Orang yang tepat di waktu yang salah adalah gambaran yang tepat untuk hubungan Edwin dan Fibi. Bagaimana tidak? Saat keduanya bersama, mereka sama-sama tak peka akan perasaan masing-masing dan terlalu nyaman dengan hubungan sahabat. Ketika akhirnya Edwin menyadari perasaannya, Fibi justru jatuh hati dan terjebak dalam hubungan merugikan dengan rekan kerjanya sendiri. Fibi disibukkan dengan hubungannya dan mengabaikan Edwin. Namun saat Edwin jauh dan kembali dekat dengan Aliyah, Fibi jadi kesal sendiri. Jadi, siapa yang diinginkan Fibi sebenarnya? Edwin, sang sahabat yang tak pernah absen berada di sisinya? Atau Kevin, rekan kerja yang kini menjelma menjadi pacarnya?
View More“Terima kasih tumpangannya, Mas,” ucap Fibi setelah selesai mengemasi barangnya di bagasi mobil. Pria di dalam mobil, Kevin, adalah rekan kerjanya. Keduanya bekerja di sebuah agensi jasa make up artist, fotografer, dan model yang bisa disewa satu paket ataupun secara terpisah. Kali ini, sebuah brand meminta tiga MUA dan satu fotografer untuk pemotretan produk baru mereka.
“Hati-hati di jalan, Mas.” Fibi melambaikan tangan, mengiringi mobil Kevin yang semakin menjauh, lalu menghilang di tengah keramaian jalan raya. Dia tersenyum lebar sambil memegang dadanya yang dari tadi berdetak tak karuan.
“Udah ilang itu mobilnya, Neng. Masih aja dilihatin!” ucap seseorang dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, Fibi sudah sangat tahu siapa orangnya, dia sudah sangat hapal dengan suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabat baiknya, Edwin Kalandra. Satu-satunya orang, selain tantenya, yang bisa masuk ke rumah Fibi dengan leluasa.
“Iri ya? Yang habis dicuekin crush-nya!” ucap Fibi sambil menjulurkan lidahnya.
“Sialan, bocah! Sini lu, gue geprek!” Melihat Edwin mendekat, Fibi seketika berlari dengan gesit melewatinya.
“Tante!” teriak Fibi begitu memasuki rumah. Dia berlari ke ruang tengah dan merangkul lengan tantenya.
“Kalian ini! Lama-lama tak nikahin juga ya, mau?” ucap seorang wanita yang berusia 38 tahun, yang tak lain dan tak bukan adalah tantenya Fibi, Tante Anya.
“Dih!” ucap Fibi dan Edwin secara bersamaan.
“Males banget!” Lagi-lagi mereka bicara secara bersamaan.
“Nah tuh, udah cocok. Biar besok Tante ngomong sama Mbak Lisa.”
“Dih, ogah banget! Bisa-bisa darah tinggi tiap hari aku kalau sama Edwin!”
“Lo kira gue mau sama lo? Bisa sengsara gue kalau sama lo!”
Tante Anya hanya menggeleng pelan. Dia melepaskan pelukan Fibi di lengannya lalu berjalan menuju dapur. Tante Anya kembali sambil membawa satu mangkok besar semangka, kesukaan Fibi. Dia tersenyum melihat Fibi dan Edwin yang masih berdebat, saling menyebutkan kekurangan masing-masing.
“Lo tuh nggak bisa masak! Mau makan apa coba gue kalau sama lo?”
“Dih! Masak itu basic skill! Lagian, nggak bisa masak tinggal beli, lah lo? Gue tanya sekarang, kapan ultah gue?” Mendengar pertanyaan Fibi, Edwin diam untuk beberapa saat.
“Tuh kan! Lo tuh nggak inget hari-hari spesial! Ultah gue 16 Januari, dasar pikun!” jawab Fibi sambil melipat tangan di dada, merasa telah memenangkan perdebatan mereka.
“Cuman tanggal. Gue catat dah nih.” Edwin mengeluarkan ponselnya lalu mengatur pengingat setahun sekali pada tanggal 16 Januari.
“Nah tuh! Gini doang mah gampang solusinya! Yang penting gue nggak pernah lupa jemput lo, nggak pernah lupa kasih makan lo, dan nggak pernah lupa ngasih tahu lo kalau salah!” Edwin tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah jengah Fibi.
“Udah-udah. Ini makan dulu semangka,” ucap Tante Anya menengahi.
“Sama siapa pun kalian nanti menikah, kalian harus bahagia!” sambung Tante Anya sambil mengusap kepala Fibi dan Edwin. Walaupun Edwin bukan keluarganya, tapi Tante Anya sudah menganggap dia seperti keluarga. Dia menyayangi Edwin selayaknya dia menyayangi Fibi. Begitu pun Mama Lisa, mamanya Edwin. Beliau pun menyayangi Fibi selayaknya menyayangi Edwin. Mereka sudah sangat lama menjadi sahabat dan saling mengenal keluarga masing-masing.
***
Jika Fibi memilih menjadi MUA, Edwin memilih membuka kafe miliknya sendiri yang dia beri nama Sunrise Caffe. Dia mendesain kafenya dengan sedikit bantuan Fibi. Ide utama desain yang didominasi warna putih dengan sedikit gradasi oranye dan lampu-lampu berwarna kuning untuk menambah efek ‘sunrise’. Fibi hanya menambahi beberapa detail seperti hiasan dinding dan penataan meja.
Saat pembukaan kafe, Fibi pun sengaja mengosongkan jadwalnya dan membantu Edwin di kafe. Dia membantu melayani pelanggan, mulai dari menyambut mereka, mencatat pesanan, hingga membawakan pesanan pelanggan. Hari itu, Fibi menggunakan seluruh waktunya untuk membantu Edwin.
Tentunya tidak mudah bagi Edwin untuk terus menjaga kafenya tetap ramai. Dia harus sering memutar otak untuk meluncurkan gebrakan baru seperti event setiap tanggal spesial atau peluncuran menu baru. Di tengah maraknya kafe-kafe baru, Edwin harus berpikir keras agar bisnisnya terus berjalan.
Sunrise Caffe terkenal dengan makanan dan pelayanannya yang sangat memuaskan. Namun, itu tidak cukup untuk membuat pengunjung bertahan. Edwin harus mengikuti tren. Jaman sekarang, selain makanan yang enak, kafe juga menjual pelayanan, tempat yang nyaman, dan pastinya harus banyak spot foto yang cantik. Dengan otak encernya, Edwin berhasil menghasilkan elemen-elemen itu di Sunrise Caffe. Alhasil, kafenya pun selalu ramai pengunjung. Terutama saat malam minggu. Seperti hari ini.
Edwin menatap kondisi kafenya dari balik mesin kasir. Melihat banyak orang tampak tertawa dan bahagia bersama keluarga, teman, atau pasangan, membuat Edwin tanpa sadar tersenyum. Ah, entah kenapa dia jadi teringat Fibi. Biasanya Fibi selalu ke kafenya setiap malam minggu. Edwin menatap jam tangannya, Fibi ada satu pemotretan hari ini, seharusnya dia sudah pulang.
“Dor! Kangen gue kan?”
Baru saja Edwin hendak menghubunginya, Fibi sudah menampakkan diri di depannya.
“PD!” jawab Edwin. Dia baru saja akan bicara lagi, sampai seorang laki-laki datang dari belakang Fibi.
“Hari ini gue jadi pelanggan dulu ya,” ucap Fibi dengan senyum lebarnya. Edwin mendengus. Jelas saja gadis itu tersenyum lebar, impiannya makan berdua dengan crush akan terwujud. Benar, laki-laki yang tadi datang bersama Fibi adalah crush sekaligus rekan kerja Fibi, Kevin Prasetya.
“Ini Edwin, Mas. Temanku sekaligus yang punya kafe ini,” ucap Fibi mengenalkan Edwin pada Kevin.
“Kevin.” Kevin mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Edwin.
“Halo, bro. Semoga lo menikmati waktu lo di sini. Silakan duduk aja.”
Fibi mengajak Kevin mencari tempat duduk. Sedangkan Edwin menatap keduanya beberapa saat sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
“Saya sering dengar kafe ini, tapi ini pertama kali ke sini,” ucap Kevin memulai obrolan sambil matanya menatap ke sekeliling kafe.
“Oh iya? Sunrise emang sempat viral sih. Sampai sekarang pun masih banyak pelanggannya. Kafe ini emang bagus banget, Mas.”
“Iya, kafenya temen kamu, kan?” canda Kevin.
“Ya nggak gitu. Terlepas ini kafenya Edwin atau bukan, kafe ini emang bagus. Menurutku sih gitu. Makanannya pun enak, tempatnya nyaman, buat foto-foto juga bagus, pelayanannya pun juara.” Fibi menjabarkan keunggulan Sunrise Caffe dengan wajah bangga. Tentu saja dia harus bangga. Kafe bagus dan nyaris sempurna ini milik sahabatnya.
“Menurut saya juga bagus. Saya percaya selera kamu pasti bagus.” Kevin bicara sambil membuka buku menu yang sudah diantarkan pelayan. Tanpa sadar gadis di depannya sudah tersipu malu karena pujiannya.
“Kamu ada rekomendasi makanan?” ucap Kevin yang kini menatap Fibi. Gadis itu berdehem sebentar untuk menetralkan suara sambil mengatur detak jantungnya sebelum menjawab.
“Semuanya enak kok, Mas. Aku udah pernah coba semua menunya,” ucap Fibi sambil tersenyum.
“Kalau gitu, saya pesan Mac and Cheese aja. Minumnya Ice Americano.”
“Aku Spaghetti Carbonara. Minumnya kayak biasa ya, Dhe.” Pelayan itu, Dhea, mencatat pesanan mereka lalu pamit pergi. Namun tak lama, Dhea kembali lagi.
“Maaf, Mbak Fibi, kata Mas Edwin, minumnya nggak ada.” Fibi mengernyit lalu menatap Edwin yang kini menatapnya dengan wajah tanpa dosa.
“Kayak pelanggan lain, pesan yang sesuai buku menu aja ya, Mbak. Gitu kata Mas Edwin.”
Fibi menatap nyalang ke Edwin. Bisa-bisanya cowok itu mengerjainya di depan crush-nya! Awas saja nanti, Fibi pasti akan balas dendam.
“Ya sudah, matcha latte yang biasa aja. Less sugar ya, Dhe.” Dhea mengangguk lalu pamit pergi.
“Kayaknya temenmu nggak suka kamu bawa cowok ya?” tanya Kevin yang membuat Fibi tertawa.
“Nggak lah, Mas! Dia tuh cuman lagi usil karena iri nggak bisa malmingan sama crush-nya.”
Kevin menatap Jenny yang masih tertawa sambil geleng-geleng kepala.
“Dia iri? Sama kamu?” tanya Kevin yang langsung dijawab anggukan kepala oleh Fibi.
“Jadi, kamu lagi malmingan sama crush-mu?” Seketika wajah Fibi menegang mendengar pertanyaan Kevin.
“Mampus! aku keceplosan," batin Fibi.
“Tante harus berangkat sekarang. Nanti kamu sarapan sama Ed, ya!” ucap Tante Anya setelah selesai membasuh wajah Fibi dan membantu gadis itu menggosok gigi. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, jadi dia harus segera berangkat kerja. “Emang Ed nggak ke kafe?” tanya Fibi sambil pelan-pelan bergerak untuk menyender di kasur. Perutnya masih terasa perih dan badannya juga masih lemas, jadi dia bergerak pelan-pelan.“Ya kali Edwin ke kafe setelah lihat kamu hampir sekarat kemarin. Bentar lagi dia juga pasti ke sini,” ucap Tante Anya. Wanita itu lalu pergi keluar kamar Fibi untuk mengambil tasnya.“Tante berangkat ya, Fib! Kamu jangan rewel sama Edwin!” peringat Tante Anya.“Ih, aku bukan anak kecil,” gumam Fibi yang tentu saja tidak terdengar oleh Tante Anya karena wanita itu sudah pergi.Fibi mengambil ponselnya. Ada banyak pesan dari Kevin yang menunjukkan kekhawatiran laki-laki itu. Senyumnya seketika mengembang. Gadis itu membaca satu persatu pesan dari Kevin dengan senyum yang tak
Untuk menghargai Kevin, Fibi tetap memakan bingsu yang dipesan laki-laki itu. Namun dia hanya memakan potongan esnya saja.“Kamu nggak suka bingsu ya?” tanya Kevin yang menyadari kalau sejak tadi Fibi seperti terpaksa memakan bingsu-nya.“Suka kok, Mas,” jawab Fibi.“Kamu nggak pinter bohong, Fib. Nggak suka ya?”Fibi tersenyum kikuk.“Sebenarnya, aku nggak bisa makan mangga, Mas.” Fibi pun akhirnya jujur pada Kevin. Mendengar ucapan Fibi, wajah Kevin pun seketika tampak merasa bersalah.“Kenapa kamu nggak bilang? Ya sudah jangan makan lagi!” ucap Kevin sambil menjauhkan mangkok bingsu dari Fibi.“Nggak enak. Mas Kevin kelihatan excited banget buat ngenalin aku makanan enak di sini,” ucap Fibi.“Jangan gitu lagi, Fib. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak suka atau nggak bisa makan sesuatu yang aku belikan. Kamu bilang aja, jangan ngerasa nggak enakan.” Kevin menatap lekat pada Fibi, seolah memberi peringatan pada gadis itu agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.“Jadi seka
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la
Dua coklat hangat menemani Fibi dan Tante Anya yang sedang bersantai di teras rumah. Saat Fibi mengajak Tantenya untuk minum coklat hangat di teras, Tante Anya sudah merasa heran. Dulu memang, mereka sering mengobrol di teras sambil menikmati coklat hangat. Sejak bekerja, Fibi lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar atau di ruang tengah.“Tumben kamu ngajakin nongkrong di teras?” tanya Tante Anya.“Ya, sesekali aja. Lagi pengen,” jawab Fibi sambil tersenyum manis. Satu hal lagi yang aneh dari Fibi. Sejak pulang kerja, gadis itu tak berhenti tersenyum. Bukan senyum tipis yang biasa, tapi senyum manis penuh kebahagiaan.“Nggak bantuin Edwin?” tanya Tante Anya lagi.“Nggak, kata Edwin Sunrise baru hire pegawai baru. Jadi kayaknya, aku nggak perlu lagi ikut bantu-bantu di sana. Pegawainya Edwin udah banyak,” jawab Fibi lagi. Gadis itu menyesap coklat hangatnya, lalu tersenyum sambil menatap langit.“Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini,” ucap Tante Anya akhirnya.“Aku ....” Fibi m
Fibi tengah fokus merapikan alat make up-nya. Hari ini dia kembali ke rutinitasnya di kantor seperti biasa. Kebetulan hari ini dia mendapat jadwal memberikan demo Bold and Artistic Make up untuk MUA yang baru bergabung.Baru saja Fibi akan menutup kotak make up-nya, ponselnya tiba-tiba berbunyi tanda ada pesan masuk. Dan itu dari Kevin. Seketika, dada Fibi berdetak tak karuan. Saat dia membukanya, senyumnya seketika mengembang dan pipinya memerah.“Mau makan siang bareng di luar? Saya nemu tempat makan yang kayaknya enak.” Begitu bunyi pesan dari Kevin. Tanpa berpikir lagi, Fibi pun langsung mengiyakan. Gadis itu seketika melihat penampilannya lewat kamera ponsel.“Cielah, mau ke mana nih?” ucap Raka saat Fibi akan beranjak dari kursinya. Hari ini Kevin ada pemotretan di luar, jadi mereka sepakat untuk bertemu di tempat saja.“Kepo deh,” jawab Fibi sambil tertawa kecil.“Ye, gue tahu kok. Mau ketemu Kevin kan?” sahut Raka. Fibi pun seketika membesarkan mata karena terkejut. Dari mana
Sejak pulang dari Surabaya, Fibi tak beranjak dari kasur sama sekali. Dia masih betah rebahan sambil memeluk Beom. Satu tangannya sibuk bermain ponsel. Dia tertawa keras ketika muncul video lucu, tiba-tiba menjadi serius ketika muncul video edukasi, lalu bisa senyum-senyum tidak jelas ketika muncul video idol Korea. Yang jelas, hari ini Fibi benar-benar tidak ingin diganggu dan tidak ingin memikirkan pekerjaan. Kemarin Fibi tiba di rumah pukul enam, dan sejak itu sampai sekarang dia masih betah berada di kamarnya.Tiba-tiba ponselnya berdering. Fibi memutar matanya kesal saat melihat nama Edwin muncul. Tentu saja bukan tanpa alasan Fibi kesal dengan sahabatnya itu. Sejak dia naik pesawat sampai pagi ini, Edwin sama sekali tak bisa dihubungi. Hanya Tante Anya yang kemarin menjemputnya di Bandara.Karena kesal, Fibi pun mematikan panggilan telponnya lalu kembali asyik berselancar di media sosial. Namun, telpon dari Edwin kembali masuk. Beberapa kali Fibi menolak, telpon itu kembali masu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments