Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.
Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung.
"Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya.
"Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik.
"Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik."Kenapa ada yang menginginkan nyawa, Bryan?" tanya Nalan dalam hati. Setelah pertemuannya dengan Marco tadi, ia terus memikirkan ucapan sahabatnya. Dia percaya semua yang keluar dari mulut pria yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun lamanya adalah kejujuran."Apa sebaiknya aku menemui, Bryan?" pikirnya lagi dalam hati. Dia ingin benar-benar memastikan saja semuanya.Sebenci apapun Nalan pada Bryan, tak pernah terlintas ingin membunuh mantan sahabatnya. Dia memang sakit hati pada sikap lelaki berkulit putih itu, tapi ia hanya berpikir balas dendam dengan cara merebut Serra kembali dari tangannya."Bos!" panggil Hans yang sejak tadi memerhatikan Nalan gelisah tak karuan, berkali-kali bahkan ia memanggil. Namun, tak ada respon darinya."Bos," kembali Hans memanggil dengan suara agak keras seraya menyentuh bahu Nalan pelan, sontak itu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan
"Sejak tadi nomor Serra yang dipakai menghubungiku tidak bisa dihubungi, kemana sih dia?" pekik Nalan sembari meletakkan benda pipih itu di meja dengan kasar.Dia merindukan wanita itu, ingin sekali merasakan sentuhannya malam ini. Malas baginya untuk pulang ke apartemen, melihat Mayra. Ia hanya ingin Serra menemani lagi di malam ini, tapi sejak tadi pagi pergi dari hotel, nomor itu tak kunjung aktif."Apa aku harus mencarinya pada Bryan?" tanya Nalan ragu. "Tapi, bagaimana jika bibi Elsa bertanya?""Aaah! Aku sangat merindukanmu Serra, semalam kau berjanji tidak akan meninggalkanku, tapi kenapa kau pergi lagi?" tanya Nalan pada dirinya sendiri dengan genangan air mata.Nalan sangat mencintai gadis itu, cinta butanya tak mampu melihat mana yang tulus dan permainan. Meski ia sangat pintar, cerdas dan penuh taktik, tapi cinta dapat membuatnya menjadi bodoh. Namun, rasa
"Kenapa?" Mimik Marco yang makin serius dan penuh keheranan menatap Bryan. Ia tak menyangka banyak hal tak terduga keluar dari mulut sahabatnya tentang wanita yang selalu dipuja oleh Nalan. Marco berpikir, dulu Mayra begitu bodoh mau dengan Nalan lelaki yang tak bisa menjaga perasaannya, tak bisa menjaga harga dirinya. Namun, ia akan kembali tercengang dengan penuturan Bryan tentang Serra. "Lalu, seminggu setelah pernikahan aku mendapati Serra tidur dengan pria lain," jawab Bryan sendu. "Apa? Kamu tidak salahkan, Bryan?" tanya Marco meyakinkan ucapan sahabatnya. Bryan menggeleng kepala lalu membalas kembali pertanyaan Marco, "Tidak, karena waktu itu aku tak sengaja mendapatinya di pantai Barat Daya, Serra bercumbu di mobil dengan pria yang tak kukenal." "Hingga saat ini, dia tak tahu aku terus memergoki dirinya dengan pria lain dengan pria berbeda se
Brak!Pintu dibuka secara kasar, Mayra kaget dan matanya terbelalak saat melihat suaminya pulang dengan bersimbah darah. Nalan pulang dengan keadaan mengejutkan, memegang lengan kanannya sembari meringis.Mayra dengan cepat menolong suaminya, memapahnya duduk di sofa sembari bertanya dengan penuh kecemasan yang tampak di wajah mulusnya, "Ada apa denganmu?"Nalan tak menjawab, ia hanya terus meringis kesakitan. Mayra yang paham akan hal itu, kini memberi tawaran, "Aku bawa kau ke rumah sakit ya?"Nalan hanya mengangguk yang berarti mengiyakan, ia tak mampu mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Darah yang tak berhenti keluar serta rasa sakit yang tak tertahankan."Baik, tunggulah aku akan memapahmu, aku ambil kunci mobil dan tas dulu ya," ucap Mayra bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar mengambil segala yang dibutuhkannya.Dia keluar d
Setelah menunggu lebih dari sejam, akhirnya dokter dan perawat keluar dari ruang UGD. Mayra yang sejak tadi gelisah menunggu kabar, segera menghampiri dokter."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?""Pasien hanya terluka dibagian lengan kanan, peluru sudah di keluarkan, kami juga sudah mengobati lukanya. Untuk beberapa minggu lukanya jangan sampai kena air," jawab dokter."Syukurlah," lirih Mayra bernafas lega. "Apa saya bisa menemuinya?" tanyanya lagi."Ya, silahkan. Pasien juga hanya berbaring saja," kata dokter mempersilahkan dan berlalu."Terima kasih, dok," kata Mayra senang. Ia pun bergegaa menemui Nalan.Nalan sedang berbaring, ketika mendengar suara gagang di putar matanya pun terbuka dan melihat siapa yang datang. Tak disangka istrinya masih berada di rumah sakit menunggu dengan setia walau sudah disakiti. Dip
Mayra mengendarai mobilnya dengan sangat cepat, jalanan sangat sepi jadi bebas baginya untuk membelah keheningan nalam yang menunjukkan pukul 4 dini hari. Dia tak berhenti menangis, meski sadar yang dilakukannya tadi saat di rumah sakit hal yang keterlaluan.Membuat keributan di dini hari, dia tahu pasien lain akan terganggu. Namun, Mayra tak bisa lagi membendung amarahnya. Perasaannya perlahan mulai tenang dan mobil berjalan lambat. Berhenti di pinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.Mayra saat ini butuh kesendirian untuk menenangkan hati dan pikirannya, ada niatan untuk mengadu ke Nami. Namun, berpikir kembali, rasanya pada Nalan masih terlalu besar meski faktanya lelaki itu sudah tidur dengan wanita lain. Tak urung perasaan itu sirna."Aku harus tenang, tidak boleh gegabah," isaknya sembari menyandarkan bokongnya di kursi kemudi. Mayra memegang dahi karena merasa pusing dan pengelihatan ka
Setibanya di rumah sakit, Mayra merasakan pusing di kepalanya mungkin karena pertama kali tidak tidur dan hal itu sangat tak biasa baginya.Dia berjalan pelan ke kamar Nalan, bertahan agar tak jatuh dan memegangi tembok rumah sakit untuk membantunya berjalan.Untung saja di kamar Nalan ada sofa panjang, suaminya sedang tertidur pulas seorang diri di atas branka. Mayra mengendap-ngendap agar tak membangunkan pria berhati dingin itu. Segera saja tubuhnya ia buang ke sofa dan tertidur.Pagi hari pukul 7.00, Nalan membuka mata dan sontak ia kaget mendapati istrinya tidur di sofa dengan sangat nyenyak. Dia tak menyangka Mayra akan kembali dengan sendirinya bukan bersama kakaknya."Mayra!" seru Nalan dengan suara keras, tapi gadis itu tak bergeming. Dia terus memanggil, akhirnya direspon dengan membuka mata perlahan sambil mengerjap.
Sekembalinya Mayra, secepat kilat Nalan menghapus air matanya agar tidak ada yang tahu hatinya gundah. Andai saja istrinya pergi, ia akan keluar dari rumah sakit hari ini juga untuk mencari Serra.Ingin meminta tolong pada Hans untuk mencari keberadaan kekasihnya, tapi Nalan tak ingin satu orang pun tahu kalah Serra telah kembali. Termasuk orang kepercayaannya, karena tahu akan ditentang habis-habisan. Dan berbagai nasehat akan dilayangkan, pastinya akan ada ancaman dari asisten itu. Mengadu pada Nami sudah di jelas akan di lakukan lelaki berusia 20 tahunan."Nalan, ayo makan!" ajak Mayra sembari menyiapkan dan memegang jari jemarinya. Namun, Nalan menepis dengan kasar. Dia membalikkan badannya karena tidak dapat menahan rasa lapar sejak semalam."Aku menerima ajakanmu hanya karena kak Nami, jangan sampai kau mengadukan atas apa yang terjadi semalam termasuk pada Hans," ucapnya terpaksa