinggian itu.
Ya, Mark meninggalkan Zena disebuah rumah tingkat 3 dengan bangunan reok. Bahkan pria bule itu juga sengaja menggantung dan membuat lubang di lantai dua dan tiga.
"Aku harus bagaimana?" gumam Nalan sambil meringis.
To Be Continue...
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.