Fibi menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lokasi pemotretan hari ini. Benar, hari ini adalah jadwal pemotretan bersama Sarah dan Kevin. Jika biasanya dia berangkat dan pulang dengan Kevin, kali ini tentu berbeda. Kevin jelas bersama Sarah.
“Selamat pagi,” sapa Fibi begitu masuk ke dalam ruangan. Tampak beberapa staff tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Fibi pun segera ke meja rias, menyiapkan semua peralatan rias yang dibutuhkan.
“Fibi!” sapa Sarah yang baru datang sambil menggandeng Kevin. Tampaknya mereka datang lebih dulu, terlihat dari Sarah yang sudah siap dengan baju pemotretannya.
“Aku bantu siapin set pemotretan dulu ya.” Kevin mengecup kening Sarah sebelum bergabung dengan staff lain.
“Ayo duduk, Mbak. Kita mulai riasnya,” ucap Fibi. Dengan senang hati, Sarah pun duduk di depan meja rias.
“Tantemu kemarin ada perlu apa? Sayang banget loh kamu pulang. Padahal aku baru datang,” ucap Sarah saat Fibi mulai fokus memoles wajahnya.
“Bukan apa-apa, Mbak. Cuman ada problem keluarga dikit.” Fibi menjawab asal, berharap Sarah tidak lagi bertanya lebih lanjut. Dan sepertinya berhasil. Sarah hanya mengangguk. Dia membiarkan Fibi fokus memoles wajahnya.
Hening, hanya ada percakapan singkat tentang pekerjaan mereka dan beberapa koreksi make up oleh Sarah sendiri. Sarah memang terbilang cukup ketat soal riasan wajah. Dia tidak segan protes jika dirasa riasannya kurang sesuai.
“Kamu tambah jago, Fib. Aku nggak perlu banyak koreksi lagi.” Sarah menatap pantulan Qdirinya di cermin. Senyum puas seketika mengembang saat melihat riasan yang menurutnya sempurna.
“Syukurlah kalau Mbak Sarah suka.”
Sarah langsung ke set pemotretan, sedangkan Fibi menunggu di meja rias. Bersiap jika saja ada yang perlu diperbaiki dari riasan Sarah di tengah pemotretan.
Melihat Sarah bekerja secara langsung, membuat Fibi semakin sadar akan perbedaan jauh antara dirinya dan Sarah.
Sarah cantik, sangat cantik. Fibi tidak mungkin bisa menyaingi gadis itu dalam urusan kecantikan, dia jelas kalah telak. Tidak hanya cantik wajah, Sarah pun memiliki kepribadian yang sangat baik. Dia baik dan ramah, sikapnya membuat setiap orang yang bekerja dengannya nyaman. Selama bekerja pun, dia melakukan pekerjaannya dengan profesional. Wajah yang cantik, karir yang cemerlang, dan kepribadian yang baik, Sarah adalah definisi perempuan sempurna.
Mengetahui fakta bahwa Kevin memiliki hubungan dengan Sarah, membuat Fibi merasa tidak tahu diri karena telah menyukai Kevin. Bagaimana mungkin dia berharap Kevin menyukainya balik? Padahal dia tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan dengan Sarah.
“Fib, hei!”
Fibi tersadar dari lamunannya dan melihat Sarah sudah ada di depannya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Fibi langsung kembali ke pekerjaannya. Sarah sudah selesai satu sesi pemotretan. Sekarang dia sudah berganti pakaian dan duduk tenang di depan meja rias.
“Kamu kalau lagi kerja usahakan jangan melamun, Fib. Harus fokus!” gumam Sarah karena sekarang Fibi tengah memoles bibirnya.
“Iya. Maaf ya, Mbak. Tadi agak meleng dikit,” jawab Fibi. Dia lalu kembali fokus pada wajah Sarah.
“Rika!” panggil Sarah pada asistennya yang tengah sibuk dengan ponselnya.
“Iya, Mbak. Butuh sesuatu?” Rika, si asisten, menyimpan ponselnya lalu menghampiri Sarah. Bersamaan dengan itu, Fibi pun selesai merias Sarah.
“Kamu lagi apa?”
“Lagi ngatur buat jadwal, Mbak berikutnya. Tapi ini udah selesai kok. Mbak butuh sesuatu?”
Sarah berdiri dari duduknya, lalu menarik sebuah kursi di dekatnya dan kursi di depan meja rias. Dia memaksa Rika dan Fibi untuk duduk saling berhadapan.
“Nah, kalian bisa saling ngobrol. Biar Fibi nggak melamun lagi. Kamu temenin ya, Rik!” ucap Sarah sebelum kembali ke set pemotretan. Sedangkan Fibi dan Rika malah saling pandang kebingungan. Masalahnya, keduanya bahkan tidak saling mengenal. Jadi, bagaimana mereka akan mengobrol?
“Hai,” sapa Fibi dengan canggung.
“Mbak Sarah memang suka gitu. Dia nggak suka kalau ada orang yang nggak fokus pas kerja,” jelas Rika. Fibi pun hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Tenang aja, kamu nggak perlu ngajak ngobrol aku kalau nggak nyaman. Nanti aku tinggal geplak kalau kamu melamun,” ucap Rika lagi sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Fibi, sebisa mungkin dia berusaha menjaga fokusnya.
Hari sudah gelap saat Fibi keluar dari lokasi pemotretan. Dia sudah menghubungi Edwin satu jam yang lalu, tapi cowok itu belum juga tampak. Dengan wajah kesal, Fibi kembali menghubungi Edwin. Namun kali ini, panggilannya tidak dijawab.
“Loh, kamu belum pulang, Fib?” sapa Sarah yang baru saja keluar bersama Kevin.
“Masih nunggu Edwin, Mbak,” jawab Fibi dengan topeng senyumnya. Jika boleh jujur, hati Fibi rasanya sakit melihat lengan Sarah melingkar di lengan Kevin.
“Mau bareng?” tawar Kevin. Fibi seketika menggeleng.
“Edwin udah deket kok, Mas. Kalian duluan aja nggak papa,” jawab Fibi. Entah hanya perasaannya saja atau tidak, dia melihat Sarah tersenyum lega mendengar jawaban Fibi.
“Yakin, Fib?” tanya Kevin lagi. Lagi-lagi, Fibi mengangguk mantap.
“Kita temenin nunggu aja gimana? Kamu ambil mobil dulu aja, Kev. Aku temenin Fibi di sini,” usul Sarah yang langsung dijawab anggukan oleh Kevin. Laki-laki itu pun pergi sendiri ke parkiran, meninggalkan Sarah dan Fibi berdua.
“Thanks ya, Fib,” ucap Sarah tiba-tiba. Fibi menatap Sarah sambil mengernyit bingung.
“Makasih udah nolak tawaran Kevin. Jujur aja, aku pencemburu berat,” ucap Sarah dengan diiringi tawa pelan. Fibi akhirnya mengerti kenapa Sarah tadi tampak menghela napas lega.
“Sebelumnya, aku selalu nebeng Mas Kevin kalau ada kerjaan bareng, Mbak. Aku belum tahu kalau Mas Kevin punya pacar. Sekarang karena aku udah tahu, aku bakal pulang pergi sendiri aja,” jawab Fibi. Lagi pula, dia pun tidak ingin semakin jatuh hati pada Kevin. Jadi, dia memilih untuk memberi jarak.
“Aku percaya sama kamu, Fib. Nggak papa kalau misal kepepet banget, kamu bisa bareng Kevin.” Sarah merangkul leher Fibi dan membawanya duduk di anak tangga.
“Next time, aku bakal ceritain kenapa aku jadi pencemburu. Terutama sama rekan kerjanya Kevin.”
Fibi hanya mengangguk sebagai jawaban. Tidak lama, Kevin pun datang dengan mobilnya.
“Edwin belum datang?” tanya Kevin begitu turun dari mobil.
“Bentar lagi kayaknya, Mas. Kalian duluan aja nggak papa. Paling lima menit lagi juga dia sampai,” jawab Fibi. Dia merasa tak enak jika Kevin dan Sarah harus menemaninya menunggu Edwin.
“Beneran nih?” tanya Sarah meyakinkan.
“Iya, Mbak.” Fibi menatap Sarah dengan tatapan meyakinkan.
“Nah itu, si Edwin udah datang, kan,” ucap Fibi lagi begitu melihat motor Edwin memasuki gerbang. Sarah pun mengangguk. Dia melambaikan tangan sebentar sebelum memasuki mobil Kevin. Diam-diam Fibi menghela napas lega.
Melihat mereka sebentar saja rasanya sudah sangat menyesakkan, apalagi harus bersama mereka di sepanjang perjalanan pulang. Untungnya pun, tadi selama bekerja mereka bersikap sangat profesional. Tidak ada sedikit pun kemesraan yang ditunjukkan. Jadi, setidaknya hati Fibi sedikit terselamatkan.
Motor Edwin berhenti di depannya tidak lama setelah mobil Kevin pergi.
“Mau mampir nggak?” tanya Edwin sambil memberi Fibi helm.
“Ke Kafe dulu, ya? Gue laper banget. Tante Anya pasti belum pulang,” ucap Fibi sambil naik ke motor Edwin.
“Bi,” panggil Edwin.
“Hm?”
“Lo masih inget Aliyah?” ucap Edwin yang seketika membuat Fibi terdiam.
“Dia di kafe sekarang.” Mendengar ucapan Edwin, Fibi seketika mengangguk paham.
“Oke. Nanti gue pesen online aja.”
“Tante harus berangkat sekarang. Nanti kamu sarapan sama Ed, ya!” ucap Tante Anya setelah selesai membasuh wajah Fibi dan membantu gadis itu menggosok gigi. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, jadi dia harus segera berangkat kerja. “Emang Ed nggak ke kafe?” tanya Fibi sambil pelan-pelan bergerak untuk menyender di kasur. Perutnya masih terasa perih dan badannya juga masih lemas, jadi dia bergerak pelan-pelan.“Ya kali Edwin ke kafe setelah lihat kamu hampir sekarat kemarin. Bentar lagi dia juga pasti ke sini,” ucap Tante Anya. Wanita itu lalu pergi keluar kamar Fibi untuk mengambil tasnya.“Tante berangkat ya, Fib! Kamu jangan rewel sama Edwin!” peringat Tante Anya.“Ih, aku bukan anak kecil,” gumam Fibi yang tentu saja tidak terdengar oleh Tante Anya karena wanita itu sudah pergi.Fibi mengambil ponselnya. Ada banyak pesan dari Kevin yang menunjukkan kekhawatiran laki-laki itu. Senyumnya seketika mengembang. Gadis itu membaca satu persatu pesan dari Kevin dengan senyum yang tak
Untuk menghargai Kevin, Fibi tetap memakan bingsu yang dipesan laki-laki itu. Namun dia hanya memakan potongan esnya saja.“Kamu nggak suka bingsu ya?” tanya Kevin yang menyadari kalau sejak tadi Fibi seperti terpaksa memakan bingsu-nya.“Suka kok, Mas,” jawab Fibi.“Kamu nggak pinter bohong, Fib. Nggak suka ya?”Fibi tersenyum kikuk.“Sebenarnya, aku nggak bisa makan mangga, Mas.” Fibi pun akhirnya jujur pada Kevin. Mendengar ucapan Fibi, wajah Kevin pun seketika tampak merasa bersalah.“Kenapa kamu nggak bilang? Ya sudah jangan makan lagi!” ucap Kevin sambil menjauhkan mangkok bingsu dari Fibi.“Nggak enak. Mas Kevin kelihatan excited banget buat ngenalin aku makanan enak di sini,” ucap Fibi.“Jangan gitu lagi, Fib. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak suka atau nggak bisa makan sesuatu yang aku belikan. Kamu bilang aja, jangan ngerasa nggak enakan.” Kevin menatap lekat pada Fibi, seolah memberi peringatan pada gadis itu agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.“Jadi seka
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la