Share

5 ) 10 Tahun Berlalu

Beberapa tahun berlalu. Lyshi, gadis yang dahulu berada di keterpurukan kini sudah bangkit dan berubah kepribadian menjadi gadis ceria.

Usianya kini sudah menginjak angka 15, saat-saat dimana ia mulai memasuki masa SMA. Masa terindah kalau kata orang-orang.

Gadis itu turun dari lantai atas dimana kamarnya berada, penampilannya membuat perut serasa menggelitik. Rambut dikepang dua dengan seragam putih biru, itu masih berada dibatas wajar. Kali ini sudah tak wajar, di lehernya terpampang kalung berbandul terong ungu, tak lupa gelang berbahan dasar kacang panjang yang melingkar di tangan kirinya. 

Tawa menggeleger menyambut kehadiran Lyshi. Dika-lelaki yang notabene adalah kakak tirinya tertawa terpingkal, saking parahnya sampai memukul-mukul meja makan.

"Hahaha ..... lihat ma, Lyshi jualan sayur." Dika beranjak dari duduknya, kemudian mengintari tubuh adiknya.

Lyshi merotasikan bola matanya. "Ma, lihat tuh abang," adu Lyshi pada Ana.

Hubungan mereka memang sudah membaik. Tapi semua itu membutuhkan waktu lama, butuh orang ketiga untuk membuat hubungan mereka membaik. Beruntung sekarang Lyshi sudah menerima keluarga barunya dan mulai melupakan kejadian kelam beberapa tahun silam.

Melihat itu Ana langsung memukul 

putranya menggunakan sendok. "Dika! Jangan gitu sama adik kamu." 

Lyshi menjulurkan lidahnya, melihat Dika dimarahi oleh Ana adalah kesenangan tersendiri baginya.

"Iya deh, maaf Ly." Dika mengacak rambut adiknya dengan gemas.

Gadis berkepang dua itu mengangguk. "Ma, papa mana?" tanya Lyshi mengedarkan pandang.

"Papa sudah berangkat, katanya ada klien penting," ujar Ana menyodorkan roti berselai cokelat pada Lyshi.

"Okwe," tanggapnya dengan mulut. Tangan kanannya memegang roti berselai cokelat, bagaimana dengan tangan kirinya? Tentu saja ia gunakan untuk menggenggam minuman botol berukuran sedang.

Di mata Ana, Lyshi selalu terlihat seperti anak TK, ditambah lagi dengan minuman botol di tangannya. Ana heran dengan putrinya, apa enaknya minuman itu? Minuman rasa asam kok disukai.

Lyshi meneguk minuman favoritnya, melihat itu pipi Ana menjadi ngilu. Pasti asam sekali.

Tangannya terulur membelai surai kecokelatan Lyshi. "Ly, mau bawa bekal?" celetuk Ana.

Ia menggelengkan kepala. "Nggak, ma. Kata Zoya nanti selesai MOS dikasih makan," tolak Lyshi.

MOS? Iya, hari ini Lyshi akan mengikuti kegiatan wajib yang digelar oleh sekolah barunya. Hal itulah yang membuat ia berpenampilan aneh, saking anehnya hingga diledek jualan sayur oleh Dika.

Lelaki yang sedari tadi menyimak akhirnya memunculkan suara setelah dirasa ada yang perlu diluruskan. "Dikasih makan, emang hewan? Gitu banget bahasanya."

Lyshi menyengir. "Pokoknya gitulah." Gadis itu beranjak dari duduknya, kemudian menggendong tas ransel kesayangannya.

"Mau kemana? Minum vitamin dulu," ujar Ana menyerahkan obat berbentuk butiran kecil berwarna coklat dari tube.

Lyshi menurut, lalu meminum vitamin yang diberi oleh Ana. 

Setelah itu ia menarik tangan Dika dengan tiba-tiba, lelaki yang sedang berkutat dengan sarapannya tentu langsung terkejut. "Kaget hamba! Ya ampun Lyshi, gue kira jurig," pekiknya memegangi dada.

Wanita itu tersenyum kecil, senang rasanya melihat kedua anaknya akur, walaupun hanya sebatas saudara tiri.

"Bang, anterin Lyshi yuk." Tangan Lyshi bertaut di depan dada.

Dahinya mengerut, mengapa harus dia? "Kok gue? Bian mana? Tumben nggak jemput lo," tanya Dika heran. Bukannya tak mau mengantar adiknya, dia hanya heran saja, toh bisanya Lyshi dijemput oleh sahabat laki-lakinya.

Lyshi mengedikkan bahu. "Ntah."

"Kamu sama Bian lagi berantem?" Ana memunculkan tanya, wanita berkepala tiga itu sebenarnya juga heran seperti Dika.

"Engga, ma. Lyshi sama Bian akur kok." Lyshi berucap sembari mengangkat dua jempol tangannya seolah mengatakan 'oke'

Ana berhembus lega, untunglah jika seperti itu. Dia sangat menyayangkan jika Lyshi dan Bian berkelahi. Pernah saat itu keduanya berselisih hanya karena hal sepele, berakhirlah mereka dengan diam-diamanan selama beberapa Minggu. Bian yang dasarnya cuek tentu tak menggubris hal itu.

"Syukurlah." Ana mengalihkan tatapan ke arah putranya, "Ka, anterin Lyshi ya. Lagian kampus kamu sama sekolahannya Lyshi dekat," pinta Ana diangguki oleh Dika.

                       《♡♡》

Lyshi mendongak menatap bangunan besar di depannya. Bangunan itu terlihat megah dan elegan, siapapun yang melihatnya pasti tertarik untuk bersekolah di situ. 

Lyshi akui, rekomendasi sekolah dari Bian memanglah menakjubkan. Ia juga berterimakasih pada Fandi karena mau membayar mahal biaya masuk SMA favorit itu, walaupun Lyshi tahu Fandi tak akan pernah keberatan membiayai sekolahnya. 

SMA Semesta Busan, dari namanya saja Lyshi sudah cekikikan. Ia jadi teringat film Negeri Gingseng yang sering ditonton oleh Zoya, 'Train to Busan'. Film paling menegangkan yang pernah ia tonton.

Usut punya usut pendiri sekolahan itu berasal dari Busan, oleh karenanya sekolahan itu memakai nama Busan di belakangnya.

Lyshi melangkahkan kaki untuk lebih mendalami isi sekolahan itu. 

Matanya memandang takjub orang-orang di depan sana. Bukan, bukan orangnya yang membuat ia takjub, tapi seragamnya. Namanya saja sekolah swasta, tentu seragamnya unik dan berbeda dari sekolah lain. Bawahan berwarna kuning hitam kotak-kotak, atasan putih yang dibaluti dengan almameter hitam. Padahal Lyshi sudah sering melihat Bian mengenakan seragam itu, tapi kali ini yang ia lihat kesannya berbeda.

Matanya tertuju pada gadis berseragam biru putih dengan kuncir kepang dua sepertinya. Gotcha! Ia mengenal orang itu.

"Zoya!" ia memekikkan suara, serentak pandangan semua orang tertuju padanya. Lyshi meringis kecil, mengapa ia berteriak, sih? Kan ia jadi malu sendiri.

Ia berlari mendekati Zoya. "Ya ampun, Lyshi malu banget Zoy." Lyshi bersembunyi di balik badan sahabat perempuannya.

Perkenalkan, dia Zoya Hilma Putri. Zoya adalah sahabat perempuan Lyshi, mereka bersahabat sejak kelas 3 SD, terbilang lama memang.

Tangan Zoya terulur menoyor kepala Lyshi dengan pelan. "Kebiasaan."

"Heran Lyshi, punya mulut kok kaya gini." Lyshi berucap dramastis. Zoya yang melihat bergidik ngeri. 

Kedua gadis itu kembali memandang takjub sekolahan di depannya. Desain bangunan itu sangat mirip dengan sekolahan Negeri Gingseng.  Ah, Lyshi tak sabar menjadi murid resmi sekolahan itu.

"Ly, berangkat sama siapa tadi?" 

Lyshi menoleh. "Sama Bang Dika," jawab Lyshi dengan wajah muram. 

Zoya tersenyum mengejek. "Tumben nggak sama Kak Bian, lagi marahan? Biasanya kaya lem sama perangko." 

Ia mencebikkan bibir. Tidak Ana, tidak Zoya, mengapa menyimpulkan seperti itu? Memang ia harus bersama Bian terus? Kan tidak.

Lyshi sebenarnya juga kesal dengan Bian, tumben sekali lelaki itu tak menjemputnya. Dari semalam pun Bian tak mengirim pesan. Awas saja jika bertemu, Lyshi pastikan Bian menderita.

"Hai!"

Lyshi dan Zoya menoleh ke sumber suara, siapa gadis itu? Mengapa aneh sekali, benak Lyshi bertanya.

Gadis asing di depan mereka menggaruk tengkuknya. "Boleh gabung nggak? Gue nggak ada temen, ehe." 

Dari roman-romannya gadis itu satu spesies dengan Lyshi, terlihat bar-bar dan tak tahu malu. 

Bayangkan saja, kalung berbandul terong yang seharusnya dilingkarkan di leher malah melingkar pada pinggangnya. Manusia dari planet apalagi ini? 

"Oh. Hai juga," tanggap Lyshi dengan senyum, terlampau manis.

Lyshi menyikut perut Zoya, memberi isyarat agar sahabatnya membalas sapaan orang aneh di depannya. Ia tak mau sahabat perempuannya dikira sombong, sebenarnya bukan sombong. Zoya lebih pantas disebut ketus dan cuek, tapi memang begitu tabiatnya.

"Juga," netral Zoya.

"Kenalin, nama gue Elita Geminnie. Biasa disapa Minnie, dipanggil sayang juga boleh. Hahaha!" Tawa gadis yang ternyata bernama Minnie itu menggeleger. Dia tertawa sembari memukul-mukul pundak Zoya. 

Nah, kan. Cobaan apalagi ini? Perhatian semua orang terpusat pada mereka. Rasanya Zoya ingin mengubur diri hidup-hidup, terlebih setelah mengetahui respon Lyshi. Gadis berpipi gembul itu malah ikut tertawa seperti Minnie. 

Zoya membesarkan pupil matanya. "Diem! Gue malu astaga."

Lyshi cekikikan, kasihan sekali sahabat perempuannya, pasti dia malu sekali. Satu sama kawan!

"Hai Minnie, aku Nascherly Aurora Oshi. Bisa dipanggil Lyshi," sahutnya membalas uluran tangan Minnie.

Gadis bernametag Minnie itu kini mengulurkan tangannya pada Zoya. 

Zoya membalas uluran gadis itu dengan ogah-ogah. "Zoya Hilma Putri. Panggil Zoya." Tandasnya meninggalkan mereka setelah mendengar instruksi dari osis.

Lyshi merangkul pundak Minnie. "Min, Zoya emang gitu orangnya. Nggak usah ditanggepin serius. Ayo!" Lyshi menarik tangan Minnie menuju aula sesuai instruksi osis.

"Sial, gue berasa dipanggil Mimin," lirih Minnie.

Lyshi berhenti di depan pintu aula. Sejujurnya ia tak terlalu memperhatikkan jalan-jalan yang harus ia lalui untuk sampai di ruangan tersebut. Ia hanya fokus mencari keberadaan Bian. Tapi dua kata yang bisa menggambarkan Sekolah Semesta Busan.

Besar dan megah.

Baik dari koridor hingga lorong sekolahannya. Arsitekturnya pun tak sama seperti sekolah pada umumnya, gaya Asia Timur terlalu kental di sana. Hal-hal baru dapat Lyshi temui di sana.

"Ayo masuk dek." Suara sesorang beralmameter osis mengintruksinya.

Ia menoleh ke arah samping, sial! Minnie meninggalkannya.

Lyshi terkesiap, ia benar-benar terkagum saat menginjakkan kakinya di aula. Begitu besar. Lyshi mendongak, atap aula ternyata terbuat dari kaca, sehingga langit biru terpampang jelas di sana. Deretan kursi diatur rapi, seperti kereta jika dilihat-lihat. Di kursi pojok ia melihat Zoya yang sedang diganggu oleh Minnie, kakinya berjalan menuju mereka. 

"Kalian kenapa ninggalin Lyshi, sih? Dasar." Lyshi mendudukkan bokongnya di samping Minnie.

Zoya dan Minnie mengedikkan bahu secara bersamaan.

Lyshi mendengus. "Sok komp~" serunya terpotong.

"Itu yang di pojok belakang kenapa kalung terongnya dipasang dipinggang? Tidak punya ikat pinggang?" gerundel lelaki di panggung aula. Seingat Lyshi, jika tak salah lelaki itu adalah ketua osis di SMA Semesta Busan.

Minnie gelagapan, secara spontan dia melepas kalung terong itu lalu menyerahkannya pada Zoya. "Nggak kak, itu bukan punya saya."

Zoya berdecit, mengapa Minnie bodoh sekali? Gadis itu pasti akan diberi sanksi karena dikira tak membawa atribut MOS dengan lengkap. Ah, biar saja Zoya tak peduli

Lyshi menyikut tangan Minnie. "Min, kamu goblok banget sih," lirihnya.

"Sudah-sudah. Sekarang kalian pergi ke lapangan utama, dan ikuti instruksi kakak osisinya. Untuk yang tadi tidak membawa atribut lengkap tetap tinggal di sini."

Sesuai instruksi, para peserta MOS berbondong ke lapangan utama. Begitupun Lyshi dengan Zoya, tapi tidak dengan Minnie. Sebenarnya Lyshi dan Zoya kasihan pada gadis itu, pasti dia akan dihukum mengingat peraturan MOS.

Lapangan biru menyambut mereka, di setiap sudut lapangan berdiri Tumbuhan Momijigari. 

Lyshi menatap tumbuhan itu penuh antusias, senang rasanya melihat dedaunan bewarna-warni itu dalam jumlah banyak. Walaupun sebelumnya ia pernah melihat dan memegang daun tumbuhan tersebut, itupun Bian yang membawakannya dari sekolahan tersebut.

Para peserta MOS berbaris memadati lapangan utama, beberapa anggota osis pun terlihat berseliweran di tempat itu.

Salah seorang wanita berambut cepak yang entah siapa namanya berdiri di barisan paling depan. "Hai adik-adik! Perkenalkan nama kakak Freya Anoviolia, bisa dipanggil Freya. Di sini jabatan saya sebagai wakil ketua osis. Nah tadi yang menjadi pembicara di aula itu Kak Ervan, dia ketua osis di SMA Semesta Busan."

Perkenalan singkat itu telah usai. Setelahnya mereka disuruh berpencar untuk mencari  gambar emoji yang disembunyikan oleh anggota osis di tempat tersembunyi. Selanjutnya bagi  peserta MOS yang sudah menemukan emoji tersebut dititahkan untuk menirukan ekspresi di emoji tersebut. Awalnya bulu kuduk mereka meremang, jika emojinya aneh-aneh bagaimana? Memalukan sekali.

Lyshi sudah mendapatkan emoji tersembunyi tersebut di bawah Tanaman Momijigari. Untunglah emoji yang didapatinya tidak aneh-aneh, hanya ekspresi tersenyum lebar. 

Sementara di bawah tiang bendera, terlihat Zoya memonyongkan bibir sembari menutup sebelah mata. Lyshi yang melihat itu ingin sekali tertawa kencang, tapi ia tahan mengingat ketentuan game tersebut. 

Ia mengedarkan pandang. Melihat peserta MOS lainnya Lyshi ingin sekali menggelegarkan tawa, ekspresinya beraneka ragam sekali, dan tentunya sangat menggelikan. Ngomong-ngomong ia tak melihat Minnie, pasti gadis itu sedang dihukum.

Lyshi kembali mentravelingkan matanya, ia menatap gedung-gedung elegan yang berjejar rapi di sana. Tepat pada koridor lantai dua matanya tanpa sengaja menangkap sosok lelaki yang dikenalnya. Orang itu menatap Lyshi dengan tatapan datar, mulut orang itu enggan terangkat tuk membentuk senyum. Dia Bian Putra Mahadewa, orang yang tidak mengabarinya dari semalam.

Jiwa Lyshi meronta-ronta ingin menghampiri Bian, tangannya sangat gatal ingin menjambak rambut sahabat lelakinya. Tapi ia tahu tak akan bisa melakukannya sekarang. Tak tahan dengan itu, ia memanfaatkan matanya untuk memelototi Bian di koridor atas.

"Bian! Lihat aja, Lyshi bakal jambak Bian sampai botak. Mampus!" batinnya berteriak kencang.

Kebetulan salah satu anggota osis lewat di depan Lyshi, orang itu terkejut melihat Lyshi membolakan matanya. "Dek, nggak usah melotot gitu. Lagian emoji punya lo ekspresinya cuma senyum, matanya juga nggak melotot."

Lyshi sama sekali tak menggubris orang di depannya, ia tetap menatap tajam Bian. Beberapa detik kemudian matanya tambah melebar, Bian tersenyum mengejek padanya? Cukup, Lyshi sudah tak tahan lagi.

Anggota osis di depannya menatap Lyshi dengan lamat-lamat. "Hei! Dek? Astghfirullah nih bocah kenapa sih?" gumamnya mengikuti arah pandang Lyshi.

Bian? Ada masalah apa lelaki itu dengan gadis di depannya? Mengapa gadis di depannya menatap lelaki dingin itu dengan tatapan membunuh? Dan lagi, Bian tersenyum? Walaupun orang itu tahu senyum itu bermaksud mengejek, tapi dia masih tak percaya. Seorang Bian, lelaki dingin yang melebihi dinginnya kutub utara menatap gadis di depannya dengan ekspresi langka? Wah, sungguh membingungkan​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status